Menindak
lanjuti pada pembahasan sebelumnya ihwal academic
writing, pada sekmen kali ini Mr. Lala membahas ihwal ihwal scientific writing. Beliau menanyakan
beberapa pertanyaan penting di awal pertemuan, antara lain:
1. Hanya
mahasiswa yang mendaftar di kelas writing tanpa tujuan?
2. Hanya
mahasiswa yang mencoba menyelesaikan setiap tugas tanpa keikhlasan?
3. Hanya
mahasiswa yang menulis hanya untuk mendapat nilai yang pantas?
4. Hanya
mahasiswwa yang menulis tanpa rasa?
5. Hanya
mahasiswa yang mencoba untuk memenuhi seluruh kontrak belajar?
Menurut perspektifnya,
mahasiswa adalah multilingual writer
yangmana menulis dengan efektif dan mengunakan lebih dari satu bahasa. Selai
itu, kita juga disebut sebagai critical
reader, yaitu pembaca yang mengkritisi suatu tulisan dimaana mencari
poin-poin penting di dalamnya tanpa menelan mentah-mentah isinya apalagi
melakukan plagiat. Pembaca yang kritis mentransformasikan dirinya dari student
of language menjadi student of writing. Student of language yaitu pelajar yang
mamu menguasai berbagai macam bahasa sedangkan student of writing adalah
pelajar yang mempunyai kemampuan dalam menulis karya sastra. Kedua komponen itu
sangat krusial dalam dunia pendidikan, namun berbahasa saja tidak cukup tapi harus
ditunjang dengan kemampuan menulis yang baik karena seperti kata bijak
mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa penulis. Mengingat dengan
menulis kita dapat mengeluarkan gagasan dan ide-ide baru yang dapat merubah
dunia (writing change the world) maksud
dari ungkapan tersebut adalah dengan menulis seseorang akan mamu mempengaruhi
pembacanya dalam segala aspek kehidupan, seperti wacana yang ditulia oleh Pak
Chaedar yanmana dapat mempengaruhi pola pikir (paradigm) dan menginspirasi
seorang Mr. Lala sehingga Mr. Lala menularkannya kepada mahasiswanya. Hal ini
mengartikan bahwa dengan menulis seseorang takkan pernah mati karena tulisannya
adalah cerminan dari dirinya. Pola piker yang dirangkai ke dalam barisan kata,
dikonstruksi ke dalam susunan kalimat yang rapih sehingga terangkai membentuk
suatu gagasan. Kerangka berpikir inilah yang membuatnya tetap hidup walaupun
jasadnya telah mati. Dikatakan pula bahwa: “Ilmu itu seperti hewan buruan, dan
tulisan merupakan pengikatnya. Maka ikatlah hewan buruanmnu dengan tali yang
kuat”. Esensi dari kalimat terebut menafsirkan bahwa ilmu yang kita syogyanya
harus dituangkan kedalam bentuk ril yaitu sebuah tulisan agar tetap lestari,
tidak akan hilang meski ditelan zaman.
Menulis dapat diartikan
dengan mengikat. Mengikat disini menginterpretasikan 3 cara yang satu sama lain
saling berkaitan. Ketiga cara tersebut
merupakan prinsip dasar dari seorang penulis dan pembaca antara lain:
Ways of knowing
something. Menulis menginterpretasikan cara atau pendekatan yang kita gunakan.
Ketika menulis kita dituntut untuk mengetahui terlebih dahulu latar belakang
(background) masalah yang sedang terjai karena dengan begitu kita akan bijak
dalam merespon masalah sehingga apa yang kita tulis tersebut sesuai dengan
keadaan dan selaras dengan ekspektasi situasi yang terjadi. Jadi, dengan adanya
perbedaan tersebut melahirkan fatwa atau opini baru yang dapat meningkatkan
khazanah keilmuan kita tentang menulis.
Ways of representing
something. Menulis merupakan salah saut cara untuk mewakilkan atau menyatakan
apa yang penulis rasakan. Hal yang dinyatakan berupa interpretasi terhadap
sesuatu hal yang dihasilkan dari subjektifitas sorang penulis yaitu dengan cara
mencari, menebak dan membangun makna atas berbagai jenis teks baik tekstual ,
visual maupun digital (virtual).
Ways of reproducing
something. Pada dasarnya menulis itu
mereproduksi pengetahuan. Namun disini sebenarnya yang direproduksi adalah
pengalaman yang kita peroleh dalam proses mencari pengetahuan tersebut. Membaca
merupakan upaya untuk mendapatkan pengetahuan atau informasi dan menulis
merupakan cara untuk mengikat pengetahuan atau informasi itu.
Dari ketiga cara
tesebut mengartikan bahwa yang diikat (direkam) adalah pengalaman (experience)
selanjutnya dituangkan ke dalam suatu tulisan sebagai dokumentasi agar bertahan
lama (longlasting).
Selain itu, menulis
berasal dari ekspektasi pembaca maksudnya ketika pembaca membaca sebuah tulisan
dia otomatis akan mengkritisi kelebihan dan kekurangan teks bacaan tersebut.
Penulis harus dapat mengantisipasi sejauh apa pembaca memahaminya dan pembaca
berkempatan untuk menginterpretasikan maksud seorang penulis. Maka akan
tercetus kritikan dan gagasan baru yang dapat memabangun seorang penulis dalam
mengekspresikan tulisannya agar lebih baik. Maka dari itu, antara penulis dan
pembaca terdapat koneksi yang disebut seni (Art).
Menurut Lehtonen
(2000;74), pembaca naik ke inti pebentukan atau penyusuna suatu makna dan
membaca menjadi tempat dimana makna itu dimiliki. Teks dan pembaca tidak pernah
berada secara bebas, tetapi sesungguhnya mereka (teks pembaca) satu sama lain
saling menghasilkan makna (meaning).
Membaca termasuk memilih apa yang harus dibaca, menggabungkan dan menautkan
mereka bersama supaya membentuk makna juga membawa pengetahuan pembaca tersebut
ke dalam teks.
Jika pembaca (reader)
sedang mengkaji tulisan atau teks bacaan, pada saat itu juga dia sedang
bernegosiasi dengan maksna teks tsrsebut
karena pembaca yang menginterpretasikan maksud si penulis maka pembacalah yang
berhak dengan makna tersebut. Akan tetapi pembaca dituntut untuk mengetahui
latar belakang (background) si penulis itu seperti apa, siapa orang yang akan
mbaca tulisan kita dan buku apa sajakah yang sudah dibaca pembaca tersebut.
Antara penulis dan pembaca berkolaborasi untuk membangun makna (meaning).
Mereka diibaratkan sepeti penari (dancer) yang harus mampu menyelaraskan setiap
gerakan sesuai iramanya. Pembaca dan penulis harus saling melengkapi satu sama
lain dan saling membantu karena disitulah makna terbentuk. Lebih jelasnya bisa
digambarkan seperti berikut:
Teks
– Konteks – Writer – Reader
Koneksi antara keempat
elemen tersebut antara lain: teks sebagai bentuk tersurat yang dimiliki oleh
penulis (writer) sedangkan konteks bentuk tersirat yang dimmiliki oleh pembaca
(reader). Keempat aspek tersebut akan menghasilkan makna (meaning). Ketika
meaning terletak diantara writer dan reader maka meaning seharusnya searah
dengan pengalama 9experience) masing-masing. Yang menyesuaikan itu adalah
pembaca dan yang mengartikan tulisan itu bagus atau tidak tergantung dari
pembacanya. Jadi, kita menulis dengan sasaran yang sama maka kita harus menulis
sesuai dengan pengetahuan yang sama pula serta menulis harus ada keindahan
bahasa dan lain sebagainya.
Menurut Lehtonen, ketika
bahasa mempunyai system sendiri yang mendefinisikan atau yang mengarikan
dirinya sendiri maka diantara writer dan reader akan kehilangan meaning karena
tidak ada yang membaca. Hal itu menyebabkan tulisan kita tidak berate apa-apa.
Selain itu, beliau mengungkapkan bahwa bernegosiasi dengan mencari makna yang
terkandung dalam tulisan saja tidak cukup dalam mempelajari pembaca untuk
memaksa atau menekankan bahwa mereka jadi partisipan aktif dalam formasi
meaning.
Di
dalam buku Lehtonen hal. 111). Menurut Loke, ahli bahasa mengkarakteristikkan
situasi bahasa dalam konteks. Kamu sebagai pembaca tidak melihat aku sebagai
penulis apa yang aku lakukan ketika menulis., kamu sebagai pembaca hanya bisa
menikmati hasil dan informasi-informasi yang saya tulis. Kamu pembaca hanya
tahu apa yang diinformasikan dan apa yang dikoneksi, sebagai individu yang
mempresentasikan sendiri hasil tulisan dari penulis konteksnya itu sebagai
benda mati. Jika hasil tulisan sudah jadi maka secara otomatis itu sudah
menjadi hak pembaca dalam mengartikannya.
Jadi,
dari uraian tersebut kita dapat meniympulkan bahwa menulis adalah bagian dari
aktifitas pikiran yang dituangkan ke dalam suatu tulisan yang dapat
menghasilkan makna. Yang dihasilkan oleh kolaborasi antara writer dan reader tulisan tidak akan pernah mati apabila ada
pembacanya. Cara untuk melestarikannya adalah dengan mengikat pengalaman dengan
proses mereproduksi pengalam ke dalam sebuuah tulisan.
0 comments:
Post a Comment