Toleransi Pengikat Perbedaan
Salah satu yang menjadi faktor
kerukunan dalam suatu Negara adalah adanya rasa dan sikap toleransi. Sebenarnya
toleransi bukan untuk sekedar perbedaan agama, tapi lebih luas dari pada itu.
Kenapa? Toleransi mempunyai arti saling menghargai dan menghormati tanpa
memandang faktor apapun. Toleransi pertama kali dicetuskan di Indonesia oleh
Bapak Adurhman Wahid, ketika beliau menjadi presiden di Republik ini. Fahamnya
yang bernama pluralisme, yang menitikberatkan pada toleransi beragama. Arti
yang begitu dalam ini akan berdampak sangat besar bagi bermasyarakat dan
bernegara. Bagaimana tidak? Jika tidak adanya toleransi, sudah dapat dipastikan
akan menjadi Negara apa kita nanti. Namun demikian, untuk memupuk rasa dan
sikap toleransi itu tidaklah mudah. Hal tersebut tergantung pada pola fikir dan
lingkungan disekitarnya (keluarga dan masyarakat).
Pada artikel ‘Classroom discourse to
foster religious harmony’, terdapat titik fokus yang menjadi pembahasan
selanjutnya dalam critical review kali ini. Seperti peer interaction,
education, dan religious harmony. Hal-hal tersebut tentu erat kaitannya dengan
toleransi. Begitu crucialnya toleransi karena walaupun datang dari perbedaan,
dia dapat mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak.
Pentingnya toleransi telah
tergambarkan dari apa yang tertulis dalam artikel tersebut, baik secara
eksplisit maupun implisit. Dikatakan bahwa, pada era ini sudah terlihat jelas
dampak-dampak negatif dari ‘lunturnya’ toleransi di Indonesia. Seperti tawuran
pelajar, bentrok antar warga yang berbeda etnis, agama, adu argumen yang
berujung pada adu otot di kalangan para birokrat, perebutan lahan, dan
lain-lain. Hal ini dapat diminimalisir dengan pembekalan untuk para siswa
sedari SD, yang berfungsi sebagai pengembangan individual menjadi anggota
komunitas. Pemvbekalan ini bersifat kontinuitas sampai mereka terjun langsung
ke lingkungan masyarakat. Selain itu, ada beberapa hasil penelitian yang di
tampakkan dalam artikel tersebut. Seperti penelitian tentang interaksi yang
menjadi dasar sikap toleran. Sikap toleran ini tentu berguna bagi masa depan
siswa, saat mereka memasuki lingkungan masyarakat yang lebih luas. Juga
dibutuhkannya discourse civil (interaksi yang beradab) pada siswa SD agar dapat
membentuk musyawarah yang baik. Kenapa harus demikian? Banyak fenomena-fenomena
disekitar kita yang menjadi bukti dari buruknya pendidikan tentang dicourse
civil, seperti sikap dan bahasa tercela para politisi di Negeri kita. Sehingga
dibutuhkan pembekalan dan pengajaran sedari dini agar kejadian tersebut tidak
terulang kembali, seperti membeli kesempatan pada siswa SD untuk berkomunikasi
dengan temannya dari agama, kelompok, dan etnis yang berbeda. Oleh karenanya,
pendidikan liberal yang mencakup pendidikan multicultural harus ada sejak SD.
Di sisi lain, pengajaran agama yang hanya
terfokus pada aspek teologis dan ritual telah mendapat banyak kritikan. Hal itu
dikarenakan telah hilangnya aspek sosial dari agama itu sendiri. Dimana aspek
sosial adalah hal yang sensitif karena menyangkut hubungan dengan agama lain,
yang sudah barang tentu membutuhkan kohesi sosial (persetaraan). Oleh
karenanya, munculah pendapat tentang tempat beribadah bagi semua agama di
sekolah.
Dari simpulan artikel di atas, dapat
disederhanakan menjadi 3 titik fokus dalam artikel ‘Classroom discourse to foster
religious harmony’, yaitu interaction, education, dan religious harmony. Semua
itu merupakan inti dari rekayasa toleransi.
Sebagai mahkluk sosial manusia tidak
dapat hidup sendiri. Dalam prakteknya mereka membutuhkan interaksi (timbal
balik) dalam berkomunikasi dan berprilaku. Sehingga dalam toleransi, interaksi
sangatlah penting dalam menjaga hubungan baik diantara golongan yang berbeda.
Seperti penelitian yang sudah saya lakukan pada teman saya. Dia mempunyai teman
yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Ketika dia sedang melakukan
ritual peribadahan, temannya (berbeda agama) sangat menghargai apa yang sedang
ia lakukan. Sehingga ia mengambil alih pekerjaan yang seharusnya tidak ia
kerjakan. Bahkan sikap tolerannya ini lebih baik dibandingkan teman-teman
(agama yang sama) lainnya. Interaksi tersebut sangat alami karena dia
melakukannya tanpa melihat perbedaan agama.
Melalui interaksi rasa dan sikap
toleransi dapat tumbuh. Oleh karenya, dia harus diperkenalkan dan diajarkan
sedari dini. Disinilah orang tua sangat berperan. Tidak perlu secara teoritis
karena seperti yang kita tahu, bahwa toleransi bukan sebatas untuk perbedaan
agama. Namun bagaimana cara kita untuk saling menghargai dan menghormati tanpa
memandang latar belakang keluarga, sosial, dan agama. Orang tua dapat
menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh untuk anak-anaknya agar bersikap
sopan dalam berinteraksi dan berprilaku.
Kesalahfahamn yang timbul dari
interaksi yang tidak beradab terutama terjadi di dalam lingkungan kelas, dapat
menyebabkan konflik di antara kelompok yang berbeda. Konflik-konflik tersebut
terbagi kedalam 3 macam, yaitu: 1). Perbedaan kebudayaan. Setiap budaya
mempunyai norma dan nilai yang berbeda. Oleh karenanya, dibutuhkan pemahaman
tentang budaya lain agar dalam berinteraksi sosial tidak menimbulkan
kesalahfahaman yang berujung konflik. 2). Perbedaan kepentingan. Hak ini di
picu karena adanya perbedaan keinginan dari dua kelompok. 3). Perubahan sosial.
Hasrat untuk merubah suatu kebiasaan yang telah ada di masyarakat atau
keinginan untuk memberontak. Dari semua jenis konflik tersebut, terlihat jelas
bahwa toleransi memang benar-benar crucial dalam kehidupan bermasyarakat.
Sehingga, diperlukannya ‘rekayasa’ guna membangun interaksi yang baik dan
membuahkan kehidupan toleran. Dalam hal ini interaksi hubungan sosial sangat
ampuh untuk melahirkan interaksi diantara anggota yang memiliki latar belakang
yang berbeda. Menurut Robin (2009), " …that school-age children prefer to
interact with their peers. In the school context, it is the relationship where
peers respect, help, share, and generally are polite toward one another."
Dari statement tersebut, kita dapat belajar sesuatu. Bahwa menciptakan sesuatu
yang baik dalam sebuah perbedaan adalah dalam lingkungan sosial, seperti di
sekolah, kantor, dan tempat sosial lainnya. Komponen interaksi yang harus di
rekayasa adalah esensinya. Kalangan dari berbagai pemeluk agama duduk dalam
satu ruangan untuk membicarakan masalah sosial (kriminalisme) yang terjadi di
Indonesia. Tentu semua agama mengajarkan kebaikan. Oleh karenanya, jika kita
bersatu dalam mencari solusi dari masalah pelik Negeri ini, maka akan
terciptalah religious collective yang mempererat rasa kebangsaan. Namun
sayangnya dengan keadaan seperti sekarang ini, cita-cita itu terlalu tinggi.
Apa sulitnya jika saling menghargai? Apa sulitnya jika hidup berdampingan?
Ataukah ada pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja mengadu domba kita agar
terpecah belah? Come on brothers! We are united in our differences.
Di sisi lain, rekayasa interaksi
yang dapat dilakukan adalah dengan pemakain Bahasa Nasional. Bahasa Indonesia
baku bersifat netral dan nasionalis. Bahasa Indonesia menyatukan kita dari
berbagai perbedaan agama, ras, suku, dan budaya. Di bumi Pertiwi ini terdapat
banyak budaya yang menjadi kekayaannya. Lalu interaksi yang seperti apakah yang
dapat dilakukan? tentu dalam interaksi tersebut kita tidak membawa background community
karena itu akan menimbulkan kesan arrogant dan diskriminasi. Dalam hal ini,
kita perlu belajar banyak dari para kritik cendikiawan sejati (A. Chaedar
Alwasilah: Politik Bahasa dan Pendidikan). Kenapa harus cendikiawan sejati?
Pada dasarnya kritik cendikiawan sejati lebih memprioritaskan pada nilai-nilai
moral dan kemanusiaan. Mereka memiliki misi merasionalisasikan masalah yanga
ada di Negri kita. sehingga dapat ‘melunturkan’ ideologis kelompok melalui
rasionalisasi perbedaan-perbedaan keluarga, suku, budaya, dan agama. Dengan
kata lain, keberadaan mereka crucial dalam berinteraksi menyampaikan kritik
untuk para penguasa. Mereka juga mampu menyuarakan apa yang masyarakat dari
berbagai latar belakang rasakan. Hal ini karena masalah sosial yang mereka
hadapi sama. Berbeda dengan para politisi yang berpendidikan tinggi namun tidak
sesuai dengan discourse civil yang mereka miliki.
Dalam artikel ‘Classroom discourse
to foster religious harmony’ dari presfektif pendidikan, Pak Chaedar menyetujui
adanya pendidikan liberal sedari SD dan pendidikan berkonsep asrama seperti
Amerika dan pesantren di Indonesia. Menurutnya dalam pendidikan liberal,
seorang memberi kesempatan pada para siswanya untuk berinteraksi dengan
temannya dari agama, ras, suku, dan budaya yang berbeda. Namun sebelum guru
mengaplikasikannya, terlebih dahulu harus mengetahui sistem dari pendidikan
liberal itu sendiri.
Pendidikan liberal adalah pendidikan
yang diinginkan untuk memperluas wawasan yang bukan sekedar pelatihan teknis
dan ‘profesional’. (A. Chaedar Alwasilah: Pokoknya Rekayasa Literasi). Jika
kita menerapkan pendidikan yang berbobot ‘ekstra’ di SD, bisa dipastikan tidak
akan berjalan dengan baik. Kenapa? Dari sisi psychology, siswa SD masih
berfikiran absolut dan dunia mereka adalah dunia permainan. Tidak peduli dengan
apa itu literasi dan liberal. Perlu adanya rekayasa yang dilakukan guna
menumbuhkan rasa dan sikap toleran pada diri siswa. Esensi dari toleransi
adalah sikap saling menghargai dan menghormati tanpa melihat background apapun.
Dengan demikian para guru dapat memberi penegrtian tentang toleransi mulai dari
hal sepele, seperti mencium tangan orang tua, discourse civil di lingkungan
sosial manapun, dan menghargai pendapat orang lain. Perilaku tersebut akan
menjadi tunas bagi mereka untuk memasuki lingkungan masyarakat yang lebih luas
lagi.
Selain itu, untuk merekaya interaksi
dalam suasana kelas yang terdiri dari berbagai background berbeda, guru harus
mampu memakai Bahasa yang dimengerti oleh mereka. Seperti tidak membawa
background agama, ras, suku, dan budaya dalam menyampaikan materi. Dengan kata
lain, guru harus mampu mengganti bahasa-bahasa istilah (agama, ras, suku) ke
dalam Bahasa Indonesia. Hal itulah yang menjadi salah satu dari tujuan
penghapusan Bahasa Daerah dari Kurtilas, agar tidak adanya diskriminasi
terhadap kelompok tertentu.
Pada dasarnya, pendidikan liberal
dan multicultural berbeda. Pendidikan cultural dapat terlihat dari 2
presfektif, yaitu horizontal dan vertikal. Dari oresfektif horizontal, Bangsa
Indonesia terdiri dari perbedaan etnis, bahasa daerah, dan budayanya. Sedangkan
pada presfektif vertikal, Bangas kita terbagi kedalam tingkat pendidikan,
ekonomi, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya. Kedua pendidikan tersebut
menitikberatkan pada toleransi yang di dasari discourse civil. Yang menjadi
pertanyaan, lalu sistem pendidikan apakah yang di anut Indonesia? Apakah yang
membedakan antara keduanya?
Indonesia menganut sistem pendidikan
Pancasila. Sebenarnya, pendidikan umum dan liberal sering di samaratakan.
Namun, yang berbeda hanya terletak pada titik fokusnya saja. pemdidikan
liberal, berfokus pada mata pelajaran sebagai warisan tradisi (klasik) dan
lebih mengembangkan aspek intelektual. Sedangkan pendidikan umum, terfokus pada
pengembangan pribadi yang bukan hanya aspek intelektual tetapi emosi, sosial,
dan moral.
Untuk mendukung kerukunan masyarakat
yang berbeda background, di butuhkan adanya kohesi sosial. Terutama dari segi
pendidikan. Di sekeliling kita terdapat banyak spesialisasi pendidikan yang
membawa nama agama tertentu. Tentu realita tersebut memberikan dampak
diskriminasi bagi sebagian kalangan. Pemerintah bukan tidak bertindak, namun
realita tersebut memang benar adanya dalam peraturan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3,
yakni "Pemerintah mengusahakan dan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwanan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa yang di atur dengan UU". Lalu
mau beralasan apalagi untuk tidak bertoleransi?
Toleransi memang sering kali di
kaitkan dengan perbedaan agama karena sifatnya sangat sensitif. Banyak fenomena
perang, kerusuhan, fanatisme, kekerasan, dan pemberontakan yang dikaitkan
dengan agama tertentu. Semua ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu minimnya
toleransi, sifat fanatisme suatu kelompok, rasa memiliki atau menguasai, dan
merasa yang paling benar tanpa menghiraukan kelompok lain. Harus berapa kalikah kalimat ini diserukan?
Harus berapa banyak lagikah nyawa yang tidak berdosa yang menjadi ‘tumbal’ dari
pesugihan seseorang untuk menjajah Negri kita? Bukankah di setiap agama di
ajarkan sikap toleransi?
Sebagai Bangsa yang kaya akan
warisan para terdahulu, seperti agama yang menjadi kekayaan dari sebuah Negara.
Menjadikannya Bangsa yang tidak ‘monoton, seperti Negara kita. (A. Chaedar
Alwasilah: Politik Bahasa dan Pendidikan). Menurut Pak Chaedar, perbedaan agama
adalah kekayaan psykologis sosial religius Indonesia yang dapat memotivasi
masyarakat untuk menarik benang merahnya, yakni persamaan pandangan dalam
mencampuri kehidupan bernegara. Yang ironis di Negri kita adalah seringkali
agama sebagai kekayaan indvidu yang menguasai alam fikiran dan emosi daripada
agama sebagai kekayaan pemeluknya dan aset Bangsa. Menurut Bapak Chaedar,
dialog bukanlah ‘adupenalti’ terlebih dialog tentang agama. Terdapat banyak
konflik yang terjadi karena perbedaan agama. Menurut Lewis A. Coser, konflik di
bedakan menjadi 2, yaitu konflik in group (di dalam kelompok) dan konflik
out-group (kelompok dengan kelompok lain). Fenomena dari berbagai konflik
tersebut memang benar adanya di Negri kita ini. Masih segar di ingatan kita,
ketika sebuah pesantren yanga ada di daerah Jawa di rusak oleh penduduk
sekitar. Hanya karena dugaan ilmu sesat. Padahal mereka sama-sama memeluk agama
Islam. Itu hanaya satu dari sekian realita yang ada. Di sisi lain, konflik
antar kelompok dengan kelompok lain sudah tidak terhitung lagi. Sebut saja
konflik di Maluku pada tahun 2003, yang disebut-sebut sebagai perang
Islam-Kristen.
Dialog-dialog yang sangat sensitif
antar agama adalah teologi dan non-teologi. Teologi berkenaan dengan diskusi
yang dilakukan oleh petinggi-petinggi yang mengatur kehidupan beragama
(Kemenag). Mereka acapkali mengekuarkan fatwa-fatwa yang diyakini oleh para
pengikutnya. Sehingga, perlu adanya kehati-hatian dalam menyampaikan fatwa
tersebut agar tidak menyakiti pemeluk agama lain. Sedangkan dialog non-teologi
tentang kehidupan kerja sosial yang dilakukan oleh masyarakatnya dalam. Oleh
karenanya, semua pemeluk agama harus menjadi satu dalam menghadapi
penyakit-penyakit sosial.
Untuk menjaga keharmonisan ummat
beragama, dibutuhkan interaksi yang komunikatif. Agar terhindar dari
kesalahfahaman dan perasaan diskriminasi. Dua hal ini menjadi awal dari konflik
antar agama, maka diperlukan dialog yang sederhana namun beresensi. Oleh karena
itu, perlu adanya rekayasa dalam menjaga dialog antar agama. Menurut Prof.
Chaedar (Politik Bahasa dan Pendidikan), ada 4 cara dalam berdialog dengan
berbeda agama yang dapat berhasil. Pertama, setiap agama memilih figur
atau pemimpin untuk menyampaikan pendapat atau ide. Dia harus benar-benar
menguasai berbagai pengetahuan bukan saja pengetahuan tentang agamanya. Agar
dalam berdialog tidak ada ungkapan-ungkapan yang dapat menyinggung pemeluk agama
lain. Kedua, mampu menguasai Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Hal ini untuk menghindari pemakaian bahasa asing yang berasal dari agama
tertentu, mereka pun akan mudah mengerti dengan maksud dari dialog tersebut. Ketiga,
harus dalam suasana yang nyaman dan netral. Artinya tidak ada logo atau
unsur-unsur dari agama sendiri ataupun yang lain. Tempat yang digunakan,
seperti restoran, pekantoran, hotel, gedung sekolah, dan lain-lain. Selain itu,
para birokrat harus mampu mengangkat isu-isu yang sensitif tentang keagamaan,
serta memimpinnya dengan adil dan bijaksana karena sudah sepantasnyalah
pememrintah melindungi para pemuka agama. Agar tercipta kohesi sosial. Keempat,
dialog ditujukan untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah
sosial.
Survey membuktikan bahwa Negara yang
tertoleran sedunia adalah Indonesia. Sungguh mencegangkan bukan? Padahal dalam
kenyataannya masih banyak kerusuhan dan kerusakan yang disebabkan oleh minimnya
rasa dan sikap toleransa antar umat beragama. Namun, tidak bisa di pungkiri
bahwa di Indonesia terdapat kurang lebih 5 agama yang di lindungi. Hal ini
membuktikan bahwa pemerintahan kita menganut faham pluralisme (toleransi
agama). Realita ini juga dibuktikan dengan adanya beberapa banguan dan tempat yang
dijadikan sebagai simbol dari kerukunan antar umat beragama. Sebut saja letak
Masjid Istiqlal yang berhadapan langsung dengan Gereja Kategral di Jakarta.
Selain itu, tempat wisata Bukit Kasih yang terletak di Manado. Di sana terdapat
tempat-tempat peribadahan dari agama yang ada di Indonesia. Perlu bukti apalagi
untuk menyadarkan toleransi yang tersimpan jauh di fikiran kita?
Sebenarnya perbedaan yang ada di
Indonesia tidak akan menjadi masalah. Semua itu sudah tergambarkan dari
semboyan NKRI ini, yakni Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu
jua). Sungguh teramat sangat tragis jika dalam pelaksanaannya menjadi
‘berbeda-beda tetapi tetap runtuh jua’.
Toleransi memang hal yang crucial di
Negara Indonesia ini. Dia memang mudah ditemui namun sulit untuk di jiwai. Namun,
kita dapat memperbaharuinya dengan melakukan rekayasa toleransi sedari dini.
Mulai dari di berikan pengajaran yang sepele untuk menghormati lingkungan
sosial di sekitar sampai yang lebih kompleks, yakni terjun langsung dalam dunia
masyarakat sosial yang lebih luas. Melalui pendidikan, toleransi juga dapat direkayasa
di lingkungan SD. Namun, untuk menggunakan cara pendidikan liberal itu tidak
cocok dengan umur para siswa yang masih kecil. Pendidikan sosial dan
multikultural mempunyai tujuan yang sama. Hanya berbeda dalam hal presfektifnya
saja. Lain halnya dengan toleransi yang menitikberatkan pada persoalan
perbedaan agama. Perlu adanya kehati-hatian dalam berinteraksi dan bersikap
karena sangat sensistif dengan kesalahpahaman. Pada dasarnya, semua agama
mengajarkan kepada kebaikan. Sehingga, untuk apa kita memperbutkan daerah
kekuasaan selama kita masih bisa untuk hidup saling berdampingan di Indonesia
ini. Toleransi seseorang di pengaruhi oleh tingkat keliteratan orang tersebut,
maka berlakulah rumus sebagai berikut: Semakin tinggi daya literasi seseorang,
semakin tinggi pula rasa tolerannya.
Reference
v Alwasilah.
A Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya
v Alwasilah.
A Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Kiblat
v http//veronicasandhyputra.blogspot.com.
v http//gadogadozaman.blogspot.com.
diharamkan pake judul yang sama lho! generic structure ga mengena karena ga sesuai dengan yang ada di silabus. cek lagi keterhubungan antara literasi, classroom discourse, dan religious harmony beserta contoh konkritnya
ReplyDelete