Sudah 68 tahun Negara
kita merdeka. Pendidikan dan teknologipun semakin canggih bahkan segala sesuatu
yang dikerjakan manusia dapat pula dikerjakan oleh robot. Bersorak riang
gembira itulah yang dirasakan masyarakat Indonesia ketika menjelang 17 Agustus.
Akan tetapi sangat disayangkan sekali bagi Indonesia karena banyaknya penduduk
Indonesia tidak banyak dari mereka yang memahami betul apa itu sebuah
kemerdekaan.
Dahulu bangsa kita
masih dibawah kekangan bangsa-bangsa penjajah begitu pula terhadap budaya
berbahasa. Peninggalan sejarah kini tinggallah sejarah dan seakan tiada makna
akan perubahan terhadap perubahan Indonesia di mata dunia. Begitu pula dengan
bahasa yang selalu dianggap hanyalah seuntai bahasa. Sesungguhnya dimana letak
kepedulian kita terhadap bahasa? Bahasa bukan hanya bahasa akan tetapi bahasa
adalah literasi.
Kini yang menjadi
perbincangan serius dikalangan pendidikan selalu mengarah kepada tingkat
literasi kita yang jauh tertinggal dibandingkan dengan Negara lain. Sesuai
dengan kenyataan yang ada, khususnya bagi para pelajar dan juga para guru yang
selalu mengabaikan sesuatu yang dianggap tidak wajib untuk dilakukan yaitu
baca-tulis. Sesungguhnya kita tidak akan tahu masa depan seperti apa yang akan
kita genggam kelak. Ironisnya lagi dikalangan pendidikan kini jarang ditemukan
siswa yang rajin ke perpustakaan. Terdapat catatan penting dari Prof. Chaedar
yang menuliskan :
“
In the 21st century, world class standards will demand that everyone
is highly literate, highly numerate, well informed, capable of learning
constantly, and confident and able to play their part as citizen of a
democratic society”.
-Michael
Barber-
Pemaparan dari Michael
Barber di atas sangat menggambarkan bahwa telah jelang abad 21, dan kelas
standar dunia selalu mengharapkan tingginya akan literasi. mungkin pula akan
diharapkan hingga 21 abad yang akan datang. Yang nantinya manusia akan dituntut
tinggi terhadap literasi, tidak hanya baca-tulis akan tetapi juga pemahaman
terhadap symbol, angka dan tanda-tanda, bahkan gambar sekalipun. Terutama
menonjolkan kepercayaan diri masyarakat terhadap social demokrasi.
Semua individu sudah
berbahasa sejak dalam kandungan sekalipun. Sekarang tinggal bagaimana cara
individu itu mengembangkan kebahasaannya dalam suatu karya setelah dilahirkan
di dunia. Sedikit akan dijelaskan mengenai literasi. perlu diingat kembali
bahwasanya literasi adalah suatu kolaborasi sekaligus refleksi. Yang dimaksud
kolaborasi di sini adalah adanya kesatuan antara baca-tulis, pelaku sebagai
writer-reader. Dengan kata lain, kolaborasi merupakan suatu kesatuan yang
terdiri dari beberapa hal yang saling mendukung satu sama lain terutama dalam
baca-tulis (literasi).
Perlu diingat kembali
bahwa literasi tidak akan pernah lepas dari kehidupan kitasebagai mahluk
social. Berawal dari literasilah kita mengenal yang namanya kepedulian, saling
menghormati sehingga dari budaya literasi yang tak jauh dari kecintaan terhadap
sastra akan melahirkan suatu peradaban yang akan terus berkembang keberadaannya
(culture) yang di dalamnya mencakup :
·
Social
·
Politic
·
Economy
·
Psicology
·
Culture
·
Science
·
…..
Literasi tidak terlepas dari pendidikan. Tuntutan
zaman yang semakin modern seperti sekarang tidak menutup kemungkinan mendorong
siswa semakin terjun dalam dunia elektronik. Hal ini didrorong kuat oleh
keyakinan masyarakat akan kecanggihan teknologi. Akan dibawa ke mana kecerdasan
anak bangsa jikalau pera petinggi Negara hanya mengandalkan kecanggihan
teknologi? mari kita ingat kembali dari pernyataan Einsten :
“Imagination
is more important than knowledge”
(Al
Wasilah : 2012: 23)
Pernyataan
dari Einstein di atas menyatakan secara tegas bahwa literasi dapat dikembangkan
dengan cara apa saja. Seseorang tanpa imajinasi ia tak akan kuat pula dengan
pengetahuannya. Bahwasannya knowledge lahir karna awal mula tergambar suatu
imagination, begitu pula dengan seseorang yang ingin menulis yang pada awalnya
ia akan berimajinasi terlebih dahulu sehingga muncullah berbagai ide dalam
otaknya. Literasi seseorang itu tergantung dari bagaimana cara seseorang itu
memiliki rasa kecintaan terhadap literasi itu sendiri, yang berawal dari suka
membaca, kemudian tergerak hatinya untuk menulis walaupun kecintaannya
terkadang naik turun bahkan dorong tarik.
Literasi tak lepas dari
budaya baca-tulis. Budaya di sini yaitu suatu peradaban yang berpacu pada prosperous security . Ihwalnya seorang
mahasiswa Indonesia yang sedang menimpa ilmu di luar negeri, walaupun dari
latar belakang budaya yang berbeda akan tetapi ada kenyamanan yang dirasakan.
Berarti budaya literasi yang terjadi bejalan baik dan bisa jadi mahasiswa
tersebut yang tadinya medium atau bahkan low literacy, semakin berjalannya
waktu ia terus meningkatkan kecintaannya terhadap peradaban budaya baca-tulis
hingga naik ke level high literacy. Apabila mahasiswa tersebut sudah tergolong
ke dalam multilingual language atau multilingual writer yang selalu
mempertahankan bahasa ibunya dan jika semakin banyak bahasa yang digunakan maka
akan semakin hebat bahasa yang ia pertahankan.
Memang betul jika orang
yang tidak suka membaca akan membuatnya sulit untuk menulis, akan tetapi orang
yang gemar baca pula tidak menjamin untuk menjadikannya orang yang suka
menulis. Seorang penulis yang emotive akan terkesan emotional karena ia
memiliki rasa literate yang cukup tinggi (writer-reader) dan pemahaman pula
akan datang ketika kita yang gemar menulis tau bagaimana cara mendapatkan
informasi. Sangat beragam cara orang untuk memperoleh informasi karena masing-masing
memiliki caranya tersendiri.
Literasi berhubungan
dengan baca-tulis, banyak orang khususnya pendidik yang berupaya untuk
menjadikan beragam individu agar terdidik dan mimiliki rasa cinta yang tinggi
terhadap sastra, dan hal ini dinamakan dengan rekayasa literasi. ada beragam
cara yang dapat dilakukan dalam upaya merekayasa literasi, di antaranya yaitu:
* Dibaca
* Dibaca
* Direspon
* Dibaca
* Ditulis
* Ditulis
* Direspon
Adapun yang direkayasa ialah strategi dalam membaca,
menulis dan merespon suatu teks. Perlu diingat kembali bahwa dalam dunia
literasi terdapat 4 dimensi penting yang selalu berevolusi di dalamnya, antara
lain (Prof. Chaedar : 173) :
a) Linguistik
(focus teks)
b) Kognitif
(mind)
c) Perkembangan
(growth) (Kucer :2005 : 293)
d) Sosiokultural
(group)
Menurut sudut pandang Ken Hyland (2006) seorang
penulis terkenal memaparkan bahwa literasi adalah segala sesuatu yang kita
kerjakan. Satu hal penting yang dapat kita lakukan adalah bagaimana cara untuk
meningkatkan suatu pemahaman kita terhadap tulisan yang nantinya menjadi
cerminan kita dalam aktifitas sehari-hari. Ini merupakan suatu pembelajaran
dimana seseorang menggunakan literasi dalam kehidupan sehari-hari mereka dan
yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mereka memodifikasi literasi
dalam kehidupan sehari-hari?
Barton el al memaparkan
bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki pengaruh terhadap perkembangan
literasi dan juga umur yang memiliki pengaruh besar. Kali ini terdapat beberapa
cara yang berbeda dalam menggunakan literasi berdasarkan pengalaman yang
berbeda pula, di antaranya (Ken Hyland : 204) :
v For
finding out and learning about things
v For
life porposes
v For
literacy learning through every day events
Seringkali kita membaca, tapi tak menjamin menjadikan
kita seseorang yang gemar menulis. Perlu kita ingat kembali dari buku Mikko
Lehtonen yang menyinggung perihal budaya menganalisis terhadap suatu teks.
Text, contexts, reader, writer dan meaning yang tidak dapat dipisahkan.
Semuanya itu dapat diibaratkan seperti sebuah teater (pentas drama), yang di
dalamnya mencakup scenario, pemeran, costum, panggung, dan pesan-pesan yang
terkandung di dalam cerita dramanya. Peran reader di sini digantikan oleh
penonton yang setia untuk menyimak tiap adegan yang diperankan oleh tiap pemain.
Menurut Ken Hyland pada bukunya yang berjudul “English for Academic Porposes (EAP)”
menerangkan jelas bahwa literasi adalah segala sesuatu yang kita lakukan.
Berliterasi bisa melalui apa saja, entah itu melalui belajar mendengar, mambaca
walau sedikit sedikit, menulis apa saja yang ingin kita tulis. Di sini terdapat
tiga konsep dalam English for Academic yang nantinya dapat merubah suatu
konteks kita dalam pembelajaran, yakni of study skill, socialization and
literacy, have developed in succession, with later views incorporating earlier
ones. (Lea and Street, 2000). Hal ini tidak hanya mencakup budaya baca-tulis,
akan tetapi juga terhadap komunikatif individu. Ada beberapa hal penting kenapa
EAP sangat diperlukan, karena (Ken Hyland: 2006: 16) :
· *We have gradually learned more about the
different teaching contexts in which students find themselves and about the
particular communicative demands places on them by their studies.
· *
There are growing numbers of students
from ‘non-traditional’ backgrounds entering university.
· *
Students now take a broader and more
heterogeneous mix of academic subjects.
Hanya mengandalkan belajar itu akan mempersempit
pengetahuan siswa dalam memahami sesuatu. Alangkah baiknya menggunakan berbagai
fasilitas yang ada, misalnya rajin membaca buku di perpustakaan latihan menulis
sendiri tanpa ketergantungan oleh tugas-dari dari sekolah maupun kampus. Richard
et al (1992: 359) mengungkapkan :
“Abilities, techniques
and strategies which are used when reading, writing, or listening for study
porposes……”
Pemaparan di atas
sangan jelas menggambarkan bahwa literasi merupakan ditujukan untuk study
poroses. Dapat pula dilakukan melalui beberapa experience yang kita alami
sebelumnya kaena lireasi tak membatasi ruang lingkup waktu.
Dapat disimpulkan bahwa merekayasa literasi harus berawal
dari diri-sendiri sebelum kita berkecambah ke area yang lebih luas. Literacy is something we do. Sesuatu
yang kita kerjakan dan apabila mengalami revolusi berarti kita sedang bertahap
berliterasi. Berliterasi tak pernah lekang oleh waktu kecuali manusianya yang
tidak mau berubah. Kita berubah untuk Indonesia jaya.
0 comments:
Post a Comment