“Peace cannot be kept by force; it
can only be achieved by understanding.”
― Albert Einstein
― Albert Einstein
“If we are to reach real
peace in this world we shall have to begin with
the children.”
—Mahatma Gandhi
Ibarat sebuah
orkestra, alat musiknya banyak dan berbeda-beda namun dapat menghasilkan sebuah
simfoni yang indah. Itulah mungkin analogi yang tepat untuk digunakan dalam
menggambarkan keadaan keberagaman yang (seharusnya) terjadi di negeri ini.
Keberagaman budaya, bahasa, dan agama, adalah aset bangsa. Sehingga sekalipun
kita berbeda agama, itu merupakan anugerah bagi bangsa ini, karena
ihwal tersebutlah yang membuat wajah bangsa ini “tidak monoton”. Namun,
persoalanya adalah apakah bisa kita menjadi individu yang seimbang? seperti
para musisi di dalam orkestra yang mempunyai tugasnya sendiri-sendiri seperti
pemain piano, biola, atau saxophone. Yang tahu kapan harus memainkan perannya
dan tidak. Mereka sangat menjaga harmoni satu sama lain, sehingga sampai
terbentuknya sebuah alunan nada yang indah.
Wajah bangsa Indonesia yang sangat bervariasi sering kali justru menjadi
malapetaka dan munculnya sebuah konflik. Seperti dalam keberagaman umat
beragama; kepentingan individu, kelompok agama, dan kepentingan nasional yang
sering kali meletupkan api-api yang harus terus diwaspadai demi keutuhan
bangsa. Agama adalah sebuah ahli waris yang sah di Nusantara ini, wajar jika
setiap agama minta untuk diperlakukan ‘fair’ dalam menjalankan fungsi dan misi
kegamaannya.
Kelompok
musisi yang memainkan orkestra sangat menjaga keseimbangannya dalam memainkan
alat-alat musik dengan para musisi lainnya. Inilah hal yang patut kita pelajari
dari sebuah orkestra. Seyogianya, segala perbedaan yang ada menciptakan
toleransi dan terjalinnya kerukunan. Unity in Diversity, itulah yang
harus kita lakukan dalam Negara yang majemuk ini. Hidup berdampingan dengan 6
agama yang di akui Negara seharusnya menciptakan kita sebagai manusia yang
paling siap untuk bertenggang rasa. Menurut hasil sensus tahun
2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan,
2,9% Katolik,
1,69% Hindu,
0,72% Buddha,
0,05% Kong Hu Cu,
0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Dengan semua
keberagaman ini konflik antar agama sering tak terelakkan memang.
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia.
Frasa ini berasal dari bahasa Jawa kuno dan seringkali diterjemahkan dengan
kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka
berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam
bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata
"aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal
berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara
harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang
bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap
adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan
kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Semua umat beragama wajib
menyadari bahwa lahirnya berbagai agama di Indonesia ini karena sejarah yang berbeda-beda. Sehingga
kekayaan religius ini menumbuhkan rasa
tenggang rasa yang tinggi, sosial interaksi yang bervariasi, dan
pemikiran-pemikiran yang sangat dinamis.
Jika keanekaragaman
ini tidak dirajut melalui solidaritas sosial maka akan muncul ancaman
perpecahan dan konflik agama. Seperti konflik agama yang terjadi di Poso yang
klimaksnya terjadi diantara beberapa tahun silam. Konflik Poso telah memakan korban
ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur, dan
sebenarnya bukan hanya agama yang menjadi latar belakanganya, tetapi melibatkan
latar belakang etnis, suku, politik, birokrat, ekonomi dan kelompok sosial.
Oleh karena konflik inilah, beberapa waktu lalu media online mengabarkan ada
sesuatu yang menarik yang dilakukan oleh seorang perempuan bernama Lian Gogali,
perempuan 35
tahun ini mendirikan Sekolah Perempuan Mosintuwu untuk
merekatkan kembali hubungan Muslim-Kristen. Kenapa mendirikan sekolah perempuan?
Menurut Lian, kebanyakan lembaga yang berperan menjembatani perdamaian hanya
sementara dan menempatkan perempuan hanya sebagai korban. Bukan agen
perdamaian. Mereka (perempuan) adalah penjaga kehidupan saat laki-laki sibuk
membangun strategi perang. Tantangan yang dihadapi Lian Gogali
datang dan pergi. Wanita satu anak ini sempat kebingungan mempertemukan para
ibu yang masih bernoda trauma. Sebagian menolak berada
dalam satu ruangan bersama dengan mereka yang berbeda agama. Lian pun membuat delapan “mata
pelajaran” di Sekolah Perempuan itu. Semuanya dititikberatkan pada agama,
toleransi, dan perdamaian. Pelajaran tak hanya dipraktekkan di kelas, tapi juga
dengan berkunjung ke masjid dan ke gereja. Dalam sebuah video terlihat bahwa
seorang ibu bertanya kepada ustad tentang makanan dalam pesta pernikahan umat
Kristen yang tak boleh dimakan umat Islam. Sang ustad menjelaskan, tak jadi
masalah menyantap makanan pemberian kaum Nasrani
sepanjang halal. Perjuangan Lian membuahkan penghargaan Coexist Prize dari Yayasan Coexist
asal Amerika Serikat. Dia mendapatkan penghargaan untuk pengembangan dialog
serta perdamaian antar-agama dan keyakinan.
Apa yang bisa
kita petik dari kisah Lian diatas? Ya, dialog agama. Dialog diberi batasan sebagai forum tukar
menukar pemahaman dan pengalaman kofnitif, afektif, dan motorik. Tukar menukar
gagasan inilah yang memperkenalkan satu sama lain, memahami satu sama lain, dan
rukun satu sama lain. Sehingga terjalinlah sikap saling pengertian dan
memperkaya pengalaman psikologis kegamaan bagi para pemeluk agama. Prof. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI,
yang dinukil dalam buku pak Chaedar Politik Bahasa dan Pendidikan. Menyebut
lima macam dialog antar-agama: dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog
antarmonastik, dialog untuk doa bersama, dan dialog diskusi teologi. Mungkin
kelima macam dialog ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis dialog, yaitu
(1) dialog diskusi teologi, dan (2) dialog non-teologi. Dialog diskusi teologi
adalah tugas mereka para ahli, pemikir, dan birokrat yang mengatur fatwa, dan
khotbah mereka agar didengar para pengikutnya. Dengan kata lain, merekalah
seharusnya yang harus ekstra hati-hati dalam menggunakan idiom-idiom agama,
terutama dalam hal yang menyangkut pemeluk agama lain. Dialog antar-pemeluk
agama mesti dilakukan dalam suasana yang komunikatif agar dialog itu tidak
sia-sia. Sehingga menghindari adanya kesalahpahaman, dan terpahaminya materi
yang dibicarakan. Di sinilah pentingnya setiap agama memilih dan menampilkan
seorang figur atau pemimpin agama sebagai juru bicara, yang betul-betul
menguasai bukan hanya ilmu agama, tapi juga perbandingan agama dan pengetahuan
umum secara keseluruhan. Apa yang dilakukan oleh Lian seyogianya bisa dilakukan
juga oleh seluruh penduduk negeri Bhinneka Tunggal Ika ini. Menjadi agen
perdamaian. Sehingga, terwujudlah sebuah kerukunan hidup umat beragama.
Selain itu, kerukunan hidup umat
beragama juga mengandung tiga unsur penting: Pertama, kesediaan untuk
menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan memberikan orang lain untuk
mengamalkan ajaran yang diyakininya. Dan Ketiga, kemampuan untuk
menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana kekhidmatan yang dirasakan orang lain
sewaktu mereka mengamalkan ajaran agamanya. Dalam hal ini, para pejabat
pemerintahan ditantang untuk sensitif terhadap isu-isu keagamaan, netral, adil,
dan bijaksana. Ketiga unsur diatas sebenarnya sudah hampir terpenuhi oleh
negeri ini, di negeri dimana kita bisa melihat masjid bisa berdampingan dengan
gereja. Bahkan, seperti natal tahun ini contohnya, ketika tempat parkir gereja
katedral dipenuhi jamaatnya. Disana dipersilahkan untuk jamaat memarkirkan kendaraannya di masjid Istiqlal. Kita
juga memiliki Bukit Kasih (Hill of Love) terletak di Manado, Sulawesi Utara. Bukit ini disebut Bukit Kasih
karena orang-orang dari agama yang berbeda dapat berkumpul dan berdampingan
dalam beribadah sebagai simbol keharmonisan beragama. Terdapat lima rumah
ibadah di sini, sebuah gereja Katolik, sebuah gereja Kristen, Kuil, Masjid dan Candi Hindu. Kelima tempat ibadah itu
dibangun berdampingan, sehingga Bukit Kasih menjadi simbol cinta kasih dan
perdamaian antar umat beragama dengan dibangunnya tempat ibadah kelima agama
tersebut. Hanya di Indonesia juga pesantren berdiri di samping candi Hindu
(Prambanan), hanya di Indonesia juga banyak musolah
dan masjid di bangun di dalam kantor untuk menghormati kegiatan ibadah, dan
rumornya Indonesia (Jakarta) juga memiliki gereja yang terbesar di Asia. Dan
yang terdekat, ketika kemarin DEMA SEMA kampus mengadakan bedah buku Jurnalisme
Keberagaman, yang diundang adalah tokoh dari antar umat agama diantaranya
adalah Dr. KH.
Slamet Firdaus, MA (tokoh agama Islam), dan Dr. Pdt. Yohanes Muryadi (tokoh
agama Kristen).
Agama adalah elemen fundamental hidup dan kehidupan manusia, oleh sebab
itu, kebebasan untuk beragama (dan tidak beragama, serta berpindah agama) harus
dihargai dan dijamin. Ungkapan kebebasan beragama memberikan arti luas
yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah; membentuk
institusi sosial; publikasi; dan kontak dengan individu dan institusi dalam
masalah agama pada tingkat nasional atau internasional. Kebebasan beragama,
menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama;
pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan
seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan
sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan
dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai
kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa
agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya.
Dalam ihwal Classroom Discourse atau merujuk pada bahasa yang
guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain di dalam kelas. Indonesia sebagai negeri
multikultural mempunyai keberagaman agama (salah satunya) seperti yang telah
dipaparkan diatas, memiliki tantangan yang harus dihadapi. Tentu keberagaman
ini akan menjadi alat pemersatu atau sebaliknya menjadi konflik, namun kembali
lagi bagaimana kita mengemasnya. Keberagaman ini akan sangat berpengaruh
terhadap Classroom Discourse dalam pendidikan di Indonesia. Sistem
pendidikan di Indonesia harus juga diatur sesuai dengan multicultural
setting agar tidak ada kecemburuan sosial di dalamnya. Program-program
dalam pendidikan harus berhati-hati dalam memfasilitasi kegiatan-kegiatan
pendidikan. Agar tidak memantik api konflik dan salah paham. Seperti dalam UUD
1945 bahwasannya pendidikan di Indonesia disiapkan untuk mencerdaskan bangsa. Hampir
semua Negara maju menyadari pentingnya sistem pendidikan yang baik, karena
pendidikan merupakan penentu kemajuan suatu bangsa. Dan, pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang dilakukan sejak dini.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) seyogianya menyediakan siswa dengan
kemampuan dasar untuk mengembangkan hidupnya sebagai individu, anggota sebuah
komunitas, dan sebagai warga masyarakat. Di Sekolah Dasarlah penanaman karakter
siswa diterapkan, bagaimana siswa dapat bertenggang rasa antar umat beragama,
siswa dapat menghormati perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu komunitas,
bagaimana siswa berhubungan dengan sebayanya, menghormati, membantu, membagi,
dan sopan terhadap satu sama lain. Pendidikan seyogianya bukan untuk mengisi
pemikiran siswa, namun untuk membentuk pemikiran siswa. Sehingga, pada masa
Sekolah Dasar ini menjadi momen yang tidak boleh terlewatkan oleh seorang
pendidik dalam mengajarkan interaksi yang baik bagi sesama, menjembatani siswa
bagaimana mereka membentuk dan mengimplementasikan interaksi antar teman
sebayanya. Dan mereka akan hidup dengan
pemahaman yang benar akan keberagaman dan bisa menghormati keberagaman dalam
interaksi mereka dengan teman-temannya.
Sebuah sekolah dasar di wilayah Osnabrück, Jerman, mengajarkan toleransi beragama sejak dini pada anak didiknya, dengan menerapkan konsep sekolah tiga agama. Murid sekolah dasar Johannis ini ada yang beragama Kristen, Islam dan Yahudi. Bedanya, di sekolah Johannis ini mereka bisa mengikuti pelajaran agama sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut. Ini yang pertama kalinya di Jerman, dimana para murid seperti biasa belajar bersama bahasa Jerman, matematika, musik dan ilmu pengetahuan. Namun, mereka dipisah saat pelajaran agama. "Kami ingin agar para murid memperluas kompetensi dialog beragama mereka. Mereka juga harus lebih memiliki kebebasan dalam menjalankan keyakinannya dan menghormati agama orang lain", kata Winfried Verburg perwakilan keuskupan Osnabrück, penanggung jawab sekolah tiga agama tersebut. (dinukil dari Koranfesbuk)
Bolehlah
Jerman mempunyai sekolah tiga agama yang sangat mengajarkan toleransi kepada
siswanya. Namun, Indonesia mempunyai keberagaman yang lebih dari itu.
Seharusnya pula menjadikan kita sebagai manusia-manusia yang lebih kaya rasa
toleransinya lebih dibandingkan Jerman. Lagi-lagi dialog agama, dan interaksi
sebaya, adalah alat untuk menyampaikan sebuah pengertian akan perbedaan. Siswa
harus diberi kesempatan untuk mempraktikkan, mendengarkan dengan penuh
perhatian, menghormati pendapat, dan suara kompromis untuk menyiapkan mereka
untuk hidup sebagai anggota masyarakat yang demokratis.
Pendidikan perdamaian,
mungkin inilah kata yang tepat untuk menggambarkan sistem pendidikan yang
harusnya ada di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini. Pendidikan pancasila tidak
mempunyai cacat sedikitpun. Akan tetapi, dalam praktiknyalah pendidikan di
negeri ini belum sempurna memiliki titik terang dalam membentuk sebuah perdamaian. Apa yang kurang
adalah, pendidikan di Indonesia belum menyediakan pendidikan yang mendorong
pengalaman dalam interaksi antar siswa dengan latar belakang agama, etnis,
suku, dan golongan yang berbeda. Pendidikan perdamaian bertujuan untuk mengajarkan individu
informasi, sikap, nilai, dan perilaku. kompetensi yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan dan untuk membangun dan memelihara
saling keuntungan sosial, dan hubungan
yang harmonis. Ada banyak pendekatan untuk pendidikan perdamaian, banyak yang didasarkan pada
ideologi, pengalaman praktis, dan niat baik.
Menggunakan pedagogi toleransi dalam
pendidikan sangat amat diperlukan. Bagaimana seorang guru menciptakan hubungan
yang membuat siswanya mencintai perdamaian. Pertama, perdamaian
adalah variabel hubungan, bukan suatu sifat. Perdamaian
ada di antara individu, kelompok,
dan negara-negara, melainkan bukan sifat atau kecenderungan dalam individu, kelompok, atau bangsa. Sebagai
hubungan, perdamaian tidak bisa
dipertahankan oleh pemisahan, isolasi, atau bangunan penghalang antara pihak yang berseteru, yang semuanya hanya sementara dapat mengurangi keharmonisan tetapi tidak akan membangun hubungan yang dibutuhkan untuk jangka panjang perdamaian. Kedua, perdamaian adalah dinamis, bukan proses statis. Tingkat perdamaian terus meningkat atau menurun dengan tindakan masing-masing pihak yang relevan. Ketiga, perdamaian adalah sebuah proses aktif, bukan pasif. Sehingga harus dijaga secara terus-menerus. Keempat, perdamaian sulit untuk membangun dan mudah untuk menghancurkan. Oleh karenanya, konsistensi dalam membangun perdamaian yang kokoh harus dilakukan, agar tidak cepat runtuh hanya dikarenakan hal-hal yang tidak penting. Disinilah peran pendidikan ditantang untuk menjadi agen perdamaian. Kebebasan beragama, menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama; pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya.
dipertahankan oleh pemisahan, isolasi, atau bangunan penghalang antara pihak yang berseteru, yang semuanya hanya sementara dapat mengurangi keharmonisan tetapi tidak akan membangun hubungan yang dibutuhkan untuk jangka panjang perdamaian. Kedua, perdamaian adalah dinamis, bukan proses statis. Tingkat perdamaian terus meningkat atau menurun dengan tindakan masing-masing pihak yang relevan. Ketiga, perdamaian adalah sebuah proses aktif, bukan pasif. Sehingga harus dijaga secara terus-menerus. Keempat, perdamaian sulit untuk membangun dan mudah untuk menghancurkan. Oleh karenanya, konsistensi dalam membangun perdamaian yang kokoh harus dilakukan, agar tidak cepat runtuh hanya dikarenakan hal-hal yang tidak penting. Disinilah peran pendidikan ditantang untuk menjadi agen perdamaian. Kebebasan beragama, menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama; pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang, perdamaian dan persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya.
Dalam kehidupan sosial yang majemuk
ini, anak-anak sejak dini harus diajarkan menghargai lingkungannya. Terutama disini
adalah rekan sebayanya. Peer Interaction atau interaksi
dengan rekan sebaya sangat penting untuk
bahasa, kognitif, dan sosial.
Ada aspek pembelajaran yang terjadi terbaik
selama Peer Interaction, daripada interaksi
dengan orang dewasa. Anak-anak memperoleh
bahasa dan kosa kata selama
interaksi dengan orang lain. Mereka
belajar bagaimana untuk berdebat,
bernegosiasi, dan membujuk. Mereka harus belajar untuk mengatakan hal-hal tanpa menyakiti perasaan. Mereka harus menyelesaikan
konflik, meminta maaf, dan
dukungan. Interaksi dengan rekan sebaya berfungsi
sebagai landasan untuk banyak
aspek penting dari perkembangan
emosional seperti pengembangan konsep diri, harga diri dan identitas. Anak-anak belajar tentang diri mereka sendiri selama interaksi
satu sama lain dan menggunakan informasi
ini untuk membentuk rasa diri mereka sendiri dan siapa mereka. Sehingga sudah menjadi harga mati untuk Negara Bhinneka
Tunggal Ika ini, menanamkan kepada generasi penerus bangsanya. Sebagai modal
kehidupan yang harmonis. Sudah bukan zamannya lagi menginginkan kehidupan yang
harmonis namun di tegakkan melalui kekerasan, perang, dan konflik. Ini saatnya,
dimana kita mempunyai generasi yang mempunyai mental baja, namun hatinya
selembut sutera. Mereka-mereka yang seimbang, netral, dan menjadi agen
perdamaian untuk negeri ini. Menjaga hubungan sosialnya, saling bergotong
royong, dan tidak egois.
Sudah saatnya kita melihat Indonesia
dengan kacamata baru, yaitu negeri yang penuh cinta kasih dan perdamaian. Mencetak
manusia-manusia yang berpendidikan dan bertoleransi tinggi. Konflik yang pernah
terjadi di negeri ini biar menjadi pembelajaran dan jangan sampai terulang
lagi. Kini, Indonesia mempunyai wajah baru yang lebih segar dan sedap
dipandang. Bagi penduduknya maupun bukan. Masyarakatnya senang
bergotong-royong. Pendidikannya mencerminkan ideologi bangsa yaitu pancasila,
yang mempunyai fitur lebih canggih dari pada pendidikan liberal. Perbedaan bukan
lagi penghalang, justru sebagai fasilitator yang menjadikan generasinya
generasi yang menghargai, menghormati, dan memiliki kohesi sosial yang tinggi. Menjaga
interaksi dengan sesama, menjaga identitas bangsa. Pedagogi dalam
pendidikannya, akan membuahkan pedagogi pendidikan yang berbasis toleransi. Bersyukurlah,
karena kita hidup di Indonesia. Dimana masjid bisa berdampingan dengan gereja,
dimana pesantren berdampingan dengan candi Hindu, dimana tempat peribatan semua
agama bisa berdiri di satu tempat. Dan sejauh ini kesemuanya aman. Sejak dini (SD)
pula, kita disuguhi dengan pendidikan agama, dan kewarganegaraan. Yang membentuk
kita agar menjadi manusia yang paling bertenggang rasa. Kita harus belajar
belajar dari orkestra. Memainkan peran kita dalam kemajemukan bangsa,
berkolaborasi dengan sesama, hingga terwujudnya harmoni indah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dan drijen di dalam tubuh orkestra ini bernama
pendidikan, sebagai agen perdamaian bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
diakses pada tanggal 18 Februari 2014 pukul 20.00 WIB
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/20/078505788/Lian-Gogali-Perempuan-di-Garis-Depan-Poso
diakses pada tanggal 20 Februari 2014 pukul 17.00 WIB
https://www.facebook.com/121994582490/posts/10151198806627491
diakses pada tanggal 20 Februari 2014 pukul 19.00 WIB
Alwasilah,
A. Chaedar. 2004. Politik dan Bahasa Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
You out such a great connection of ideas, Irma! and you develop a lot this semester in my writing class! Congrats, but please be careful in using "sehingga" as it functions well as the connector to the main clause (check again par 1); and be careful in using " as in "tidak monoton". You dont have to use it there anyway, and from the very beginning please write down the sources of the evidence (the statistical facts you used in par 2)...the example you used is brilliant! tulisannya cukup renyah untuk saya nikmati di malam minggu ini. Good job
ReplyDeleteThank you sir..for have enjoyed my post. it's unpredictable comment for me. I will be more careful later
ReplyDelete