Fenomena Literasi Indonesia
Melihat literasi dari masa
ke masa adalah penting bagi pelajar, tentang sejarah, tokoh, dan
perkembangannya. Itulah yang penting untuk diketahui. Berikut ini saya tuliskan
dalam bentuktabel perihal “Periodisasi
Pendekatan dan Penggunaan Bahasa”
Tabel.1
Periode
|
Model Pendekatan
|
Fokus Kepada
|
Metode
|
Kelemahan
|
tokoh
|
Hingga akhir Perang dunia2
|
Grammar translation
|
Penggunaan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa
|
Error analysis
|
-tidak menjamin mampu menganalisis bahsa pejabat yg munafik
-tidak memahami bahasa iklan yg menyesatkan, dan bahasa bias gender
|
|
1940-1960
|
Audiolingual (dengar-ucap)
|
Latihan dialog pendek
|
Praktek spontan
|
-tidak bervariasi
-bahasa tulis terabaikan
|
|
|
Kognitif dan transformatif (syntactic structure)
|
Generating ability
|
Materi sintaksis
|
Tidak mengarah pada sosiolinguistik
|
Chomsky 1957
|
1980-1990
|
Communicative Competence
|
Komunikasi target
|
Pendekatan komunikasi (komunikasi terbatas dan spontan/alami)
|
Kurang eksplisit dalam penjelasan bentuk dan fungsi
|
Hymes 1976
Widdowson 1978
|
|
Genre based (implikasi dari studi wacana)
|
Menyesuaikan kurikulum 2004 di Indonesia
|
Pengenalan berbagai genre wacana lisan & tulisan
|
-
|
|
Masa pendekatan communicatice competence, lahir ungkapan
bahwa komunikasi itu harus bernalar, ini bermaksud pada sosialisasi komunikasi
tertulis yang contohnya yaitu mengisi formulir aplikasi kartu kredit yang harus
disadari oleh siswa bahwa itu adalah keputusan politik ekonomi. Kekurangan dari
pendekatan ini yang dianggap kurang eksplisit dalam menjelaskan bentuk dan
fungsi melahirkan sebuah tata bahsa fungsional atau systemic Functional Grammar
(SFG) yang dikembangkan oleh Halliday (1985); Martin (2000), dan lain-lain.
Sementara pada masa pendekatan genre-based pembelajaran
dilakukan melalui empat tahapan yaitu (1) membangun pengetahuan (2) menyusun
model-model teks (3) menyusun teks bareng-bareng, dan (4)menciptakan teks
sendiri.
Definisi Literasi
A. Definisi Lama
Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis,
dan di zaman dahulu membaca dan menulis dianggap cukup sebagai pendidikan dasar
yang harus dikuasai manusia untuk bisa bertahan hidup di tengah masyarakat,
namun pada hakikatnya literasi itu adalah praktik kultural yang berkaitan
dengan persoalan sosial dan politik. Dalam arti literasi itu bukan sekedar
membaca dan menulis melainkan keseluruhan aspek kehidupan mana pun dilakukan
sebagai dan berdasarkan literasi.
Dengan munculnya pernyataan di atas, maka para
pakar pendidikan dunia mendefinisikan suatu definisi baru terkait literasi.
B.
Definisi Baru
Definisi baru tentang literasi ini menunjukkan
paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya. Sehingga pada
masa kini terlahir ungkapan literasi komputer, literasi matematika, literasi
IPA, dan sebagainya. Seiring berkembangnya literasi dan perubahan zaman Freebody
dan Luke mengungkap hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis
dalam empat model literasi yang diringkas dalam lima verba yaitu memahami,
melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Kelima verba
tersebut dapat diperinci ke dalam empat peranan literasi sebagai berikut:
a. Breaking the codes of texts (memahami kode dalam teks)
b. Participating of the meaning of texts (terlibat dalam memaknai teks)
c. Using texts functionally (menggunakan teks secara fungsional)
d. Critically analyzing and transforming texts (melakukan analisis dan
mentransformasi teks secara kritis)
Tujuh Dimensi Literasi Yang Berkaitan Dengan Berbagai
Disiplin Ilmu
1. Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional dan internasional)
Literasi seseorang tergantung pada tingkat
pendidikan dan jejarng sosial dan vokasionalnya.
2. Dimensi Bidang (pendidikan, komuniksi, militer dsb)
Dimensi ini bergantung pada kualitas di bidangnya
masing-masing, semakin tinggi kualitas di bidangnya maka semakin tinggi pula
tingkat literasinya.
3. Dimensi keterampilan (calistung dan berbicara)
Keterampilan seseorang bergantung pada gizi bacaan yang
selanjutnya akan tampak ketika ia berbicara dan bisa dituangkan pada sebuah
tulisan, tidak lupa pula numerasinya menjadiaspek pendukung keteranpilan tinggi
seseorang.
4. Dimensi Fungsi
Seseorang yang literat akan mampu menjadi orang yang
mumpuni dalam dimensi fungsi ini, yaitu dia akan bisa memecahkan persoalan,
mudah mendapatkan pekerjaan, dan memiliki potensi untuk mencapai tujuan
hidupnya dan ia akan gesit mengembangkan serta memproduksi ilmu pengetahuan.
5. Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital)
Gaptek (gagap teknologi) pada zaman sekarang menyebabkan
seseorang tidak mendapat gelar literat. Tuntutan penguasaan IT (Information Technology)
juga harus dipenuhi, karena dunia maya saat ini menguasai kehidupan orang di
dunia.
6. Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa)
Literat juga menuntut pada dimensi jumlah, dicontohkan
saja di sini jumlah bahasa. Orang yang multiliterat juga orang yang multilingual,
dia memiliki kemampuan dalam komunikasi berbagai bahasa.
7. Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
Seperti yang telah dituliskan di dimensi sebelumnya
multilingual berarti juga multiliterat, dalam arti kita orang literat bisa
berliterasi pada Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan juga Bahasa Ibu. Mengapa
Bahasa Ibu? Karena jika kita melupakannya maka kita adalah orang yang payah.
Sepuluh Gagasan Kunci Literasi
Mengikuti perubahan zaman, paradigma
literasipun berubah menyesuaikan dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Ukuran literasi ini berorientasi pada 10
gagasan kunci di bawah ini.
1. Ketertiban lembaga-lembaga sosial
Dalam arti penggunaan bahasa dalam melaksanakan
pekerjaannya. Seperti ontoh munulnya bahasa birokrat atau bahasa politik di
DPR.
2. Tingkat kefasihan relatif
Tingkat kefasihan berbahasa diukur sebagaimana standar
yang digunakan.
3. Pengembangan potensi diri dan pengetahuan
Literasi baca tulis adalah titik aman untuk setiap orang,
karena dengan itu seseorang dapat mengembangkan potensi dirinya.
4. Standar dunia
Melihat persaingan global pada masa sekarang keliterasian
dapat dipersaingkan dengan batasan standar dunia, yang mana datanya dapat
diperoleh dari hasil evaluasi melalui PIRLS (Progress in International Reading
Lteracy Study) dan PISA (Program for International Student Assesment) juga
TIMSS (The Third International Mathematics and Science Study) untuk mengukur
literasi membaca, matematika dan IPA.
5. Warga masyarakat demokratis
Warga negara yang demokratis akan menjunjung tinggi nilai
demokrasi, untuk bisa menjadikan masyarakat demokratis, maka harus mendukung
program literasi pendidikan yang mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
Sementara itu, yang menjadi salah satu pilar demokrasi adalah media maka
pendidikan literasinya harus berorientasi pada media massa.
6. Keragaman lokal
Loal wisdom literacy, tercipta dari seorang literat lokal
yang membangun literasi dalam konteks lokalnya yang selanjutnya akan memasuki
konteks nasional, regional dan global.
7. Hubungan global
Orang literasi mampu bersaing dalam kehidupan global,
karena dengan kecanggihan teknologi di masa sekarang, semua orang adalah warga
dunia. Sebagai buktinya kita sering mengalami culture shock akibat dari lonatan
inovasi teknologi.
8. Kewarganegaraan yang efektif
Warga negara yang efektif lahir dari literasi.
Keefektifan warga negara dapat dilihat dari citizenship literacy (bagaimana ia
mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara).
9. Bahasa Inggris ragam dunia
Multiple englishes muncul dari keragaman bahasa lokal
suatu negara, banyaknya orang di dunia ini yang mempelajari Bahasa Inggris maka
akan semakin banyak pula Multiple englishes, karena hal ini merupakan efek dari
lekatnya bahasa lokal dan masuknya Bahasa Inggris sebagai bahasa dunia.
10. Kemampuan berfikir kritis
Berbicara dan menulis adalah tindakan literasi dan
merupakan keputusan politik. Pengajaran bahasa harus mengajarkan keterampilan
berfikir kritis agar terasahnya penggunaan bahasa dengan kritis.
11. Masyarakat semiotik
Budaya adalah sistem tanda, dan semiotik adalah tanda.
Untuk bisa berbudaya literasi maka kita harus menjadi praktisi semiotik yaitu
seseorang yang menggunakan praktek semiotik dalam berliterasi/berbudaya
literasi.
Tujuh prinsip pendidikan bahasa berdasarkan literasi
1.
Literasi adalah kecakapan hidup (life skill)
yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat
2.
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan
produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan
3.
Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah
4.
Literasi adalah refleksi penguasaan dan
apresiasi budaya
5.
Literasi adalah kegiatan refleksi (diri)
6.
Literasi adalah hasil kolaborasi
7.
Literasi adalah kegiatan melakukan
interpretasi
Implementasi dari Literasi Anak Negeri
Dari data yang ditemukan PISA dan PIRLS juga
TIMSS bisa ditarik kesimpulan bahwa tinggi rendahnya minat membaca siswa
disebabkan oleh orang tua siswa itu sendiri, orang tua yang lulusan universitas
akan lebih meningkatan minat membaca anak ketimbang orang tua yang lulusan SLTA
atau yang lain di bawahnya.
Masih dalam temuan PISA tahun 2006 Inonesia
menjadi urutan kedua terakhir dalam kategori junlah (maha)siswa yang membaca.
Jika dianalogikan bisa jadi dikatakan seperti ini, orang-orang membacanya saja
kurang apalagi menulis? Inilah sebabnya di Indonesia hanya ada 6000 judul buku
di setiap tahunnya, apalagi jika dibandingkan dengan Amerika yang berada di
posisi pertama dengan 90.000 judul buku setiap tahunnya. Inilah jawabannya
mengapa Indonesia dikatakan oleh Prof. Chaedar dengan sebutan “Bukan Bangsa
Penulis”.
“Rekayasa Literasi” ini mengajak kita sebagai
generasi penerus bangsa untuk berliterasi, agar bisa mencapai tingkat negara
yang tinggi akan literasi. Negara maju adalah negara yang berliterasi tinggi,
jadi jangan bermimpi kita menjadi negara maju jika tingkat literasinya masih
seperti ini.
“Rekayasa Literasi” berarti merekayasa
pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi bentuk pembelajaran.
Pengajaran bahasa (language arts) yang baik menghasilkan orang literat yang
mampu menggunakan keempat dimensi ini secara serempak, aktif dan terintegrasi.
Dia menggunakan bahasa secara efektif dan efesien.
Keempat dimensi membaca dan menulis itu
adalah:
a. Linguistik atau fokus teks
b. Kognitif atau fokus minda
c. Sosiokultural atau fokus kelompok, dan
d. Perkembangan atau fokus pertumbuhan.
(Kucer, 2005:293-4)
Dari
keempat dimensi di atas perlu bagi kita mengetahui penjabaran dari semuanya
karena itulah proses yang harus kita lalui dalam ber Rekayasa Literasi. Keempat
dimensi itu akan dijabarkan sebagai berikut:
·
Dimensi Pengetahuan Kebahasaan
1.
Sistem Bahasa
2.
Persamaan dan perbedaan bahasa lisan dan
tulisan
3.
Ragam bahasa
·
Dimensi Pengetahuan Kognitif
1. Aktif, selektif dan konstruktif saat membaca dan menulis
2. Memanfaatkan pengetahuan yang ada (skimata) untuk membangun makna
3. Menggunakan proses mental dan strategi untuk menghasilkan makna
·
Dimensi Pengetahuan Perkembangan
1.
Aktif dan konstruktif
2.
Pemakai berbagai strategi dan proses
mengonstruksi
3. Pengamatan atas, dan melakukan transaksi dengan mereka yang lebih fasih
4. Bagaimana menggunakan dukungan dan mediasi dari pada pelaku literasi fasih
5. Pemanfaatan pengetahuan yang diperoleh lewat membaca untuk mendukung
kegiatan
6. Bagaimana menegosiasi makna tekstual melalui pemakaian dan dukungan sistem
komunikasi alternatif
·
Dimensi Pengetahuan Sosiokultural
1.
Tujuan dan pola literasi yang seragam harus
diketahui
2.
Aturan dan norma
3.
Fitur-fitur linguistik dari berbagai teks
4.
Bagaimana menggunakan literasi untuk memproduksi,
menggunakan, mempertahankan dan mengontrol lembaga
5. Bentuk-bentuk dan fungsi literasi tertentu yang bernilai tinggi
6. Kemampuan melakukan kritik teks dari berbagai kelompok sosial dan lembaga
Kegiatan Literasi
Kegiatan
literasi melibatkan keempat dimensi bahasa. Orang berliterasi tinggi mampu
memfungsikan simbol secara bernalar dalam konteks sosial. Tingkat pendidikan
mempengaruhi literasi namun kejadian di Indonesia (kurang literasi) itu bisa
jadi disebabkan oleh paradigma atau pendidikan literasinya yang maksimal.
Pengajaran literasi itu tergantung pada paradigma tentang literasi itu sendiri. Pengajaran
bahasa di Indonesia lebih kepada empat aspek yaitu menyimak, berbicara, membaca
dan menulis. Dalam pembelajarannya jarang disebutkan kata literasi hanya
cenderung kepada budaya dan sastra pun jarang diperkenalkan kepada siswa.
Berbicara tentang paradigma, ada 3 paradigma
perihal pembelajaran literasi yang mendahulukan pengenalan bagian-bagian dari
literasi yaitu decoding yang mendahulukan pengenalan bagian-bagian dari
literasi atau bahasa yang selanjutnya dapat diaplikasikan pada hubungan tulisan
dengan makna, kemudian paradigma skills yaitu siswa diajari terlebih dahulu
bagaimana cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosakata, dan
yang ketiga yaitu paradigma whole language yang mana pembelajaran ini cenderung
menolak pembelajaran yang meletakan fokus pada bagian atau serpihan bahasa,
melainkan paradigma ini fokus pada pembelajaran makna.
Kesimpulan
Untuk memperbaiki keliterasian bangsa kita,
kita harus menciptakan minat baca terlebih dahulu dan selanjutnya kita mendasar
pada hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis juga melihat
standar gagasan kunci literasi dan tjuh prinsip pendidikan bahasa berbasis
literasi yang selanjutnya menyesuaikan diri sesuai dengan dimensi literasi
kajian lintas disiplin. Dengan itu, kita akan tahu posisi kita berada di mana
dan apa yang harus kita lakukan untuk melestarikan budaya literasi.
0 comments:
Post a Comment