Sebuah judul dalam buku yang ditulis oleh Prof. Chaedar
alwasilah berupa “Rekayasa Literasi”, kata rekayasa inilah yang membuat saya
penasaran. Kenapa mesti menggunakan kata rekayasa. Mengapa tidak menggunakan
kata penipuan ataupun yang lainnya. Rekayasa dalam kamus kecil Bahasa Indonesia
mempunyai arti menerapkan kaidah-kaidah ilmu dalam sesuatu pelaksanaan
(misalnya tentang ekonomi ataupun cuaca). Sedangkan dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, rekayasa tidak jauh pengertiannya dengan kamus kecil Bahasa
Indonesia, namun tambahannya hanyalah untuk sebuah rancangan.
Sedangkan kata literasi dalam KBBI sudah berubah menjadi
literator yang mempunyai makna penulis. Berbeda pula dalam pengertian lama dari
oxport yang mempunyai makna kemampuan membaca dan menulis. Memang tidak
diragukan lagi bahwasanya antara menulis dam membaca adalah suatu hal yang
“lengket” sehingga susah untuk dipisahkan. Suatu paket yang “mesti” ada dalam
seorang literate. Dalam bukunya Prof. Chaedar menulis sebuah pernyataan yang
sangat menurut saya kontroversi. Tulisan tersebut “Pada masa silam membaca dan
menulis dianggap “cukup” sebagai pendidikan dasar (pendidikan umum) untuk
membekali manusia kemampuan menghadapi tantangan zamannya. Kata cukup disitu
saya sangat tidak setuju, karena pada zaman dulu kita memang tidak bisa membaca
alias buta huruf, namun membaca dan menulis tidak cukup saja. Pada zaman
dahulu, masyarakat kita dikagetkan dengan memulainya era transaksi menggunakan
uang, sedangkan masyarakat pada waktu itu masih menggunakan system “barter”.
Jadi mereka pun harus mengerti pula ilmu menghitung seperti matematika. Jadi
membaca dan menulis saja tidak cukup.
Dalam tulisan Prof. Chaedar ada sisi yang membuat saya
langsung setuju. Tulisan tersebut berbunyi keempat peran literasi ini dapat
diringkas ke dalam lima verba: memahami, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi
teks. Itulah hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat
demokratis. Pernyataan ini menunjukkan bahwasanya berawal dari membaca akan
menghasilkan pemahaman. Setelah kita faham akan tulisan tersebut, mulailah kita
menggunakannya serta menganalisis. Lalu
mulailah mentransformasi teks tersebut. Kita sekarang berbeda dengan sewaktu
kejadian silam yang tidak diperbolehkannya masyarakat berbicara ataupun
berkomentar dalam bentuk tulisan kepada pemerintah, jika ada yang berani
berbicara tentang pemerintah maka orang tersebut akan dipenjara. Hal ini
menurut saya sangat miris, karena melalui peraturan yang seperti itu membuat
rakyat kita tidak menjadi manusia yang literasi, bahkan membuat rakyat kita
menjadi bodoh.
Dimensi dalam lierasi pun mempunyai 7:
1.
Dimensi
geografis, yaitu bisa dikatakan berupa regional
2.
Dimensi bidang,
yaitu berkenaan dengan pendidikan. Dikatakan dengan pendidikan yang tinggi dan
berkualitas, maka menghasilkan literasi yang bermutu pula. Sedangkan di Negara
kita ini, bukanlah rahasia lagi, akan tetapi sudah hal yang umum, sebuah mata
pelajaran atau mata kuliah bisa dibeli dengan uang tanpa ada proses lagi.
Inilah yang membuat rakyat kita tidak literasi juga, hanya instan saja yang
dipilih.
3.
Dimensi
keterampilan, yaitu berkenaan dengan literasi itu sendiri. Prof. Chaedar
mengatakan bahwasanya sarjana kita bisa membaca namun tidak bisa menulis.
Pernyataan yang sangat membingungkan saya, karena tidak semua seperti itu.
Banyak lulus PT yang bisa menulis. Entah itu novel ataupun cerpen.
4.
Dimensi fungsi,
yaitu berkenaan dengan dunia memecahkan sesuatu. Orang yang literate dikatakan
dapat memecahkan maslah dengan mudah. Tidak sulit untuk mendapatkan apa yang ia
inginkan. Contohnya uang, jika kita suka menulis cerpen dan dijual maka bisa
menghasilkan uang pula.
5.
Dimensi media,
yaitu dizaman sekarang orang yang literate bukan hanya membaca di kertas
semata. Namun harus bisa pula membaca di bidang digital ataupun visual.
6.
Dimensi jumlah,
yaitu jumlah orang multiliterate sangatlah sedikit, maka dari itu kita harus
mampu menjadi literate.
7.
Dimensi Bahasa,
yaitu jika kita menjadi orang jawa ataupun sunda. Bisa dikatakan kita itu
multiliterate. Karena kita bisa menggunakan 3 bahasa sekaligus, Bahasa
Indonesia, Bahasa daerah dan Bahasa inggris. Multiliterate bukan hanya
tingakatan level yang biasa namun bisa mencerminkan intelek seseorang.
Tantangan zaman
merupakan hal yang sederhana untuk di lalui namun perlu adanya penyeimbang
untuk melampauinya. Tantangan zaman pun mengisyaratkan kita semua untuk mau
mengikuti arus ataupun melawan arus tersebut. Literasi pun memiliki
perkembangannya menurut waktu dan tantangan zamannya. Maka dari itu literasi mempunyai
10 gagasan kuncinya yang menunjukkan perubahan paradigma literasi. Prof.
Chaedar membaginya sebagai berikut:
1. Ketertiban
lembaga-lembaga social, keterlibatannya lembaga social ini antara lain seperti RT,RW,
dan instansi lainnya yang biasa ada dalam masyarakat.
2. Tingkat
kefasihan relative, dalam dunia literasi orang yang literate itu mempunyai
tingkat kefasihan dalam berbicaranya. Seorang literate pun harus mempunyai
TOEFL 550, itu pun batas minimalnya. Sudah dibayangkan bahwasanya kita ini
masih jauh tuk bisa dianggap manusia yang literate,
3. Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan. Orang yang berliterate itu mempunyai tinggat
pengetahuan yang tinggi. Hal ini pun dibuktikan oleh cara dia menulis. Dengan
Bahasa yang tinggi dan Bahasa yang ilmiah. Kita yang sebagai mahasiswa memulai
menulis dari menulis academic.
4. Standar
dunia, tingkat literasi sebuah bangsa pun sekarang mempunyai standar dalam
menentukan bangsa itu bangsa ynag literate atau tidak.
5. Warga
masyarakat demokratis, factor ini sangat menentukan bangsa itu literate atau
tidak. Karena bangsa yang demokratis biasanya banyak yang berpendapat melalui
lisan ataupun melalui tulisan.
6. Keragaman
local. Manusia yang literate pasti memahami hal ini. Karena semua orang yang
literate pasti menginginkan menjadi manusia yang multiliterate.
7. Hubungan
global, semua orang sedang berlomba-lomba untuk menjadi manusia yang literate
di dunia. Literasi tingkat ini harus benar-benar kita kuat. Cara memperkuatnya
antara lain penguasaan ICT dan penguasaan konsep pengetahuan.
8. Kewarganegaraan
yang efektif, warga yang mampu mengubah diri menjadi lebih baik, dapat menggali
potensi dirinya adalah warga yang literate.
9. Bahasa
inggris ragam dunia, sudah jelas bahwasanya kita itu dalam dunia ini mempunyai
banyak ragam Bahasa. Maka dari itu bagaimana caranya agar kita mudah tuk
memahami satu sama lain. Maka timbullah Bahasa kesatuan untuk seluruh dunia di
antaranya adalah Bahasa inggris itu sendiri.
10. Kemampuan
berpikir kritis, sudah barang tentu seorang yang literate itu harus mempunyai
pikiran yang kritis. Tanpa berpikir kritis, kita sulit untuk menjadi manusia
literate.
11. Masyarakat
semiotic. Sebelumnya kita bahas semiotic itu sendiri. Semiotic adalah ilmu
tentang tanda, ikon, tipologi tanda, kode struktur, dan komunikasi.
Maju ke pembahasan
raport merah literasi anak negeri. Sangat miris ketika kita mendengar raport
merah yang ditulis oleh Prof. Chaedar. Sejak 1999 indonesia ikut proyek
penelitian dunia tentang tingkat literasinya. Nama proyek tersebut dinamai
PILRS (Program in International Reading Literacy Study), PISA (Program for
International Student Assessment), dan TIMSS (the Third International
Mathematics and Science Study) untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan
ilmu pengetahuan alam. Tercatat jika kita lihat semuanya, Indonesia selalu
mendapatkan ranking bawah selalu. Kalah oleh singapura yang merupakan Negara
kecil. Skor prestasi membaca Indonesia hanya mampu berada di urutan 5 dari
bawah. Jika kita lihat negara2 yang maju itu kebanyakan tingkat membaca mereka
itu rata-rata 500, dan pendapatan perkapitanya itu tinggi. Coba kita
bayangkan,tingkat membaca kita yang prestasinya tinggi itu hanya 2% dan 55%
dalam kategori yang rendah.
Dari penjelasan diatas
tadi bahwasanya Negara kita ini termasuk ke dalam Negara yang tertinggal dan
akan berada dalam posisi Negara berkembang. Berbeda dengan Negara lain yang
sama-sama statusnya “pernah dijajah”, tapi mereka bisa bangkit dan merubah
diri. Contohnya Negara jepang, mereka jenius-jenius karena tingkat membaca
mereka tinggi. Dan tidak usah jauh-jauh, di Negara kita ini saja, orang yang
jenius-jenius itu adalah orang yang suka membaca dan menulis. Otak mereka sudah
biasa diasah sedemikian rupa hingga menjadi manusia yang jenius.
Bagian terakhir yang
penting dari rekayasa literasi adalah implementasi dari literasi. Rekayasa
literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Untuk
peningkatan literasi siswa dapat dilaksanakan di lembaga pendidikan formal,
keluarga, dan lingkungan masyarakat. Dalam perbaikan rekayasa literasi
senantiasa melibatkan empat dimensi yaitu: 1) linguistic atau focus teks, 2)
kognitif atau focus minda, 3) sosiokultural atau focus kelompok, 4) perkembangan
atau focus pertumbuhan.
Paradigm
pertama, decoding adalah menyatakan bahwa grafofonem
berfungsi sebagai pintu masuk literasi, dan belajar bahasa dimulai dangan
menguasai bagian-bagian bahasa. Paradigm kedua, keterampilan
adalah bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca. Dan
paradigma terakhir, bahasa secara utuh adalah paradigm ini
menolak pembelajaran yang meletakkan focus pada bagian atau serpihan bahasa.
Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap
objek pandang. Perubahan sudut pandang membawa konsekuensi sampai ke metode dan
teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Misalnya, dengan
perubahan orientasi dari hasil ke proses, guru bahasa akan melakukan hal
sebagai berikut: 1) bagi dia isunya bukan berapa banyak tulisan yang dihasilkan
oleh siswa, tapi bagaimana tulisan diproses dari A sampai Z, 2) tidak
menentukan target yang sama bagi semua siswa, karena dalam proses menulis
setiap siswa memiliki hobi dan gaya yang berbeda. Yang penting berekspresi
tulis. Kesalahan ejaan, tata bahasa, ddann kosa kata akan dapat dibenahi sambil
jalan (proses).
Jadi kesimpulan dari semuanya adalah literasi adalah
tingkatan dimana kita bisa membaca dan menulis ditingkat yang lebih tinggi.
Literasi yang tingkatan tinggi antara lain multiliterate. Multiliterate adalah
penguasaan yang lebih dari satu, yaitu penguasaan dari Bahasa. Bahasa daerah,
Bahasa Indonesia, Bahasa inggris. Sungguh orang sangat menginginkannya. BISA!
0 comments:
Post a Comment