Soempah
Pemoeda
“Pertama:
Kami poetra-poetri
Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami
poetra-poetri Indonesia mengakoei bangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami
poetra-poetri Indonesia mendjoengdjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Mendengar kata sumpah
pemuda sudah pasti kita akan langsung teringat pada satu kesatuan kuat yang
terjalin pada bangsa kita ini. Kongres sumpah pemuda sendiri merupakan kongres
yang diadakan oleh berbagai organisasi pemuda yang berasal dari seluruh Nusantara
. Mereka memiliki cita-cita yang sama yakni ingin terbebas dari penjajahan. Tak
peduli apa agama mereka, ras mereka, bahkan bahasa mereka. Mereka bisa bersatu
dan saling bekerjasama guna menciptakan impian mereka. Namun setelah impian itu
terwujud, saat bangsa ini berhasil terbebas dari penjajahan, seakan-akan para
pemuda lupa akan sumpah mereka. Gerakan sparatis, bentrok antar warga, bahkan
konflik yang berlatar belakang agama pun muncul dimana-dimana.
Kerusuhan maluku yang terjadi pada tahun 1999
lalu, bisa jadi salah satu kerusuhan antar etnis dan agama terbesar yang pernah
terjadi di Indonesia. Kerusuhan ini terjadi lebih dari 1,5 tahun dan merugikan
banyak hal, mulai dari harta benda hingga nyawa pada kedua belah pihak.
Penyebab awal dari kerusuhan tersebut adalah rasa ketidakpuasan masyarakat
maluku terhadap pemerintah saat itu yang tidak begitu memprihatikan mereka.
Selain itu faktor agama yang menjadi minoritas dan kurangnya sikap toleran
jugalah yang menbuat mereka melakukan kerusuhan tersebut. Mereka menuntut untuk
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara
baru yakni Republik Maluku Selatan (RMS). Dan muslim saat itu dianggap sebagai
golongan yang menghalangi mereka untuk merdeka. Sehingga rakyat maluku yang
saat itu mayoritas kristen membantai dan mengusir minoritas muslim hingga
terjadi konflik berkepanjangan diantara mereka, bahkan rasa tidak percaya dan
curiga pun tetap ada hingga kini.
Kerusuhan Ambon tahun 1999
Fakta diatas jelas bertolak
belakang dengan salah satu survey yang dikeluarkan oleh salah satu media online
yang menyatakan bahwa negara kita Indonesia adalah negara tertoleran sedunia.
Namun pada kenyataannya itu hanya isapan jempol belaka. Kerusuhan maluku
bukanlah satu-satunya kerusuhan antar umat beragama yang pernah terjadi di
negeri kita ini. Terdapat banyak kerusuhan lainnya yang menyinggung soal
kerukunan umat beragama, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang
terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ).
Bila pemerintah terhitung dari sekarang tidak cepat mengambil langkah tepat,
maka konflik seperti itu akan rentan terulang kembali. Bentuk-bentuk
radikalisme yang kini berkembang pesat pun tak ayal telah mengganggu kohesi
sosial dan menghasilkan rasa saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat, baik dalam konteks agama ataupun etnis. Dan yang paling
ditakutkan adalah suatu saat nanti hal ini bisa meningkat menjadi
ketidakharmonisan agama besar .
Pemerintah selaku pihak
yang mengambil keputusan sebaiknya harus cepat mencarikan solusi untuk
menganggulangi krisis kepercayaan diatas. Masalah sosial tidak akan pernah
berhenti melainkan akan terus berulang seperti tawuran pelajar , bentrokan
pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia. Kesemuanya adalah
indikasi dari penyakit sosial , yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa
hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Konflik sosial dan
ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pemerintah dalam
melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga
negara yang demokratis dan dengan karakter yang baik. Dengan demikian, untuk
mewujudkan tujuan ini , kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah
sedini mungkin.
Bhinekka tunggal ika atau
slogan bangsa ini pun seakan-akan sudah bukan lagi menjadi menjadi slogan
pemersatu bangsa setelah melihat fakta yang terjadi sekarang. Kini slogan
tersbut hanya sebuah tulisan yang tak berarti apa-apa. Banyak generasi muda
yang tidak mengetahui soal slogan tersebut. Coba saja kita tanyakan hal
tersebut pada siswa di sekolah dasar, sudah dijamin sebagian besar dari mereka
banyak yang menggelengkan kepala dan berkata tidak tahu.
Prof. Chaedar Al-wasilah
lewat artikel “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” menjelaskan
bahwa ketidakharmonisan antar umat bergama di indonesia saat ini disebabkan
oleh gagalnya lembaga pendidikan dalam
menumbuhkan sikap toleransi. Pendidikan seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mendorong pengalaman bermakna , yaitu , interaksi dengan siswa lain dari agama
yang berbeda , etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda . Idealnya
kebijakan seperti itu harus ditegakkan di sekolah yang dikelola oleh guru dan
tenaga yang berbeda agama , etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang
berbeda. Sekolah juga seharusnya
menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama, karena melalui itu siswa
akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan . Dan ini akan
menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural
.
Dari penjabaran diatas
soal penganggulangan permasalahan kurang harmonisnya kehidupan masyarakat karya
Prof. Chaedar sudah cukup dikatakan baik. Namun sayangnya banyak yang perlu
dikritisi dari tulisan pak Chaedar diatas. Pertama, beliau berpendapat bahwa
untuk mengefektifkan pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural, Sekolah
seharusnya menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama, karena
melalui itu siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan.
Bagi saya hal itu bukanlah sebuah solusi terbaik bagi siswa untuk membangun
sikap toleransi. Apabila setiap sekolah diharuskan membangun tempat ibadah
sebanyak agama yang dianut siswanya, maka akan terjadi pembengkakan anggaran
hanya untuk pembangunan tempats ibadah. Sedangkan bila kita melihat persentase
penganut agama di indonesia, islam tetap menjadi mayoritas, dan hanya ada
sedikit penganut agama lain yang bersekolah di sekolah umum, sehingga sangat
sia-sia bila anggaran dikeluarkan hanya untuk membangun tempat ibadah yang
digunakan segelintir siswa saja dan pastinya itu hanya dipakai saat mereka
berada di sekolah saja.
Selain itu, bila hal itu
benar-benar dijalankan, maka akan terjadi sebuah masalah baru. Perbedaan akan
terlihat lebih menonjol dari pada biasanya.
Bahkan mereka seperti diblok-blokan oleh agama. Seorang muslim akan
pergi ke masjid, katolik dan kristen ke gereja, hindu ke pura, dan buddha ke vihara.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang penuh dengan kepluralitasan malah
berubah menjadi tempat yang menimbulkan perbedaan dan pastinya akan sangat
tidak nyaman bagi mereka yang beragama minoritas.
Jatuhnya sekolah-sekolah
yang bernafaskan Islam ke tangan Departemen Agama pun membuat seakan-akan pemerintah
membeda-bedakan siswa berdasarkan latar belakang kepercayaannya. Sekolah yang
memiliki background agama islam, seperti madrasah seharusnya jangan dijadikan
sebagai lembaga pendidikan formal. Saat madrasah menjadi lembaga pendidikan formal,
siswa yang bersekolah di tempat itu tidak akan merasakan situasi dimana kita
hidup berdampingan dengan agama lain, karena orang-orang yang disekitarnya
adalah orang yang beragama sama dengan mereka.
Dan saat siswa-siswa keluar dari madrasah dengan pemikiran agama mereka
yang sangan kental, maka mereka akan merasa bahwa hanya agama mereka lah yang
benar.
Hal lain yang harus
diperbaiki dari sistem pendidikan negara kita dalam hal meningkatkan toleransi
dan menghapuskan diskriminasi agama adalah dengan menghapuskan mata pelajaran
Pendidkan Agama Islam dalam jadwal pelajaran sekolah-sekolah umum di Indoneisa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan agama adalah hal yang penting. Namun
melihat keragaman agama yang bangsa kita miliki sangat tidak adil bila
pendidikan yang disediakan di sekolah umum hanyalah pendidikan agama islam
saja, sedangkan untuk siswa beragama lain selain islam harus mengikuti
pembelajaran agama mereka diluar sekolah mereka. Sehingga banyak siswa yang
bergama non muslim lebih memilih bersekolah di sekolah yang berorientasikan
agama mereka masing-masing. Sekolah yang mengusung agama pun belakangan ini
semakin banyak muncul bahkan sudah cukup menjamur terutama dikota-kota besar
yang memang memiliki keanekaragaman agama yang majemuk.
Sekolah katholik dan
kristen kini menjadi sekolah favorit terutama bagi mereka siswa yang berlatar
belakang non muslim yang sering merasa didiskriminasikan bila bersekolah
disekolah umum. Di sekolah ini agama biasanya tidak dijadikan sebagai mata
pelajaran pokok namun tidak juga dihilangkan, karena mereka menyadari bahwa
dengan menjadikan agama sebagai mata pelajaran pokok akan menciptakan perbedaan
yang mencolok. Di sekolah ini setiap siswa diberikan kesempatan yang sama tanpa
dibeda-bedakan berdasarkan agama. Bahkan siswa muslim pun diperlakukan dengan
baik di sekolah ini. Kurikulum nasional yang manjadikan Pendidikan Agama Islam
sebagai mata pelajaran pun tidak dihapuskan meskipun sekolah mereka adalah
sekolah katholik. Sekolah tersebut bahkan menyediakan guru agama islam untuk
mengajarkan PAI untuk siswa muslim yang bersekolah di sekolah tersebut.
Pemerintah terutama
Departement Pendidikan pun seharusnya mampu bertindak sebagai orang Indonesia
bukan orang Islam, orang Khatolik atau orang dari agama lainnya. Mereka
seharusnya menciptakan peraturan dengan sangat objektif bukan hanya untuk
kepentingan umat mereka saja. Seperti layaknya di Turki, negara yang mayoritas
Islam itu tidak menjadikan agama sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah
mereka. Hanya mata pelajaran umum saja yang dijadikan bahan ajar di sekolah,
sedangkan untuk pendidikan agama para siswa mendapatkannya dari lembaga
pendidikan nonformal berupa tempat kursus atau di tempat-tempat ibadah baik
masjid maupun gereja-gereja.
Bila saja pemerintah masih
kekeh ingin mempertahankan pendidikan agama masuk ke dalam mata pelajaran pokok
di sekolah umum. Seharusnya pemerintah tidak hanya menyediakan guru untuk mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam saja melain kan juga guru untuk mata pelajaran
pendidikan agama lainnya, agar setiap siswa baik muslim dan non muslim memiliki
kesempatan belajar agama yang sama tanpa ada perlakuan diskriminatif. Solusi
lain yang bisa ditempuh adalah dengan memberlakukan konsep mata pelajaran yang
menggabungkan kelima agama yang ada di Indonesia dan moralitas seperti apa yang
diterima para mahasiswa yang berkuliah di Universitas Katholik Parahyangan.
Setiap siswa akan mendapatkan pelajaran dari 5 agama, dari pakarnya
masing-masing. Jadi selain mereka
belajar pelajaran umum, mereka juga akan belajar Agama Islam, Agama Hindu,
Agama Buddha, Agama Katholik, dan Juga Agama Kristen Protestant, dari pengajar
yang memang agama-nya itu dan memang pekerjaannya mengajar agama.
Selain itu, Prof. Chaedar
juga berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini telah gagal mendidik para
siswanya dengan kompetensi wacana sipil . Sebagian besar politisi dan birokrat
datang ke Parlement karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya,
banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut. Masih segar dalam
ingatan kita insiden memalukan pada tahun 2010 , ketika anggota parlemen saling
bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan
langsung di seluruh negeri . Alih-alih mendidik anak-anak sekolah , politisi
ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana berperilaku. Kejadian
ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan politik belum cukup untuk
mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil . Ketika politisi dan birokrat
gagal untuk mendidik masyarakat , sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan
untuk berfungsi secara maksimal .
Seorang Duta Besar
Indonesia untuk Argentina pun, Nurmala
Kartini Sjahrir pernah berkata sudah saatnya konsep dan nilai-nilai toleransi
diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan untuk mewujudkan perdamaian, karena
Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah terorisme, perang dan kebencian.
Beliau pun mengatakan bahwa pendidikan harus mengedepankan pemahaman akan
pentingnya hidup damai dalam keberagaman budaya. Selain itu, ujarnya, pendidikan haruslah mengarah bukan saja untuk
menciptakan manusia-manusia yang pandai tetapi juga manusia-manusia yang punya
integritas, punya wawasan yang luas dan harus menghargai kemajemukan.
Hal tersebut sangat
berbanding lurus dengan hasil riset studi Aprilliaswati yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan
di sebuah sekolah dasar di Pontianak , kota di mana bentrokan antaretnis telah
terjadi cukup sering. Penelitian tersebut mengajarkan kepada kita bahwa
pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah , tetapi juga
wacana sipil positif . Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan
warga intelektual , sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk
menciptakan warga negara yang beradab . Studi ini membuktikan bahwa sekolah
harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil . Sebagai
siswa SD , anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti
dari argumen mereka tapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan
dengan cara yang sopan. Selain itu , para siswa tampak percaya satu sama lain ,
sehingga kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil .
Dengan kata lain, kita
dapat menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam kelas dapat mendukungan
wacana sipil yang positif di kalangan siswa . Interaksi rekan dalam studi
sosial bukan perilaku mengganggu jika guru mengelola secara efektif . Menjadi
berisik tidak selalu negatif . Ini bisa menjadi bukti interaksi interaktif dan
mencerahkan . Oleh karena itu, disarankan agar mempromosikan dilaksanakannya
interaksi sebaya sebagai salah satu kegiatan rutin kelas . Siswa harus diberi
kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas
kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian , berdebat dengan penuh
rasa hormat dan sikap rela berkorban untuk mempersiapkan mereka saat hidup
sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis .
Statemen diatas pun sangat
didukung oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah
lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka . Dalam konteks sekolah,
itu adalah hubungan dimana mereka saling menghormati rekan, membantu, berbagi,
dan umumnya sopan terhadap satu sama lain . Konsep interaksi dengan rekan
sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin , 2009).
Selain Prof. Chaedar
Al-wasiah dan Nurmala Kartini Sjahrir, Rektor Universitas Udayana Bali, Ketut Suastika
pun ikut berkomentar soal ketidak harmonisan yang belakang ini terjadi di
negara kita ini. Beliau mendorong adanya reformasi kurikulum pendidikan agar
pendidikan benar-benar mengadopsi nilai-nilai toleransi sehingga peserta didik
tidak berfikiran sempit. Kurikulum itu menyangkut profesionalisme.
Profesionalisme itu menyangkut masalah cross-culture, bagaimana tentang
perbedaan itu diajarkan dalam kurikulum. Mudah-mudahan dengan pendidikan macam
itu orang banyak berubah pikiran tidak berperilaku dalam arti sempit.
Dalam pendidikan multikultural
, siswa yang berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda,
seringkali pola pikirnya lebih dominan dibentuk oleh latar belakang mereka.
Program sekolah seharusnya dengan sengaja memfasilitasi interaksi sesama untuk
mengembangkan wacana sipil positif. Indikator wacana sipil termasuk
mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan
pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi
dengan cara yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata
pelajaran sekolah .
Siswa harus dilatih untuk
mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam
dan bergiliran di berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk
menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Pada sekolah dasar,
guru kelas lah yang berfungsi untuk mengawasi siswa hampir sepanjang hari. Saat
mereka tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan
benar , mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari
pendidikan kewarganegaraan.
Setelah menyelesaikan
pendidikan formal mereka, siswa akan memasuki dunia di mana kemampuan untuk
menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya,
ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan pada tingkat
tertentu dapat menyebabkan konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu .
Sementara itu, Presiden
Perhimpunan Lembaga-Lembaga Pendidikan Swasta Dunia, Edgargo De Vincenzi
mengatakan, motto pendidikan untuk perdamaian sudah saatnya dikembangkan dan
dapat dimulai dari sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal tersebut bisa
dikatakan memperlengkap apa yang belum pak Chaedar sampaikan dalam artikelnya. Dapat
kita simpulkan bahwa sekolah bukanlah satu-satunya lembaga yang paling
bertanggugjawab untuk mendidik individu untuk bertoleransi. Keluarga dan
lingkungan masyarakat pun menjadi faktor penunjang dalam sukses tidaknya
pendidikan toleransi.
Keluarga adalah tempat awal untuk setiap orang belajar
toleransi. Namun kenyataannya yang terjadi khususnya pada kaum remaja, mereka
cendeung mengabaikan toleransi itu sendiri, hal ini mungkin disebabkan oleh
faktor dari dalam keluarga itu. Kebanyakan orang tua sekarang sibuk dengan
urusan pekerjaan hingga mereka tidak menyadari bahwa mereka telah mengabaikan
tanggung jawab mereka terhadap anak-anak mereka untuk membimbing dan mengajari,
salah satunya tentang toleransi. akibatnya banyak kaum remaja yang terjerumus
ke jalan yang salah, seperti ikut tawuran dan lain sebagainya.
Untuk itu disinilah
pentingnya perhatian dan komunikasi orang tua dalam mengajarkan toleransi
kepada seorang anak. Karena, ketika seorang anak telah merasa diperhatikan atau
mendapatkan perhatian yang cukup, maka ia akan merasa lebih dekat dengan orang
tuanya. Di situlah kesempatan seorang ayah atau ibu untuk berkomunikasi kepada
anaknya, dan mengajarkan toleransi yang dimulai dari keluarga hingga berkembang
ke masyarakat luas.
Dari semua penjelasan
diatas, penting kiranya untuk memahami bahwa sesungguhnya fitrah manusia dan
inti dari ajaran agama bukanlah pemaksaan kata Voltaire dalam Traite Sur La
Tolerance (Traktat Toleransi), Agama
yang memaksa bukanlah suatu agama, agama seharusnya menyadarkan, bukanlah
memaksa karena agama tak pernah memerintah pemaksaan (Voltaire, 2004:119). Dalam konteks kehidupan
beragama, pelajaran berharga inilah yang kita dapatkan dari
Sumpah Pemuda yang memangkas habis semua perbedaan bukan untuk dihilangkan,
tetapi untuk meneguhkan “tekks bersama”, INDONESIA.
Daftar Pustaka
- id.wikipedia.org/sumpah pemuda
- id.wikipedia.org/bhineka tunggal ika
- alchaedar.blogspot.com/2008/09/bab-12-jendral-dibalik-pembantaian-umat.html?m=1
- Alwasilah, Pokoknya Rekayasa Literasi 2012
- m.kompasiana.com/post/read526266/2/izin-6-sekolah-katolik-mau-dicabut-oh
Spasi setelah titik dan koma masih belum konstan nih Mukhlis. Tapi paper kamu mulai menunjukkan kekuatannya: ide yang kohesif ditambah data dan referensi dari Rubin sounds OK. Namun, isu mengenai pendidikan multilngual-multikultural nampaknya belum banyak digali di sini sehingga 'serangan' kamu ke artikel Pa Chaedar belum bertaji
ReplyDelete