Membaca salah satu bab
pada buku yang dikarang Prof. Chaedar Alwashilah mengatakan bahwa ada beberapa
syarat yang menjadikan negeri kita ini mejadi Negeri yang literat. Sebenarnya
bab ini tidak menjelaskan tentang tingkat literasi yang rendah di Indonesia ini.
Akan tetapi, lebih menjelaskan apa itu sebenarnya literasi.
Di Indonesia ini, lebih
dikenal dengan Educated (mendidik). Makannya tidak ada dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) bahkan dalam kata serapan pun tidak ada. Hal ini
menyebabkan ketidakadaan budaya literasi di negeri kita ini. Literasi juga
diidentikkan dengan pendidikan dasar yang hanya dituntut untuk hanya bisa
baca-tulis. Akan tetapi, terdapat beberapa ungkapan yang menyatakan bahwa
literasi sangat berkaitan dengan persoalan yang tidak hanya pendidikan, tetapi
juga budaya, agama, sosial, dan bahkan politik.
Seperti yang diketahui,
ungkapan literasi tidak hanya seperti yang dijelaskan diatas. Akan tetapi, pada
zaman sekarang ada beberapa ungkapan literasi yang muncul, seperti Literasi Komputer,
Literasi Matematika, Literasi Virtual, Literasi IPA dan lain sebagainya. Untuk
itu, Luke seorang ahli literasi menawarkan model literasi, yaitu:
1.
Memahami kode dalam teks.
2. Terlibat
dalam memaknai teks.
3. Menggunakan
teks secara fungsional.
4.
Melakukan analisi dan mentransformasi
teks secara kritis.
Nah, keempat model ini bisa disimpulkan menjadi: memahami, melibati,
menggunaka, menganalisis, dan mentransformasi teks.
Literasi memang identik
dengan kegiatan baca-tulis. Tetapi di zaman sekarang mestinya tidak hanya
mengandalkan membaca dan menulis. Perlu dikembangkan literasi yang lebih modern
lagi. Seperti literasi yang dalam bentuk visual, cetak, dan digital. Yang
terjadi di Indonesia ini, media-media tersebut tidak dimanfaatkan untuk
kegiatan literasi, seperti mencetak buku, menulis artikel di ranah maya,
memberi pendidikan memalui online dan lain sebagainya. Masyarakat kita lebih
suka menulis status di media-media sosial yang tidak jelas maksudnya, lebih
juga suka membaca status yang tidak jelas tersebut daripada membaca buku dari
media online yang bahkan bisa diakses secara gratis. Orang yang banyak membaca
saja belum tentu bisa menulis apalagi yang tidak membaca sama sekali.
Sebenarnya kita lebih
diuntungkan dengan sekian banyaknya bahasa di negeri kita tercinta ini. Tidak
seperti di negara lain yang hanya satu bahasa baik di daerah maupun di kota
yakni Bahasa Inggris. Masyarakat negeri kita ini seharusnya bisa menjadi
masyarakat yang Multiliterat. Artinya, tidak hanya memahami literasi Bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi dan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional,
tetapi juga memahami literasi dan budaya di setiap daerah. Maka masyarakat kita
bisa benar-benar disebut dengan masyarakat yang multiliterat.
Masyarakat literat
mestinya mengenal Sastra, Sejarah, dan juga Humaniora. Literasi juga tidak
hanya mengenai pendidikan, akan tetapi mengenalkan kita pada budaya yang
sebenarnya sudah dilakukan dari zaman dahulu kala. Betapa banyaknya keragaman
literasi pada zaman Kerajaan Hindu-Budha yang berbentuk kita yang dikarang oleh
ahli sastra pada zaman tersebut. Lalu kenapa sekarang tidak? Jawabannya adalah
karena selama ini bentuk-bentuk pengajaran bahasa tidak mengajarka literasi.
Untuk itu, seperti yang
dikutip dari buku karangan Prof. Chaedar Alwashilah bahwa pengajaran bahasa
yang berdasarkan literasi seharusnya mengikuti 7 prinsip di bawah ini:
1. Literasi
adalah kecakapan hidup (Life Skills) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat.
2. Literasi
mencakup kemampuan reseftif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun lisan.
3. Literasi
adalah kemampuan memacahkan masalah.
4. Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5. Literasi
adalah kegiatan refleksi.
6. Literasi
adalah hasil kolaborasi.
7. Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Dari ketujuh prinsip literasi tersebut, bisa disimpulkan bahwa literasi
tidak melulu pendidikan baca-tulis. Beberapa aspek seperti sosial, budaya,
agama, bahkan politik bisa dipraktekkan dalam kegiatan berliterasi.
Indonesia seharusnya
bisa melakukan semuanya. Tidak perlu melulu literasi bahasa asing yang
dijelaskan. Akan tetapi, bahasa negeri ini juga perlu diajarkan dalam literasi.
Sebagai contoh, pada masa rezim Presiden Soeharto, berbagai teks seperti papan
iklan, surat lamaran, editorial koran, nama gedung, dan lain sebagainya
dilarang menggunakan bahasa asing. Artinya, pada saat itu Presiden Soeharto
sedang mencoba mengembangkan literasi di negeri ini. Mungkin perkembangan
literasi bahasa daerah ini masih membekas pada Mulok (Muatan Lokal) yang kini
masih diajarkan di sekolah dasar di negeri ini. Namun seiring perkembangan
zaman, Mulok ini sedikit demi sedikit terkikis oleh kurikulum. Kurikulum 2013
yang saat ini diterapkan memang bagus, menghilangkan bahasa asing seperti
Bahasa Inggris untuk sekolah dasar. Dampaknya adalah bahasa daerah kita yang
mestinya dilestarikan akan terkikis bahkan hilang karena muatan lokal
diperbaharui habis untuk Bahasa Inggris. Lalu di mana literasi bahasa daerah
kita?
Untuk itu, perlu pembenahan
diantaranya pengembangan bahasa ibu dari mulai sejak dini diajarkan pada
anak-anak. Supaya nantinya tidak merasa kehilangan ketika bahasa daerah
dihilangkan. Tidak perlu-lah sebenarnya bekerja keras membenahi literasi bahasa
asing. Bahasa sendiri pun belum dibenahi malah diharuskan membenahi bahasa
asing. Seperti yang dilaporkan bahwa Indonesia masih lemah dalam berliterasi
bahasa asing, dalam hal ini adalah Bahasa Inggris. Sebagai contoh, Indonesia
hanya mampu menerbitkan 6000 buku setiap tahunnya. Fakta ini masih kalah jauh
dibandingkan Malaysia yang menerbitkan 8500 buku setiap tahunnya.Ini karena
Indonesia melupakan literasi bahasa daerah sendiri dan lebih mengutamakan
bahasa asing karena lebih meng-internasional.
Di beberapa Universitas
di Amerika ada salah satu program studynya untuk Bahasa Jawa. Nah, jika Amerika
saja bisa mengembangkan Bahasa Jawa yang notabene adalah Bahasa Asing, maka
kenapa di Indonesia yang menganggap bahwa Bahasa Jawa adalah salah satu
daerahnya tidak dikembangkan? Ini sangat berbanding terbalik. Indonesia yang
memilliki ratusan jenis bahasa daerah tidak dikembanngkan dalam berliterasi.
Ini karena masyarakat Indonesia menganggap bahwa bahasa daerah adalah bahasa
sampingan. Bahasa daerah hanya digunakan ketika pulang kampung, bahasa daerah
hanya digunakan ketika berbincang dengan teman sepermainan. Bukan untuk menulis
buku, untuk membuat iklan, melaporkan suatu kejadian di televisi dan
sebagainya.
Literasi di negara lain sudah sangat
maju. Sama seperti predikat negaranya. Di Indonesia sendiri literasi masih
berkembang, bahkan bisa dibilang berkembang apalagi dibilang maju. Lalu sampai
kapan Indonesia menyandang predikat berkembang ? Dalam literasi saja belum
apalagi dalam hal teknologi. Padahal teknologi, sains, politik dan sebagainya
adalah efek positif yang ditularkan melalui kegiatan berliterasi.
Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, bahwa lliterasi Indonesia sudah mulai berkembang pada era orde lama
dan orde baru. Bukti perkembangan literasi dalam hal teknologi seperti pada era
rezim Soeharto Indonesia bisa membuat mobil kebanggan yaitu “Timor”, membuat
pesawat sendiri yang dirancang Mantan Presiden Negeri ini, Habibie. Yang
dinamai “N250”. Ini membuktikan bahwa pada zaman itu literasi di Indonesia
sudah berkembang pesat. Lalu kenapa sekarang tidak? Jawabannya adalah karena
literasi tidak dikembangkan lagi. Akibatnya, aspek – aspek lain pun ikut
merosot seperti dalam hal teknologi, olahraga, politik, pendidikan dan
sebagainya.
Yang harus dirubah adalah
berliterasiya dan cara mengajarkan literasinya. Seperti yang diakatakan Prof.
Chaedar dalam bukunya bahwa mengajarkan literasi pada intinya menjadikan
manusia yang secara fungsional mampu berbaca – tulis, terdidik, cerdas dan
menunjukkan apreasi terhadap sastra. Untuk itu Prof. Chaedar menjelaskan
beberapa paradigma pembelajaran literasi. Sebagai berikut :
Ø Decoding.
Belajar Bahasa dimulai dengan menguasai bagian – bagian
bahasa. Seperti dengan memaknai kode bahasa.
Ø Keterampilan
(Skills)
Pada paradigma ini, fokus pembelajaran terletak pada
penguasaan sistem Morfemik Bahasa. Seperti cara memaknai bentuk – bentuk bahasa
seperti morfem dan kosa kata. Pada pembelajaran ini diharapkan mampu
berliterasi secara mandiri.
Ø
Bahasa secara utuh (Whole
Language)
Paradigma ini mengajarkan makna bahasa secara utuh. Seperti mengumpulkan data,
membuat hipotesis, menguji hiptesis dan menngubah hipotesis terus menerus. Pada
intinya literasi membuat masyarakat kita terdidik, cerda dan berbudaya.
Literasi juga tidak mesti mengandalkan membaca dan menulis. Melainkan juga
menggunakan bahasa itu secara fasih, efektif dan kritis (Chaedar Alwashilah :
166). Dengan kata lain, berliterasi didalam negeri sama seperti membangun
negeri itu sendiri. Mengangkat citra masyarakatnya sehingga menjadi terdidik, cerdas,
berbudaya dan mampu bersaing di dunia.
0 comments:
Post a Comment