Judul
: Ketika Teori Tidak Selalu Sama dengan Realita
Dunia
pendidikan di Indonesia ini sungguh luar biasa penuh dengan lika-liku yang
belum terselesaikan sampai saat ini. Seakan masalah yang di hadapi dalam dunia
pendidikan tidak akan pernah habis dan masih akan membutuhkan waktu yang sangat
lama untuk menyelesaikannya. Seakan percaya kalau “tidak akan ada rumus yang
dapat memecahkannya.”
Indonesia adalah salah satu negara yang mepunyai banyak pulau Pada tahun 2002 berdasarkan hasil kajian Citra Satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 itulah yang menyababkan negara kita mempunyai kebudayaan yang jumlahnya tidak sedikit pula. Tidak hanya pulau, agama yang dianut masyarakatnya juga sangat beragam seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan yang lainnya. Itulah beberapa faktor yang seharusnya menjadi kebanggaan negara Indonesia. Tidak sampai disitu, ada satu faktor dikenal oleh dunia dari Indonesia, yaitu sistem demokrasi yang berjalan dengan baik.
Indonesia adalah salah satu negara yang mepunyai banyak pulau Pada tahun 2002 berdasarkan hasil kajian Citra Satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 itulah yang menyababkan negara kita mempunyai kebudayaan yang jumlahnya tidak sedikit pula. Tidak hanya pulau, agama yang dianut masyarakatnya juga sangat beragam seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan yang lainnya. Itulah beberapa faktor yang seharusnya menjadi kebanggaan negara Indonesia. Tidak sampai disitu, ada satu faktor dikenal oleh dunia dari Indonesia, yaitu sistem demokrasi yang berjalan dengan baik.
On her recent visit to
Indonesia in February, 2009, Secretary of State Hillary Clinton remarked, “If you want to know if Islam,
democracy, modernity and women’s rights can coexist, go to Indonesia.”
_Saulat Pervez_
Dengan
yang sudah kita punyai seharusnya menjadi modal yang besar untuk melaksanakan
sistem pendidikan yang berkelas.
Ternyata
benar ketika harus mengatakan “teori tidak selalu sama dengan realita”, kata
itulah yang selalu menggambarkan negara Indonesia. Mereka bilang negara kita
adalah negara yang sangat kaya karena mempunyai hasil alam yang melimpah,
tetapi masih banyak orang Indonesia yang kelaparan gara-gara tidak mempunyai
cukup uang untuk membeli beras, kata mereka negara kita sangat mempunyai sistem
demokrasi yang terbaik didunia, tetapi untuk menyelesaikan masalah harus dengan
kekerasan, kata mereka negara kita adalah salah satu negara dengan jumlah
penduduk terbesar didunia, tetapi masih belum cukup untuk menjadikan negara
Indonesia menjadi negara maju di dunia, kata mereka, kata mereka, dan kata
mereka.
Apa
yang salah dengan indonesia? Apakah memang itu adalah takdir Mubram (takdir yang tidak bisa dirubah)???
Ataukah masih mungkin itu adalah takdir Muallaq (yang masih mungkin kita rubah)???...
Walaupun begitu, kita tidak bisa membiarkan negara Indonesia terus seperti ini.
“If you want to know the qualities of a nation, just look at the quality
and practices
of its education system”
_Prof.
A. Chaedar Alwasilah_
Pendidikan
adalah hidup dan mati sebuah negara, kalau pendidikan menghasilkan manusia yang
hebat yang akan membawa negara menjadi hebat pula, dan sebaliknya jika
pendidikan tidak menghasilkan manusia yang hebat maka tidak akan membawa negara
menjadi hebat.
Disinilah
pentingnya rekayasa literasi untuk membuat sistem pendidikan yang canggih,
sehingga akan mampu mencetak generasi yang berkualitas. Yang harus direkayasa
bukan hanya gurunya saja tetapi juga murid-muridnya. Jadi seluruh tingkat
pendidikan dari mulai SD, SMP, SMA, sampai dengan di Perguruan Tinggi harus
mempunyai sistem rekayasa pengajaram yang wajib canggih. Karena saya pribadi
berasal dari latar belakang mahasiswi disalah satu Perguan Tinggi Negeri, jadi
saya harus mendapatkan rekayasa pengajaran dari para dosen untuk bekal profesi
yang akan saya jabat nantinya.
Pentingnya
menghasilkan sarjana-sarjana yang berliterasi akan sangat menguntungkan di masa
yang akan datang. Menyandang profesi guru memang sangat tidak mudah untuk
dijalankan, karena kitalah yang akan mendoktrin pikiran siswa/siswi untuk
menghasilkan kualitas pendidikan yang bagus. Guru SD (Sekolah Dasar) merupakan
salah satu profesi yang sangat bergengsi dan mulia. Karena dari
pemikiran-pemikiran merekalah akan dihasilkan calon-calon generasi pembawa
negeri Indonesia menjadi maju.
Salah
satu contoh kongkrit, menjadi guru SD di
Finlandia adalah salah satu profesi yang sangat bergengsi karena pendidikan
disana sangat maju, untuk menjdi guru SD tidak mudah. Bahkan profesi ini lebih
bergengsi daripada profesi Dokter. Di Indonesia, justru profesi dokter sangat
bergengsi karena tidak sembarang orang bisa masuk di Fakultas Kedokteran karena
biaya yang dibutuhkan sangat mahal, sedangkan profesi guru SD, tidak lebih
bergengsi daripada guru SMP, SMA, bahkan Dosen. Guru SD mempunyai kewajiban
tugas yang sangat berat, karena akan menentukan siswa/siswi ketika memasuki
pendidikan yang lebih tinggi. Guru SD di Finlandia
menggunakan filsafat “pendidikan yang menyatakan setiap orang memiliki
sesuatu untuk disumbangkan dan mereka yang mengalami kesulitan di mata
pelajaran tertentu semestinya tidak ditinggalkan. Karena mereka sangat memahami
jika pendidikan sejak SD akan membawa pengaruh untuk masa depannya”. Sedangkan
guru SD di Indonesia kebanyak belum menyadari hal itu, terkadang mereka
beranggapan mengajar di SD sangat mudah untuk dilakukan, karena mereka
menganggap kalau siswanya adalah siswa, bukan calon generasi pembawa kemajuan
bangsa. Dan jika hal ini (menganggap siswa adalah sebagai siswa) sampai ditingkat
Perguruan Tinggi, maka tidak akan pernah terbayangkan bagaimana pendidikan di
Indonesia.
Tugas guru SD tidak berhenti sampai
disitu, bukan hanya mengajarkan siswa/siswinya membaca, menulis, dan menghitung
saja, tetapi masih ada pelajaran yang harus mereka ajarkan sejak dini agar
mereka tidak hanya cerdas berfikir tetapi juga cerdas dalam bertindak. Karena
di Indonesia mempunyai keragaman agama, budaya, status, dan yang lainnya, sudah
sewajarnya di SD diajarkan bagaimana caranya bertoleransi dengan orang lain,
atau bisa diartikan menghargai semua perbedaan yang ada. Walaupun mustahil jika
diusia sangat dini mereka akan menyadari adanya toleransi, tetapi ketika mereka
diajarkan toleransi sejak dini, mereka akan membawa kebiasaan itu sampai mereka
tumbuh dewasa. Karena perbedaan bukan masalah yang sangat besar ketika kita
semua mampu menghargainya orang lain.
Contoh besar yang sering terjadi
adalah toleransi antar umat beragama, walaupun di sekolah SD, SMP, SMA adanya
pemisahan sekolah antara yang islam dan yang kristen (sekolah khusus kristiani
dan sekolah khusus muslim sampai pendidikan tingkat SMA), tetapi tetap saja
ketika mereka sudah diluar lingkungan sekolah, mereka adalah satu yaitu
warganegara Indonesia. Disinilah peran toleransi sangat dibutuhkan. Tidak mudah
memang ketika harus mendengarkan pemikiran dari orang lain, tetapi itu adalah
salah satu bentuk toleransi yang harus kita lakukan sebagai sesama warga
negara. Boleh saja para anggota DPR yang ketika mengikuti sidang saling adu
argumen untuk mendapatkan suatu keputusan tetapi alangkah indahnya ketika adu
argumen itu bisa berakhir dengan cara damai, dan bukannya saling adu mulut
sampai adu fisik. Bukan hanya itu saja, remaja sekarang banyak yang saling adu
fisik gara-gara memperebutkan seorang wanita, padahal jika dibicarakan dengan
baik mungkin tidak akan adanya kata adu fisik tersebut. Yang paling
membahayakan adalah disaat warga Ambon yang bersikukuh (ngotot) ingin
memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Katakanlah:
Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara
kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha
Mengetahui". (Q.S. Saba`: 26)
Dengan
adanya perilaku tersebut, mungkin ini adalah salah satu yang menjadi
cikal-bakal pemikiran para petinggi negara (pemerintah) untuk membuat RUU (Rancangan
Undang-Undang) kerukunan umat beragama kini menjadi salah satu agenda DPR untuk
dibahas dan ditetapkan sebagai undang-undang di tahun politik ini, dan draf
undang-undang itu sebenarnya sudah lama masuk ke DPR.
Rancanngan Undang-Undang (RUU)
Kerukunan Umat Beragama dinilai dapat merusak nilai-nilai kebhinekaan. Hal itu
disampaikan oleh Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute Benny Susetyo,
kepada Media Indonesia. Benny menambahkan, jika yang disoroti
adalah intoleransi antarumat beragama dan berujung kekerasan maka yang perlu
diperbaiki adalah penegakkan hukumnya bukan membuat undang-undang tersebut.
Menteri Agama Suryadharma Ali
mengatakan, sampai hari ini cukup banyak negara di dunia yang belum berhasil
mewujudkan kerukunan umat beragama di antara warga negaranya. Tetapi kerukunan
umat beragama di negara kita bahkan telah mendapat pengakuan dan penghargaan
internasional sebagai yang terbaik di dunia.
Ternyata
tebukti bahwa “teori tidak
selalu sama dengan realita” para anggota DPR berusaha untuk membuat RUU tentang
kerukunan antar umat bergama, tetapi disisi lain Menteri Agama berkicau kalau
negara kita telah
mendapat pengakuan dan penghargaan internasional sebagai yang terbaik di dunia.
seperti judul novel yang ditulis Musfar
Yasin “Alangkah lucunya (negeri ini)”.
fakta kehidupan di Indonesia saat ini memang tidak begitu,
secara internal saja kerukunan masih jauh dari ideal, apalagi jika
disebut sebagai model kerukunan untuk dunia.
Wahai intelektual Islam dan media
Islam mari waspada terhadap rekayasa canggih dari musuh-musuh Islam. Jangan
terpesona oleh pujian kosong dan harapan-harapan semu dari orang lain. Jangan
berperilaku egois-individualistik dan mengorbankan kepentingan umat &
kejayaan Islam yang akan membawa kemajuan bangsa-negara.
_Fuad Amsyari_
Selama
ini Mesir menjadi salah satu “kiblat” kerukunan umat beragama, khususnya bagi
negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. berbagai macam perbedaan
keagamaan maupun keyakinan yang ada di Mesir tidak disikapi secara destruktif
yang beriramakan konflik. Sebaliknya, aneka macam perbedaan yang ada kerap
disikapi secara konstruktif dalam irama kebersamaan dan kerukunan.
Perayaan
hari besar keagamaan bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari apa yang
telah disampaikan. Di saat sejumlah negara berpenduduk Muslim (termasuk
Indonesia) mengharamkan ucapan Selamat Natal, masyarakat Mesir justru terbiasa
merayakan bersama hari kelahiran Nabi Isa itu. Bahkan ulama-ulama besar
Al-Azhar juga turut mengucapkan Selamat Natal kepada tokoh-tokoh Kristen Koptik
di sana.
Hal yang
kurang lebih sama juga terjadi di saat umat Islam merayakan hari raya
keagamaan, baik Hari Raya Fitri maupun Hari Raya Kurban. Sebagian umat
Kristiani di sana juga turut merayakan hari raya umat Islam. Begitu juga dengan
tokoh-tokohnya.
Seorang
pemikir terkemuka Mesir, Dr. Milada Hanna, berhasil menggambarkan hubungan
antarumat beragama di Mesir dengan sangat baik. Dalam salah satu bukunya
berjudul Qabulul Akhar (menyongsong yang lain), pemikir Krisnten Koptik itu
menyebutkan bahwa Islam di Mesir berwajah Sunni, berdarah Syi’ah, berhati
Koptik, dan bertulang peradaban Fir’aun.
Kini
persoalan kerukunan umat beragama di Mesir menjadi masalah yang tak kalah
serius dari persoalan pelengseran Mubarak. Penulis adalah alumni Al-Azhar,
Kairo Mesir. Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam pada Moderate Muslim
Society (MMS).
Ternyata dengan modal toleransi saja tidaklah
cukup untuk membangun bangsa yang kokoh, tanpa adanya pendidikan yang
menyertainya. Hubungan yang harus dibuat (pendidikan dan sikap toleransi) harus
selalu berjalan beriringan agar lebih kuat untuk membangun bangsa.
Mungkin adanya faktor yang menyebabkan
menurunnya sikap toleransi diantara sesama yang sekarang terjadi adalah:
1). Semakin meningkat kecenderungan
umat beragama untuk mengejar jumlah (kuantitas) pemeluk agama dalam menyebarkan
agama dari pada mengejar kualitas umat beragama.
2). Kondisi sosial budaya masyarakat
yang membawa umat mudah melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima,
sehingga kerukunan dapat tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi
maupun maknanya.
3). Keinginan mendirikan rumah
ibadah tanpa memperhatikan jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung
perasaan umat beragama yang memang mayoritas di tempat itu.
4). Menggunakan mayoritas sebagai
sarana penyelesaian sehingga akan menimbulkan masalah. Misalnya, pemilikan dana
dan fasilitas pendidikan untuk memaksakan kehendaknya pada murid yang belajar.
5). Makin bergesarnya pola hidup
berdasarkan kekeluargaan atau gotong royong ke arah kehidupan individualistis
Banyak upaya yang dilakukan oleh
para guru-guru yang sudah menyadari pentingnya sikap toleransi dalam dunia
pendidikan untuk memperbaiki sistem pendidikan dan sistem toleransi di dunia
pendidikan kita. Salah satunya upaya yang dilakukan oleh guru agama islam dalam
menanamkan sikap toleransi beragama siswa kelas v, di SDN tegalmulyo no. 157,
Surakarta
a. Guru menekankan pada siswa untuk
saling menghargai dan menghormati melalui pelajaran aqidah akhlaq.
b. Pemberian tugas-tugas kebersihan
dan ketertiban seperti bekerjasama dalam kelompok, piket harian dan tugas-tugas
yang dikerjakan tidak berdasarkan agama siswa
c. Pemberian zakat fitrah pada siswa
yang kurang mampu meskipun beragama non-Islam dan makan bersama seluruh siswa
dan guru di sekolah, tanpa-membedakan agamanya, sewaktu hari raya Idul Adha.
d. Keteladan guru PAI, dengan
menganjurkan membiasakan diri menyapa dengan ucapan “selamat pagi” bagi guru
atau siswa yang beragama non-Islam. Dan mengucapkan “assalamu’alaikum” kepada
guru dan siswa yang beragama Islam.
Pepatah
“mulai dari yang kecil sampai yang besar” merupakan sesuatu yang biasa namun
maknanya sangat kompleks. Karena ketika etika sudah diberikan sejak dari SD,
akan tidak mungkin adanya saling adu fisik ketika menyelesaikan sebuah permasalahan.
Kerukunan antar umat beragama pun sangat penting, hal ini bertujuan agar
kesatuan negara Indonesia tetap terjaga. Karena yang akan membawa Indonesia
hebat adalah warganegaranya yang hebat pula.
Sudah
saatnya kita menutup telinga oleh segala pujian dari luar, setidaknya kita
tidak akan mendengar gombalan mereka yang akan melambungkan hati kita. Kita
harus melakukan tindakan yang nyata untuk memperbaiki kualitas negara
Indonesia. Dengan memperbaiki sistem pendidikan kita, mulai dari SD, SMP, SMA,
bahkan sampai Peguruan Tinggi kita akan bisa menjadi negara yang disegani oleh
lawan (negara lain). memang tidak mudah untuk membangun pendidikan kita lebih
berkualitas, tetapi jika semua unsur yang ada di Indonesia bekerjasama untuk
membangun negeri, rasanya tidak mustahil
jika kita bisa memperbaiki sistem pendidikan dinegara kita.
Dalam konteks Indonesia,
pendidikan liberal
harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas
dari karir mereka - politisi, insinyur, petani, atau pengusaha - siswa harus
diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah .
Dengan demikian didefinisikan,
pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi
terhadap orang lain . Pada dasarnya, itu penempaan insan kamil, yaitu orang
yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau
penunjukan sebagai warga negara yang demokratis .
_Prof.
A. Chaedar Alwasilah_
Menurut Lestari Sudjipto (Staf
Jaringan dan Propaganda KAMMI Kathoza 2013) Ciri utama pendidikan yang
berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan
keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada
benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan
menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap
pergantian kurikulum baru kita. Tetapi dengan banyaknya kasus yang melibatkan
para petinggi dan institusi pendidikan, salah satunya mulai dari afair buku
paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS, sampai
kekerasan dan tindak cabul guru pada siswinya, di kalangan siswa pun merebak
mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai bunuh diri dan seks bebas. liberalisme
yang diagung-agungkan dan diacu oleh sistem pendidikan kita telah merusakkan
sendi-sendi negara bangsa Indonesia.
Liberalisasi pendidikan tinggi
bermula dari WTO (World Trade Organization) yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari 11
sektor jasa yang bisa diperdagangkan. Dengan adanya ratifikasi WTO melalui UU
No 7/1994 berarti Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki
kewajiban untuk menaati segala aturan main yang ada di dalamnya.
Khususnya
di perguruan tinggi merupakan
lembaga pendidikan pertama yang diliberalkan karena pada level ini resistensi
paling minimal dan paling siap dikomersialisasikan. Justifikasi yang sering
dipakai adalah pendidikan tinggi lebih banyak memberikan benefit pada individu
bersangkutan daripada kepada publik, sehingga subsidi negara dianggap sebagai
bentuk ketidakadilan. Akan tetapi, privatisasi pada level pendidikan tinggi
membawa konsekuensi kemerosotan program-program studi yang tidak menjual. Belum
lagi krisis yang bakal terjadi ketika biaya pendidikan untuk profesi yang
berorientasi pelayanan publik, seperti kedokteran, menjadi sangat mahal.
Liberalisasi pada level pendidikan tinggi juga memicu komersialisasi pendidikan
pada level yang lebih rendah. Otonomi perguruan tinggi negeri yang sempit
diartikan kemandirian untuk mencari sumber-sumber pembiayaannya dari
masyarakat, memprovokasi perlombaan peningkatan biaya pendidikan. Itu terjadi
bukan saja pada level pendidikan tinggi, tetapi juga pada level yang lebih
rendah, termasuk pada level pendidikan dasar dan prasekolah.
Sesuai
dengan rukun liberalisme yang menghendaki adanya kompetisi pasar yang terbuka,
maka liberalisasi pendidikan pun dibangun di atas sendi-sendi tersebut. Dengan
demikian, masing-masing perguruan tinggi akan berusaha untuk meningkatkan nilai
jual agar kampusnya bisa lebih marketable. Persaingan ini tentu saja akan
bermakna jika dilandasi atas semangat untuk memajukan dan menciptakan iklim
yang kondusif bagi pendidikan kita. Tetapi,
efek yang berbeda juga bisa timbul akibat liberalisasi pendidikan ini. Seperti halnya dalam bidang ekonomi,
dalam pendidikan pun yang kuatlah yang akan bertahan. Ini artinya bahwa hanya
perguruan tinggi yang besar dengan dukungan fasilitas lengkaplah yang akan
bertahan dan bakal diminati para calon mahasiswa. Padahal, pemenuhan fasilitas
tentu akan terlaksana manakala ada sokongan dana yang kuat untuk menjamin
tersedianya fasilitas tersebut. Di
sinilah side effect dari liberalisasi pendidikan itu. Karena pada akhirnya,
liberalisasi akan mengarah pada komersialisasi. Ujung-ujungnya biaya pendidikan
termasuk perguruan tinggi negeri dan Badan Hukum Milik Negara(BHMN) akan
semakin melangit.
Liberalisasi
pendidikan merupakan pengkhianatan terhadap UUD 1945 dan pelecehan martabat
bangsa. Pemerintah memiliki amanat yang harus dijalankan dalam bidang
pendidikan ini yang termaktub pada pasal 31 UUD 1945, Tap MPR, dan UU
Sisdiknas. Jika pemerintah melihat pendidikan sebagai barang komersial, pemerintah
menyimpang dari konstitusi, karena tugas penyelenggara negara adalah mencerdaskan
kehidupan masyarakat Indonesia
Otonomisasi
ini mengubah bentuk PTN di Indonesia dari unit layanan di bawah Depdiknas
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Sebagai dampak dari perubahan ini,
biaya kuliah di beberapa universitas negeri mulai meningkat pada tahun 1999
sebesar 300 hingga 400 persen. Sejalan
dengan hal tersebut, komitmen liberalisasi sektor pendidikan dalam GATS memang
berfokus pada pendidikan tinggi (higher education) dan pendidikan untuk orang
dewasa (adult education). Pendidikan tinggi Indonesia sendiri kini tidak lagi
dikategorikan sebagai layanan publik, tetapi lebih pada sektor semi-profit.
Akibatnya pendidikan tinggi Indonesia menjadi lebih kompatibel dengan sistem
pasar bebas dan akan dapat terus dituntut pembukaan akses pasarnya dalam GATS.
Sebenarnya kita tidak pernah
mempermasalahkan sistem apapun yang digunakan oleh para petinggi pendidikan dalam
merekayasa dunia pendidikan kita. Karena kita sangat yakin kalau para petinggi
pendidikan akan cukup mampu dalam mengarahkan warganegara Indonesia. Yang
harusnya dipermasalahkan adalah ketika “teori tidak selalu sama
dengan realita”. Karena
setiap orang akan mampu menuangkan apa yang ada di dalam otaknya kedalam sebuah
teks, tetapi untuk mewujudkan apa yang sudah tertera dalam sebuah teks itu
sangat susah, karena melibatkan banyak aspek untuk membantu mencapainya. Hal
ini juga seperti yang sudah ditulis oleh Prof. Chaedar kalau dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup
pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Ketika dunia pendidikan liberal Indonesia sudah memenuhi
kriteria di atas, sudah dipastikan kualitas baik akan disandang oleh dunia
pendidikan Indonesia. Tetapi jika kriteria diatas belum semuanya terpenuhi,
jangan berharap terlalu tinggi untuk membawa bangsa kita menjadi bangsa yang
bisa bersaing dengan bangsa lain.
Sistem pendidikan liberal sudah diberlakukan
di Indonesia, jadi kita harus mengikuti apa yang sudah ditentukan oleh para
petinggi pendidikan. Yang harus bangsa Indonesia lakukan adalah bagaimana agar
kita bisa bersaing dengan bangsa lain tetapi tidak menghilangkan dasar-dasar etika
yang sudah ada sejak dulu, dan jangan sampai kita bisa di adu domba oleh bangsa
lain, dan jangan sampai simbol “berbeda-beda tetapi tetap satu” itu hilang karena
pengaruh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Referensi:
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Utama.
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Utama.
cara mengutip sesuatu dirapikan lagi deh. Saya belum menemukan centrail klaim kamu di artikel ini
ReplyDelete