Manusia dengan segala aktifitasnya tak akan
pernah lepas dari kolaborasi kehidupan. Baik Individu yang memiliki latar
belakang yang berbeda mulai dari strata social, pendidikan, agama, budaya dan
perbedaan lainnya yang membuat Indonesia kaya akan masyarakatnya yang beragam.
Kita tidak akan pernah menampik akan bergulirnya waktu kehidupan. Masa yang
akan datang ada digengggaman kita. Perkembangan Negara ada pula pada generasi
mudanya yang siap menyongsong kejayaan pembangunan akan tetapi itu semua
memiliki ikatan erat dengan moral generasinya.
Dunia pendidikan kini
menjadi topik tren untuk diperbincangkan di kelas dunia. Tentunya dengan segala
aktifitas siswanya. Kali ini kita akan memaparkan sedikit mengenai literasi
terhadap toleransi antar budaya. Berdasarkan artikel yang menjadi sorotan kali
ini bersumber dari artikel Prof. Chaedar yang memandang melalui kaca mata
besarnya akan ragamnya cara individu untuk bersosialisasi antar siswa yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda yang mencerminkan kualitas suatu
pendidikan bangsa. Pada dasarnya semua bangsa menyadari akan kemajuan negaranya
melalui pendidikan yang baik dan tinggal bagaimana cara dan upaya Negara
tersebut agar generasinya memiliki kesadaran yang tinggi akan literasi.
Semakin berkembang
negeri ini maka semakin banyak pula cobaan yang harus dihadapi Negara kita.
Mulai dari masalah ekonomi, social, hingga politik dan terutama yang terpenting
adalah masalah pendidikan. Dahulu hingga sekarang tak pernah berubah sistem
pendidikan di Indonesia, hanya saja yang mengalami revolusi ialah guru yang
professional yang mampu mengolah bahkan mengasah kemampuan siswanya dengan
sungguh-sungguh. Anehnya, akhir-akhir ini guru disibukkan dengan hanya
memikirkan masalah siswa yang tak ada sangkut pautnya dengan nilai literasi.
Benarlah adanya jika Indonesia terletak pada posisi paling rendah tingkat
internasional dalam hal pendidikan.
Padahal sudah jelas
bahwa tujuan pendidikan yang paling terendah dahulu yaitu pendidikan dasar
yakni memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan
mereka sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga Negara. Negara Indonesia
dengan beragam aset generasi penerus yang dimiliki terus berusaha mengembangkan
sayapnya ke ranah dunia demi membuktikan kualitas pendidikan yang bermutu dan
patut dibanggakan. Tapi sayangnya kurangnya perhatian dari guru dan rendahnya
kesadaran yang dimiliki oleh para siswa ini yang sering menjadi faktor tidak
adanya kerukunan dalam bina warga pendidikan baik itu siswa, guru, penjaga
sekolah dan masyarakat sekitar.
Banyak yang
membincangkan mengenai toleransi antar agama di dalam pendidikan. “Bhineka Tunggal Ika” itulah semboyan
Indonesia yang berarti walaupun berbeda-beda tetaplah satu jua juga. Akan
tetapi sayangnya semboyan itu seringkali kita abaikan, Semboyan tinggalah
semboyan, slogan jua tinggalah slogan yang hanya terpambang membentang di
setiap mata pelajaran PKN di sekolah dasar. Toleransi merupakan interaksi
sesama individu baik itu memiliki latar belakang budaya yang berbeda, social,
maupun agama yang diyakini. Akhir-akhir ini sering terjadi ketidakharmonisan
baik antar pelajar bahkan terhadap gurunya pun. Sebagian besar hal tersebut
terjadi berawal dari faktor yang sepele, contohnya perbedaan pendapat dan
sebagainya. Padahal sudah jelas terbukti semakin dewasa usia remaja maka akan
semakin tinggi pula pola pikirnya.
Masalah yang sering
terjadi antar pelajar ialah tak jauh dari masalah social di antaranya tawuran
pelajar, dan juga masalah kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap perbedaan
yang ada di sekitarnya. Konflik social
khusunya ketidak harmonisan agama merupakan suatu tantangan besar bagi para
pendidik dalam mengupayakan segala sesuatunya agar menjadikan generasi
berikutnya menjadi generasi yang terbaik dari pada yang baik, dan juga
menjadikan anak didiknya sebagai pelajar yang demokratis pula sesuai dengan UU
yang telah ditetapkan. Kasus ini merupakan salah satu masalah yang harus
diselesaikan dengan berbagai pendekatan. Rupanya Gurulah yang menjadi pemeran
utama dalam upaya menyadarkan para siswa agar mereka tidak terus-menerus
bertingkah di luar aturan. Penanaman
kecintaan terhadap sesama haruslah ditanam sejak usia dini.
Untuk mewujudkan tujuan
makmur bersama, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal
usia mungkin. Walaupun pada dasarnya dalam satu ruang lingkup yang sama akan
tetapi berpenghuni oleh beragam asal budaya yang datang, para siswa harus
selalu diajarkan bagaimana caranya bertoleransi terhadap teman sebayanya yang
berbeda agama dan latar belakang social budaya tersebut. salah satu penelitian
menunjukkan bahwa :
“….. that
school-age children prefer to interact with their peers. In the school context,
it is the relationship where peers respect, help, share and generally are
polite toward one another, This concept of peer interaction is a critical
component in a social development theory.” (Rubin ,2009)
Pernyataan
di atas dapat di jelaskan bahwa anak yang masih duduk di tingkat sekolah dasar
sebagian besar lebih memilih bermain dengan rekan seusia mereka dengan cara
pendekatan mereka sendiri, baik itu dalam konteks membantu, menghormati,
berbagi dan bagaimana cara mereka berinteraksi dengan teman yang lainnya. Hal
ini menjadi usaha kerja keras bagi para guru agar dapat mengarahkan anak
didiknya sesuai dengan apa yang diharapkan ,akan tetapi pola pikir anak seusia
mereka pun tak bisa dipaksakan karena itu semua akan menghambat perkembangan
dan pertumbuhan mereka baik itu dalam berbahasa, berfikir, perkembangan maupun
toleransi terhadap kelompok.
Siswa harus dilatih
menyimak terhadap apa yang sedang dijelaskan dan harus sering adanya kontak
mata langsung agar siswa cepat mengerti dan mudah memahami apa yang dimaksud
guru sebenarnya. Guru harus lebih sering mengajak mereka untuk berdialog
langsung, hal ini ditujukan agar siswa tidak canggung ketika didekati ataupun
di ajak berbicara oleh gurunya. Merekayasa sebuah literasi harus selalu
dilakukan oleh para pendidik agar dapat mengetahui sejauh mana ia dapat
memperkenalkan apa yang beliau ajarkan selama ini. Ihwalnya, sekolah dasar yang
di dalamnya terdapat guru yang berfungsi mendampingi, membimbing dan mengawasi
siswa sepanjang hari selama masih di ruang lingkup sekolah tersebut.
Melatih siswa agar bertoleransi antar sesama |
Dalam kasus ini yang
mencakup dengan toleransi terhadap siswa dengan beragam keyakinan nukan
merupakan hal yang asing. Di sini dapat mencerminkan adanya sisi baik dari
siswa apabila ia mampu bertoleransi dengan yang lainnya, berarti ia juga mampu
bertoleransi dengan dirinya sendiri dan mencerminkan suatu keberhasilan individu
itu sendiri. Sebaliknya, jika siswa tersebut tidak mampu berinteraksi dengan
baik antar sesamanya maka dikhawatirkan akan terjadinya konflik social di
tengah masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi peran penting ialah intelektual
mereka. Pembelajaran mengenai toleransi dapat dilakukan di pendidikan tingkat
menengah bahkan Perguruan Tinggi sekalipun. (Prof. Chaedar : 2012: 195 )
mencantumkan :
“if
we are willing to conceive education as the process of forming fundamental
disposition, intellectual and emotional, toward nature and fellow men,
philosophy may even be defined as the general theory of education”.
-John
Dewey-
Toleransi
dapat disamakan dengan kebebasan. Literasipun begitu yang tak selalu memaksa
akan tetapi bersumber dari kemauan dan keikhlasan individu. Kebebasan di sini
dapat diartikan pula dengan kata liberal yang pada kenyataanya manusia dituntut
untuk berfikir terbuka dan berhati-hati serta tak berburuk sangka. Liberal
dapat diartikan toleransi ataupun membebaskan (Al Wasilah :2012: 195) . Negara
kita memang negara kaya, akan tetapi apakah Negara kita benar-benar Negara yang
tidak tertinggal? maka dari itu pendidikan liberal yang memberikan toleransi
antar sesame merupakan pendidikan yang dikehendaki untuk memperluas wawasan
siswa agar tidak ketinggalan zaman. Pada 1837 Ralph Waldo Emerson memaprkan : “a man must be a man before he can be a good
farmer, trademan, or engineer.” Artinya penguasaan ilmu-ilmu liberal sangat
penting sebagai fondasi bagi perkembangan keterampilan.
Sekarang
bangsa kita bukan lagi bangsa jajahan harta kekayaan Negara, akan tetapi masih
jajahan terhadap rendahnya literasi Indonesia. Bisa saja seorang siswa, guru
bahkan dosen sekaligus mengatakan bahwa saya gemar membaca, tapi apa bisa
menjamin menjadikan mereka sebagai seorang penulis? jawabannya adalah bisa jadi
atau bahkan tidak sama sekali. Ironisnya bangsa kita yaitu ketika harus
merelakan orang-orang dengan kepintaran yang terbatas dibiarkan jaya di Negara
tetangga (mantan presiden RI), dan juga banyaknya program pertukaran pelajar ke
luar negeri yang menjadikan mereka betah di sana kerena fasilitas yang
menunjang kehidupan mereka dan juga karena Negara luar sangat menghargai
orang-orang pintar terutama toleransi dan liberalism terhadap individu dengan
latar belakang yang beragam, yang seyogyanya Negara kita sendiri pun sangat
membutuhkan orang-orang pandai seperti mereka. Padahal sudah jelas bahwa ada
beberapa manfaat dari belajar bertoleransi, di antaranya (Al-Wasilah :2012
:196) :
-Menjaga hermoni antara pikiran dan tubuh
-Menguasai pengetahuan universal, terhindar dari pemahaman provincial (tidak komprehensif)
-Menumbuhkan kesadaran terhadap alternative bagi solusi persoalan hidup
-Berlatih berdisiplin mental
-Menanamkan pengetahuan umum, bukannya pelatihan vokasional dibidang tertentu.
v
Dalam artikel yang ditulis oleh Prof. Chaedar dalam
bukunya “Pokoknya Rekayasa Literasi” mencantumkan
beberapa contok konflik social yang terjadi di kalangan masyarakat akibat
kurang adanya keharmonisan terhadap toleransi antar berbeda agama, di antaranya
yaitu terjadinya konflik antar etnis dan agama besar yang terjadi di daerh
Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010) dan kota
lainnya. Konflik ini terjadi tidak hanya sekali, akan tetapi juga berlangsung
berkali-kali karena kurang adanya liberalism atau tolernsi antar sesama yang di
dalamnya juga mengandung unsur-unsur radikal yang dapat mengganggu kesatuan
atau kerukunan masyarakat yang lainnya dan dapat menyebabkan ketidakpercayaan
satu sama lain.
Menurut realita yang ada, bahwasanya peran guru
telah berusaha semaksimal mungkin pada para peserta didiknya ketika berada di
lingkup sekolah. Maka apabila sudah di luar, peran guru sudah dikembalikan pada
individu masing-masing yang pada akhirnya merekalah yang akan mengontrol diri
mereka sendiri. Akibat tidak terkontrolnya pola tingkah laku individu, maka
fenomena-fenomena seperti kasus pengeboman tempat peribadatan semakin gencar
diperbincangkan dikalangan masyarakat. Apriliaswati (2011) seorang peneliti
mengungkapkan bahwa interaksi teman sebaya dalam sebaya dalam catatan sebuah
wacana dalam kelas mengandung sisi positif dikalangan siswa. Pemaparan tersebut
tak dapat dipungkiri karena memang anak seusia dini yang masih duduk di bangku
sekolah dasar lebih peka terhadap berinteraksi yang dilakukan dengan teman
sebayanya dan akan lebih nyambung dibandingkan harus berinteraksi dengan orang
yang lebih muda atau bahkan yang lebih tua darinya dan hal itu akan membuatnya
canggung.
Berbicara
lagi mengenai toleransi yang merupakan siakp saling hormat-menghormati terutama
terhadap individu yang berbeda agama. Semaksimal mungkin kita harus dapat
mencegah yang namanya saling mengejek, saling menghina. Padahal sesungguhnya
masyarakat ditu tuntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban diantara mereka
antara yang satu dengan yang lainnya. Da;am pembukaan UUD 1945 pasal 9 ayat 2
dicetuskan dengan jelas bahwa :
“
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sebagai mehluk yang
terdidik khususnya, pasti tentunya kita tidak asing dengan satu pasal di atas.
Kita selalu diajarkan untuk menjadi siswa yang selalu memiliki rasa toleran
yang tinggi dengan sesamanya. Menciptakan kelas yang kondusif memang bukan hal
yang mudah, akan tetapi sikap toleran harus selalu di terapkan pada anak usia
dini. Menjadi berisik atau gaduhnya di ruang kelas itu jangan hanya dipandang
sebagai hal yang negative. Berawal dari situlah bisa jadi seorang siswa mulai
pandai menyaring ilmu, baik itu dari siswa yang aktif, suka bertanya,
komunikatif dan sebagainya. Memang benar apa yang dipaparkan Apriliaswati
bahwasanya para guru sebaiknya selalu mempromosikan interaksi sebaya sebagai
kegiatan rutin kelas. Siswa juga diberikan kesempatan untuk berinteraksi satu
dengan yang lainnya. Hal ini bisa dilakukan melalui sering adanya tugas-tugas
kelompok alam upaya untuk berlatih kepekaan siswa terhadap individu yang lain.
Ihwalnya sekolah
merupakan tempat dimana siswa memperoleh ilmu di dalamnya. Bukan hanya perihal intelektual
akan tetapi juga moril yang akan terus berkembang berkat adanya bimbingan dari
pendidik. Di sini, nampaknya sekolah harus dijadikan sebagai tempat
laboratorium agar semuanya dapat berkumpul dan belajar mengamati, observasi,
dan memperbaiki. Sayangnya hal ini sering dijadikan sebagai angin lalu belaka.
Generasi bangsa yang miskin akan ilmu dan moril padahal kekayaan semakin
berhamburan menyerbak bagai kicauan burung yang tak ada hentinya bila ia lapar.
Cerminan bangsa tergantung pada pola pikir generasi penerusnya pula.
Pembelajaran sejak dini
selalu jadi pusat perhatian para pendidik terutama mengenai toleransi terhadap
perbedaan agama. Walaupun sering diajarkan, akan tetapi seringkali diabaikan
bahkan tak didengarkan sama sekali. Banyak terjadi perpecahan hanya karena satu
faktor yaitu enggan toleransi terhadap sesama, seperti halnya kasus yang
terjadi diberbagai pulai di negeri kita tempat berpijak ini. Bukankah sangat
disayangkan apabila Indonesia berpecah belah hanya karena faktor yang sama
yaitu sebab-musabab adanya kemajemukan masyarakat di Indonesia yang hanya ingin
memisahkan diri dari keyakinan yang ia yakini dengan keyakinan orang lain. Hal
ini sangat memalukan dan tidak pantas untuk dijadikan cerminan bangsa. Kita
selalu menginginkan agar Negara kita selalu aman, tertib, dan makmur tanpa
harus adanya tawuran, salah faham hanya gara-gara faktor berbeda agama.
Sesungguhnya di mana letak rasa toleransi kita terhadap sesama?
Tampaknya orang dewasa
harus banyak belajar dari anak yang lebih kecil. Karena anak kecil lebih mudah
untuk dibimbing dan diarahkan daripada orang yang mengaku sudah dewasa akan
tetapi hanya protes yang bisa ia lakukan. Perkembangan dunia semakin canggih
dan guru harus selalu bersabar memberikan arahan yang baik kepada mereka.
Dengan member kesempatan kepada mereka untuk aktif dalam berargumen dengan
diserati dengan alasan walau secara realita mereka belum cukup pandai untuk
melakukan itu. Akan tetapi, dari mimic seorang siswa dapat menggambarkan
perkembangannya apakah ia sudah dapat mertoleran atau belum. Pihak sekolah pun
harus memberikan kebebasan pada para siswanya agar tidak malu-malu untuk
memberikan pendapatnya.
Perlu dipertimbangkan
kembali agar Indonesia menjadi Negara yang memberikan kebebasan berintelektual
bagi generasi penerusnya sampai berkecambah ke luar negeri. Adapun seorang
tokoh yang memaparkan misi pendidikan liberal (pemberian kebebasan) yaitu :
“The need to
better understand ourselves and our times to discover and understand the great
tradition and deeds of those who came before us, the need to free our minds and
our hearts from unexamined commitments in order to consider new possibilities
that might enhance both our own lives and build our sympathetic understanding
of others’ quite different from us, the need to prepare all thoughtful citizens
for an independent and responsible life of choice that appreciate the
connectedness of things and peoples.”
-Shapiro,
dalam Duderstadt (2000: 77)-
Selain
toleransi itu diterapkan di tingkat sekolah dasar, toleransi pun harus selalu
diterapkan di kalangan perguruan tinggi karena hal ini memberikan kebebasan
kepada mahasiswa dari kungkungan atau perbudakan yang timbul karena kebodohan,
syak wasangka, dan kepicikan. Kebebasan di sini mensyaratkan mahasiswa agar
memiliki pemikiran yang jembar atas berbagai temuan, toleransi dan dalam bidang
akademik lainnya (Prof. Chaedar :2012: 198). Dengan kata lain pula kebebasan
ini ditujukan agar mahasiswa memiliki kemampuan untuk berfikir rasional antar
sesama. Mahasiswa pun sebagai penentu kemajuan suatu bangsa khususnya Indonesia
karena apabila mahasiswa pandai berliterasi, Indonesia pun akan bangga untuk
menerbitkan bibit-bibit unggul. Pendidikan liberal di sini mencakup pendidikan
literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis bahkan mengapresiasi sastra (Bab 6 Rekayasa Literasi).
Kebijakan
harus selalu diterapkan dalam dunia pendidikan. Apabila siswa rendah akan
toleransi, maka akan rendah pula terhadap literate nya yang selama ini dibina
oleh guru masing-masing. Satu kasus lagi yang sangat mencerminkan masyarakat
Indonesia yang rendah akan moril, yakni ketika tahun 2010 yang dikejutkan para
petinggi Negara yang melangsungkan rapat dengan mengeluarkan kata-kata yang tak
semestinya dikeluarkan. Atau bahkan mereka bisa melakukan yang di luar nalar
kita yang saat itu tengah menonton rapat mereka yang sisiarkan di salah satu
televisi swasta. Sungguh tak pantas untuk dicontoh. Anak bebek saja bisa
tertib, masa mereka tidak malu dengan aksi mereka yang akan menjadi cerminan
buruk bagi generasi selanjutnya.
Tidak
terlepas lagi mengenai toleransi yang patut diajarkan kepada siswa terhadap
perbedaan agama. Idealnya kebijakan harus didukung dengan adanya fasilitas yang
menjembatani mereka untuk menghindari aksi ketidakharmonisan antar sesama
siswa. Yakni tempat ibadah sesuai dengan adanya agama yang dianut. Akan tetapi
apakah dengan cara seperti ini dapat menjamin kerukunan antar siswa bahkan
mahasiswa sekalipun? Padahal sudah sangat jelas Indonesia yang dengan kepadatan
penduduknya mayoritas beragama Islam. Mungkin saja dengan cara penempatan
fasilitas beribadah seperti ini adalah salah satu upaya penertiban kecemburuan
social yang mungkin saja terjadi. Pendidikan liberal bukan saja memberikan
kebebasan terhadap bertoleransi antar umat beragama, akan tetapi juga
memberikan kebebasan siswa dari sikap rabun moril terhadap sesama yang memiliki
latar belakang yang berbeda.
Jadi,
dari penjelasan singkat di atas mengenai pandangan mengenai “Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony” yang dipantau dari sudut kacamata penulis (Prof.Chaedar Al
Wasilah) dapat disimpulkan bahwa dalam dunia pendidikan butuh sosok ayah, butuh
pula sosok ibu yang dapat membimbing, mengarahkan, menasehati , dan membina
tiap langkah yang harus diambil oleh siswanya. Marilah kita menjadi generasi
penerus bangsa yang berliterasi tinggi dan pandai bertoleransi terhadap sesama.
Perkembangan dan pertumbuhan bangsa ada pada genggaman tiap generasinya.
Perbedaan agama, etnis, ras semoga tak menyurutkan semangat kita untuk tetap
bersatu dan menciptakan Indonesia maju.
Referensi :
Bambang, Suteng S. 1998. PPKN kelas I SMU. Jakarta:
PT Erlangga
Chaedar, Alwasilah A. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Utama
ko ga ada definisi jelas mengenai 'classroom discourse' di sin iya. Padahal itu bisa jadi kekuatan untuk memetakan perjalanan panjang di 'critical revies'
ReplyDeletesiap pa, akan saya perbaiki
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete