Literasi...oh...literasi
2nd meeting of writing for academic. Pada hari itu Bapak
Lala Bumela, M. Pd memberikan tugas untuk minggu depan adalah chapter review.
Dengan persyaratan10 halaman, dan chapter yang di review adalah Bab 6 Rekayasa
Literasi pada bukunya Prof. Chaedar.
Di awal penjelasan Bab 6, menjelaskan bahwa pengajaran
bahasa asing dalam metode dan pendekatannya ada lima macam kelompok besar;
1.
Pendekatan
structural dengan grammar translation methods. Pendekatan metode ini
menggunakan bahasa tulis dan penggunaan tata bahasa. Kelemahan metode ini,
adalah tidak menjamin siswa mampu menganalisis masalah sosial, seperti bahasa
iklan.
2.
Pendekatan
audiolingual atau dengar-ucap, metode ini menggunakan dialog-dialog itu saat
berkomunikasi secara spontan. Kelemahan dari metode ini adalah kurangnya
memberi ruang terhadap variasi ujaran sebagai fungsinya.
3.
Pendekatan
kognitif atau transformatif, metode ini berorientasi pada pembangkitan potensi
berbahasa siswa sesuai kebutuhan lingkunganya.
4.
Pendekatan
komunikatif competence, pendekatan pengajaran bahasa ini menjadikan siswa mampu
berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi terbatas sampai
komunikasi spontan atau alami.
5.
Pendekatan
literasi atau pendekatan genre-based, tujuan dari pembelajarannya adalah
menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai konteks komunikasi.
Pendekatan ini adalah pengenalan berbagai genre wacana lisan maupun tulisan.
Pembelajarannya melalui empat tahapan, yaitu:
Literasi, genre-based
Membangun pengetahuan menyusun
teks bersama-sama
Menyusun
model-model teks menciptakan
teks
Genre, wacana, literasi, teks, dan konteks saat ini
menjadi bahan perbincangan dikalangan guru. Dalam perkembangannya, definisi
dari literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu
literasi diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kini literasi
zaman sekarang diartikan sebagai sebuah praktik kultural yang berkaitan dengan
persoalan politik dan sosial. Dari definisi baru ini, menunjukkan literasi
memiliki paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya.
Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti
literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA, dan
lain sebagainya. Hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis
dirangkum dalam lima verba; memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan
mentransformasi teks.
Seiring dengan perkembangan zaman, literasi terus
berevolusi, makna dan rujukannya pun semakin meluas dan kompleks. Berbeda
dengan rujukan linguistik dan sastra itu bersifat relatif konstan. Literasi
memiliki tujuh dimensi, yang berkaitan dengan penggunaan bahasa zaman sekarang,
yaitu;
1.
Pendekatan
geografis, meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional.
Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan masyarakat dan
jejaring sosial.
2.
Dimensi bidang, meliputi pendidikan,
komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini
mencirikan tingkat kualitas bangsa dibidang pemerintahan, yang merupakan pusat layanan
rakyat.
3.
Dimensi ketrampilan, meliputi membaca,
menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu yang dilihat
dari tampaknya kegiatan atau kegemaran masyarakat dalam membaca, menulis,
menghitung, dan berbicara. Dalam tradisi orang barat, ada tiga ketrampilan (3R)
yang lazim diutamakan adalah reading, writing, dan arithmetic.
4.
Dimensi fungsi, orang yang literat pasti
bias memecahkan suatu persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi diri.
5.
Dimensi media, meliputi teks, cetak,
visual, dan digital. Pada zaman modern ini, orang tidak cukup mengandalkan
kemampuan membaca dan menulis saja, tetapi juga harus mengembangkan kemampuan
membaca dan menulis dalam teks cetak, visual, dan digital. Penguasaan IT
(information technology) itu sangat penting dan diperlukan.
6.
Dimensi jumlah, konsep ini jumlah yang
dimaksud meliputi banyak hal, seperti bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur,
bidang ilmu, media, dan lain sebagainya. Literasi dalam konsep berkomunikasi,
itu bersifat relative. Orang yang multiliterat akan bias berkomunikasi atau
berinteraksi dalam berbagai situasi.
7.
Dimensi bahasa, meliputi daerah etnis,
local, nasional, dan internasional. Konsep ini memiliki literasi singular dan
literasi plural, yang dianalogikan pada monolingual, bilingual, dan
multilingual.
Secara
sederhana, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan
menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun
sekarang ini literasi memiliki arti yang luas, sehingga keberaksaraannya bukan
lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multiliteracies). Ada
bermacam-macam keberaksaraan aau literasi, misalnya literasi computers
(computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi
(technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), dan literasi
informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy).
Seorang yang dikatkkan literat jika orang tersebut sudah bias memahami sesuatu
karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan
pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Literasi pada
dasarnya mengisyaratkan bangsa untuk baca-tulis. Pendidikan sudah kewajibannya
mengajarkan pengetahuan budaya, jika pendidikan saja mengabaikan suatu
apresiasi dari budaya, maka akan menyebabkan ketidakpedulian kita terhadap
budaya sendiri. Contohnya pendidikan bahasa di Indonesia yang melatih siswa
agar mampu mengekspresikan diri, berinteraksi, berkomunikasi dengan teman, dan
lain-lain. Pada tingkat perguruan tinggi, pendidikan bahasa melatih para
mahasiswa untuk mampu menghasilkan suatu ilmu pengetahuan baik yang berupa
ilmiah maupun non-ilmiah melalui menulis.
Jika saja pendidika di Negara
Indonesia memiliki kualitas tinggi, maka akan menghasilkan literasi yang
berkualitas tinggi pula. Seseorang akan tampak keberaksaraannya (literasi-nya)
dengan melihat kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Memang
setiap sarjana pasti mampu membaca, tetapi tidak semua sarjana mampu untuk menulis.
Dari hasil
pemaparan Prof. Chaedar, dalam laporan PIRLS tidak ditemukan skor prestasi
menulis. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia memang bukan bangsa penulis.
Namun, dapat diprediksi bahwa prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan
membaca. Tanpa adanya kegiatan membaca (banyak), orang sulit untuk menjadi
penulis. Tapi, banyak membaca juga belum tentu menjamin orang tersebut rajin
menulis. Hingga tahu n 2003, Indonesia jauh lebih banyak mencetak ilmuwan
daripada penulis. Setiap tahun Indonesia memproduksi 6.000 buku (termasuk
terjemahan), berbeda jauh dengan Negara-negara lain seperti Malaysia 8.500,
Korea 45.000, Jepang 60.000, Amerika 90.000, dan india 70.000 judul buku.
Sementara itu,
berdasarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia, hingga tahun 2007
tercatat ada 231.786 orang dosen yang dijabarkan sebagai berikut;
-
12.231 orang berpendidikan S-3,
-
74.845 orang berpendidikan S-2,
-
135.340 orang berpendidikan S-1,
-
2.667 orang berpendidikan Sp-1,
-
420 orang berpendidikan Sp-2,
-
2.052 orang berpendidikan D-4,
-
2.705 orang berpendidikan D-3,
-
55 orang berpendidikan D-2,
-
28 orang berpendidikan D-1,
-
1.316 orang berprofesi.
Dari data-data
tersebut, bangsa Indonesia dari yang berprofesi dosen yang cukup banyak, tetapi
tidak diimbangi dengan ketrampilan menulis, sehingga hal tersebut yang membuat
Indonesia tidak bias mengejar rekor Malaysia.
Menurut Prof.
Chaedar, jika saja setiap dosen menjalankan kewajibannya, yaitu menulis sebuah
buku dalam setiap tiga tahun, setiap tahun akan terbit sekitar 77.000 judul
buku, hal itu pun belum termasuk buku-buku yang ditulis oleh kalangan
non-dosen. Dengan cara ini, Indonesia pasti akan mampu menyamai rekor india
yang saat ini menempati peringkat ke-3 dunia.
Hal tersebut
mungkin akan sulit untuk dilakukan. Mengingat di era globalisasi ini,
polemic-polemik di Indonesia semakin parah. Terutama dalam dunia pendidikan
Indonesia, berdasarkan data dari kemendikbud (2011) yang mengungkapkan bahwa
terdapat 153.026 unit sekolah yang rusak di negeri ini. Kemudian tidak kurang
dari 150 ribu anak bangsa belum tersentuh pendidikan saat ini, belum lagi
mereka yang hidup di wilayah pedalaman dan perbatasan, sungguh tidak terhitung
jumlahnya. Di daerah Banten misalnya, sarana dan prasarananya pun menunjukkan
keprihatinan. Sebanyak 200 dari 700 gedung SD yang ada di kabupaten serang
hingga kini masih dalam kondisi rusak berat. (indopos.com)
Ditambah lagi,
problematika yang utama dari pendidikan indonesia adalah adanya campur tangan
dunia politik. System pendidikan di Indonesia masih belum terarah, dan rawan
tindak korupsi. Hal ini terlihat dari setiap pergantian kepresidenan di
Indonesia, pasti menteri pendidikan juga ikut digantikan, dengan adanya hal
tersebut otomatis sering dilakukannya pembaharuan system pendidikan.
Masalah-masalah
lainnya dalam kualitas pendidikan di Indonesia, adalah seperti kurangnya
sarana, dan prasarana sekolah, lalu pemerataan hak untuk bersekolah, mahalnya
biaya pendidikan, dan juga alokasi dana APBN yang diaanggap masih rendah oleh
para pihak-pihak tertinggi di sekolah. (pemerintah merencanakan 20 % dari dana
APBN untuk pendidikan, namun realisasinya sering dibawah 10 %, dan tidak pernah
sampai 20 %).
Padahal sekolah,
sebagai lembaga pendidikan formal pertama untuk membangun literasi yang pada
umumnya didukung oleh pemerintah dengan menggunakan dana APBN yang lebih, dan
dengan demikian mudah untuk melakukan berbagai kebijakan yang bias meningkatkan
kualitas dunia pendidikan di Indonesia, bukan malah untuk memperkaya diri sendiri.
Dengan kata
lain, pendidikan di Indonesia belum berhasil menciptakan warga Negara yang
literat. Hal tersebut didukung dengan tingkat literasi siswa yang masih jauh
dari Negara-negara lain. Apalagi di era modern ini, kian mudahnya akses
informasi, dan kian majunya arus komunikasi, menjadi kekhawatiran untuk dunia
pendidikan Indonesia kedepannya.
Pada zaman
modern ini, dalam sekejap siswa bias mencari apa saja yang diinginkannya
melalui internet. Mulai jaringan komunikasi seperti cellphone yang sekarang ini
menawarkan berbagai aplikasi-aplikasi yang menarik para siswa, kemudian akses
internet untuk bermain games, facebook, twitter, mencari artikel, makalah,
maupun buku dapat ditelusuri siswa. Dari fenomena tersebut, wajar saja jika
dikatakkan mayoritas siswa lebih tertarik atau terhipnotis dengan kecanggihan
dunia akses informasi dalam internet.
Pada era modern
ini, seharusnya kita mampu memanfaatkan keadaan akses informasi dengan baik,
bukan malah justru keadaan ini memperbudak kita sekarang. Sehingga membuat para
siswa malas untuk minat membaca buku, maupun menulis.
Kenyataan
tersebut didukung oleh data dari Prof. Chaedar, yang mengatakan bahwa skor
prestasi membaca di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa), 417 untuk
perempuan, dan 398 untuk laki-laki. Angka ini dibawah rata-rata Negara lain,
yakni 500, 510, dan 493. Skor tertinggi diperoleh Rusia (565), Hongkong (564,
Kanada / Alberta (560), dan Singapura (559), sedangkan Indonesia menempati
urutan ke-5 dari bawah, yakni sedikit lebih tinggi daripada Qatar (356), Kuwait
(333), dan Afrika Utara (304).
Indonesia hanya
2 % siswa yang prestasi membacanyamasuk kedalam kategori sangat tinggi, 19 %
masuk kedalam kategori menengah, dan 55 % masuk kedalam kategori rendah.
Artinya, 45 % siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400, diantara
Negara-negara yang prestasi membacanya tinggi, yaitu Singapura dan Federasi
Rusia yang menempatkan 19 % siswanya masuk kedalam kategori advanced
international bench mark, 58-61 % masuk kedalam kategori high International
bench mark, 86-91 % masuk dalam kategori intermediate international bench mark,
dan hampir semua siswa (97-99 %) memenuhi criteria low international bench
mark.
Sebenarnya
Polemic-polemik di Indonesia tidak hanya terjadi didunia pendidikan saja, dalam
sektor hukum, ekonomi, politik, dan budaya Indonesia dilanda problematika
masalah di era globalisasi ini. Mungkin masalah-masalah tersebut yang membuat
rapor literasi anak bangsa Indonesia merah, seperti yang diungkapkan oleh Prof.
Chaedar.
Kesimpulan;
Melihat paradigm-paradigma
yang terjadi di Indonesia ini, saya menyimpulkan bahwasanya tingkat kemampuan
literasi (membaca-menulis) bangsa Indonesia (baik dosen maupun siswa), masih
jauh untuk mampu mencapai tingkat masyarakat madani seperti halnya
Negara-negara lain. Hal ini dipengaruhi oleh adanya era digital yang serba
canggih, yang menyebabkan para dosen atau siswa semakin tidak sadar dengan
hanya pengennya serba instan.
Terlalu canggihnya jaringan
komunikasi yang mempunyai kelebihan fasilitas ini, membuat manusia malas dan
lupa akan peranannya dalam kehidupan yang lain, sehingga minat akan membaca dan
menulis berkurang atau sama sekali tidak dihiraukan. Bila saja, pemerintah atau
kepala sekolah itu sendiri mengetahui tentang makna dari literasi, mungkin
Indonesia bias menjadi bangsa yang bermasyarakat madani dan literasi. Tidak
hanya lembaga permerintahan saja, peran orang tua pun cukup berpengaruh besar
dalam pengembangan literasi, sebagai fondasi awal untuk mengembangkan tahapan
literasi berikutnya.
0 comments:
Post a Comment