2nd Class
review
Masanya apa...??
Masanya
apa..?? yah sering kali saya memikirkan hal itu, melihat realitas yang terjadi
sekarang, orang bangga mengikuti gaya orang lain, bangga mengadopsi budaya luar
dan membuang budaya sendiri, bangga dengan terus menjadi konsumen tanpa
menginginkan menjadi produsen, orang bangga dengan plagiarisme-plagiarisme
karya orang lain. Tidak mau menciptakan karya sendiri, tidak mempunyai
identitas yang seharusnya menjadi kebanggannya. Idealitas yang sudah hilang,
sikap pragmatis yang selalu diunggul-unggulkan. Masanya apa??
Masa
dimana orang-orang sangat dimanjakan dengan kehidupan yang serba mudah, akses
informasi yang cepat, yah.. dengan teknologi yang modern. Seharusnya, orang
mampu berlomba-lomba untuk menciptakan peradaban baru, sehingga akan memajukan
kualitas diri dan negaranya. Tapi realitasnya terbalik, dengan serba maju nya
teknologi orang menjadi malas, berpikir pragmatis, tidak mau mengembangkan
kualitasnya.
Menurut
Al wasilah dalam bukunya Rekayasa Literasi menyatakan “kini adalah zaman edan,
pendidikan dasar tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis”. orang
yang bersikap pragmatis tidak mau mengembangkan kualitasnya, sehingga mereka
hanya berpikir bahwa orang yang sudah bisa membaca dan menulis itu sudah cukup,
padahal zaman itu terus berkembang, jika kita tidak mengikuti perkembangan
zaman, kita akan terbunuh oleh perkembangan itu, seperti menurut Mr. Lala
Bumela dalam ceramah kelasnya bahwa “seorang harus melakukan evolusi terhadap
kehidupannya, jika tidak melakukan evolusi dia gagal dengan kehidupannya.
Kemajuan
teknologi yang terus berkembang telah menciptakan peradaban yang modern.
Seperti menurut Hawe setiawan dalam Republika.co.id (14/12/07) “kegiatan
membaca dan menulis juga berbicara, menyimak, dan menonton berlangsung secara
serentak dan interaktif; berbalas sandek, mengisi dan mengomentari status dalam
jejaring sosial, menyimak buku audio, dan sebagainya. Kita membaca sekaligus
menulis”. Secara generalnya tanpa disadari orang telah melakukan budaya
Literasi, dalam dunia maya misalnya, sangat mudah untuk mendapatkan informasi
yang kita butuhkan melalui akses internet, yang bisa di akses dimana saja dan
kapan saja. Bukankah itu sangat menguntungkan, kita tidak perlu lagi membawa
buku banyak yang tebalnya ratusan halaman dan beratnya sampai ½ kilo. Transaksi
belanja online sekarang sedang menjadi trend di masyarakat, karena kita bisa
transaksi dengan jarak jauh, ini sangat memudahkan kita.
Namun,
dengan kemudahan-kemudahan yang di berikan dalam kemajuan teknologi, menurut
Hawe Setiawan, orang cenderung menyerap informasi sepotong-sepotong tanpa
mengetahui lebih mendalam tentang satu teks, dan tidak memikirkannya dengan
kritis.
Kritis
adalah bagian dari literasi. Kritis yang baik adalah memberikan kritik yang
akan menghasilkan kekayaan dalam karya sastra. Seperti sambal, sambal bukan
makanan pokok, tetapi sambal adalah makanan pelengkap yang sangat mempengaruhi
kenikmatan makan. Begitupun kritik, kritik adalah pelengkap sebuah karya sastra
yang akan memperkaya keragaman sastra. Jika sambal tersebut terlalu pedas akan
menyebabkan perut sakit. Juga dengan kritik, jika kritik itu hanya untuk
menjatuhkan penulis, tidak akan memperkaya keragaman dan pemahaman sastra
tetapi akan menyakiti karya sastra. Untuk itu kritis karya sastra sangat baik
untuk kekayaan sastra.
Jika
kita dihadapkan pada sebuah teks, bagi orang yang berpikir kritis atau disebut
dengan “critical reading”, dia tidak akan langsung menerima teks tersebut, dia
akan mempertimbangkan dengan melihat dari berbagai posisi, dia akan mencari
kebenaran dari tulisan tersebut. Kemudian dia akan mencari hubungan dengan
tulisan-tulisan yang lain, artinya dia akan membandingkan dengan tulisan yang
lain yang berhubungan dengan tulisan tersebut.
Untuk
memahami bagaimana cara mengkritisi sebuah tulisan, saya mempunyai konsep yang
sederhana. Yakni:
1.
Epistemologis, dalam mengkritisi
sebuah tulisan dalam bagian ini pembaca harus mencari kebenaran terhadap
tulisan tersebut, kebenaran yang seperti apa? Kebenaran di sini relative karena
semua karya sastra itu terpengaruh oleh background penulisnya. Jika kita
membenarkan tanpa membandingkan berarti kebenaran kita itu subjektif terhadap
tulisannya. Seperti seorang penulis itu berlatar belakang NU, dia akan
menyajikan tulisan banyak dengan pandangan-pandangan NU nya, maka di sini semua
tulisan itu adalah PEMBENARAN bukan sebuah kebenaran.
2.
Ontologis, dalam bagian ini
mengkritisi tulisan dengan kita mencari tahu hakikat dari tulisan itu,
contohnya kita akan mengkritisi sebuah teks yang berjudul “kritik karya
sastra”, kita harus tahu mengenai kritik itu yang seperti apa, karya itu apa,
begitupun pemahaman terhadap sastra. Kita juga harus tahu background dari
penulisnya, bagaimana pemahamannya terhadap kritik sastra, karena background
penulis akan mempengaruhi tulisannya. Jika kita sudah mengetahui hakikat dari
tulisan itu, kita akan lebih mudah mengkritisi tulisannya.
3.
Aksiologis, mengkaji tentang
nilai yang menjadi objek kritis kita, seperti nilai estetika, etis dan nilai logika.
Nilai estetika yakni mengkritisi nilai-nilai keindahan sebuah teks, nilai etis
yakni mengkritisi etis atau pantas tidaknya terhadap sebuah teks, dan nilai
logika yakni mengkritisi masuk akal atau tidaknya teks tersebut.
Mengkritisi
karya tulis adalah kerja dari critical reading, semakin banyak kritik terhadap
karya sastra, semakin membangun perkembangan intelektual. Untuk itu kritik
terhadap tulisan harus di ganjang mulia dari sekarang. Namun, sebelum kita
mengkritisi tulisan kita harus bisa membuat karya tulis.
Menurut
Mr.Lala Bumena dalam kelasnya, “menulis adalah way of knowing something, way of representing
something, way of reproducting
something”. Ini adalah sebuah urutan yang sistematis karena untuk menulis kita
harus mengetahui dulu objek ynag akan di kaji dalam tulisan, kita bisa
mendapatkan pengetahuan dengan membaca, berdiskusi. Kemudian setelah mengetahui
kita mengolah dalam bentuk tulisan dengan style kita sendiri, yakni disebut
dengan representing. Yang terakhir yaitu mereproduksi artinya setelah mengolah
kita akan menyajikannya dengan aksen yang menjadi ciri khas sendiri.
Menurut
Al Wasilah dalam rekayasa literasi, dimensi literasi adalah dilihat dari
bahasanya, seperti monolingual, bilingual, dan multilingual. Jika monolingual
hanya menguasai satu bahasa yakni bahas ibu, bilingual hanya menguasai bahasa
indonesia dan bahasa ibu (L1). Seorang literat adalah orang yang memiliki
kemampuan bahasa yang multilingual yakni bisa menulis dengan bahasa ibu, bahasa
indonesia dan bahasa asing (bahasa inggris/L2), bisa menjadi critical reading
dalam kemampuan bermacam bahasa. Namun, yang paling mendominasi adalah bahasa
ibu, jika kita sudah menguasai bahasa ibu, kita akan dengan mudah mengugunakan
bahasa asing.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa kita tahu masanya apa..?? masa kita adalah masa
literasi, masa dimana dihidupkan lagi sebuah karya-karya yang akan membangun
sebuah peradaban baru. Objeknya adalah literasi dan subjeknya adalah diri kita,
perbaiki diri dengan menanam pentingnya peningkatan literasi dalam masyarakat.
Dengan tindakan yang kritis dan kritik sastra yang akan membangun karya sastra.
:))
ReplyDelete