“Your class did a great job in the first three
matches” adalah salah satu dari banyak komentar
positif yang dosen writing saya katakan pada kelas saya. Komentar-komentar
tersebut sangatlah mendorong kita untuk menelurkan karya tulis yang lebih baik
lagi dari minggu ke minggu. Lewat tugas yang beliau berikan, semakin hari kita
semakin dekat dengan sesuatu yang dinamakan literasi. Kini kita merasa bahwa
litersi sudah menjadi bagian dari kita. Bukan hanya diartikan sebagai kegiatan
membaca dan menulis tapi sepeti apa yang dikatakan Ken Hyland “Literacy is
something we do.”
Sedikit membahas ulang
soal tulisan Prof. Chaedar Al-wasilah dalam salah satu bukunya tentang rekayasa
litersi. Menurut beliau literasi adalah praktik kultural yang berkaitan
dengan persoalan sosial politik. Namun karena tuntutat zaman yang semakin hari
semakin menggila, definisi baru literasi pun terus menjamur sehingga tuntutan
mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari lagi. Dalam tulisannya
beliau juga menjelaskan model literasi ala Freebody and Luke (2003): breaking
the codes of texts; participating in the meanings of text; using texts
functionally; critically analysing and transforming texts. Dan kemudian
beliau meringkas lima ayat di atas menjadi: memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis, mentransformasi.
Menurutnya juga bahwa rujukan
literasi dalam dunia pendidikan terus berevolusi dari zaman ke zaman, sedangkan
rujukan linguistik relatif konstan. Studi tentang literasi pun kadang ditumpang-tindihkan
(overlapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) yang memiliki banyak
dimensi. Melihat kasus diatas pemeritah sebagai pengambil keputusan seharusnya
mampu menciptakan pendidikan yang berkualitas tinggi, karena pendidikan
tersebut pasti menghasilkan literasi berkualitas tinggi, dan juga
sebaliknya.
Ujung tombak dari pendidikan
literasi sendiri adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis,
strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan
keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah
2012). Oleh karenanya, seorang guru
sangat dituntut untuk mengajarkan siswanya empat pelajaran pokok yang menjadi
modal hidup seorang individu, seperti Reading, writing, arithmetic, and reasoning
agar dapat menghasilkan siswa yang berliterat, karena hanya orang multiliterat
lah yang mampu berinteraksi dalam berbagai situasi, sedangkan masyrakat yang
tidak literat biasanya tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan
lewat media masa.
Menanggapi soal rujukan
literasi yang terus berevolusi, rekayasa litersi kiranya bisa menjadi salah
satu solusi serta jalan keluarnya. Rekayasa literasi itu sendiri adalah upaya
yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya
lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan
pembudayaan. Terdapat empat dimensi yang menjdi objek dari rekayasa literasi,
yakni linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan. Dengan demikian,
secara ringkas rekayasa literasi adalah merekayasa pengajaran membaca dan
menulis dalam empat dimensi tersebut.
Keluar dari kajian pak
Chaedar dengan Rekayasa Literasinya, Hyland furhter berpendapat:
"melek akademik menekankan kita cara menggunakan bahasa, yang biasa disebut
sebagai praktik literasi, hal tersebut dipolakan oleh lembaga sosial dan
hubungan kekuasaan." Sedangkan keberhasilan akademis berarti repersenting
diri Anda dengan cara dihargai oleh disiplin Anda, mengadopsi nilai-nilai, keyakinan,
dan identitas yang mewujudkan wacana akademik. Dengan demikian, tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa litersai memegang peranan penting dalam berbagai hal di kehidupan
manusia.
Bisa dijamin, seandainya
tidak ada literasi di dunia ini, sudah pasti tidak akan pernah ada peradaban.
Literasi bagaikan mesin dalam sebuah mobil, saat mesin tersebut rusak maka
mobil pun tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Begitupun dengan kehidupan
seandainya literasi itu ditiadakan maka kehidupan
pun akan kacau. Kita tidak akan pernah berfikir seperti apa bila kehidupan
tanpa literasi. Mungkin tanpa literasi kita tak jauh beda dengan halnya seekor
hewan, yang hanya hidup dengan tanpa ada suatu karya apapun yang kita buat, bersikap
hanya mengedepankan nafsu serta tanpa memikirkan sesuatu apapun.
Sebagai
individu yang tahu akan pentingnya literasi sangat naif bila kita kemudian
melupakan hal tersebut. Seperti apa yang dilakukan Prof. Chaedar Al-wasilah
lewat buku serta artikelnya, seharusnya kita dapat mengajak orang lain untuk
ikut serta meningkatkat literasi di negeri kita ini. Karena semakin banyak yang
peduli akan literasi maka akan semakin banyak orang yang mendukung peningkatan
upaya peningkatan literasi itu sendiri.
Menurut hasil survey yang saya lakukan kepada sekitar 80 mahasiswa serta
lulusan universitas saat ditanya apakah anda mengetahui apa itu literasi?
Hampir 75% dari mereka menjawab tidak begitu tau dengan literasi. Bahkan lebih
dari 50% tidak mengetahui literasi sama sekali termasuk mereka yang berkuliah
di universitas-universitas negeri yang citranya dianggap baik.
Melihat
fakta diatas sudah seharusnya kita lebih gencar mengsosialisasikan tentang apa
itu literasi serta pentingnya menjadi manusia literat. Sedikit mengutip quotes
Prof. Chaedar “In the 21st century, world class standards will demand that
everyone is highly literate, highly numerate, well informed, capable of
learning constantly, and confident and able to play their part as citizen of a
democratic society.” Dari quotes beliau, kita bisa tarik kesimpulan bahwa
setiap orang dituntut untuk menjadi seorang literat agar mampu menjalankan peran
mereka secara maksimal sebagai masyarakat demokrasi. Bila kita tidak cepat
membenahi permasalah litersi di negara kita ini, maka kita akan terus menjadi
negara berkembang dan sulit menjadi negara maju. Pada akhirnya itu kembali lagi
pada bagaimana cara kita memandang literasi, bila kita ingin menjadi bangsa
literat mau tidak mau kita harus memandang literasi seperti layaknya mesin. Sebuah
mesin yang dapat menjalankan peradaban.
0 comments:
Post a Comment