Istiqomah
PBI-B/4
Critical
Review
Bukan Masyarakat
Toleransi
Masyarakat
merupakan bagian dari suatu negara. Di Indonesia dihuni oleh beragam masyarakat
yang kompleks karena bentuk negara yang kepulauan. Oleh karena itu, negara
Indonesia dihuni oleh masyarakat yang multikultural. Di lain pihak, Indonesia
yang notabene adalah negara kepulauan menjadi tempat yang strategis. Sejarah
mengatakan, kestrategisan Indonesia menyebabkan banyak pedagang dari berbagai belahan dunia singgah
di Indonesia. Pedagang-pedagang tersebut pula yang mulai menyebarkan agama di
Indonesia dan hingga saat ini telah diakui enam agama di Indonesia.
Masing –
masing agama memiliki umat dan penganutnya masing – masing. Perbedaan itu
dipersatukan dengan Pancasila, khususnya sila ketiga “Persatuan Indonesia”.
Akan tetapi, tidak semuanya dapat berjalan mulus, seringkali terjadi konflik di
antara umat beragama. Tentunya semua itu alamiah dan wajar, tinggal bagaimana
manusia menyikapi situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan konflik – konflik
tertentu. Menanggapi realita tersebut, ada beberapa upaya nyata yang akan
dikupas dalam tulisan ini, yakni meliputi konektifitas antara pendidikan dan
toleransi antara umat beragama. Serta ditambah dengan fakta-fakta berdasarkan
hasil wawancara.
Sampai
saat ini, agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dan negara
dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antara anggota masyarakat.
Tapi, disisi lain agama juga dapat sebagai pemicu konflik antara masyarakat
beragama. Ini adalah sisi negatif dari pendidikan beragama dalam mempengaruhi
masyarakat, dan hal ini telah banyak terjadi di Indonesia. Seperti halnya yang
Prof. Chaedar katakan dalam buku yang berjudul Pokoknya Rekayasa Literasi pada
halaman 218 yaitu di Pontianak marak sekali terjadi bentrokan antar beragama.
Kenapa terjadi demikian? Mungkin sistem pendidikan beraga disana sangatlah
rancu.
Sebenarnya,
saya kurang setuju dengan perkataan Prof. Chaedar dalam bukunya yang berjudul
Pokoknya Rekayasa Literasi, beliau berkata bahwa masing-masing sekolah harus
memiliki tempat peribadatan semua agama. Menurut saya, melihat keadaan ekonomi
di Indonesia, itu sangat tidak mungkin di laksanakan. Karena seperti kita
ketahui, untuk membuat laboratorium bahasa untuk sekolah saja sudah cukup susah
dipenuhi. Apalagi membuat tempat peribadatan semua agama. Kemudian jika kita
membuat tempat peribadatan semua agama di sekolah, siswa akan merasa ada
batasan antara sesama siswa. Serta timbullah rasa ketidaknyamanan.
Bagaimana
cara mengubah sistem pendidikan sekarang ini yang kadang sangat jauh dari kata
rata-rata. Bayangkan saja ketika kita membayar mahal untuk dana pendidikan keluarga kita, tapi kita tidak
mendapatkan perbuahan yang nyata pada pendidikan bangsa ini. Apa karena sistem
kinerja tenaga pendidiknya yang rancu atau karena siswanya yang tidak
sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu? Menurut pendapat saya, pendidikan
toleransi antara umat beragama tidak seharusnya hanya di serahkan secara penuh
kepada pihak sekolah atau tenaga pendidik. Seharusnya orangtua pun memiliki
andil yang cukup besar dalam mendidik putra/putri mereka dalam toleransi antara
umat beragama. Kemudian sisanya pihak sekolah sebagai tenaga pendidik yang
berhak dalam membimbing siswa agar menghormati antara umat beragama.
Sebaiknya,
pada sekolah tingkat dasar dikurangi mata pelajarannya, contohnya matematika,
karena seperti kita ketahui anak yang putus sekolah di tingkat dasar, pelajaran
matematika kurang berguna sebaiknya diganti dengan mata pelajaran berhitung.
Karena pada kenyataannya untuk anak yang putus sekolah tidak menggunakan sistem
matematika seperti negatif, posiif, pangkat dan derajat. Sebaliknya yang
butuhkan anak untuk sebagai bekal mereka kelak adalah penghitungan, pengurangan
dan pembagian. dan juga sebaiknya diperpanjang waktu jam pelajaran budi
pekerti.
Seperti
kita ketahui mata pelajaran budi pekerti sangat membantu siswa dalam
pembentukan karakter mereka kelak. Seperti halnya dalam mata pelajaran budi
pekrti, kita diajarkan untuk menghormati orang lain baik itu dalam satu
etnis/agama juga menghormati orang lain yang berbeda agama. Dalam mata
pelajaran budi pekerti, kita pun diajarkan untuk membuka diri seperti berani
untuk mengemukakan pendapat dan berani untuk mengomentari sesuatu. Dan pihak
sekolahpun wajib memberikan fasilitas guna menunjang pembelajaran yang
berkualitas. Seperti fasilitas diskusi untuk siswa dan lain-lain.
Diskusi
secara umum adalah suatu ajang untuk yang membentuk kepribadian siswa guna
menjadi manusia yang berliterasi. Dalam ajang diskusi ini, siswa diajarkan
untuk mendengarkan perkataan orang lain serta menghormati pendapat orang lain.
Suatu ajang yang bagus seperti ini, alangkah baiknya di laksanakan secara rutin
seperti agenda mingguan atau bulanan guna membentuk kepribadian siswa secara
utuh dan berkualitas.
Banyak
sekali kejadian orang tua yang hanya membiarkan anaknya diurus oleh
pengasuhnya, sedangkan anak tersebut sangat membutuhkan motivasi dari kedua
orangtuanya. Inilah yang menyebabkan anak lebih memilih untuk melakukan hal-hal
yang tidak diinginkan seperti tawuran pelajar, pengeroyokan dan lain-lain.
Jadi, jika dilihat dari sudut pandang kejadian tersebut, maka pihak sekolah
harus berinisiatif membuat acara mingguan guna menjalin tali silaturahmi antara
sesama umat beragama. Contohnya seperti acara keputrian (untuk para wanita),
acara keputrian bukan hanya membahas mengenai sudut pandang perempuan. Tapi, keputrian juga dapat
menjadi lahan untuk membimbing siswa guna menghargai sebagai sesama umat
beragama.
Pada hakikatnya pembelajaran yang efektif adalah proses
belajar mengajar yang bukan saja terfokus kepada hasil yang dicapai peserta
didik, namun bagaimana proses pembelajaran yang efektif mampu memberikan
pemahaman yang baik, kecerdasan, ketekunan, kesempatan dan mutu serta dapat
memberikan perubahan prilaku dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan
kualitas pembelajaran yang dilaksanakan di kelas dan atau di ruang praktek/laboratorium.
Sehubungan dengan tugas ini, guru hendaknya selalu memikirkan tentang bagaimana
upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tersebut,
diantaranya dengan membuat perencanaan pembelajaran dengan seksama dan
menyiapkan sejumlah perangkat pembelajaran yang tepat.
Banyak sekali contoh daerah di Indonesia yang memiliki
konfik atau toleransi antara umat beragama. Seperti halnya pulau Kalimantan. Mungkin
sering sekali kita menganggap bahwa pulau Kalimantan yang diplopori oleh suku
dayak yang kuat marak sekali terjadi konflik antara umat beragama. Tapi lain
halnya jika kita terjun langsung menuju pulau Kalimantan Barat khususnya daerah Ngabang. Disana kita dapat
melihat kerukunan antar etnis dan agama. Dan itu jauh sekali dari kata
“konflik.” Seperti narasumber yang telah saya wawancarai Billy (27), kerukunan
yang terjalin di Kalimantan antar etnis dan agama itu disebabkan karena
tersusunnya sistem pembekalan sejak dini oleh orang tua, tokoh masyarakat, dan
guru. Sehingga terjalinlah suatu kerukunan antar etnis dan agama. Oleh sebab
itu, sangat besarnya pengaruh sistem pembekalan pendidikan antara umat beragama
dan sangatlah penting bagi pembangunan bangsa kita.
Kejadian
tersebut dapat dilihat dari suatu kasus. Contohnya, ketika bupati Ngabang
Kalimantan Barat, Adrianus yang beragama Kristen katolik, dalam satu hari
dibulan suci ramadhan pasti mengadakan acara buka puasa bersama untuk seluruh
warga muslim yang ada disekitar itu, dan beliaupun tidak segan-segan
menyumbangkan uangnya untuk disumbangkan di masjid terdekat. Itu adalah salah
satu contoh positif dalam membangun bangsa melalui kerukunan antar beragama. Dan
kerukunan antar beragama akan tumbuh jika kita memberikan pembekalan kepada
anak-anak didik kita.
Apa
yang dikemukakan tokoh masyarakat tersebut, sesungguhnya dapat diimplementasi
di tengah masyarakat yang kerap terancam dalam suasana konflik. Di tanah air
masih ada beberapa daerah yang “dihantui” konflik horizontal antar etnis
seperti di Kalbar (Dayak versus Madura, Madura berhadapan dengan etnis Melayu,
di Sambas). Di Sampit, Kalteng, Madura bertikai dengan Dayak.Bahkan di kota
besar pun, kadang muncul sikap anti etnis tertentu yang disebabkan adanya
ketimpangan ekonomi. Di Jakarta, ketika ada kerusuhan, bisanya etnis Tionghoa
sebagai jadi korban.
Jadi,
guna menghindari konflik sosial, kelompok suku bangsa harus menyadari
pluralitas suku bangsa dan budaya yang ada. Di sisi lain, untuk mempertahankan
kebudayaan agar tetap hidup, perlu kreatifitas antar masyarakat yang berbeda
budaya. Karena itu diperlukan kerjasama antar suku bangsa. Tanpa kebersamaan
semuanya tidak akan berjalan sesuai harapan. Cara menciptakan kebersamaan,
kelompok-kelompok suku bangsa harus membangun rasa saling percaya satu dengan
lainnya untuk membangun hal itu. “Kepercayaan untuk bekerjasama merupakan modal
sosial yang penting, artinya dalam proses pembangunan masyarakat, bangsa dan
negara disamping modal fisik seperti uang dan sumber daya alam,” Dikatakan,
negara-negara yang miskin sumber daya alam, tetapi memiliki sumber daya manusia
yang dapat bekerja satu sama lain atas dasar saling percaya dapat tumbuh
menjadi negara maju. Dengan bekerjasama, akumulasi pengetahuan dan modal dapat
terus ditingkatkan demi kepentingan bersama.
Cara
lain yang bisa ditempuh untuk meredam konflik sosial selain kebersamaan itu
adalah perlunya menumbuh kembangkan kesadaran bahwa masing-masing dari mereka
memiliki perbedaan dalam setiap struktural kehidupan bermasyarakat. Baik itu
dari segi ekonomi, politik hukum dan sebagainya.
Perbedaan itu perlu dikenali dan dipahami dengan baik agar
dalam interaksi sosial terbangun saling pengertian dan tenggang rasa. Dengan
kata lain jika masing-masing kelompok masyarakat atau kelompok suku bangsa
memahami perbedaan yang ada diantara mereka, maka masing-masing daripadanya
akan mengerem atau tidak melakukan hal-hal yang dianggap tidak patut oleh
masing-masing kelompok.
Seperti kita ketahui, semua agama di dunia ini pasti
mengajarkan tentang toleransi antara umat beragama. Karena perbedaan itu akan
indah jika kita sama-sama saling menghormati satu sama lainnya. Bukan halnya
dengan menjatuhkan salah satu kelompok. Mungkin dalam kenyataannya di negri
kita ini marak sekali terjadi bentrokan antara umat beragama. Setiap
masing-masing anggota sebuah kelompok atau etnis pasti ingin menunjukkan kepada
kelompok lain bahwa kelompoknyalah yang paling unggul dan memiliki banyak
kelebihan. Tapi, seandainya jika kita ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa
kelompok kita itu berbeda. Maka dari itu bersikaplah dengan baik dan hormatilah
sesama umat beragama. Agar rasa toleransi dapat terjalin dengan sendirinya.
Oleh sebab itu, tularkanlah jiwa bertoleransi antara sesama umat beragama
kepada anak-anak didik kita.
Konflik
merupakan suatu akibat dari proses integrasi dalam masyarakat yang tidak tuntas
atau tidak terselesaikan. Proses yang tidak tuntas yang dimaksud disini
merupakan suatu gejala penyakit sosial yang dapat merusak persatuan dan
kesatuan masyarakat. Jika hal ini berlangsung dengan intensitas yang tinggi
dalam suatu negara, maka negara tersebut dapat hancur berkeping – keeping.
Konflik
juga dapat dipahami sebagai proses yang alamiah dalam rangka membuat proyek rekonstruksi
sosial. Dalam konteks ini, dapat dipandang bahwa konflik merupakan sebuah
strategi untuk menghilangkan unsur – unsur disintegrasi di dalam masyarakat
yang tidak terintegrasi secara sempurna.
Menjadi
toleran adalah membiarkan atau membolehkan orang lain menjadi diri mereka
sendiri, menghargai orang lain, dengan menghargai asal-usul dan latar belakang
mereka. Toleransi mengundang dialog untuk mengkomunikasikan adanya saling
pengakuan. Hakikat toleransi pada intinya adalah usaha kebaikan, khususnya pada
kemajemukan agama yang memiliki tujuan luhur yaitu tercapainya kerukunan, baik
intern agama maupun antar agama.
Mengakui
eksistensi suatu agama bukanlah berarti mengakui kebenaran ajaran agama
tersebut. Kaisar Heraklius dari Bizantium dan al-Mukaukis penguasa Kristen
Koptik dari Mesir mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw, namun pengakuan itu
tidak lantas menjadikan mereka muslim.
Sebenarnya,
keaneka ragaman suku, budaya, dan agama di negara ini diyakini memiliki
kekhasan fungsional religious, sehingga beraneka ragamnya agama menimbulkan
ketidak monotonan bangsa kita. Seperti yang telah kita ketahui, perbedaan itu
suatu anugrah bagi bangsa kita ini. Inilah kekayaan tersendiri yang mungkin
jarang dijumpai di negara-negara lain. Bagi mereka yang pandai menyatukan dua
kubu (kepercayaa) inilah yang patut untuk diteladani bagi kita semua.
Solusi untuk
menjaga toleransi antara umat beragama adalah dengan adanya diskusi terbuka
antara pemeluk agama. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh kampus kami
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON, pernah mengadakan diskusi terbuka antara umat
beragama. Itu adalah salah satu contoh untuk menjaga toleransi umat beragama.
Mungkin pada saat kita SD sering mendapatkan pembekalan mengenai toleransi
antara umat beragama. Tapi menurut saya itu saja tidak cukup untuk menunjang
kebutuhan psikologi siswa yang sedang waktunya berkembang dan mencari jati
diri. Kesalahan dalam pemberian pembekalan tentang toleransi umat beragama akan
mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat radikal, dan membela kepentingan
pribadi yang mengatasnamakan suatu agama tertentu.
Sebab-sebab
terjadinya konflik antara umat beragama adalah sebagai berikut :
- Perbedaan yang ada salah dipahami dan salah
disikapi, dan tidak dilihat dan ditanggapi secara positif serta tidak
dikelola dengan baik dalam konteks kemajemukan.
- Fanatisme yang salah. Penganut agama tertentu
menganggap hanya agamanyalah yang paling benar, mau “menang sendiri”,
tidak mau menghargai, mengakui dan menerima keberadaan serta
kebenaran agama dan umat beragama yang lain.
- Umat beragama yang fanatik (secara negatif) dan
yang terlibat dalam konflik ataupun yang menciptakan konflik adalah
orang-orang yang pada dasarnya :
a.
kurang
memahami makna dan fungsi agama pada umumnya;
b.
kurang
memahami dan menghidupi agamanya secara lengkap, benar, mendalam;
c.
kurang matang
imannya dan takwanya;
d.
kurang
memahami dan menghargai agama lain serta umat beragama lain;
e.
kurang
memahami dan menghargai hakekat dan martabat manusia;
f.
kurang
memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang universal, terutama hati nurani dan cinta
kasih;
g.
kurang
memahami dan menghidupi wawasan kebangsaan dan kemasyarakatan yang khas
Indonesia, yakni kerukunan, toleransi dan persatuan dalam kemajemukan,
baik pada tingkat nasional maupun lokal.
Oleh
sebab itu permasalahan yang timbul, ataupun yang dikhawatirkan akan timbul,
dapat diatasi atau dicegah dengan upaya peningkatan pemahaman dan implementasi
yang memadai dari kekurangan-kekurangan tersebut, terutama peningkatan kwalitas
iman dan takwa, hati nurani dan cinta kasih. Hal ini dapat dilaksanakan dengan:
1.
Mengembangkan
Dialog atau komunikasi timbal balik, yang dilandaskan pada kesadaran
2.
Mengevaluasi
dan memperbaiki sistem dan bobot pendidikan dan pembinaan, baik yang khas keagamaan maupun yang bukan khas
atau yang bersifat umum, untuk menambah pengetahuan, mematangkan iman,
meningkatkan moral dan spiritual, memantapkan kepribadian;
3.
Mencermati, mengevaluasi dan membaharui
doktrin dan praktek-praktek keagamaan yang terlalu atau bahkan hanya formal
dan ritualistik belaka agar lebih fungsional atau berdaya-guna secara
tepat dan efektif bagi pemantapan kwalitas diri dan kehidupan penganutnya
pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya.
4.
Mengembangkan
hidup bersama, kegiatan bersama dan kerjasama secara proporsional yg
dilandaskan pada kesadaran akan kebutuhan dan ketergantungan satu sama lain
sebagai konsekwensi hidup bersama serta kesamaan martabat dan hak sebagai
manusia.
Persamaan
Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama. Tidak tidak bisa dibantah bahwa, pada
akhir-akhir ini, ketidakerukunan antara umat beragama (yang terpicu karena
bangkitnya fanatisme keagamaan) menghasilkan berbagai ketidakharmonisan di
tengah-tengah hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh
sebab itu, perlu orang-orang yang menunjukkan diri sebagai manusia beriman (dan
beragama) dengan taat, namun berwawasan terbuka, toleran, rukun dengan mereka
yang berbeda agama. Disinilah letak salah satu peran umat beragama dalam rangka
hubungan antar umat beragama, yaitu mampu beriman dengan setia dan
sungguh-sungguh, sekaligus tidak menunjukkan fanatik agama dan fanatisme
keagamaan.
Perbedaan
konsepsi diantara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat
dipungkiri oleh siapapun. Perbedaan atau benturan konsepsi itu terjadi pada
hampir semua aspek agama. Baik dibidang konsepsi tentang tuhan maupun konsepsi
pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik
fisik antara umat beragama.
Di samping
itu, hal-hal lain seperti pembangunan tempat ibadah, ikon-ikon atau lambang
keagamaan, cara dan suasana penyembahan atau ibadah, termasuk di dalamnya
perayaan keagamaan, seringkali menjadi faktor ketidaknyamanan pada hubungan
antar umat beragama. Jika semua bentuk pembedaan serta ketidaknyamanan itu dipelihara
dan dibiarkan oleh masing-masing tokoh dan umat beragama, maka akan merusak
hubungan antar manusia, kemudian merasuk ke berbagai aspek hidup dan kehidupan.
Misalnya, masyarakat mudah terjerumus ke dalam pertikaian berdasarkan agama (di
samping perbedaan suku, ras dan golongan). Untuk mencegah semuanya itu, salah
satu langkah yang penting dan harus terjadi adalah kerukunan umat beragama.
Suatu bentuk kegiatan yang harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat
beragama.
Sejak Negera
Kesatuan Republik Indonesia didirikan, para pendirinya kiranya telah menyadari
kemajemukan bangsa kita ini serta ancaman terhadap kerukunan dan persatuan di
satu sisi maupun potensi untuk membangun kehidupan bersama, berbangsa dan
bernegara, bermasyarakat dan beragama, dengan rukun dan damai dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari lain sisi. Bahkan jauh sebelum
kemerdekaan dan penderian Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pencetus
Sumpah Pemuda telah menyadari ciri kemajukan bangsa kita dan kebutuhan akan
persatuan dan perdamaian. Karena itu untuk mencegah perselisihan dan perpecahan
serta memelihara kerukunan dan toleransi serta persatuan, disusunlah falsafah
bangsa dan dasar negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Maka dasar
kenegaraan atau konstitusional dari kerukunan dan toleransi antar umat beragama
adalah Pancasila dan UUD 1945 (khusunya pasal 29). Selain itu, juga
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan/keputusan presiden,
peraturan/keputusan menteri, yang lebih bersifat operasional dan merupakan
penjabaran dari Pancasila dan UUD 1945. Kerukunan dan toleransi antar umat
beragama amat dibutuhkan dan menentukan kedamaian, persatuan dan keutuhan dari
bangsa kita yang majemuk.
Jadi
kesimpulan dari pembahasan ini adalah, bagaimana peran guru dalam membimbing
siswanya untuk menjadi pribadi yang bertoleransi. Karena pada kenyataannya
orang yang memiliki toleransi yang baik adalah orang yang berliterasi. Orang
yang berliterasi bukan hanya orang yang mengerti makna literasi tapi faham dan
menjalankan aturan literasi. Karena bangsa yang berkembang adalah bangsa yang
dapat menghormati satu dengan yang lainnya. Baik itu dalam satu kelompok maupun
diluar kelompok.
Daftar
Pustaka :
Alwasilah,
A. Chaedar. 2004. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT. Kiblat Buku Utama.
Alwasilah,
A. Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit
'Gimmick' di awal terasa tersendat sendat. Coba cek lagi. Generic structurenya ko ga sesuai dengan yang ada di silabus?
ReplyDelete