JudulL :
Bukan Provokasi Omong Kosong…..
Setelah
membaca artikel dari A. Chaedar Alwasilah: (bukan) bangsa penulis, powerful
writers versus the helpless reader, dan juga CW Watson (learning and teaching
process: more about readers and writers). Kata-kata yang mereka sajikan sungguh
membuat saya takjub sekaligus takut akan fakta yang telah berhasil mereka kuak.
Mereka tahu betul bagaimana watak/karakter yang dimiliki oleh bangsa ini.
Ibarat kendaraan bermotor yang akan jalan setelah diisi bensin, ya, itulah
kita, masyarakat yang akan sadar ketika sudah ada yang membuat provokasi.
Dari
ke 3 artikel tersebut hampir sama menguak tentang satu kata yang kita anggap
biasa tapi dalam kenyataannya sangat besar pengaruhnya untuk indonesia, yaitu
writing (menulis; dalam bahasa indonesia).
Sebelumnya saya akan menambahkan, poin
diparagraf pertama pada arikel (bukan) bangsa penulis. Isi surat tertanggal 27 Januari 2012 yang ditandatangani
Direktur Jenderal Dirjen Dikti Kemdikbud itu mengabarkan informasi yang amat
penting perihal publikasi karya ilmiah. Bukan sekedar untuk dibaca, tapi harus
ditindaklanjuti para rektor/ketua/direktur PTN/PTS di Indonesia.
Untuk lulus program Sarjana harus
menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah. Untuk lulus program
Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah
nasional diutamakan yang terakreditasi Dikti. Untuk lulus program Doktor harus
telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal
internasional.
Mari simak secara cermat pernyataan
di bagian pembuka surat, “Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini
jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah
jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh”. Innalillahi
wainna ilaihi rojiun, jadi itu ternyata
hal utama dibalik munculnya surat edaran dari Dirjen Dikti. Hmmm……
Tidak heran jika prof. Adeng
Chaedar Alwasilah sebagai salah satu putra kebanggaan negeri ini menyoroti secara
tajam tentang apa yang sedang terjadi di dunia pendidikan Indonesia kini. Saya
tertarik satu paragraf di artikel (bukan) bangsa penulis karya prof. chaedar
Sebagai bahan perbandingan, semua
perkuliahan diperguruan tinggi di AS memaksa banyak mahasiswa banyak menulis
esai seperti laporan observasi, ringkasan bab, reviu buku, dan sebagainya.
Tugas-tugas itu selalu dikembalikan dengan komentar kritis dari dosen, sehingga
nalar dan argumen tulisan mahasiswa betul-betul terasah. Karen itu, tidak ada
keharusan menulis tesis, skripsi, apalagi artikel jurnal.
Inilah yang saya bilang di awal,
tulisan prof. chaedar benar-benar menguak rahasia dunia pendidikan AS di depan
publik indonesia. Jika di perguruan tinggi Indonesia diterapkan sistem seperti
ini, diakhir perkuliahan kita tidak akan bersusah payah dengan mengeluarkan
banyak tenaga, pikiran, dan waktu untuk membuat skripsi, tesis, dan yang
lainnya.
Di artikel (bukan) bangsa penulis
juga terdapat perbandingan antara rendahnya jumlah karya ilmiah di Indonesia
dengan jumlah karya ilmiah di malaysia.
sah-sah saja jika ingin membandingkan, hal ini akan sebagai ajang provokasi
untuk mendorong kita lebih baik lagi. Tapi, ujung-ujungnya hati kita yang akan
miris, karena mengetahui fakta kalau kita masih menjadi negara yang tertinggal.
Tidak kalah canggihnya provokasi
yang dibuat 14:09 oleh Prof. Chaedar Alwasilah di
Jakarta Post sabtu 14 januari 2012 .
Newly
returned PhD holders from overseas often use their favorite texbooks that’s are
too advanced for undergraduate students, thus treating it as if they were
doctoral candidates already. The students are then overwhelmed with the
materials beyond their zone of cognitive proximity and comfort.
sekedar
sharing, kita juga pernah diampu oleh dosen dengan gelar PhD, dan dbeliau tidak
banyak membantu kita untuk meningkatkan kualitas mata kuliah tersebut, jadi
provokasi yang dibuat Prof. Chaedar itu bukan sembarang omongan kosong.
Aku
sangat takut dicap sebagai “lulusan yang tidak berkualitas”, oleh sebab itu
kita butuhkan sekarang dosen yang benar-benar berkualitas agar dapat membantu
kita menjadi lulusan yang berkualitas, menurut saya dari background mana saja
kita tidak mempermaslahkan yang terpenting ilmunya bukan gelarnya.
Ada
bahaya lain menggunakan buku teks impor. Mahasiswa kami , yang saat ini jumlahnya
lebih dari 2,6 juta, dicuci otaknya bahwa bahasa nasional kita tidak cukup
canggih untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi . Banyak
intelektual tidak menyadari bahwa sejumlah besar ini sebenarnya captive market
untuk buku teks diproduksi sendiri .
Tapi
kita tidak munafik, dan kita juga harus mengakui kalau bahasa nasional kita
tidak cukup canggih untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi
kita harus optimis, entah kapan tapi keyakinan harus selalu ada kalau bahasa
kita akan menjadi bahasa ilmu pengetahuan seiring dengan manusianya yang akan
berpengetahuan. Tidak ada salahnya kita membaca buku dengan bahasa asing, untuk
lebih mendekatkan kita menjadi manusia yang berpengetahuan. untuk captive
market sendiri sudah muncakup hampir semua aspek dari pertanian, kerajinan,
perkebunan, pertambangan, dan lain-lain. Jadi sudah tidah heran dan aneh lagi
untuk dibicarakan.
Prof.
Chaedar juga berpendapat kalau sudah saatnya kaum intelektual kita untuk bangga
dengan bahasa nasional kita dengan menulis buku teks dalam bahasa Indonesia .
Pendidikan K - 12 harus mempromosikan koneksi membaca - menulis produktif untuk
mengembangkan penulis muda yang akan menjadi penulis dewasa dan kemudian, pada
saat penyelesaian studi lanjutan mereka, penulis intelektual .
Setiap
orang Indonesia jika ditanya “apakah Anda bangga dengan bahasa Indonesia?” aku
sangat yakin tanpa adanya sedikitpun keraguan kalau jawaban mereka pasti
saangat bangga. Tetapi yang patut dipelajari lebih dalam adalah apakah hanya
sekedar bangga?....kita harus membuatnya lebih dari sekedar bangga, itulah
jawabannya.
Saya
sangat setuju dengan comment yang disampaikan 11:55 Oleh CW Watson di Jakarta
Post sabtu11 Februari 2012.
“We
all share the responsibility for raising the quality of critical thinking in
the country.”
CW
Watson juga harus mengakui kehebatan trik yang dibuat oleh Prof. Chaedar dalam
menguak rahasia pendidikan diluar negeri dengan yang ada di Indonesia. “Untuk
orang seperti saya datang dari sistem universitas Inggris , ini adalah kejutan
karena dalam departemen bahasa asing di universitas-universitas Inggris
tujuannya adalah untuk mengajar siswa penguasaan bahasa asing sehingga mereka
dapat berbicara , mendengarkan dan memahami dan membaca dan menulis dengan
lancar , dan di mana mereka didorong untuk membaca sebanyak mungkin.
Hal
ini tampaknya tidak menjadi kasus di Jurusan Bahasa Inggris di IKIP mana tujuan
tampaknya untuk menyampaikan kepada siswa teori dan pengetahuan yang telah
diperoleh para dosen ketika mereka mendapatkan PhD mereka di luar negeri.
Harusnya CW Watson juga tahu kalau hal itu terjadi di IAIN Syekh Nurjati
Cirebon juga. Dan sekali lagi provokasi yang dibuat Prof. Chedar bukan omong
kosong.
Alangkah
indahnya negeri ini jika semua yang kita lakukan bukan provokasi omong kosong.
Karena bukan) provokasi omong kosong
akan lebih jitu membakar semangat setiap mereka yang bernyawa, daripada
provokasi omong kosong yang lebih mencerminkan bangsa kita yang sudah dicap
sebagai (bukan) bangsa penulis. Menulis memang tidaklah mudah, tapi tidak ada
salahnya kalau terus mencoba.
“Percayalah
kalau keajaiban adalah nama lain dari kerja keras” (to the beautiful you)
0 comments:
Post a Comment