Fenomena
Literasi
Apa itu literasi......? sejauh mana kita mengenal
literasi? Seperti dalam buku Prof. Chaedar tentang rekayasa literasi. Definisi
lama literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks persekolahan
Indonesia, istilah literasi jarang dipakai. Istilah yang sering dipakai adalah
pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa.
Pada masa silam membaca dan menulis dianggap cukup
sebagai pendidikan dasar untuk membekali manusia kemampuan menghadapi tantangan
zamannya. Kini adalah zaman edan, dan pendidikan dasar tidak cukup mengandalkan
kemampuan membaca dan menulis. Literasi bertahun-tahun hanya dianggap sekedar
persoalan psikologis, yang berkaitan dengan kemampuan mental dan ketrampilan
baca-tulis padahal literasi adalah praktik kultural yang berkaitan persoalan
sosial dan politik.
Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa,
dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang
saling terkait yaitu dimensi geografis, dimensi bidang, dimensi keterampilan,
dimensi fungsi, dimensi media, dimensi jumlah, dan dimensi bahasa. Dalam lima
definisi diatas ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukkan perubahan
paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini.
1. Keterampilan lembaga-lembaga sosial.
Hidup
bermasyarakat difasilitasi oleh lembaga-lembaga sosial, misaalnya RT, RT,
kelurahan sampai dengan DPR dan presiden. Lembaga-lembaga itu menjalankan
perannya dengan fasilitas bahasa, sehingga muncul bahasa birokrat, bahasa
politik yang menunjukkan kekuasaan birokrat terhadap rakyat.
2. Tingkat
kefasihan relatif
3. Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
Literasi
membekali orang kemampuan mengembangkan segala potensi dirinya. Penguasaan
bahasa ibu adalah alat untuk berekspresi dan mengapresiasi, serta memikirkan
segala hal dalam lingkungan sosial budaya dan psikologinya yang terdekat, yakni
keluarga.
4. Standar
dunia
Dalam persaingan global sekarang ini rujuk mutu
dikembangkan ke tingkat internasional sehingga tingkat literasi suatu bangsa mudah
dibandingkan dengan bangsa lainnya.
5. Warga
masyarakat demokratis
Pendidikan
seyogyanya menghasilkan manusia literate, yakni manusia yang memilik literasi
memadai sebagai warga negara yang demokratis. Media massa arus utama adalah
mesin pemertahanan hegemoni. Media adalah salah satu pilar demokrasi.
6. Keragaman
lokal
7. Hubungan
global
Sebagai dampak tekhnologi komunikasi, kini semua
orang adalah warga dunia, dan untuk bersaing ditingkat dunia, semua orang
adalah warga dunia, dan untuk bersaing ditingkat dunia, semua orang harus
memiliki literasi tingkat dunia.
8. Kewarganegaraan
yang efektif
Literasi
membekali manusia menjadi warga negara
yang efektif, yakni yang warganegara yang mampu mengubah diri, menggali potensi
diri, serta berkontribusi bagi keluarga, lingkungan, dan negaranya.
9. Bahasa
Inggris Ragam Dunia
Hubungan dan
jejaring global memerlukan bahasa yang dapat diterima oleh semua pihak. Bahasa
Inggris kini dipelajari oleh bangsa-bangsa di seluruh Dunia. Namun, karena
sesetiap bangsa membangun literasi dalam bahasa etnis dan budaya lokalnya,
bahasa inggris mereka kental dengan kelokalan sehingga muncul berbagai
ragam bahasa inggris atau multiple
englishes.
10. Kemampuan Berpikir Kritis
Literasi bukan
sekedar mampu membaca dan menulis, melainkan juga menggunakan bahasa itu secara
fasih, efektif, dan ktis. Berbicara dan menulis adalah tindakan literasi dan
merupakan keputusan politik.
11. Masyarakat Semiotik
Semiotik adalah
ilmu tentang tanda, termasuk persoalan ikon, tipologi tanda, kode, struktur,
dan komunikasi. Budaya adalah sistem tanda, dan untuk memaknai tanda manusia
harus menguasai literasi semiotik.
Setelah mengkaji
tujuh ranah literasi dan sepuluh kunci literasi, seperti yang dipaparkan
diatas, pendidikan bahasa berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan
mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut:
1. Literasi
adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat.
2. Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun lisan. Pendidikan bahasa sejak dini membiasakan siswa berekspresi baik
secara lisan maupun secara tulis.
3. Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah. Berbaca tulis adalah kegiatan mengetahui
hubungan antar kata dan antar unit bahasa dalam wacana, serta antara teks dan
dunia tanpa batas. Pendidikan bahasa juga melatih siswa berpikir kritis. Bahasa
adalah alat berpikir. Mengajarkan bahasa seyogianya melatih siswa menggunakan
bahasa dengan nalar.
4. Literasi
ddalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Berbaca tulis selalu ada dalam
sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya). Pendidikan bahasa
seyogianya mengajarkan pengetahuan budaya. Abai terhadap budaya menyebabkan
dekonstektualisasi bahasa dari budayanya.
5. Literasi
adalah kegiatan refleksi (diri). Penulis dan pembaca senantiasa berfikir ihwal
bahasa dan mengaitkannya dengan pengalaman subjektif dan dunianya. Pendidikan
bahasa seyogianya menanamkan pada diri (maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi
atas bahasa sendiri maupun bahasa orang lain—yakni kesadaran terhadap
metakomunikasi.
6. Literasi
adalah kolaborasi. Berbaca tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua pihak
yang berkomunikasi. Penulis (tidak) menuliskan sesuatu berdasarkan pemahamannya
ihwal calon pembaca. Pembaca pun harus mengerahkan segala pengetahuan dan
pengalamannya untuk memaknai tulisan tersebut.pendidikan bahasa sejak dini
melatih siswa menggunakan bahasa melalui kegiatan kolaboratif.
7. Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi. Penulis memaknai (menginterpretasikan)
alam semesta dan pengalaman subjektifnya lewat kata-kata, dan pembaca memaknai
interpretasi penulis. Pendidikan sejak dini seyogianya melatih (maha)siswa
melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan membangun makna) atas berbagai
jenis teks dalam dalam wacana tekstual, visual, dan digital di berbagai ranah
kehidupan dan bidang ilmu.
Dari uraian diatas tampak bahwa orang literat adalah
tampak bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa
literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan
bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan. Sekolah,
sebagai lembaga pendidikan formal, adalah situs pertama untuk membangun
literasi yang pada umumnya disokong oleh pemerintah dengan menggunakan dana
publik, dan dengan demikian mudah diintervensi oleh berbagai kebijakan,
inovasi, dan program uji coba pemerintah. Karena itu, wajar jika proses dan
pembelajaran bahasa di sekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur
tingkat literasi. Kegiatan literasi dalam keluarga dan dalam masyarakat
berkontribusi pada tingkat literasi. Hanya, dua situs ini jauh lebih sulit
untuk diinvestasi oleh pemerintah, dan lebih cenderung menjadi ranah inisiatif
individu dan masyarakat. perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut
empat dimensi:
1. Linguistik
atau fokus teks
2. Kognotif
atau fokus minda
3. Sosio
kultural ataufokus kelompok
4. Perkembangan
atau fokus pertumbuhan (kucer, 2005-293-4)
Sementara itu,
kern (2000 : 38) menyebut tiga dimensi, yaitu dimensi linguistik,
sosiokultural, dan kognitif. Seperti yang dibahas pada bab ini, literasi
meliputi keterampilan membaca dan menulis. Dengan demikian rekayasa pengajaran
membaca dan menulis dalam empat dimensi.
Literasi tidak
sekedar menguasai alfabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan
simbol tulisannya, tetapi simbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks
sosial. Dan kualitas literasi berkembang seiring dengan kematangan diri.
Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi
tingkat literasi seseorang. Bila pendidikan seseorang relatif tinggi tetapi
tingkat literasinya relatif rendah (misalnya pada umumnya ilmuan Indonesia
kurang produktif menulis), bisa jadi karena pendidikan literasinya kurang
maksimal, atau karena sudut pandang (paradigma) yang berbeda ihwal (pendidikan)
literasi. Sekali lagi, literasi adalah kemampuan berbaca-tulis dan malah bagi
sebagian orang literasi berkonotasi “seorang literate itu tidak sekedar berbaca-tulis, tetapi juga
terdidik dan mengenal sastra.
Jadi,
kesimpulannya literasi adalah segalanya. Menurut saya, literasi adalah pedoman
untuk menjadi manusia yang berbudi, manusia yang lebih baik. Walau saya tahu
literasi baru disini tapi saya yakin saya dan kita semua bisa mulai semuanya
dari awal, kita mulai tanamkan pada diri kita bahwa literasi memang sangat
penting.
Kita memang
belajar baca-tulis dari kita kecil atau sekolah dasar. Tapi, itu hanya
baca-tulis biasa yang semua orang bisa lakukan dengan asal-asalan yang tanpa
mereka sadari, mereka belum tahu mereka menulis untuk apa dan membaca untuk
apa. Pada umumnya disokong oleh pemerintah. Menurut saya literasi itu tidak
hanya orang yang bisa memanfaatkan baca-tulisannya dengan menulis karya satra.
Memang benar bahwa sekarang ini banyak sekali guru/dosen pasif yang kegiatannya
hanya mengajar tanpa memanfaatkan ilmu yang ia punya untuk menghasilkan sesuatu
yang bisa merubah keadaan dunia walaupun kita butuh waktu 4 dekade sekalipun.
Korea selatan saja bisa menjadi seperti sekarang. Indonesia juga pasti bisa,
indonesia bisa menjadi lebih baik lagi, tidak peduli walaupun butuh waktu yang
lama yang penting ada kemauan pasti ada jalan.
0 comments:
Post a Comment