Literacy
Wave
Pernah mendengar istilah “Korean Wave?” ya, itu adalah
istilah yang digunakan untuk tersebarnya budaya pop-korea secara global ke
seluruh penjuru dunia. Oleh karenanya, Literacy wave. Istilah yang saya berikan
khusus untuk mendeskripsikan tersebarnya budaya literasi secara global di
berbagai negara di dunia termasuk indonesia bahkan PBI semester 4 IAIN SNJ
Cirebon.
Di PBI semester 4 IAIN SNJ Cirebon sendiri, rating
literasi semakin hari semakin memunculkan eksistensinya, bahkan kini literasi mencapai
rating tertinggi dalam deretan tangga wacana yang paling sering dibicarakan
sejurusan PBI. Sejatinya seperti yang dikatakan oppa Hylland bahwa ‘literacy
is something we do’.
Sedikit membahas tentang pembahasan minggu kemarin atas tulisan bapak
Prof. Chaedar Al-Wasilah dalam salah satu bukunya yakni Rekayasa Literasi.
Menurut beliau literasi merupakan praktek budaya yang berkaitan tak hanya
dengan persoalan politik, namun juga persoalan sosial, ekonomi, bahkan
psikologi. Praktek budaya semacam ini lama-kelamaan akan membentuk sebuah
peradaban, peradaban literasi.
Sebuah negara dikatakan sebagai negara yang berperadaban
adalah ketika negara tersebut mampu memakmurkan warga negaranya (bengsa yang
kaya), tingkat keamanannya tinggi, dan tingkat kenyamanannya terjamin atau
dengan kata lain negara yang berperadaban adalah negara yang seimbang baik
secara ekonomi, sosial, politik bahkan psikologinya dan yang paling penting
adalah negara yang high literate.
Seiring berkembangnya jaman yang semakin menggila ini,
menuntut literasi untuk terus mengembangkan definisinya sehingga tuntutan
mengenai perubahan pengajaranpun tak terelakkan lagi. Dalam tulisannya beliau
juga menjelaskan tentang model literasi yang populer ala Freebody and Luke
(2003) dimana : breaking the codes of texts; participating in the meanings of
text; using texts functionally; critically analysing and transforming texts.
Kemudian beliau meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati,
menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
Masih seputar literasi, menurut beliau rujukan literasi
dalam dunia pendidikan tak henti-hentinya berevolusi dari masa ke masa,
sedangkan disisi lainnya rujukan linguistik relatif konstan atau statis.
Akibatnya praktek studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek
studi budaya (cultural studies) dengan dimensinya yang sangat luas. Menanggapi
kasus semacam ini, dibutuhkan peran aktif pemerintah sebagai pengambil
keputusan tertinggi seyogyanya mampu menciptakan pendidikan yang berkualitas
tinggi, karena sejatinya pendidikan yang berkualitas tinggi akan mengasilkan
literasi berkualitas tinggi pula, begitupun sebaliknya.
Berbicara mengenai pendidikan berkualitas tak lepas
kaitannya dengan peran serta GURU. Dituliskan pula oleh bapak Chaedar
bahwasanya ujung tombak pendidikan
literasi adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis,
strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan
keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994). Oleh karena itu
penting bagi seorang guru mengajarkan dan mengaplikasikan empat pokok
pelajaran: Reading, writing, arithmetic, and reasoning sebagai bekal
modal hidup mereka dimasa depan.
Keempat pokok pelajaran ini, jika tersampaikan secara
sempurna maka akan menghasilkan siswa yang mempunyai cita rasa literasi atau
berliterat karena orang yang multiliteratlah yang mampu berinteraksi dalam
berbagai situasi, namun sebaliknya bagi mereka yang tidak literat tidak mampu
memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media masa.
Jika Prof. Chaedar sibuk merekayasa litersinya,
sebagian dari kita pasti sibuk dengan sesuatu yang direkayasa beliau. Ya,
sebenarnya apa sih yang direkayasa itu? Literasi? Rekayasa literasi itu, yang
direkayasa apanya? Sejatinya rekayasa literasi itu adalah merekayasa pengajaran
membaca dan menulis dalam empat dimensi rekayasa literasi: linguistik,
kognitif, sosiokultural, dan perkembangan. Karena pengertian dari Rekayasa
literasi itu sendiri adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk
menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal.
Menggarisbawahi penguasaan bahasa secara optimal,
Hyland berpendapat: “academic literacy emphasizes that the ways in we use
language, referred to as literacy practices, are patterned by social
institution and power relationships.” Menurutnya berbahasa adalah berliterasi -literacy
as an activity located in the interactions between people, Hamilton (1998), as cited in Hyland
(2006: 21). Oleh karenanya lewat keberhasilan akademis berarti repersenting
yourself in a way valued by your discipline, adopting the values, beliefs, and
identities which academic dissourse embody. Singkatnya literasi sudah masuk
kedalam berbagai aspek kehidupan manusia yang ditandai dengan merebaknya
Literasi wave.
Salah satu jalur yang dilalui oleh literasi wave adalah
academic writing. Seperti yang dikutip oleh bapak Chaedar dari Michael Barber “In
the 21st century, world class standards will demand that everyone is highly
literate, highly numerate, well informed, capable of learning constantly, and
confident and able to play their part as citizen of a democratic society.” Oleh
karenanya pembelajaran academic writing harus diajarkan seuai standar high
literate agar mahasiswa mampu bersaing di kancah dunia sekarang ini.
Persiapan pertama adalam mengetahui elemen-elemen dasar
academic writing yang mana berbeda dengan writing context lainnya. Elemen
academic writing menurut pak Lala ada 9.
1.
Cohesion : the smooth movement or “flow” between sentences and
paragraphs. Intinya
kohesi harus ada untuk menghubungkan kalimat dengan kalimat selanjutnya atau
kalimat dengan parangrap setelah dan sebelumnya agar tidak merjadi diintegrasi
makna.
2.
Clarity :
the meaning of what you are
intending to communicate is perfectly clear. Penggunaan bahasa yang
tepat, tidak berbelit, serta tidak melebar ataupun keluar dari topik agar makna
yang dimaksud tersampaikan dengan baik. Untuk meningkatkan kejelasan tulisan,
bisa gunakan kalimat deskriptif atau gunakan referensi yang jelas.
3.
Logical Order: refers to a logical ordering of information. In
academic writing, writers tend to move from general to specific. Singkatnya
kronologi ide paragraf, penempatan setiap paragraf harus tersusun dengan rapih
dan berurutan.
4.
Consistency :
Consistency refers to
uniformity of writing style. Pemilihan
style dalam menulis perlu diperhatikan. Gunakan hanya satu style, jika ingin
menjabarkan tulisan anda dengan deskriptif maka harus gunakan structure dari
teks deskriptif.
5.
Unity : At
its simplest, unity refers to the exclusion of information that does not
directly relate to the topic being discussed in a given paragraph.
Semua
yang berada dalam paragraf berkaitan dengan ide pengendali. Penulis yang baik
6.
Conciseness :
Conciseness is economy in the
use of words. Tulisan yang baik akan dengan modah diambil
poin-poinnya dan menghilangkan kata yang tidak dibutuhkan serta tidak perlu
pengulangan (pemborosan
kata, or “dead word.”) pemberian informasi yang tidak penting
akan mempengaruhi unity dan cohesion.
7.
Completeness :
While repetitive or unnecessary
information must be eliminated, the writer has to provide essential information
on a given topic.
For example, in a definition of chicken pox, the
reader would expect to learn that it is primarily a children’s disease
characterized by a rash. Ketika
pemborosan kata harus dihilangkan maka penulis harus menyediakan informasi yang
esensial sebagai topik.
8.
Variety :
Variety helps the reader by
adding some “spice” to the text. Bumbu-bumbu penyedap
boleh ditambahkan pada tulisan agar tulisan berwarna dan tidak monoton.
9. Formality : Academic writing adalah ranah formal yang
berarti sophiticated vocabulary dan struktur gramatikalnya patut digunakan.
Tambahan: perlu hindari pemakaian pronoun “I” karena mengindikasikan bahwa
tulisan itu bersifat subjektif.
Jadi yang dapat disimpulkan dari pembahasan diatas
adalah, pertama literasi sudah menjadi sesuatu yang pokok dalam kehidupan, baik
ketika berbahasa atau beraktifitas sehari-hari. Sudah sepatutnya generasi muda
melek literasi agar mampy bersaing di masa sekarang ataupun masa yang akan
datang. Kedua, dalam mempelajari academic writing perlu sadar akan
elemen-elemen penyusunnya terlebih dahulu karena kita tidak bisa membangun
tanpa pondasi.
“Lebih
banyak orang yang merasa dekat dengan budaya lliterasi
maka
pelan-pelan akan memunculkan
Sense
of belonging terhadap literasi itu sendiri.”
0 comments:
Post a Comment