Dalam Maha karya Pak Haidar yang berjudul “classroom discourse to
foster religious harmony” yang mana didalam hasil karyanya itu menampilkan
pendidikan dan konflik toleransi, gagalnya membangun cara pandang pendidikan
disekolah dasar dalam membentuk suatu
sikap toleransi antar umat beragama, kurang adanya perhatian terhadap
pengajaran toleransi, bahwa pentingnya sebuah toleransi telah menyadarkan kita
bahwa toleransi umat beragama sangat indah bila dalam keanekaragaman
budaya,etnis,suku,agama kita tetap bersatu untuk membangun tali persaudaraan
lewat terjalinnya sebuah toleransi.
Memang
sejatinya menjalin toleransi itu sangat begitu susahnya karena toleransi itu
sebuah keterpaksaan dengan gaya menggerutu untuk menghormati perbedaan,
bagaikan dua orang yang sedang berkelahi dan adu mulut itu dipaksa berdamai
tetapi “tidak ikhlas”. Di lain sisi, toleransi adalah kesadaran tertinggi
sebagai jiwa universal yang berperilaku yang natural
saling asah - saling asih - saling asuh, merasa bersaudara dan bersahabat,
senang - susah bersama. Kita harus memenuhi ruang
bathin dengan cinta agar mengasihi yang lainnya, merevolusi mental dan
kesadaran untuk menghilangkan kebencian. Membiarkan orang lain
berbahagia dengan cara mereka sendiri merupakan tingkat toleransi yang paling
tinggi.
Mengapa Toleransi
Dalam Beragama Sangat Penting? Sangat penting sekali karena toleransi
beragama itu untuk
menjaga kesatuan bangsa kita. Tujuan yang lebih luasnya lagi untuk menjaga
perdamaian dunia. Setiap orang akan sangat sensitif terhadap masalah agama.
Oleh karena itu sangat disayangkan sekali kalau banyak nyawa yang akan mati
disebabkan oleh perbedaan pandangan yang sejatinya memang berbeda. Jadikan
perbedaan itu indah adalah pola pkir yang baik untuk mengawali misi penting
menjaga kerukunan antar sesama.
Toleransi yang mana bentuk pendirian,kepercayaan,dan
kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lainnya. Dengan kata lain toleransi
adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti
seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. Dalam
toleransi sebaliknya tercermin sikap yang kuat atau istiqomah untuk memegang
keyakinan atau pendapatnya sendiri. Toleransi dipandang sebagai kata kunci yang
dapat mengurangi simpul kerumitan dalam hidup antar umat beragama.
MENGAPA
di INDONESIA SERING TERJADI KONLIK ANTAR UMAT BERAGAMA?
Indonesia sebagai Negara multikultural, yang memiliki
keanekaragaman baik dalam hal bahasa, suku, ras/etnis dan agama khususnya
memang rawan terjadi konflik. Tuduhan bahwa agama ikut andil dalam memicu
konflik atau bahkan sebagai sumber konflik yang terjadi antar umat beragama
memang sulit dibantah. Di Indonesia sendiri ada 6 agama yang diakui oleh
pemerintah yaitu Islam, Kristen, Konghucu, Budha, Hindu. Agama merupakan
naungan sakral yang melindungi manusia dari situasi kekacauan (chaos). Bagi
para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi
dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat
di dunia dan akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya,
beradab dan manusiawi yang berbeda dari cara-cara hidup hewan atau mahkluk
lainnya. Jadi tidak seharusnya agama menjadi faktor penyebab konflik. Karena
agama sendiri sebagai sistem keyakinan bisa menjadi bagian inti dari
system nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong
atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk
tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya.
Namun pada kenyataannya di Indonesia saat ini masih sering
terjadi konflik antar umat beragama. Masih kurangnya rasa saling pengertian
dan pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain
serta kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi
dalam kehidupan bermasyarakat menjadi sebab timbulnya ketegangan yang akhirnya
memicu terjadinya konflik.
Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan ideologi Negara
yang didalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang mencerminkan karakter dan
kepribadian bangsa. Pancasila sebagai ideologi terbuka senantiasa relevan
dengan perkembangan zaman. Di era globalisasi saat ini nilai-nilai Pancasila
sudah semakin memudar dalam pribadi bangsa Indonesia terutama dalam generasi
muda penerus bangsa. Pancasila seolah-olah hanya sebagai simbol pemersatu kita
saja tanpa memaknai lagi hal-hal yang terkandung di dalamnya. Ironis memang,
Indonesia yang terkenal dengan masyarakat multikultural justru bersikap anarkis
ketika menghadapi konflik antar umat beragama tersebut.
Bahwa di Nusantara ini
kita hidup berlainan agama, adalah warisan sejarah para leluhur kita. Warisan
primordial ini bukan untuk disesali atau dipungkiri, apalagi ditafsirkan
sebagai sirkuit balapan bagi agama-agama untuk beradu ketangkasan. Dalam
tatanan kerukunan nasional, warisan sejarah ini seyogyanya diyakini sebagai
kekayaan individu dan bangsa. Sebagai kekayaan individu berarti bahwa selain
meyakini kebenaran agama sendiri, kita juga meyakini bahwa orang lain pun
meyakini kebenaran agama pilihannya. Kekayaan psikologis religius ini
menumbuhkan tenggang rasa dan hormat sesama pemeluk agama.
Dalam kerangka
berfikir yang demikian inilah muncul berbagi wacana (konsepsi) agama dalam apa
yang dinamakan dialog bebas konflik (lihat antara lain buku yang diterbitkan
oleh pustaka al-hidayah yg berjudul Atas Nama Agama, berisi berbagai artikel
para tokoh intelektual tentang toleransi). Para tokoh ilmuwan dari berbagai
agama rupanya sedang bersusah payah merubah status agama yang diopinikan
sebagai sumber konflik, kemudian dirubah menjadi sumber kerukunan dan persatuan
dengan cara menyingkirkan doktrin kemutlakan kebenaran bagi masing-masing agama
kemudian diganti dengan wawasan kenisbian kebenran untuk mencari titik temu
semua agama, khusunya tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) yang
dinyatakan sebagai agama-agama besar (lihat antara lain “Tiga Agama Satu
Tuhan”, kumpulan naskah beberapa pemikir, editor : George Bush dan Benjamin J.
Hubbard, penerbit mizan).
Semua upaya tersebut tidak lepas dari orbit gerakan zionisme yahudi yang ingin mengkebiri peranan agama Allah di masyarakat manusia dan menawarkan alternatif pengganti yaitu sekularisme yang diterapkan dalam segala bidang kehidupan. Dengan demikian lengkaplah jaringan-jaringan persengkokolan zionisme yang semuanya diatasnamakan “
Semua upaya tersebut tidak lepas dari orbit gerakan zionisme yahudi yang ingin mengkebiri peranan agama Allah di masyarakat manusia dan menawarkan alternatif pengganti yaitu sekularisme yang diterapkan dalam segala bidang kehidupan. Dengan demikian lengkaplah jaringan-jaringan persengkokolan zionisme yang semuanya diatasnamakan “
Untuk itu
sebagai kekuatan negara kita, memang negara kita banyak beraneka ragam budaya
dan agama, tapi tidak boleh kita melarang mereka untuk pindah agama, itu adalah
hak mereka untuk menentukan pilihan, sejatinya perbedaan agama bukan untuk
saling bermusuhan tapi kita harus membuka pikiran dan hati untuk tidak mendikriminasikan
mereka.
Karena
masing-masing agama adalah ahli waris yang sah di Nusantara ini, wajar saja
bila setiap agama menuntut diperlakukan “fair” dalam menjalankan fungsi dan
misi keagamannya, yang sulit adalah bahwa seringkali justru agama sebagai kekayaan
individual yang mendominasi alam pikiran dan emosi kita ketimbang agama sebagai
kekayaan masyarakat dan asset bangsa.
Manusia adalah
makhluk indiviudu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam
rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam
masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang
berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama.
Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada
gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang
berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan
dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling
menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat
dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban
diantara mereka antara yang satu dengan yang lainnya
Manusia adalah
makhluk indiviudu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam
rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam
masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang
berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama.
Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada
gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang
berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan
dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling
menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat
dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban
diantara mereka antara yang satu dengan yang lainnya
Manusia adalah
makhluk indiviudu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam
rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam
masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang
berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama.
Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada
gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang
berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan
dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling
menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat
dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban diantara mereka antara yang satu dengan yang
lainnya.
Bila dilihat
dari wacana diatas, orang yang hebat adalah yang pandai menjaga keseimbangan
antara yang beraneka ragam budaya, ras, bahasa, etnis, inilah yang paling siap
untuk bertenggang rasa dan merasa malu untuk memaksakan keyakinan sendiri pada
pemeluk agama lain.
Toleransi
antarumat beragama atau toleransi antar mazhab umat seagama hingga kini masih
diselimuti persoalan. Klaim kebenaran suatu agama atau suatu mazhab mendorong
penganutnya untuk memaksakan kebenaran itu terhadap kelompok lain. Lebih tragis
lagi ketika penyebaran kebenaran itu disertai aksi kekerasan yang merugikan
korban harta benda dan jiwa. Fenomena kekerasan antar pemeluk agama hampir
terjadi di seluruh belahan dunia.
Seluruh tokoh
dan umat semua agama seharusnya selalu mengajak untuk berkomunikasi,
berinteraksi, berdialog, dan bekerjasama dalam tugas-tugas kemanusiaan yang
lebih kompleks dan menuntut kerja semua manusia, tanpa melihat perbedaan agama
dan keyakinan.Tidak ada lagi hasutan dan tuduhan yang diarahkan antarsesama
makhluk Tuhan yang mencintai kebaikan dan kebenaran. Kita semua harus
menunjukkan keterbukaan pandangan (openness of mind) dan keinginan untuk
belajar (eagerness to learn), dan lebih memperhatikan isu-isu yang tepat. Tidak
sepatutnya kita menunjukkan kesombongan religius, intoleransi, dan kemutlakan dogmatik,
sementara agama-agama itu sendiri mengajarkan kebalikannya.
Kita pun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah
hubungan antar-umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar-iman di tengah
pluralitas agama? Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasanya
pluralitas agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru
fakta berbicara sebaliknya: pluralitas agama seringkali menjadi pemicu konflik
sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan.
Untuk
itu, agenda awal kita adalah bagaimana memecahkan “hambatan teologis” di
kalangan umat beragama dalam menerima puralitas sebagai hukum Tuhan. Problem
kita adalah kenyataan semakin mengerasnya masyarakat ke arah eksklusivisme,
komunalisme, dan bahkan semangat antipluralisme. Padahal, intelektual di
panggung atas sedang ramai-ramainya mengusung wacana toleransi, inklusivisme,
dan bahkan pluralisme. Jadi, terjadi keterputusan wacana secara kontradiktif,
yang jika tidak kita jembatani, akan semakin kencang mengeras terjadinya
“jurang wacana” antara intelektual di atas dengan masyarakatnya di level akar
rumput.
Menurut Pak Haidar banyak konflik antar etnis dan agama
besar yang terjadi di daerah Sambas pada tahun 2008, Ambon pada tahun 2009, Papua
pada tahun 2010 dan didaerah Singkawang pada tahun 2010. Tanpa langkah yang
tepat yang diambil, konflik seperti itu akan terulang kembali, jika tidak ada
tindakan yang tegas. Karena bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi
sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat. Kasus bunuh diri, kemudian berita terhangat pada bulan
lalu terjadi pemboman gereja di Surakarta, ini terjadi karena kurangnya
keharmonisan dan toleransi antar umat beragama. Memang benar tanpa adanya
saling pengertian antara sesame tidak akan terjalin sebuah keharmonisan dan
bersatu saling memahami dan membutuhkan itulah kunci untuk menjalin ukhuwah
persaudaraan antar sesame.
Konflik antar umat beragama di Indonesia sangat potensial
menjadi pemecah bangsa. Untuk itulah di negeri yang majemuk ini, penting
memperbaharui terus-menerus ihwal toleransi beragama. Tujuannya, agar umat
beragama bisa duduk bersanding dengan damai, tanpa curiga. Dengan catatan,
masing-masing umat demi toleransi tidak kehilangan identitas agamanya.
Kekerasan antarumat beragama, telah menjadi semacam
"religiositas baru" yang menghalalkan segala cara (kekerasan demi
kebenaran). Menguatnya iman destruktif yang dijalankan pemeluk agama dan atas
nama agama, menjadi "legitimasi Tuhan", khususnya dalam perkembangan
eksklusivisme agamanya yang meruyak belakangan ini. Kita tidak dapat
memungkiri, ditengah kampanye inklusivisme agama yang jauh dari fobia akan iman
yang berbeda, sebaliknya "lintas iman", eksklusivisme justru menguat
secara tak terkendali.
Dalam negara kita,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di daerah kita terdapat
beberapa jenis agama yang berbeda. Dari satu sisi, perbedaan-perbedaan yang ada
dilihat dan dinilai sebagai kekayaan bangsa dimana para penganut agama yang
berbeda bisa saling menghargai atau menghormati, saling belajar, saling menimba
serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai keagamaan dan keimanan
masing-masing. Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, tetapi dilihat dan
dijadikan sebagai pembanding, pendorong, bahkan penguat dan pemurni apa yang
dimiliki. Kaum beriman dan penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa
hidup bersama dengan rukun dan damai selalu, bisa bersatu, saling menghargai,
saling membantu dan saling mengasihi.
Kenyataan bahwa
unsur-unsur keagamaan dijadikan sebagai pemicu serentak sasaran konflik, baik
pada tingkat lokal dan nasional maupun internasional akhir-akhir ini, tentu
memprihatinkan dan mencemaskan banyak orang, terutama bagi kita bangsa
Indonesia umumnya dan masyarakat Maluku. Persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan,
perdamaian dan ketenteraman serta kebersamaan, persekutuan dan kerjasama akan
terancam, terganggu dan merosot. Timbul kecemasan akan konflik, kekerasan,
perpecahan dan kehancuran yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Cukup banyak orang
cemas akan ancaman terhadap kesatuan dan persatuan bangsa, atau akan terjadinya
disintegrasi bangsa, yang dipicu dengan issu agama.
BAGAIMANA
SOLUSI ATAS KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA yang TERJADI di INDONESIA??
1.Dengan memunculkan dialog agama antar
umat beragama ini dan untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan masalahnya,
maka H.A. Mukti Ali, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama, pada tahun
1971 melontarkan gagasan untuk dilakukannya dialog agama. Dalam dialog kita
tidak hanya saling beradu argumen dan mempertahankan pendapat kita
masing-masing yang dianggap benar. Karena pada dasarnya dialog agama ini adalah suatu percakapan bebas, terus
terang dan bertanggung jawab yang didasari rasa saling pengertian dalam
menanggulangi masalah kehidupan bangsa baik berupa materil maupun spiritual. Umat beragama digunakan sebagai salah satu solusi untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi antara umat Muslim dan umat Protestan
2. Pendidikan Multikultural
Perlu
ditanamkannya pemahaman mengenai pentingnya toleransi antar umat beragama sejak
dini. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Sebagai Negara yang
memiliki keanekaragaman kita harus saling menghormati dan menghargai antar
sesama. Apalagi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman dalam
hal adat-istiadat,
suku,ras/etnis,bahasa
dan agama. Perbedaan yang ada tersebut jangan sampai membuat kita tercerai
berai. Namun sebaliknya perbedaan yang ada tersebut kita anggap sebagai
kekayaan bangsa yang menjadi ciri khas bangsa kita. Perlunya ditanamkannya rasa
nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri generasi penerus bangsa sejak dapat
membuat mereka semakin memahami dan akhirnya dapat saling menghargai setiap
perbedaan yang ada.
3. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama,tidak
memperdebatkan segi-segi perbedaan dalam agama.Pendidikan
yang baik dan berkarakter penting bagi
pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar
dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai
sosial seperti toleransi,kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan
mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul
yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang
mampu mewujudkan kesuksesan.
Pendidikan
merupakan persoalan strategis bagi suatu bangsa. Pendidikan yang berkualitas
bukan hanya penting bagi upaya melahirkan individu dan masyarakat terpelajar
akan tetapi juga menjadi bekal utama sebagai persiapan memasuki kompetisi
global suatu persaingan antar bangsa yang demikian ketat dan berpengaruh
terhadap semua dimensi kehidupan, pendidikan yang berkualitas juga menentukan
kualitas suatu bangsa serta berpengaruh sangat signifikan dalam mendorong
proses transformasi social menuju kehidupan yang maju, modern, dan bermartabat,
karena pendidikan merupakan titik temu dalam perdamaian.
Indah dan tentram rasanya bila sesama
umat beragama itu rukun, senang sekali hidup. Mungkin tidak mudah untuk belajar
toleransi apalagi dalam hal beragama karena agama ialah hal yang sangat luhur
dan tidak bisa diganggu gugat. Tapi perlu disadari pada hakikatnya agama
mengutamakan perdamaian sejati. Dan ada satu hal lagi yang membuat kita buta
akan perbedaan. Agama adalah suatu pilihan bebas tiap individu dan tiap agama
benar adanya kecuali muncul agama yang mengajarkan nilai nilai keburukan. Dengan
adanya kesadaran akan pentingnya toleransi dalam kehidupan beragama,
diharapakan akan terjalin hubungan yang harmonis antar warga Negara yang pada
akhirnya akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat dan percepatan
pembangunan bagi negeri ini.
Indonesia adalah bangsa yang
terdiri dari beragam suku dan agama, dengan adanya sikap toleransi dan sikap
menjaga hak dan kewajiban antar umat beragama, diharapkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan sara tidak muncuk kepermukaan. Dalam kehidupan masyarakat
sikap toleransi ini harus tetap dibina, jangan sampai bangsa Indonesia terpecah
antara satu sama lain. Pemeluk agama mayoritas wajib menghargai ajaran dan
keyakinan pemeluk agama lain, karena dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 dikatakan
bahwa “setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.” Hal ini berarti kita
tidak boleh memaksakan kehendak, terutama dalam hal kepercayaan, kepada
penganut agama lain, termasuk mengejek ajaran dan cara peribadatan mereka.
Karena manfaarnya adalah hidup bermasyarakat akan lebih tentram, persatuan
bangsa Indonesia akan terwujud dan untuk pembangunan negara akan semakin sangat
mudah.
Daftar pustaka :
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik
dan Bahasa Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
http://stpakambon.wordpress.com/membangun-kerukunan-dan-toleransi-antar-umat-beragama-di-maluku/ diunduh pada tanggal 22 Februari
pukul 21.00
http://tommysyatriadi.blogspot.com/2013/08/pentingnya-toleransi-dalam-beragama.html diunduh pada tanggal 22 Februari
pukul 22.20
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik
dan Bahasa Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
jangan salah tulis nama orang! Haidar itu teman sekelas kamu, tapi artikel yang kamu kritisi itu Pa Chaedar lho! saya belum menemukan centrail kamu di sebelah mana nih
ReplyDeletehadir! :-)
ReplyDelete