Kalimat pembuka
yang disuguhkan dalam bentuk power point di Mata Kuliah Writing and Composition
4 adalah “Education is not the filling of pail, but the lighting of a fire”.
(William Butler Yeats). Kalimat tersebut yang jika kita artikan ke dalam bahasa
Indonesia bermakna “Pendidikan itu bukan sedang mengisi ember, tapi melainkan
menyalakan api”. Dalam kalimat inspiratif tersebut kita dianjurkan agar senantiasa datang ke
sekolah atau kampus dengan membawa bekal ilmu yang sudah dipelajari di rumah,
jadi kita tahu untuk apa tujuan kita datang ke sekolah, bukan hanya sekedar
datang tanpa tujuan dan hanya mengandalkan ilmu yang guru berikan.
Kemudian
kali ini masih gencar seputar literasi, yang mana ini merupakan pertemuan
ketiga. Literasi nampaknya tidak lagi menjadi suatu hal yang asing di telinga
kita. Seolah-olah ini adalah suatu pembiasaan. Semua yang kita lakukan pasti
berhubungan dengan literasi. Seiring dengan zamannya, literasi seakan memliki perubahan
makna dan perluasan makna. Literasi bukan lagi sekedar membaca dan menulis.
Literacy is something we do, menurut Ken Hyland, (2006) on literacy.
Literasi
adalah suatu hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, karena literasi
berkaitan dengan sosial, politik, pendidikan, ekonomi, dan psikologi. Dari
semua aspek tersebut maka akan menghasilkan suatu peradaban literasi, karena
dalam aspek-aspek tersebut ujung-ujungnya akan menuju kepada kebudayaan kita,
yaitu peradaban. Jadi coba kita bayangkan seandainya tidak ada literasi, pasti
tidak akan ada sebuah peradaban.
Berliterasi
itu sangatlah menyenangkan, karena akan nampak pada prakteknya yaitu dalam hal
keamanan (security), kesejahteraan (safety), kenyamanan (comfort), dan lain
sebagainya. Maka masyarakat Indonesia khususnya dituntut untuk dapat
mempertahankan keliteratannya dan mampu membudayakan literasi.
Memang
di Indonesia, salah satu tantangan terbesar dalam memberdayakan bangsa ini
adalah meninggalkan tradisi lisan untuk memasuki tradisi baca tulis (Suroso,
2007 : 11). Padahal era teknologi telah menciptakan ruang yang luas terhadap
tumbuh kembangnya media baca tulis. Data dari Association for the Education
Achievement (IAEA) misalnya, mencatat bahwa pada tahun 1992 Finlandia dan
Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Masih
dalam membaca, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia atau
8 peringkat terakhir. (Kompasiana.com, 16/03/2012).
Pada
masa Socrates misalnya, para siswa di Yunani (kota para lahirnya filsuf),
diperkenalkan dengan budaya membaca, bukan budaya mendengar, sehingga
berkembanglah beragam ilmu pengetahuan disana. Ini membuktikan bahwa budaya
literasi bagi segenap elemen bangsa merupakan faktor kemajuan yang paling
signifikan. Menurut Michael Barber, pada abad ke-21, standar kelas dunia akan
menuntut setiap orang berliterasi tinggi, ahli dalam bidang matematika,
informasinya baik, mampu belajar secara terus-menerus, percaya diri, dan mampu
memainkan peran di dalam negaranya.
Sedikit
mengulas mengenai tulisan Prof. A. Chaedar Alwasilah, dalam sebuah buku
karangannya yang berjudul Pokoknya Rekayasa Literasi. Menurut beliau literasi
adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial politik. Namun
karena adanya definisi baru, literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan
“zaman edan”, sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa
dihindari, dan juga dengan adanya perubahan-perubahan pada kurikulum
pendidikan.
Beliau
juga mengatakan bahwa rujukan literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan
linguistik relatif konstan. Bahkan studi literasi pun terkadang tumpang tindih
(over lapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) yang dimensinya
begitu luas. Untuk itu dapat dikata bahwa pendidikan yang berkualitas tinggi
PASTI menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula, dan juga sebaliknya.
Maka dalam hal ini kita harus meningkatkan mutu pendidikan kita agar lebih
berkualitas lagi. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, kita harus menguasai
reading, writing, arithmatic, and reasoning, karena semua itu merupakan seatu
modal bagi kehidupan kita.
Ujung
tombak pendidikan adalah GURU, dengan fitur komitmen profesional, komitmen
etis, strategi analitis, dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi,
dan keterampilan literasi serta numerasi (Cole and Chan 1994 dikutip dari
Alwasilah 2012). Maka dalam hal ini diharapkan adanya guru yang profesional
dalam memantau siswanya untuk menguasai keempat elemen tersebut, yaitu reading,
writing, arithmatic, and reasoning. Dikatakan pula bahwa orang yang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi, namun masyarakat yang
tidak literasi tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat
media massa.
Setelah
berbagai macam definisi mengenai literasi dipaparkan, lalu muncul sebuah kata
Rekayasa Literasi. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan rekayasa literasi itu?
Dan apa yang harus direkayasa? Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja
dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan
bahasa secara optimal, karena penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke
pendidikan dan pembudayaan. Empat dimensi rekayasa literasi yaitu linguistik,
kognitif, sosiokultural, dan perkembangan. Rekayasa tersebut sama halnya dengan
merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut. Lalu
mengenai apa yang harus direkayasa? Jawabannya yaitu sebuah strategi membacanya
atau strategi dalam mendekati teksnya.
Contohnya,
ketika kita disuguhkan sebuah teks, maka yang harus kita lakukan adalah
membaca, merespon, menulis, mengomentari, merevisi, dan mempublikasikannya ke
media massa. Semua itu tergantung pada strategi kita bagaimana merekayasa teks
tersebut, karena dikatakan bahwa orang yang literat tidak hanya sekedar mampu berbaca
tulis. Kemudian dalam pengajaran bahasa pun kita diharuskan mengajarkan
keterampilan berfikir kritis, sedangkan literasi ini berhubungan dengan bahasa,
dan dikatakan bahwa jika bahasa semakin banyak atau semakin sering digunakan,
maka tingkat vitalitasnya juga semakin tinggi (vitalitas bahasa).
Jadi
dari semua penjabaran di atas, kit dapat menarik kesimpulan bahwa di era yang
modern ini dengan ditambah arus teknologi yang semakin maju dan canggih, maka
mengharuskan kita untuk menjadi bangsa yang berliterat. Kita harus memberikan
sosialisasi terhadap bangsa kita akan pentingnya literasi. Tidak ada kata
terlambat untuk memperbaiki dan mulailah dari diri sendiri sebagai pencetak
peradaban.
0 comments:
Post a Comment