Critical
Review
Toleransi
Dalam Sistem Pendidikan Multikultural
Menanggapi bacaan bapak chaedar alwasilah yang
berjudul “classroom discourse to foster
religious harmony” halaman 217-219 dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi”. Pada hakikatnya
merujuk kepada kerukunan system pendidikan yang berbeda agama atau melihat dari
sudut pandang social untuk menciptakan kerukunan beragama. Agar tidak terjadi
konfik antar umat beragama. Apa yang telah di bahas dari halaman 217-219 adalah
fenomena atau hiruk pikuk yang terjadi secara realita di kehidupan masyarakat sekarang
ini mengenai konflik social antar agama dan penerapan sistem pendidikan pada
anak Sekolah Dasar.
Islam
memberikan kebebasan pada manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan oleh
ALLAH secara bertanggung jawab. Lalu apa yang salah dalam proses pendidikan
kita dalam kerukunan beragama? Sekali lagi “proses” pendidikan bukan hanya satu
agama tapi antar semua umat beragama. Bukanlah semua agama adalah mengajarkan
kita pada kebenaran dan keyakinan masing-masing? lalu, mengapa sampai
terjadinya konflik?
Sebenarnya untuk saling toleransi antar umat
beragama telah diterapkan pada zaman dahulu dimana semua agama pasti
mengajarkan umatnya dengan benar seperti: tidak boleh mencuri, tidak boleh
berzina, tidak boleh mabuk, tidak boleh membunuh dan lain sebagainya. Semua
agama adalah mengajarkan umatnya dengan benar. Begitupun dengan agama islam. Islam
menghargai dan menghormati manusia sebagai hamba Allah, baik mereka muslim
maupun non muslim.
Berbagai
macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat
beragama, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri. Pernyataan tersebut di dukung oleh suatu
kejadian-kejadian di berbagai daerah mengenai konflik antar agama, ras, budaya,
etnik dan lain-lain. Seperti yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon
(2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010) dan lain sebagainya. Kata kunci yang
perlu dibahas pada critical review ini adalah “Agama dan Pendidikan”
Mengapa saya simpulkan masalah ini adalah
Agama dan Pendidikan? Agama merupakan pedoman hidup bagi manusia untuk memenuhi
kehidupan akhirat dan akhlaqnya sedangkan pendidikan adalah memenuhi kehidupan
duniawi dengan bermasyarakat social untuk dapat berinteraksi satu sama lain.
Kedua hal ini harus menyatu sehingga tidak terjadi berbagai konflik baik
konflik antar agama, ras, budaya, etnik dan lain sebagainya.
Agama
Terdapatnya
banyak agama dan budaya yang ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk
menghadapi kendala-kendala tersebut. Oleh sebab itu perbedaan antar pendapat
bukan hal factor untuk memicu kerusuhan melainkan harus menjadi persatuan untuk
bangsa ini. Bukankah orang tua telah mengajarkan anaknya untuk saling
bertoleransi dari mulai hal kecil di dididk seperti: bertoleransi kepada kedua
orang tua, keluarga, sampai lingkungan sosial. Lalu, jika masalah sosial terus
terjadi seperti tawuran antar pelajar, bentrokan pemuda, dan sebagainya. Siapa
yang harus disalahkan? Apakah kurangnya orang tua yang mengenalkan anaknya
untuk pendekatan system kerukunan antar
umat beragama? Atau system pendidikan kita dalam kerukunan antar beragama yang
salah?
Lalu
bagaimana tanggapan anda mengenai kasus konflik antar etnis seperti: Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan
Singkawang (2010) dan lain sebagainya. Menurut saya konflik ini bukan hal yansepele
dan tidak memakan korban dan bahkan menurut saya konflik ini lebih parah
dibandingkan dengan kasusu korupsi. Korupsi kasus penyelesaiannya hanya dengan
hokum bersalah atau tidak? Dengan menunjukan bukti-buktinya. Sedangkan kasus
antar etnis di atas tidak ada apa-apanya
jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang sampai milyaran rupiah. Kasusu ini
sangat berat. Menyelesaikannya juga selain dengan hukum juga mencakup agama,
budaya, etnis dan lain-lain. Kasus antar etnis yang telah terjadi di tahun-tahun
yang lalau, merupakan tanggung jawab semua umat untuk saling bertoleransi antar
agama. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan terjadi perbedaan atau salah
presepsi.
Masalah
ini dapat berpengarauh buruk terhadap citra Indonesianya sendiri. Apalagi Indonesia
termasuk kedalam Negara yang berkembang. Jika masalahnya tetap seperti itu,
bagaimana Indonesia akan menjadi Negara yang maju? Padahal Indonesia adalah negara
yang banyak memiliki potensi dari segi agama, budaya, bahasa, suku, etnis, ras,
dan lain sebagainya. Bukankah keragaman tersebut menjadi aset bangsa yang harus
dikelolah agar menjadi manfaat?
Di Indonesia kerukunan
beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah
teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan masyarakat
Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang demokratis. Selain
pancasila yang menjadi dasar negara kita dengan system yang demokratis. Negara
kita juga di dukung dengan adanya semboyan yaitu : Bhineka Tunggal Ika”
Berbeda-beda namun tetap satu jua. Jika konflik antaretnis di atas terus
berkelanjutan maka untuk apa Negara Indonesia mempunyai dasar pancasilan dan
semboyannya?
Menurut pemikiran saya,
jelas sekali bahwa Indonesia sebutlnya mampu mengatasi permasalahan tersebut
dengan Idiologi yang di terapkan di system Negara kita yaitu Ideologi Pancasila
yaitu dengan system demokrasi yang mengatakan bahwa dari Rakyat oleh rakyat dan
untuk rakya. Kata kunci dari pernyataan tersebut adalah “Rakyat” bukan hanya
rakyat dalam artian satu agama saja tetapi seluruh umat beragama yang ada di
Indonesia baik Islam, Krtisten, Hindu, Budha dan Konghucu. Diterapkan dari
praktek, Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan
berlangsungnya reformasi. Oleh sebab itu banyak oknum-oknum yang terpengaruh
dengan system perbedaan tersebut sehingga dapat timbul konflik antar etnis.
Menurut saya, kondisi yang
demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak bersifat imun
melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang. Karena
itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif, terus-menerus,
tidak boleh berhenti.
Prediksi,
permasalahan antar kerukunan umat beragama Karena mungkin masalah yang selama
ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi karena tidak sampainya informasi
yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya jalinan informasi antar
pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka yang mengarah pada
terbentuknya penilaian negative.
Masing-masing agama
mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain
bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka
akan timbullah yang dinamakan konflik.
Kalau kita masih mempunyai
pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar,
maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu
pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antar agama sering kali,
maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi
bersikap negatif terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif
atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling
pengertian.
Dari
berbagai kasus diatas disebabkan karena adanya factor factor yang mempengaruhi
terjadinya antaretis adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya Sikap Toleransi
Masalah dalam komunikasi
antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap
toleransi malas-malasan (lazy tolerance). Sikap ini muncul sebagai akibat dari
pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama. Sehingga
kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan.
Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang
berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Sikap toleransi
ini jika selalu diterapkan sangat mudah dan dapat menjadi kegiatan rutinitas
antaretnis.sehingga terciptanya agama yang rukun, damai dan harmonis.
2. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini
terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah
kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling
penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama
telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh
tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya.
Namun tiba-tiba saja muncul
kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antar agama dan bahkan
memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan
“bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di
negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political di negeri
ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah;
darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa
politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu
membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali
menunggangi agama dan memanfaatkannya. Seperti pendidikan juga termasuk
didalamnya adalah rekayasa politik dari berbagai politisi dan birokrat yang
telah datang ke kuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperolehnya (Chaedar 2012).
3. Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam,
pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir
ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat
dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman
keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah
ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.
Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan
dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk
Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini,
tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam
ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama
tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama
lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan.
Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada
kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa
tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan
keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi
kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi
salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan
pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap
fanatisme yang berlebihan.
Dari uraian diatas, sangat
jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang
menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan. Hampir bisa dipastikan,
perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat
di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi
komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan
agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan
begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup
eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu
contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002),
Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah
“negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling
beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami
kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di
antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai.
Dalam waktu-waktu tertentu
ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang
memunculkan krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat
intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita,
bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan
itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan
sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai
“non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut
gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik
pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional. Ini jelas
memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran
semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan
berdampingan secara damai.
Walaupun berbagai hambatan
menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling
menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya,
kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan
menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat
kita bersikap optimis.
Pertama, pada beberapa
dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin
merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar
negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya,
di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat
Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa
menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang
lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi juga bermunculan
lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta yang
memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan
kerukunan antar penganutnya.
Kedua, para pemimpin
masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat
hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara
reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan
memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa
ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin
agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga
tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya.
Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah
kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan
serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita
sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi.
Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh
pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun
berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa
masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah
politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan
penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama,
dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak
memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk
mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa
dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka
setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih
sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
Pendidikan
Pernyataan:
untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di
sekolah pada awal usia mungkin. Dari pernyataan di atas jika anak sekolah dasar
harus dikembangkan kerukunan beragama agar dapat menghormati agama lain sangat
berpengaruh besar ke depannya untuk membentuk suatu karakter. Oleh sebab itu
yang menjadi sasaran dalam wacana tersebut adalah anak usia Sekolah Dasar.
Mengapa? Sebab cikal bakal dari suatu Negara adalah tertanamnya jiwa toleransi antar
umat beragama sejak kecil dan dapat mengerti inilah keanekaragaman agama dan
budaya di Indonesia.
Data yang telah diberikan dari Ariliaswati
(2011) dalam penelitiannya di Sekolah Dasar tentang wacana sipil. Dengan wacana
sipil tersebut siswa dapat berineraksi satu sama lain baik kelompok maupun
individu, mendengarkan penuh perhatian, berdebat hormat dan suara mengorbankan
untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari satu
masyarakat yang demokratis.
Menurut saya sistem wacana sipil memang baik
untuk siswa sekolah dasar dalam aspek
pengetahuannya tapi dalam aspek keterampilan belum tentu baik, sebab siswa
sekolah dasar yang notabe usiannya sekitar 6/7 tahun untuk kelas 1 SD pemikirannya
belum mampu untuk menerapkan sistem wacana sipil, sebab anak sekolah dasar
adalah masa anak belajar dan sekaligus diiringi dengan keterampilan dan
bakatnya masing-masing oleh sebab itu penerapan wacana sipil yang sangat
konsisten menurut saya dapat bentrok dengan keterapilan tradisional dan
budayanya. Alangkah lebih baik jika wacana sipil dapat diterapkan disekolah
dasar namun perbandingannya harus seimbang dengan keterampilan tradisional
sehingga siswa mampu menyerap ilmu dan keterampilan yang di dapatnya. Salah
satu bukti dari adanya system ini adalah di Negara singapura yang jumlah
penduduknya hanya 4.353.893 juta jiwa atau
krang lebih 5 juta jiwa, terdiri dari Cina, Melayu, India,
berbagai keturunan Asia.
Negara tersebut mampu menerapkan system sekolah dasar dengan Fullday atas izin
negaranya, awalnya memang di tentang dari berbagai kalangan sebab sitem yang
diajarkan adalah bukan bahasa sendiri akan tetapi menggunakan Bahasa Arab.
Semua yang diajarkan sekolah full day tersebut menggunkan Bahasa Arab meskipun
orang singapura mayoritas tidak beragama Islam. Disitulah terjadinya toleransi
kerukunan bagi umat beragama yang sangat peka terhadap bahasa dan dapat
dipadukan pada poin Agama tentang konflik antaretnis.
Dengan dibuktikannya banyak prestasi yang
telah diraih dan respon dari beberapa negara lain sangat antusias siswa-siswi
dididik setiap harinya dengan menggunakan Bahasa Arab. Sehingga sekolah
tersebut menjadi sekolah unggulan di singapura. Respon baik dari berbagai pihak
sehingga kualitas dari sekolah berbasis pengajaran Bahasa Arabpun sekarang
banyak diminati. Dapat di lihat realita di Indonesia mengenai pergantian kurikulum
tahun 2013 yang menghapus system bilingual. Sebetulnya budaya dan wacana sipil
kita terhalang karena disebabkan oleh orang-orang intelek yang selalu
memberikan system tanpa mempertimbangkan kemajuan bangsa seperti apa? Bukan
masalah kasihan atau tidak mengertinya anak Sekolah Dasar mempelajari bahasa
Negara lain. Kalau Negara kita ingin maju mengapa orang berjabat tinggi tak
Ingin Maju-Maju.
Pendidikan
memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan
merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi
bekal dalam kehidupan di tengah masyarakat. Selain pendidikan yang harus
terlaksana system pendidikanpun harus jelas, sesuai tujuan dan dapat tercapai
semaksimal mungkin sebagai bekal praktek di masyarakat.
Dari beberapa fakta di atas kita dapat menyimpulkan
bahwa untuk menghormati dan terciptanya kerukunan antar beragama tidak mesti
kita mempelajari semua agama dan peraturan-peraturannya. Cukup kita saling mengetahui,
mengormati antar umat beragama dan tidak perlu berfikiran bahwa agama sendiri
yang paling benar. Pemikiran inilah yang dapat menyebabkan terjadinya konflik
antaretnis. Dapat juga diselesaikan
melalui proses pendidikan secara sistematik dan komprehensif yang salah satunya
menambhakan moralitas berbangsa termasuk moralitas kurtural.
- Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan
Pendidikan. Bandung . PT Remaja Rosdakarya.
- http/gadogadozaman.blogsport.com/2012/12/pendidikan-dan-konflik-sosial-di-sekolah-8.html.
- http/blogsport.com/2011/10/kerkukunan-antar-umat-beragama.html
- · Cholis Muchlis
- · Mahfud, Choirul. 2011, ”pendidikan multikultural”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Coba masukkan bumbu sejarah di artiekel kamu lalu petakan harmoni itu dalam perspektif islam dulu sebelum mengaitkannya dengan hal2 lain. mungkin akan lebih joss
ReplyDelete