Membaca Wacana yang
ditulis oleh Prof. Chaedar Alwashilah tentang “Kelas untuk Mendorong Kerukunan
Beragama” yang mengatakan bahwa hubungan antar teman sejawat atau sekelas lebih
erat ketimbang hubungan dengan keluarga sendiri. Sebagai contoh ketika ada seorang
kaka yang mempunyai uang lebih memilih meminjamkan uangnya kepada teman
sepermainannya sendiri daripada memberikannya kepada adiknya yang sedang
merengek meminta uang dari orang tuanya. Fenomena ini sudah sangat lumrah
sebenarnya karena mereka (para pelajar muda) sedang mencari jati diri mereka
melalui hubungan dengan temannya. Seperti halnya tawuran antar sekolah,
perkelahian demi memperebutkan seorang teman perempuannya, kebut-kebutan, dan
lain sebagainya adalah fenomena yang sangat umum ditemui. Namun, semua hal itu
tergantung pada peran orang tua sebagai pendidik pertama. Jika benar-benar
dididik dengan baik, maka tidak akan pernah terjadi hal yang demikian itu.
Program
sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana
sipil positif (Chaedar Alwashilah:). Tidak hanya sekolah yang harus berperan
dalam hal ini, tetapi juga orang tua juga harus punya peran penting dalam
membentuk karakter generasi penerus bangsa ini. Orang tua seharusnya memberi
bekal yang padat kepada anak-anaknya, dalam hal ini adalah cara berkomunikasi, berinteraksi,
sopan-santun, dan lain sebagainya perlu diajarkan sejak dini. Seorang siswa
yang datang ke sekolah memiliki latar belakang yang berbeda-beda pada setiap
harinya. Ada yang semangat, ada yang lesu, mengantuk karena mungkin begadang
karena bekerja untuk orang tuanya, ada yang dipaksa oleh orang tuanya, dan
lain-lain. Hal-hal semacam ini yang membuat siswa tidak berkonsentrasi ketika
belajar di sekolah. Akibatnya, pelampiasan kekesalan siswa tersebut diserahkan
kepada teman sekelasnya yang mungkin kurang nyaman keberadaannya di kelas
tersebut.
Itulah mengapa orang tua berperan besar terhadap
pendidikan anak-anaknya. Sekolah hanya memfasilitasi, menugasi, mengajari, dan
memberi pengarahan, kepada siswanya untuk begini dan begitu. Namun, semuanya
tergantung pada siswa tersebut. Sekolah adalah tempat kedua setelah lingkungan
keluarga.
Pada pendidikan liberal pun peran orang tua tidak
kalah penting dalam mendidik anak-anaknya. Apalagi yang bersifat liberal yang
identik dengan kebebasan yang tujuanya untuk saling menghargai perbedaan orang
lain dalam kehidupan ini. Seperti etnis, budaya, agama, dan bahkan ras. Memang
benar ketika Pa Chaedar mengatakan “Pendidikan liberal bertujuan membebaskan
siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain”. Di sini yang
dituliskan dalam wacana tersebut adalah hanya peran sekolah dalam menghargai
perbedaan antar etnis, budaya, agama, dan ras. Namun, tidak disertakan peran
orang tua di dalamnya. Sekali lagi, orang tua adalah pendidik pertama bagi
anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak menghargai perbedaan yang dimiliki
orang lain, lalu bagaimana dengan anak-anaknya?
Sekolah dalam hal ini adalah hanya meneruskan kegiatan
yang tidak diajarkan oleh orang tua siswanya. Seperti komunikasi antar teman
sekelas, menghargai pendapat, bergiliran berbicara dan diam, dan lain
sebagainya adalah kegiatan yang mungkin tidak ada dalam lingkungan keluarga.
Bukan tidak mungkin siswa membawa apa yang diajarkan kepadanya ke tempat di
mana dia belajar, dalam hal ini adalah sekolah. Sebenarnya sekolah sudah benar
menuntun siswanya untuk saling berinteraksi sesamanya meskipun tidak semua
siswa mau dituntun. Pendidikan Kewarganegaraan pun tidak menunjukkan
keefektifannya dalam mendidik para siswa yang intinya untuk menghargai segala
perbedaan yang ada di negeri ini. Pancasila juga sepertinya sudah benar dalam
69 tahun ini dan tidak ada yang perlu direvisi lagi sepertinya. Lalu siapa yang
salah mendidik bangsa ini sehingga dikenal sebagai bangsa yang anarkis? Tidak
menghargai perbedaan?
Pendidikan ini yang seharusnya dirubah total. Banyak
konflik di negeri yang dikarenakan perbedaan etnis dan agama. Seperti yang
terdapat pada wacana “Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik
antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon (
2009 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa”.
Kemudian pada era Reformasi yang ketika itu etnis Tiong Hoa yang dibantai
habis-habisan, diperkosa, dijarah, dan lain sebaginya oleh orang pribumi,
peristiwa di Sampit yang melibatkan etnis Dayak dan Madura, dan masih banyak
lagi. Apalagi pada masa tersebut Indonesia telah giat membangun negaranya.
Seperti membuat pesawat sendiri, membuat pabrik otomotif sendiri dan lain
sebagainya. Akan tetapi bertolak belakang dengan pendidikan di negeri ini.
Mereka para etnis berbeda lebih memilih sekolah yang latarnya sama dengan latar
dimana mereka hidup baik dari agama maupun budaya.
Itulah sebabnya banyak sekolah independen di negeri
ini yang mengatasnamakan agama, dan sekolah tersebut hanya menerima siswa yang
dari agama yang disyaratkan oleh pihak sekolah. Begitu banyak sekolah di negeri
ini namun pendidikannya tidak didasari Pancasila yang sangat menghargai perbedaan
orang lain.
Dalam sejarah pembuatan Piagam Jakarta (sekarang
Pancasila) dibuat dengan menghargai perbedaan agama yang ada pada Panitia
Pencetusnya. Ketika itu A.A Maramis tidak menyetujui jika Indonesia dijadikan
negara yang beasaskan islam. Kemudian K.H Wahid Hasyim sebagai ketuanya
menyetujui permintaan tersebut dan dirubahlah sila pertama seperti yang biasa
dibacakan ketika upacara sampai saat ini.
Hanya beberapa sekolah saja di negeri ini yang
memfasilitasi perbedaan baik etnis atau agama, selainnya tidak. Nah, di sini
lah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendidik anak-anaknya dalam
menghargai perbedaan. Tidak seperti Arab Saudi yang memang semua penduduknya
menganut satu agama, yaitu Islam. Dan tidak seperti Vatikan (sebuah negara
kecil di Italia) yang hampir semua penduduknya menganut satu agama juga, yaitu
Kristen. Indonesia memiliki 5 sampai 6 agama dalam berbagai aliran tersendiri
yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain yang lebih maju. Akan tetapi perbedaan itu dikotori oleh
orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya sendiri.
Untuk itu, orang tua seharusnya mendidik anaknya untuk
membagi pengalaman masa lalunya. Masa lalu yang baik bisa dijadikan contoh atau
pelajaran untuk anaknya supaya tidak mengulang perbuatan yang sama. Perlu lah
sebenarnya diajarkan sejarah pada anak sejak dini, seperti diceritakan
bagaimana perjuangan bangsa ini untuk merebut kebebasan dari bangsa lain.
Teringat pada masa perjuangan, pejuang negeri untuk
merebut kebebasan tidak melihat perbedaan dalam melawan penjajah. Mereka hanya
ingin satu, yaitu merdeka. Kemerdekaan pun akhirnya didapat namun, keselarasan
hidup untuk saling menghargai satu sama lain tidak dijunjung tinggi.
Kenyataan yang sebenarnya ada pada diri anak terutama
pada masa Sekolah Dasar (SD) adalah anak selalu menuruti apa yang dikatakan
oleh gurunya. Karena memang pada saat itu anak sedang menemukan dunia baru.
Namun, tetap orang tua punya peran lebih kepada anaknya untuk selalu mendidik
dengan semestinya. Nah, ketika di sekolah baru lah peran guru diperlukan. Tapi
seperti yang sudah dijelaskan, lingkungan keluarga lebih banyak waktunya
ketimbang lingkungan sekolah. Bisa dibilang orang tua dan guru mestinya
melakukan pendekatan lebih untuk memantau anaknya dalam belajar di sekolah
ataupun di rumah.
Ilustrasi remaja zaman sekarang banyak diwarnai dengan
pencitraan yang tidak baik yang dibuat oleh remaja itu sendiri. Ini dikarenakan
kurangnya perhatian dari orang tua, guru, dan teman sebayanya. Bisa
dibandingkan anak yang dididik dalam lingkungan keluarga yang baik serta
lingkungan sekolah yang baik juga, maka tingkat pembentukan karakternya akan
jauh berbeda dengan anak yang lingkungan keluarganya saja tidak baik seperti
Broken Home, dan lingkungan yang kurang baik dari temannya. Hal ini akan
mempengaruhi pikiran anak yang notabene adalah anak dari orang tuanya, kemudian
ditularkan pula di lingkungan di mana ia belajar, bermain ataupun sekedar
bercanda dengan teman sebayanya. Itulah mengapa banyak tawuran antar pelajar di
negeri ini. Peningkatan komunikasi antar sekolah juga perlu dillakukan demi
hubungan pelajar antar sekolah. Seperti adanya lomba-lomba tingkat pelajar baik SD, SMP, maupun SMA. Hal
ini dimaksudkan untuk menjaga hubungan baik dari sekolah sampai pelajarnya. Hal
ini juga adalah termasuk bentuk liberalisme dalam hal pendidikan dengan tidak
memfasilitasi kebebasan untuk siswanya namun tetap mengenalkan siswanya kepada
siswa dari sekolah lain.
Dalam hal ini, siswa mestinya diajari komukasi antar
teman sebayanya tidak hanya pada sekolah tetapi juga pada lingkungan keuarga
yang setidaknya memiliki banyak waktu di rumah. Tidak dipungkiri bahwa anak
yang supel (mudah berkomunikasi) akan jauh lebih menghargai orang lain dari
pada anak yang dari karakternya saja tidak terlihat atau bisa dibilang kuper
(kurang pergaulan). Komunikasi antar siswa ini bisa bermanfaat bagi psikologi anak-anak
itu sendiri dalam mengembangkan wacana positif di masyarakat yang mungkin tidak
didapat di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Tugas orang tua di sini
adalah meningkatkan tingkat daya jangkau anak dengan cara mendidik melalui
komunikasi teman sebayanya. Jadi apa yang dikatakan Prof. Haidar memang benar
adanya tentang kegiatan untuk mendorong kerukunan beragama di sekolah, namun di
sini tidak hanya sekolah yang diperlukan, akan tetapi lingkungan keluarga juga
perlu diajarkan.
Pendidikan keluarga dapat berpengaruh besar pada
karakter orang, sebab itu kunci utama untuk menjadikan Manusia Indonesia tidak
manja dan energik terletak dalam pendidikan keluarga (Sayidiman Suryohadiprojo:
2007). Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga dapat memupuk anak untuk
menghadapi era globalisasi yang kental dengan intrik liberalisme dalam
pendidikannya. Menurutnya, pendidikan liberalisme tidak cocok untuk negara yang
berada di kawasan timur karena negara-negara di bagian timur tidak selalu
memberikan kebebasan kepada anak untuk segala hal termasuk pendidikan. Yang positif
dalam pendidikan liberal adalah diberinya kebebasan berpendapat, saling tukar
pikiran, debat, melakukan riset kecil-kecilan dan lain sebagainya. Namun, ini
juga seharusnya bisa dikontrol oleh pihak keluarga yang dalam hal ini terutama
ibu dari anak tersebut.
Cara mendidik anak dalam hal agama untuk menghadapi
era liberalisme yang sekarang sedang kencang-kencangnya di era globalisasi
menurut Sutomo Paguci, yaitu bahwa Tuhan itu maha pengasih dan penyayang.
KasihNya luas tak terhingga. SayangNya tak alang kepalang. Tuhan itu sejuk dan
penuh kasih. Tidak perlu ditakuti. Sejalan dengan hal ini, mungkin saja anak
akan berproses dalam pengalaman spiritualnya. Untuk itu, diperlukan mengenalkan
nilai-nilai agama lain yang tujuannya untuk saling menghargai perbedaan agama
terutama di dalam lingkungannya sendiri.
Di zaman sekarang ini banyak orang tua yang
menyekolahkan anaknya hingga tingkat doctoral namun, tidak menyekolahkan
anaknya kepada nilai-nilai perbedaan yang ada dalam lingkungannya sendiri.
Tidak perlu lah jauh-jauh berbicara mengenai budaya dari agama lain, wongdiajarkan
cara menghargai nilai-nilai dalam agama yang lainya saja tidak apalagi
diajarkan budayanya. Inilah yang mungkin memicu bentrokan antar agama di negeri
ini yang menganggap agama mereka lah yang paling benar. Semua agama memang
benar namun, itu tergantung pada cara menghargai kebenarannya masing-masing
dalam beragama.
Berikut ini adalah peran yang mestinya dilakukan oleh
orang tua untuk mendidik anak-anaknya pada zaman sekarang yang identik dengan
globalisasi dan liberalisme yang dilansir dari penelitian MIN Glesungrejo,
sebuah sekolah madrasah negeri di Jawa Tengah yang mengungkapkan bahwa perlu
adanya dukungan untuk anak dalam mendidik. Yaitu sebagai berikut:
1. Dukungan
Sosial Ekonomi
Dukungan sosial ekonomi ini berupa pemenuhan kebutuhan fisik
yaitu biaya pendidikan, fasilitas belajar, alat dan buku keperluan belajar.
Untuk memenuhi kebutuhan fisik tersebut tentunya berkaitan dengan status sosial
ekonomi keluarga atau pendapatan di dalam keluarga itu sendiri.
2. Dukungan
Mental/Agama
Seorang anak yang baik dirumah, pasti akan mempengaruhi sikap
kesiswaannya di sekolah. Anak baik tidak dilahirkan, tapi dibentuk dan dibina
lewat pendidikan. (Ilyas: 1999)
3. Dukungan
Moral
Dukungan moral dari orang tua terhadap pendidikan anaknya
dapat berupa perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan psikis yang meliputi kasih
sayang, keteladanan, bimbingan dan pengarahan, dorongan, menanamkan rasa
percaya diri. Dengan perhatian orang tua berupa pemenuhan kebutuhan tersebut
diharapkan dapat memberikan semangat belajar anak guna meraih suatu cita-cita
atau prestasi.
4. Dukungan
Pendidikan
Pendidikan yang akan melahirkan anak baik adalah pendidikan
yang seimbang, yaitu pendidikan yang memperhatikan seluruh aspek yang ada pada
diri manusia berupa hati, akal, dan fisik. Pendidikan yang mengutamakan fisik
dan mengabaikan akal dan hati akan menghasilkan manusia hayawani (bersifat
seperti hewan), bila hanya mengutamakan pikiran saja menghasilkan manusia
syaithani (bersifat seperti syetan), sedangkan bila mengutamakan hati semata
tentu tidak realistik, karena manusia tidak bisa menjadi Malaikat (Ilyas:
1999).
Beberapa pendapat di
atas mengindikasikan bahwa pendidikan dalam keluarga sangat penting untuk
anak-anak di masa sekarang. Pendidikan keluarga tidak kalah penting untuk
membentuk karakter anak dalam bersosialisasi terhadap teman sebayanya secara
khusus dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan sosial di sekolah seperti
berinteraksi, bersosialisasi, sopan-santun dan lain sebagainya adalah turunan
dari pendidikan dalam keluarga dari anak itu sendiri. Semestinya anak lebih
dulu dikenalkan hal-hal tersebut dalam keluarga sehingga nantinya sudah
terbiasa ketika dalam kelas bersama teman-teman sebayanya.
Diantara pendapat Prof.
Chaedar Alwashilah yang mengatakan “Pendidikan Liberal bertujuan membebaskan
siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain”. Ada sejumlah pendapat
lain yang menentang keras Liberalisme dalam pendidikan, seperti menurut
Mohammad Najib (2013) yang mengemukakan bahwa “Liberalisme dan privatisasi
pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan
masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa
yang terjajah.” Pendapat ini sangat bertolak belakang dengan apa yang
dikemukakan oleh Pa Chaedar tentang pendidikan liberal.
Namun, tidak semua
pendapat mengenai pendidikan liberal itu salah. Banyak hal yang positif seperti
yang dikemukakan oleh Pa Chaedar sendiri yang ditulis dalam salah salah satu
bab di buku karangannya yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi”. Seperti
halnya dalam wacana yang ditulis oleh Pa Chaedar sendiri yang menjelaskan
manfaat pendidikan liberal bagi anak-anak zaman sekarang supaya nantinya tidak
ada lagi bentrokan antar etnis, budaya, dan agama di negeri ini. Lain halnya
dengan Pa Mohammad Najib yang dilansir dari Pakar ekonomi Prof Dr Sri- Edi
Swasono yang mengemukakan, liberalisme pendidikan merupakan bagian dari
Komitmen Washington yang akan melumpuhkan bangsa Indonesia. Bila pendidikan
dipahami sebagai komoditas, terjemahannya adalah seseorang yang tidak bisa
membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) tidak usah sekolah.Bahkan
menurut pendapat lain mengatakan, “Bila pendidikan diperlakukan sebagai
komoditas, pendidikan akan diatur sesuai hukum pasar. Meningkatnya permintaan
pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. Akhirnya, hanya orang
kaya yang bisa bersekolah”. (Ichsanuddin: 2013). Pendapat yang lain
mengemukakan “Untuk Paradigma Pendidikan Liberal juga tidak bisa lepas dari
dasar filosofis-nya yakni yang disebut dengan Positivisme. Akar permasalahan
yang melatarbelakangi konsep pendidikan liberal ialah pandangan yang mengedepankan
aspek pengembangan potensi, perlindungan hak-hak dan kebebasan (freedom). Paham
individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidikan liberal”.(Stefan
Lorenz Sorgner: 2011).
Pendapat tersebut
mengindikasikan adanya sikap diskriminatif kepada orang lain dalam dunia
pendidikan yang bersifat liberal. Memang tidak sejalan sepertinya dengan tujuan
pendidikan di Indonesia yang mengutamakan pendidikan dari pada etnis atau agama
atau bahkan ras di dalamnya. Ini dibuktikan dengan kasus Rasisme yang sekarang
sedang marak di negara-negara Eropa dan Amerika. Bahkan tidak hanya pendidikan,
Rasisme juga merambah pula sampai ke dunia seperti olahraga misalnya. Bahwa
pemain yang berkulit hitam selalu diolok-olok oleh pemain berkulit putih bahkan
sampai suporternya pun mengikuti olokan tersebut.
Mengingat bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah
seperti yang tertera dalam UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi “...,
mencerdaskan kehidupan bangsa,..”. Namun, sejalan dengan itu, UUD 1945 juga
mengemukakan kebebasan dalam diri bangsa Indonesia yang tertera pada alinea
ke-3 yang berbunyi “..., supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,...”.Hal-hal
seperti yang dijelaskan di atas tidak terdapat dalam kamus pendidikan di
Indonesia yang bersifat Demokratis, yang artinya selalu mengutamakan
kepentingan rakyat dalam menjalankan pemerintahan di dunia pendidikan.
Sebenarnya, semua jenis
pendidikan bertujuan sama. Akan tetapi, berbeda pada penerapannya saja dalam
hal mendidik siswanya. Termasuk dalam hal paradigma pendidikan yang diterapkan
oleh setiap negara yang selalu mengikuti filosofi negara. Namun, adakah
pendidikan yang sifatnya netral? Tidak merugikan siapapun yang berkaitan di
dalamnya? Secara konseptual, apapun paradigma pendidikan itu tetap saja
berpijak dan berpihak kepada suatu aliran filsafat-nya. Paradigma Pendidikan
Konservatif, misalnya, lebih dekat dengan aliran Filsafat Skolastik yang
cenderung determinis (jabbariah : fatalistik). (Stefan Lorenz Sorgner: 2011).
Jadi kesimpulannya, semua jenis pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing,tergantung pada filsafah pendidikan yang dianut oleh suatu negara.
Namun, seperti yang sudah jauh dijelaskan sebelumnya, peran lingkungan keluarga
terutama orang tua sangat penting dalam hal pendidikan anak untuk mencapai
sebuah tujuan pendidikan. Sekali lagi, sekolah hanyalah jenjang pendidikan
kedua setelah pendidikan dari keluarga.
Kemajuan masyarakat,
perkembangan Iptek yang semakin cepat, serta semakin menguatnya era globalisasi
akan mempengaruhi peran lingkungan dalam pendidikan. Di samping itu terjadinya
pergeseran peran seperti telah tampak pada keluarga modern. Keluarga modern
dituntut pula meningkatkan mutu perannya. (Elvina Lubis:2013)
Ko ga pake generic structure yang ada di syllabus? kontennya telrihat meyakinkan tapi kalo generic structurenya ga ada mah terasa kurang jadinya
ReplyDelete