Kebijakan:
Pendidikan Multikultural, Liberal dan Toleransi
A man
must be a man before he can be a good farmer, trademan, or engineer.
__Ralph
Waldo Emerson
Wacana
bernuansakan “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang
telah dituliskan oleh Prof. A. Chaedar Alwasilah mencakup beberapa hal mengenai
tantangan bagi pendidikan di negara tercinta ini Indonesia. Indonesia adalah
negara multikultural yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan berpenduduk
lebih dari 237 juta orang yang berasal dari 200 lebih suku bangsa. Kenyataan
tersebut menempatkan Indonesia diurutan keempat negara yang populasinya
tertinggi. Motto “bhinneka tunggal ika” atau Persatuan dalam Keragaman
merupakan dua sisi koin untuk menggambarkan negeri ini. Dalam wacana politik,
motto itu dimaknai secara tidak proporsional dengan mengutamakan kesatuan dan
mengabaikan keberagaman. Kita tahu pada masa silam banyak upaya untuk
mengembangkan bahasa daerah, kesenian daerah, dan hal yang berkaitan dengan
kesukubangsaan dianggap membahayakan dan mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa.
Pendidikan
multikultural diformalisasi menjadi sebuah kebijakan karena fakta bangsa
Indonesia yang pluralis dihubungkan dengan adanya fenomena konflik antar
kelompok masyarakat yang tengah dihadapai bangsa ini pada sepuluh tahun
terakhir. Bangsa ini pluralis karena tersusun dari keanekaragaman suku, agama,
ras, adat istiadat, bahasa, dan lain-lain. Singkatnya, tersusun dari keanekaragaman
budaya atau multicultural. Dengan kata lain, bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia
dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertical. Dalam
perspektif horizontal¸ kemajemukan bangsa kita dilihat dari
perbedaan agama, etnis, bahasa, daerah, dan budayanya. Dalam perspektif vertical,
kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi,
pekerjaan, dan tingkat social budaya.
Dapat
saya ringkas bahwasannya dalam wacana yang telah saya baca terbagi menjadi dua
bagian penting yaitu Classroom Discourse dan Religious Harmony. Classroom
Discourse menekankan pada suatu pendidikan liberal yang mana telah ada dalam
system pembelajaran di AS. Di sana mengajarkan peer interaction atau juga bisa
kita sebut dengan peer collaboration yang mana interaksi ini membuat seorang
pendidik selalu menjaga rasa tahu diri dengan orang-orang sebayanya dalam
perbedaan latarbelakang, etnis, budaya, dan agama. Jika dilihat di dalam system
pendidikan di AS hampir-hampir mirip dengan apa yang ada di dunia pesantren. Di
AS menggunakan asrama yang mana antara laki-laki dan perempuan ditempatkan di
asrama. Sedangkan di pesantern tidak begitu yang dilakukan oleh system
pendidikan di AS. Di pesantren antara lai-laki dan perempuan ditempatkan
terpisah agar tidak menimbulkan suatu mudhorot (bahaya). Di pesantren pun ada
yang namanya perbedaan, baik itu dari budaya, etnis, ras, bahasa, dan lain-lain
terkecuali dalam hal agama. Karena di pesantren semuanya beragama islam tanpa
terkecuali, namun begitu banyak aliran-aliran dalam roda dunia system
pendidikan di pesantren.
Ada beberapa
karakteristik dari pendidkan liberal ( Liberal art College ) yang memiliki
beberapa persamaan dengan asrama ( pesantren ) sebagai berikut: 1) Liberal Art
College, merupakan cikal-bakal pendidkan tinggi di AS. Dalam konteks Indonesia,
jauh-jauh hari sebelum penjajah datang, sistem pesantren sudah lama berkembang seiring
dengan penyebaran agama Islam di Nusantara. 2) Ukuran kamusnya cenderung kecil
dengan jumlah mahasiswa sekitar dua ribu orang. 3) Biasanya memberlakukan
sistem berasrama ( residential ) untuk menanamkan konsep “community”. Konsep asrama kurang
lebih sama dengan konse endidikan “Pesantren”
yang merupakan bentuk pendidikan tertua di Indonesia dan telah berkembang jauh
sebelum sistem pendidikan Eropa datang ke Indonesia. 4) Misinya mendidik
mahasiswa sebagai manusia utuh dan menekankan pendidikan sbagai pendidikan,
alih-alih sebagai persiapan untuk mendapatkan pekerjaan. Sebagai perbandingan,
di Pesantren tradisional tidak ada mata pelajaran vokasional, dan lulusannya
pun tidak berharap mendapat pekerjaan setelah lulus. 5) Focus ada pengajaran,
alih-alih pada penelitian. Mahasiswa dan dosen sering berkolaborasi dan saling
belajar. Kolaborasi dan hidup berdampingan antara guru dan siswa, dan antara
senior dan junior adalah ciri pendidikan pesantren di Indonesia. Di pesantren pun
hampir tidak ada tradisi penelitian. Yang dominan adalah pengajaran, yakni
kajian-kajian kitab kuning. 6) Mereka lazimnya mewajibkan mahasiswa mempelajari
apa yang disebut the great books.
Buku-buku ini lazim juga disebut dengan buku-buku klasik. Dalam pendidikan
pesantren tradisional pun sudah lama dikenal tradisi mempertahankan kitab
klasik, yakni apa yang lazim disebut kitab kuning.
Sedangkan pada fokus pembahasan yang lain, Religious Harmony membicarakan ihwal kerukunan beragama yang
menurut Prof Chaedar Alwasilah hal tersebut harus dikembangkan di Sekolah
se-dini mungkin seiring dengan banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia baik
konflik antar etnis, maupun konflik antar umat beragama. Semua konflik tersebut
merupakan konflik sosial yang sering terjadi di Indonesia, seperti konflik
sambas ( 1999 ) yang merupakan konflik antara etnis Melayu dengan etnis Madura,
konflik ambon 1998 ( konflik antar umat beragama, yakni antara Kristen vs islam
), konflik antar suku di Papua ( 2013 ), konflik kekerasan terhadap etnis Cina
di Jakarta ( 1998 ), konflik tanah bernuansa agama antar warga dengan pengusaha
di Tanjung Priok Jakarta, konflik di Kalimantan Barat, konflik antar supporter
sepak bola, konflik sengketa tanah antara warga dangan pengusaha, konflik dalam
penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah, konflik di Poso, konflik kaki lima
dengan aparat, dan lain-lain.
Menurut Choerul Mahfud, konflik-konflik
tersebut disebabkan oleh kenyataan bangsa Indonesia yang mutikultural. Mahfud
menyatakan, kemajemukan masyarakat itu memberikan dampak secara positif. Namun, pada sisi lain juga dapat menimbulkan
dampak negative, karena factor kemajemukan itulah justru terkadang sering
menimbulkan konflik antar kelompok dan masyarakat. Hal senada, dikemukakan oleh
Ahmad Tafsir, keragaman budaya dapat menjadi keuntungan dan dapat pula menjadi
kerugian. Bahkan Asep Jamaludin menuding multicultural sebagai salah satu sebab
timbulnya korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perusakan lingkungan,
perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, sparatisme, dan hilangnya rasa
kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain. Agar keragaman budaya
tidak mendatangkan kerugian, tetapi dapat memberi keuntungan, menurut Ahmad Tafsir,
maka diperlukan jenis pendidikan budaya ke arah yang lebih menguntungkan.
Pendidikan budaya yang lebih menguntungkan itu adalah pendidikan multicultural.
Jelas sekali, pendidikan multikultural
diperkenalkan dengan tujuan untuk meredam konflik sekaligus mendatangkan
kebaikan dari keragaman budaya. Pendidikan mutltikultural diarahkan untuk
meredam konflik social dengan cara mengembangkan sikap menghargai perbedaan
budaya. Pendidikan multikultural diharapkan dapat menciptakan struktur dan
kultur yang setiap kelompok budaya bisa melakukan ekspresi budayanya secara
nyaman dan harmonis, tanpa implikasi konflik. Keragaman budaya bangsa
Indonesia adalah sebuah kenyataan yang harus diterima, tanpa ruang
tawar-menawar. Karena kenyataan tak tertolak, maka harus diterima, dijaga,
dipelihara, dan dikelola agar mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan
pendidikan harus dirancang untuk menciptaka suatu kehidupan yang menerima
perbedaan, bisa hidup bersama secara harmonis, saling menghormati dan
menghargai perbedaan. Ini adalah tujuan ideal pendidikan multicultural.
Fenomena konflik merupakan latar belakang empirik yang memunculkan gagasan
perlunya pendidikan multicultural. Dari contoh-contoh kasus konflik di atas
ternyata ada faktor sentimen agama (contoh Priok dan Maluku), ada faktor hukum
(contoh konflik sengketa tanah), ada faktor ekonomi (contoh kerusuhan
Tasikmalaya), ada faktor adat istiadat (konflik antar suku di Papua) , ada
faktor politik kepentingan (contoh konflik Pilkada), dan ada faktor primordial
(contoh konflik suporter sepak bola, tawuran pelajar dan mahasiswa), dan
lain-lain. Jika fakor-faktor itu dianalisis lebih dalam, maka akan ditemukan
faktor subtansialnya, yaitu (1) kurang mentoleransi ragam prilaku keberagamaan
(2) ketidakadilan penegakkan hukum, (3) ketidakadilan sistem dan praktek
ekonomi, (4), lemahnya apresiasi prinsip-prinsip demokrasi, (5) fanatisme
kelompok, dan (6) lemahnya sikap sportif dalam kompetisi. Faktor yang
paling esensial dari enam faktor ini adalah (a) lemahnya toleransi
beragama dan berbudaya, (b) kurang tegaknya keadilan hukum dan ekonomi, dan (c)
belum dimilikinya etika kompetisi, baik kompetisi politik maupun kompetisi olah
raga. Jika diperas lagi, maka faktor esensialnya adalah lemahnya moralitas
berbangsa dalam segala bidang, bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, olah
raga, bahkan prilaku beragama.
Tak pelak lagi, konflik disebabkan oleh
lemahnya moralitas bangsa. Hal ini tidak cukup diselesaikan hanya dengan
pendidikan multikultural. Tetapi, harus diselesaikan melalui proses pendidikan
secara sitemik dan komprehensif yang salah satu dimensinya menanamkan moralitas
berbangsa, termasuk moralitas multikultural. Bukan diselesaikan oleh program
pendidikan bernama pendidikan multikultural, karena nama ini menunjuk pada
entitas sosial, tidak menunjuk pada subtansi. Nama yang lebih subtansial adalah
Pendidikan Moral Bangsa.
Sebagai negara yang multicultural,
Indonesia seharusnya menerapkan pendidikan multicultural, yang berfungsi antara
lainuntuk mengubah cara berfikir dan menilai kultur orang lain, dan untuk
mengenal identitas diri sendiri dan identitas orang lain. Saying sekali, di
Indoneis belum ada model pendidikan multicultural. Seperti yang disarankan oleh
Tilaar: “…since we do not have the experience to develop this multicultural
education, we have to study various aspects of its philosophy, methodology, its
content and its challenges in its performenceÔ (Tilaar 2004:361). Dia
mengidentifikasi lima program untuk mngembangkan program multicultural, yakni
lembaga pendidikan sebagai pusatnya, pendidikan kewarganegaraan (civics
education), kurikulum pendidikan multicultural, kebijakan perbukuan, dan
pendidikan guru.
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk menciptakan
lingkungan pembelajaran dan proses pendidikan, sehingga siswa dapat
mengembangkan potensinya, termasuk pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
perilaku baik, dan keterampilan yang penting bagi dirinya, masyarakat, dan
negara. Undang-undang juga menetapkan bahwa fungsi pendidikan di antaranya
adalah mengembangkan kompetensi, karakter, dan peradaban. Perangkat hukum dan
perundang-undangan telah dirumuskan dengan sempurna, tapi dalam
pelaksanaannyasering menghadapi kendala.
Mengenai pendidikan liberal mencakup
pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis, bahkan mengapresiasi
sastra. Bagaimana mungkin orang mampu membebaskan dirinya dari kebodohan jika
tidak menguasai keterampilan membaca dan menulis. Di atas disebutkan bahwa
mahasiswa mesti memiliki kecerdasan, dan untuk mencapai kecerdasan dia harus
membaca buah kecerdasan manusia hebat terdahulu yang tertuang dalam buku-buku
adiluhung atau the great books. Penguasaan bahasa, dengan demikian,
merupakan gerbang utama untuk menjelajahi pemikiran para filsuf dan ilmuwan besar. Pendidikan liberal mengajari
mahasiswa untuk menjadi pendengar yang baik bagi dialog antara pemikir ulung
yang memiliki pikiran hebat dalam sejarah peradaban manusia. Dalam bukunya yang
terkenal, The Closing of the American Mind (1987), Allan Bloom
menyebutkan beberapa penulis buku hebat yang mesti dibaca oleh para mahasiwa
S-1. Nama-nama itu antara lain Plato, Aristoteles, Dante, Marx, Freud, Weber,
John Locke, Rousseu, Nietzsche, dan lain-lain. Lewat buku-buku itu dia
menelanjangi pendidikan tinggi AS yang dianggap gagal menumbuhkan demokrasi dan
memiskinkan jiwa mahasiswa AS saat ini. Dia menawarkan pendekatan the great
books terhadap pendidikan liberal.
The great books adalah teks klasik yang memiliki nilai sejarah
dan kebenaran yang tinggi, yang harus tetap dipelajari dan dijadikan sumber
inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini. Cara yang paling
mudah untuk mengajarkan pendidikan liberal adalah dengan menjadikan buku-buku
klasik sebagai bacaan wajib bagi mahasiswa. Ada beberapa persamaan antara the
great books dengan kitab kuning
sperti yang dijelaskan oleh Martin Van Bruinessen (1995) sebagai berikut: “Alasan
pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan islam tradisional
sebagaiman yang terdapat dalam kitab-kitab ni dikenal di Indonesia sebagai
kitab kuning. Jumlah teks klasik yang diterima di pesantren sebagai ortodoks
(al-kutub al-mu’tabaroh) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan
dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah; hanya bisa
diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun
kandungannya tidak berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banyak
dikritik, baik oleh peneliti asing maupun oleh kaum Muslim reformis dan
modernis” (1995:17).
Tantangan terbesar bagi pendidikan
liberal adalah sejauh mana pendidikan liberal mampu menanamkan prinsip-prinsip
pendidikan agar lulusan siap menghadapi perubahan dunia. Para lulusan S-1 mesti
menunjukkan kompetensi di ranah akademik, aplikasi, dan keterampilan lunak
sehingga mereka siap meneruskan pendidikan ke program pascasarjana atau
memasuki dunia kerja. Dengan kata lain, pendidikan liberal harus membekali
mahasiswa dasar-dasar pendidikan “umum” yang memungkinkan mereka mampu belajar
tiada henti dalam dunia kerjanya. Dalam kehidupan sehari-hari kita jauh lebih
mudah belajar dari umum ke khusus daripada sebaliknya, dari khusus ke umum.
Untuk itu, kurikulum S-1 harus membekali mahasiswa kompetensi dalam tiga hal
sebagai berikut: (1) Akademik: menulis, matematika, sains; (2) Aplikasi:
berfikir kritis, belajar yang berintegrasi dan teraplikasi; (3) Keterampilan
lunak: etika, kerja sama, kebinekaan, dan belajar sepanjang hayat.
Pada 1837 Ralph Waldo Emerson berfatwa: “a
man must be a man before he can be a
good farmer, trademan, or engineer.” Artinya , penguasaan atas ilmu-ilmu
liberal sangat penting sebagai fondasi bagi pengembangan keterampilan
vokasional, ilmu sejarah, filsafat, bahasa, dan ilmu-ilmu lain yang memperkokoh
kekuatan intelektual manusia, berfungsi sebagai berikut: 1) menjaga harmoni
antara pikiran dan tubuh. 2) menguasai pengetahuan universal, terhindar dari
pemahaman provincial (tidak komprehensif). 3) menumbuhkan
kesadaran terhadap alternative bagi solusi persoalan hidup. 4) melatih
berdisiplin mental. 5) menanamkan pengetahuan umum, bukannya pelatihan
vokasional di bidang tertentu.
Pendidikan liberal mesti memayungi
pendidikan kognitif, moral, dan emosi. Pendidikan liberal sering juga diartikan
sebagai pembebasan dari sikap kasar, cabul, tidak sopan atau vulgarity yang
dalam bahasa Grik disebut apeirokalia, yakni tidak memiliki pengalaman
keindahan. Dengan kata lain, pendidikan harus menanamkan kepada mahasiswa
kemampuan untuk mengapresiasi berbagai bentuk keindahan.
Dalam bertoleransi beragama kita harus
menggunakan bahasa dan dialog agama seperti yang ditulis dalam bukunya pa
Chaedar “Politik Bahasa dan Pendidikan”. Bahwa di Nusantara ini
kita hidup berlainan agama, adalah warisan sejarah para leluhur kita. Warisan
primordial ini bukan untuk disesali atau dipungkiri, apalagi ditafsiri sebagai
sirkuit balapan bagi agama-agama untuk beradu ketangkasan. Dalam tatanan
kerukunan nasional, warisan sejarah ini seyogianya diyakini sebagai kekayaan
individu dan bangsa. Sebagai kekayaan individu berarti bahwa selain meyakini
kebenaran agama sendiri ,kita juga meyakini bahwa orang lain pun meyakini
kebenaran agama pilihannya. Kekayaan psikologis religious ini menumbuhkan
tenggang rasa dan hormat sesame pemeluk agama.
Karena masing-masing agama adalah ahli
waris yang sah di Nusantara ini, wajar saja bila setiap agama menuntut
diperlakukan “fair” dalam menjalankan fungsi dan misi keagamaannya. Yang
sulit adalah bahwa, seringkali
justru agama sebagai kekayaan individual yang mendominasi alam pikiran
dan emosi kita ketimbang agama sebagai kekayaan masyarakat dan asset bangsa.
Mereka yang pandai menjaga keseimbangan antara dua kutub kepentingan inilah
yang paling siap untuk bertenggang rasa dan merasa malu untuk memaksakan
kayakinan sendiri pada pemeluk agama lain. Pada manusia semacam ini tumbuh the third belief prespecctives, yakni
sudut pandang religious yang menghormati agama lain tanpa mengorbankan
keyakinan dirinya. Bagaimanakah keseimbangan ini mungkin tertanam pada setiap
individu? Jawabannya hanya satu. Lewat dialog.
Dialog diberi batasan sebagai forum tukar
menukar pemahaman dan pengalaman kognitif, afektif, dan motorik. Dialog
bukanlah “adu penalty” untuk menentukan kalah atau menang. Karena pada
hakikatnya, dialog antar-pemeluk agama adalah dialog dengan nalar dan emosi
sendiri. Sehingga pada akhirnya, yang muncul adalah perasaan kesadartahuan akan
kekayaan ruhani atau metareligius. Yaitu introspeksi dan solilokui ruhani
transendental. Prof. Mukti Ali, mantan Meteri Agama RI, menyebutkan lima macam
dialog antar-agama: dialog kehidupan, dialog kerja social, dialog antar
monastic, dialog untuk doa bersama,
dan dialog diskusi teologi. Mungkin ke-lima
macam dialog ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis dialog, yaitu (1) dialog
diskusi teologi, dan (2) dialog non-teologi. Dialog diskusi teologi adalah
tugas mereka para ahli, pemikir, dan birokrat yang mengatur kehidupan beragama.
Jumlah mereka relative sedikit, namun weejangan, fatwa, dan khotbah mereka akan
didengar para pengikutnya. Dengan kata lain, merekalah sebenarnya yang harus
ekstra harus hati-hati dalam menggunakan idiom-idiom agama, terutama dalam hal
yang menyangkut pemeluk agama lain.
Sedangkan dialog diskusi non-teologi yang
paling banyak dilibati mayoritas umat, yaitu dialog kehidupan dan kerja social.
Manusia selalu melihat ketidakpastian dan krisis social yang bertubi-tubi.
Agama tampil member jawaban melalui dialog spiritual untuk memaknai segala
krisis. Tema-tema seperti AIDS, peperangan, desa tertinggal, perusakan
lingkungan, urbanisasi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, pelanggaran hak
buruh, kenakalan remaja, dan tema sejenisnya adalah isu-isu social yang
dirasakan oleh setiap pemeluk agama di Indonesia ini. Dialog antar-umat
beragama bila berangkat dari tema-tema social semacam ini tampaknya akan
memfungsikan agama sebagai perekat social “societal glue” untuk
membangun solidaritas dan kepaduan masyarakat. Mendasari semua ini adalah teori
bahwa bila masyarakat menghubungkan moralitas dengan agama, kontrol sosial akan
lebih berfungsi. Maka dari itu, seyogianya semua agama menagendakan tema-tema
tersebut dalam msisi sosialnya, sebagai realisasi dialog agama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dari keseluruhan
pembahasan dalam topik teks ini mengacu pada sebuah kebijakan dalam pendidikan
multicultural, pendidikan liberal, dan toleransi beragama dengan bahasa dan
dialog agama. Jelasnya, pendidikan multicultural bertujuan untuk meredam
konflik sekaligus mendatangkan kebaikan dari keragaman budaya. Pendidikan multicultural
diarahkan untuk meredam konflik social dengan cara mengembangkan sikap
menghargai perbedaan budaya. Pendidikan multicultural diharapkan dapat
menciptakan kultur yang setiap kelompok bisa melakukan ekspresi budayanya
secara nyaman dan harmonis tanpa implikasi konflik. Sedangkan adanya pendidikan
liberal diharapkan nantinya dapat membebaskan siswa dari sikap rabun dan picik
terhadap orang lain. Begitupun membebaskan mahasiswa dari kungkungan atau
perbudakan yang timbul karena kebodohan, syak wasangka, dan kepicikan.
Sementara toleransi beragama adalah seperti dalam sebuah teori “kamu pada
prinsipmu, dan aku pada prinsipku” yakni sepakat untuk berbeda. Tuhan
pun meladeni para Rasul-Nya untuk berdialog, sehingga terjalinlah saling
pengertian antara Tuhan dan Rasul-Nya. Kalaulah metode dialog ini dicontohkan
Tuhan, mengapa kita tidak? Tukar menukar gagasan dan pengalaman inilah yang
memperkaya khazanah dan repertoar psikologis keagamaan para pemeluk agama.
Thank you.
References:
· Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik Bahasa
dan Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya
·
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya
Rekayasa Literasi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama
mulai enak dicicipi nih masakan kamu. Tapi 'voice' kamu sebagai penulis critical review belum terbangun banget dikarenakan kamu belum sepenuhnya berhasil memetakan variabel 'classroom discourse' dan religious harmony
ReplyDelete