Di
minggu ke dua ini, tepatnya pada mata kuliah writing 4 masih membahas kaitanya
dengan kenapa kita harus menulis? Dan ada beberapa jawaban dari beberapa
mahasiswa, bahwasanya menulis adalah kegiatan untuk menyimpan dan mengabadikan
sesuatu hal yang kita alami. Terutama pengalaman dan mengekspresikanya dalam
bentuk sebuah tulisan.
Menulis
juga sebagai pengikat informasi. Maksud pengikat informasi di sini adalah
sebagai representatif. Yaitu proses perubahan konsep-konsep ideologi yang
abstrak dalam bntuk-bentuk yang konkret. Jadi secara lebih jelasnya
representatif itu kegiatan memproduksi kebudayaan. Dan yang diikat itu bukan
pengetahuanya, bukan bahasanya, melainkan pengalamanya. Saya sangat setuju
dengan hal itu. Karena pengalaman hidup setiap orang itu tidak flat, terkadang
ada banyak lika-liku baik itu yang manis ataupun pahit, dan semua itu akan
terekam di dalam memori kita. Dan akan membentuk suatu pengalaman. Pengalaman
itulah yang direpresentasikan ke dalam bentuk yang konkret. Sehingga pesan yang
akan kita sampaikan bisa diterima dan dipahami oleh orang lain. Tentunya pula
setiap individu akan memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu
pula setiap individu mengekspektasikanya dengan berbeda-beda.
Pada
minggu yang lalu pak lala pernah bilang “ bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai sastra.” Bahwasanya itu semua adalah benar adanya. Banyak negara-negara
maju karena mereka literasi yang tinggi. Contohnya saja negara jepang, korea
selatan, jerman, dan lain sebagainya. Mereka maju karena mereka mau baca-tulis.
Dimana pun mereka berada, baik di jalan, kendaraan umum, menunggu antrian maka
mereka akan menyempatkan sedikit waktu di sela-sela mengantri untuk membaca.
Begitu sangat berpengaruhnya masyarakat yang berliterasi dengan kemajuan
bangsanya.
Bisa
pula dikatakan bahwa sastra adalah agen perubahan kebudayaan/peradaban menuju
ke hal yang lebih baik (peradaban yang lebih maju lagi). Tetapi sayangnya, di
era globalisasi sekarang ini, yang sudah banyak bermunculan gadget-gadget
canggih yang segala bentuk informasi bisa diakses dengan cepat dan mudah. Itu
semua menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa indonesia. Apakah bisa
menggunakan momentum ini dengan baik atau malah sebaliknya? Tetapi jika melihat
faktanya, kemajuan teknologi yang tidak terkontrol, menjadikan bangsa kita
lebih terpuruk lagi, dengan hanya menjadi bangsa yang ikut-ikutan arus. Menurut
saya bangsa ini akan maju apabila mereka kreatif dan lebih menghargai ilmu
pengetahuan. Dari faktor diatas dapat disimpulkan bahwasanya itu adalah salah
satu kerugian tidak menjadi masyarakat yang literate. Karena kata pak lala
semua basic teknologi pun bermuara pda baca tulis.
Menulis
adalah praktek berdasarkan ekspektasi atau harapan, optimisme yang akan kita
jangkau, dan menulis dapat dianalogikan sebagai seorang chef profesional yang
sedang memasak. Yang mana seorang chef profesional tidak akan membiarkan
dirinya membuat suatu kecerobohan dalam masakanya. Dia tahu dengan siapa dia
akan menyajkan masakanya, dan dia harus memasak apa untuk memuaskan konsumenya. dalam artian,
seorang chef harus pintar-pintar mengetahui selera konsumennya. Karena sudah
tentu selera dari setiap konsumen itu berbeda-beda. Begitupun juga dengan
menulis, menulis itu tidak boleh asal-asalan, melainkan harus mempertimbangkan
berbagai aspek.
Menurut
Setiawan, menulis itu dilakukan dimana saja, termasuk salah satunya adalah
media sosial, dan menurutnya itu adalah bentuk latihan untuk menulis. Salah
satunya adalah lewat sosial media. Sedangkan pak Haidar berbeda pendapat dengan
beliau. Menurut pak Haidar menulis itu berbentuk artikel. Tetapi kalau menurut
saya keduanya hanya berbeda dalam konteks formal dan non formal saja. Bahwa
memang kita bisa menulis dimana saja yang kita mau, tidak terkecuali di sosial
media (non formal). Pak Haidar bilang bahwa menulis adalah dalam bentuk artikel
dan menulis adalah menulis. Kegiatan yang menghubungkan dengan
pengalaman-pengalaman yang sudah dialami, dan merujuk pada ilmu pengetahuan
yang didapat dari kegiatan kita membaca.
Kita
akan merubah diri dari siswa bahasa menuju siswa menulis. Menurut pak Lala,
kita adalah multiplemungual written yang bisa kritis terhadap keduanya. Yaitu
pembaca dan penulis. Menulis = sebagian dari hidup. Oleh karena itu menulislah.
Karena dengan tulisan walaupun tidak secara langsung berdampak signifikan, akan
tetapi dengan menulis kita sudah melakukan perubahan kecil yang akan berdampak
besar bagi kemajuan peradaban suatu negara.
Menurut
Lehtonen, ketika bahasa mempunyai sistem sendiri yang mendefinisikan, yang
mengartikan dirinya sendiri. Jadi, otomatis meaning itu ada atau pasti
ditemukan. Manakala ada seorang writer dan reader. Jika salah satunya tidak
ada, maka akan kehilangan meaning dari teks tersebut. Jika sebuah tulisan tidak
ada pembacanya, maka tulisan itu tidak akan menjadi apa-apa.hanya terkubur.
Jadi, betapa pentingnya reader dan writer dalam menentukan meaning di dalam
sebuah teks.
Ketika
ada writer dan reader, maka meaningnya berada di antara keduanya. Meaning itu
seharusnya searah. Akan tetapi terkadang berbeda sesuai dengan pengalaman si
pembaca. Dan apabila kita akan mengkritisi sebuah teks, maka kita harus tahu
terlebih dahulu background dari keduanya. Dalam artian yang menyesuaikan
sendiri adalah adalah pembaca. Tetapi keputusan mengambil meaning ada pada
pembaca.
Lehtonen
Hal 11. Kata gay kuk, ahli bahasa mengkarakteristikan situasi bahasa dalam konteks
“kamu pembaca tidak bisa melihat aku sebagai penulis.” Dalam artian, si pembaca
tidak akan tahu situasi apa yang terjadi ketika penulis tersebut sedang
menulis. Mereka (pembaca) konteksnya sebagai benda mati. Karena mereka tidak
tahu apa yang sedang dialami oleh penulis. Mereka (pembaca) hanya tahu ketika
teksnya sudah disajikan dan berada di tangan pembaca, maka sudah menjadi haknya
untuk menentukan meaningnya.
Kesimpulan
: menulis (karya sastra) itu bisa menjadi agen merubah suatu peradaban yang
lebih baik lagi. Karena pada dasarnya semua kemajuan teknologi bermuara dari
bagaimana masyarakatnya mencintai baca-tulis.
0 comments:
Post a Comment