Pendidikan memang tak
lepas dari makna dan definisi. Dalam dunia pendidikan banyak sekali
istilah-istilah yang dipakai dan memerlukan pembahasan mengenai hal definisi
atau pengertiannya.Menurut UU Sisdiknas Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Masalah
sosial seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan radikalisme di Indonesia
termasuk kedalam indikasi penyakit sosial di negeri ini . Contoh kuatnya
radikalisme di Indonesia adalah konflik antar etnis dan agama besar yang
terjadi di daerah sambas, ambon,papua,singkawang, dan Pontianak. Sebenarnya,
menurut Emile Durkheim ada 3 fungsi utama agama yang salah satunya dapat
menjembatani pluralisme tersebut (Macionis, 2006). Fungsi yang pertama adalah
sebagai perekat sosial,
agama berfungsi mempersatukan orang-orang melalui simbolisme, nilai dan norma
bersama. Yang kedua adalah sebagai kontrol sosial, agama berfungsi untuk
mendorong terjadinya komformitas. Dan yang terakhir adalah sebagai pemberi
makna dan tujuan. Maksudnya adalah keyakinan agama menawarkan rasa aman dan
nyaman bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Dari ketiga fungsi
utama diatas, fungsi agama sebagai kontrol sosial yang paling berperan dalam
menyikapi perbedaan antara agama satu dengan agama lainnya.
penyebab
terjadinya konflik antar agama di Indonesia sebenarnya sangat kompleks dan
tidak bisa dicari dengan jelas apa yang menyebabkannya. Tetapi salah satu
penyebabnya adalah transisi dari kekuasaan Orde Baru ke kekuasaan reformasi.
Penanganan konflik pada masa Orde Baru yang koersif dengan cara pengerahan
kekuatan militer secara besar-besaran menekan jumlah adanya konflik, terutama
konflik antar agama di Indonesia. Pada masa reformasi keadaan mulai berubah, penanganan
konflik yang lembek dan pemerintah yang kurang berani mengambil kebijakan
membuat konflik antar agama menjadi tumbuh subur. Contohnya saja konflik Poso
pada tahun 1998 dan juga konflik Ambon pada tahun 1999 yang sarat dengan nuansa
pertentangan Islam dan Kristen.
Salah
satu cara yang bisa dilakukan untuk menangani konflik antar agama adalah
mencari faktor penyebabnya dan berusaha mengatasinya. Sejalan dengan pendapat
Azyumardi Azra, ada lima faktor yang menjadi sumber konflik antara kelompok agama
di Indonesia. Sumber konflik yang pertama adalah adanya penerbitan
tulisan-tulisan yang dianggap mencemarkan agama. Kedua, bila ada usaha
penyebaran agama yang dilakukan secara agresif. Ketiga, bila pemeluk agam
beribadah di tempat yang merupakan tempat ibadah. Keempat, bila ada penetapan
dan penerapan peraturan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi
penyebaran agama. Dan yang terakhir, adanya kecurigaan timbal balik berkaitan
dengan posisi dan peranan agama dalam negara (Azra, 2001). Dengan mengetahui faktor
penyebabnya, semoga di masa yang akan datang tidak akan terjadi konflik antar
agama lagi.
Menurut Thedore Brameld Robert
W. richey menyebutkan bahwa; The term “Education” refers to the broad funcition
of preserving and improving the life of the group through bringing new members
into its shared concem. Education is thus a far broader process than that which
occurs in schools. It is an essential social activity by which communities
continue to exist. In Communities this function is specialzed and
institutionalized in formal education, but there is always the education, out
side the school with which the formal process is related. (Istilah
pendidikan mengandung fungsi yang sangat luas dari pemelihara dan perbaikan kehidupan
suatu masyarakat, terutama membawa warga masyarakat yang baru mengenal tanggung
jawab bersama dalam lingkup masyarakat. Jadi pendidikan merupakan suatu proses yang
lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja. Pendidikan
adalah suatu kegiata sosial yang memungkinkan masyarakat tetap tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat yang kompleks, fungsi pendidikan ini mengalami
spesialisasi dan melembaga dengan pendidikan formal yang selalu tetap
berhubungan dengan proses pendidikan informal di luar sekolah).
Salah
satu visi dan misi dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan
keterampilan dasar dalam mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu,
anggota masyarakat maupun warga negara. Masalah sosial di Indonesia yang sedang
marak terjadi. Mengapa demikian? karena kurangnya kepekaan dan rasa hormat
terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Maka dari itu bagi para
pendidik ini adalah tantangan yang besar
dalam pembentukan karakter generasi muda sejak dini. Pendidikan karakter pada
intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,kompetitif, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Ada
sebuah kata bijak mengatakan “ ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu
adalah lumpuh”. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif
tanpa pendidikan karakter adalah buta. Alhasil, karena buta tidak
bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan
menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya,
pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh
sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu,
penting artinya untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter
anak didik.
Pendidikan
karakter pula sangat di anjurkan di Indonesia. Pendidikan
karakter akan menjadi dasar dalam pembentukan
karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial
seperti toleransi, kebersamaan, kegotong royongan, saling membantu dan
mengormati dan sebagainya.Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi berkompeten yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif
saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata
kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Thomas Lickona
mengatakan “ seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang
bertanggung jawab dapat diciptakan”. Karenanya, mempersiapkan anak adalah
sebuah strategi investasi manusia yang sangat tepat. Sebuah ungkapan terkenal
mengungkapkan “Anak-anak berjumlah hanya sekitar 25% dari total populasi, tapi
menentukan 100% dari masa depan”. Sudah terbukti bahwa periode yang paling
efektif untuk membentuk karakter anak adalah sebelum usia 10 tahun. Diharapkan
pembentukan karakter pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan
lama terhadap pembentukan moral anak.
Berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa anak anak usia sekolah lebih memilih
berinteraksi dengan teman sebayanya. Itu artinya konsep interaksi dengan teman
sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan social (Rubin,2009). Menurut Hurlock dalam J.W Santrock
(2006), peer group acceptance didefinisikan sebagai keberadaan seseorang yang
dinilai menyenangkan dan memberikan positive reinforcement bagi sekelompok
teman sebaya atau peer group. Sementara itu, Sondra H.Birch dan Gary W. Ladd
dalam Jaana Juvonen dan Kathryn R.Wentzel (1996) menyatakan bahwa penerimaan kelompok teman sebaya adalah suatu
indeks seberapa baik anak – anak masuk ke dalam jaringan sosial kelas. Selain
itu William M. Bukowski, Andrew F. Newcomb, Willard W. Hartup (1996) SimakBaca
secara fonetik menyatakan bahwa penerimaan kelompok teman sebaya mengacu pada
sejauh mana seorang anak disukai atau diterima oleh anggota lain dari kelompok
sebaya)”.Eric S.Bush, Garry W.Ladd and Sarah L.Herald (2006) menyatakan
enerimaan kelompok teman sebaya / penolakan didefinisikan sebagai sejauh mana
individu yang disukai / tidak disukai oleh rekan – rekan kelas dan diindeks
dengan rata – rata peringkat sosiometrik yang diperoleh dari teman sekelas
selama tahun pertama anak disekolah dasar (TK).
Penelitian yang dilakukan Buhrmester
(Santrock, 2009 : 394) menunjukkan
bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara
drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja dengan
orang tua menurun
secara drastis. Hasil
penelitian Buhrmester dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005
: 240) bahwa pada masa remaja komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua
berkurang, dan beralih kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan (attachment). Penelitian Crosnoe dkk. (2008); Rubin,
Fredstrom, dan Bowker (2008) dalam Santrock, (2009:394) menemukan bahwa
karakteristik teman sebaya memiliki pengaruh yang penting terhadap perkembangan
remaja. Hal ini antara lain terlihat pada rata-rata prestasi belajar yang
tinggi secara konsisten telah menjadi prediktor bagi prestasi sekolah yang
positif. Sebaliknya, prestasi belajar yang rendah telah menjadi prediktor bagi
perilaku-perilaku negatif seperti penyalahgunaan obat terlarang. Penelitian
lain menemukan remaja yang memiliki hubungan dekat dan berinteraksi dengan
pemuda yang lebih tua akan terdorong untuk terlibat dalam kenakalan, termasuk
juga melakukan hubungan seksual secara
dini (Billy, Rodgers,
& Udry, dalam
Santrock, 2009 : 394). Sementara
itu, remaja alkoholik tidak memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayanya
dan memiliki kesulitan dalam membangun kepercayaan pada orang lain (Muro &
Kottman, 1995 : 229). Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan
membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga membutuhkan
perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi masalah, butuh orang yang
mau mendengarkan dengan penuh empati, serius,
dan memberikan kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti rasa
marah, takut, cemas, dan keraguan (Cowie and Wallace, 2000 : 5).
Teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat
kematangan atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari
kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi
tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya individu menerima
umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka. Remaja menilai apa-apa
yang mereka lakukan,
apakah dia lebih
baik dari pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang remaja lain kerjakan. Hal demikian akan sulit
dilakukan dalam keluarga karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau
lebih muda (bukan sebaya) (Santrock, 2004 : 287). Hubungan yang baik di antara teman sebaya
akan sangat membantu perkembangan aspek sosial anak secara normal. Anak pendiam yang ditolak oleh teman sebayanya,
dan merasa kesepian berisiko menderita depresi. Anak-anak yang agresif terhadap
teman sebaya berisiko pada berkembangnya sejumlah masalah seperti kenakalan dan
drop out dari sekolah. Gladding (1995
: 113-114) mengungkapkan bahwa dalam interaksi teman sebaya memungkinkan
terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi. Proses-proses
tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas pada siswa.
Memperhatikan
pentingnya peran teman sebaya, pengembangan lingkungan teman sebaya yang
positif merupakan cara efektif yang dapat ditempuh untuk mendukung perkembangan remaja. Dalam
kaitannya dengan keuntungan remaja memiliki kelompok teman sebaya yang positif,
Laursen (2005 : 138) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang positif
memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan katarsis,
serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan pandangan-pandangan
baru. Lebih lanjut Laursen menegaskan bahwa kelompok teman sebaya yang
positif memberikan kesempatan kepada
remaja untuk membantu orang lain, dan mendorong remaja untuk mengembangkan
jaringan kerja untuk saling memberikan dorongan positif. Interaksi di
antara teman sebaya dapat digunakan untuk membentuk makna dan persepsi serta
solusi-solusi baru. Budaya teman sebaya yang positif memberikan kesempatan
kepada remaja untuk menguji keefektivan komunikasi, tingkah laku, persepsi, dan
nilai-nilai yang mereka miliki. Budaya teman sebaya yang positif sangat
membantu remaja untuk memahami bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi
berbagai tantangan. Budaya teman sebaya yang positif dapat digunakan untuk
membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja (Laursen, 2005 : 138).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun budaya teman sebaya yang
positif adalah dengan mengembangkan konseling teman sebaya dalam komunitas
remaja.
Menurut
Hasibuan (1998), pola pembelajaran yang efektif adalah pola pembelajaran yang
di dalamnya terjadi interaksi dua arah antara guru dan siswa, artinya guru
tidak harus selalu menjadi pihak yang lebih dominan. Pada pola pembelajaran ini
guru tidak boleh hanya berperan sebagai pemberi informasi, tetapi juga bertugas
dan bertanggung jawab sebagai pelaksana yang yang harus menciptakan situasi
memimpin, merangsang, dan menggerakkan secara aktif. Selain itu, guru harus
dapat menimbulkan keberanian siswa baik untuk mengeluarkan idenya maupun hanya
sekadar untuk bertanya. Hal itu disebabkan karena mengajar bukannya hanya suatu
aktivitas yang sekadar menyampaikan informasi kepada siswa, melainkan suatu
proses yang menuntut perubahan peran seorang guru dari informator menjadi
pengelola belajar yang bertujuan untuk membelajarkan siswa agar terlibat secara
aktif sehingga terjadi perubahan-perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Lev Vygotsky adalah tokoh pendidikan
yang melihat bagaimana pembelajaran itu terjadi dipandang dari sisi sosial.
Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi
sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan
Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad
yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki
akhir abad ke-20.
Sezaman
dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an.
Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak
saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah
pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif
terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda,
tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi
dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
Penerapan
teori belajar Vygotsky dalam interaksi belajar mengajar mungkin dapat
dijabarkan sebagai berikut : Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa
disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan
kognitif anak, kerja kelompok secara kooperatif tampaknya mempercepat
perkembangan anak, Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi
pengajaran pribadi oleh teman sebaya (peer tutoring), yaitu seorang anak
mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran. Satu anak bisa
lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru
saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan
yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
Peer
Tutoring atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah tutor sebaya,Menurut PAra ahli yang meneliti masalah ini diantaranya, adalah
Edward L. Dejnozken dan David E. Kopel dalam American Education Encyclopedia menyebutkan
pengertian tutor sebaya merupakan sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya. Hal utama adalah pengajar dan pembelajar dari usia yang sama. Hal kedua
adalah pengajar yang lebih tua usianya dari pembelajar. Selanjutnya yang lain
kadang dimunculkan pertukaran usia pengajar.
Pembelajaran
dengan tutor sebaya dilakukan atas dasar bahwa ada sekelompok siswa yang lebih
mudah bertanya, lebih terbuka dengan teman sendiri dibandingkan dengan gurunya.
Dengan adanya tutor sebaya siswa yang kurang aktif menjadi aktf karena tidak
malu lagi untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat secara bebas, sebagaimana
diungkapkan oleh M. Saleh Muntasir bahwa dengan pergaulan antara para
tutor dengan siswa-siswanya mereka dapat mewujudkan apa yang terpendam dalam
hatinya, dan khayalannya. Pembelajaran dengan tutor sebaya tampaknya memudahkan
siswa untuk mengeluarkan pendapat atau pikiran dan kesulitan kepada
temannya sendiri ketimbang kepada guru, siswa lebih sungkan dan malu. Hal
tersebut dimungkinkan karena diantara siswa telah terbentuk bahasa mereka
sendiri, tingkah laku, dan juga pertanyaan perasaaan yang dapat diterima
oleh semua siswa.
Jadi,
pembelajaran dengan tutor sebaya akan membantu siswa yang kurang mampu
atau kurang cepat menerima pelajaran dari gurunya. Kegiatan tutor sebaya bagi
siswa merupakan kegiatan yang kaya akan pengalaman yang sebenarnya merupakan
kebutuhan siswa itu sendiri. Tutor maupun yang ditutori sama-sama diuntungkan,
bagi tutor akan mendapat pengalaman sedang yang ditutori akan lebih kreatif
dalam menerima pelajaran.
Keunggulan pembelajaran dengan tutor sebaya dapat memperkecil kesenjangan yang terjadi
antara siswa yang prestasinya rendah dengan siswa yang prestasinya lebih tinggi
dalam suatu kelas. Kemudian siswa termotivasi dalam menyelesaikan tugas dan
motivasi itu diharapkan tumbuh dari terciptanya hubungan yang saling menentukan
dan membutuhkan antara guru, siswa yang prestasinya tergolong tinggi dan siswa
yang prestasinya rendah. Hal ini akan berimbas kepada seorang guru dituntut untuk mempersiapkan,
memaksimalkan kemampuannya tanpa harus menjadi informatory (pemberi informasi)
saja tetapi guru juga berfungsi sebagai mediator, komunikator, dan fasilitator
sehingga guru mampu memberikan tugas yang sesuai dengan tingkat kematangan
siswa yang pada akhirnya dapat memotivasi siswa dalam peningkatan prestasi
belajar.
Jadi kesimpulannya
adalah konflik
antara agama satu dengan agama lain tidak jarang membawa kerugian materil
maupun nonmateril, karena agama merupakan hal yang sangat tabu, apalagi
dengan Indonesia sebagai yang sangat majemuk menjadi sebuah sorotan yang
menakutkan bagi rakyat dan penguasa karena dari konflik yang kecil bisa berubah
yang sangat besar. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menangani konflik
antar agama adalah mencari penyebabnya dan berusaha memperbaikinya dan
disinilah para guru di tuntut untuk membentuk karakter anak didiknya sejak dini
dengan cara berinteraksi bersama dalam lingkup agama yang berbeda. Pembelajaran dengan tutor sebaya
yaitu sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya. Pembelajaran dengan tutor
sebaya dilakukan atas dasar bahwa ada sekelompok siswa yang lebih mudah bertanya,
lebih terbuka dengan teman sendiri dibandingkan dengan gurunya. Guru SD harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna seperti
interaksi siswa antaretnis adri kelompok kelompok sosial yang berbeda.
ko referensi ga ditulis? banyak kutipan tapi masih kurang interpretasi
ReplyDelete