Benarkah Sistem Pendidikan dan Toleransi antar Umat Beragama di
Indonesia itu Buruk?
Setelah saya membaca dan meresapi sebuah artikel yang di tulis oleh
Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah, saya dapat memahami isi dari artikel tersebut
yang berjudul “ Classroom Discourse to Foster Relligious Harmony” Wacana 7.2
dalam bukunya yang berjudul “Pokonya Rekayasa Literasi” halaman 217-219
bab 7, Topik yang dibahas dalam artikel ini intinya mengenai wacana siswa di
kelas untuk mendorong, menciptakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia
ini. Berbicara mengenai topik, beliau mengatakan jika kita inggin mengetahui
kualitas suatu bangsa , maka kita lihat bagaimana sistem pendidikannya. Dan
hampir semua negara maju melakukannya, sehingga dengan demikian mereka
membentuk sistem pendidikan yang paling baik untuk membentuk negaranya menjadi
negara yang maju.
Artikel ini juga menjelaskan
bahwa seolah beliau sebagai penulis
membeberkan tentang pendidikan di Indonesia yang menurut beliau, pendidikan
liberal itu harus diterapkan di Indonesia karena bertujuan untuk membebaskan
siswa dari sikap rabun terhadap orang lain dan tidak memiliki sikap toleransi
terhadap orang lain. Dan menurut beliau, pada dasarnya , pendidikan liberal itu
penempatan insan kamil, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk
mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang
demokratis . Dalam konteks Indonesia , pendidikan liberal harus mencakup
pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya . Terlepas dari karir
mereka , politisi , insinyur , petani, atau pengusaha, menurut beliau para
siswa Indonesia harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah mereka.
Intinya artikel ini membahas mengenai jika kita ingin mengetahui
kualitas sebuah bangsa kita harus mengetahui sistem pendidikannya, dan para
siswa di indonesia harus menjalankan pendidikan liberal agar tumbuhnya sikap
dan rasa toleransi antar umat beragama.
Sebelum saya mengkritisi artikel Prop. Dr. A, Chaedar Alwasilah
ini, marilah kita tinjau sedalam-dalamnya kekuatan dan kelemahan artikel
beliau. Disini saya akan mengkajinya satu per satu apa saja yang jadi kekuatan
dan kelebihan artikel ini, mungkin saya tidak banyak memiliki sumber
pengetahuan seperti penulis, tapi demi menemukan bahwa ini adalah adil dan
wajar, baik beliau sebagai penulis dan kami sebagai pengkritik.
Diawali dari paragraf pertama, disebutkan bahwa apabila kita ingin
mengetahui kualitas bagus atau buruknya suatu bangsa, maka kita harus melihat
seperti apa sistem pendidikan bangsa tersebut. Nah penuturan penulis ini
menurut saya adalah benar, karena dengan mengetahui sistem pendidikannya
seperti apa, maka kita bisa mengontrol bagaimana cara kita untuk menjalankan
sistem yang baik, bila ada kekurangan bahkan kesalahan maka kita perbaiki
sistem pendidikan tersebut. Dengan mengetahui sistem pendidikan jelas semua
akan terkontrol dan jika sistem pendidikan yang berlaku di negara kita tidak baik,
maka buruk pula hasil anak-anak didik bangsa kita, itu salah satu yang menjadi
kekuatan artikel ini.
Kemudian, menurut penulis, “salah satu tujuan dari pendidikan dasar
adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk bisa
mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu , anggota masyarakat dan warga
negara . Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih
lanjut . Masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar , bentrokan pemuda dan
bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit
sosial , yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang
lain dari kelompok yang berbeda. Nah, argumen ini juga salah satu kekuatan dari
artikel ini, berkaitan dengan tujuan dari pendidikan dasar, yaitu untuk
memberikan siswa dengan keterampilan dasar agar , mampu mengembangkan kehidupan
mereka sebagai individu, perlu di garis bawahi, menurut saya ini merupakan
“peer collaboration” atau kolaborasi dengan teman sebaya dan “interaction
social” atau interaksi sosial ini penting di terapkan pada siswa-siswa agar
mereka bisa berkolaborasi dengan teman sebayanya dalam kegiatan yang positif
dan mendorong kemajuan pada diri mereka dan berinteraksi dilingkungan sosial
dengan baik, karena itu juga untuk menangkal. Karena jika tidak ada kolaborasi
antar sebaya, mereka bisa saja seperti yang dikatakan oleh penulis, seperti
munculnya masalah sosial, seperti tawuran anak-anak pelajar, bentrokan pemuda,
dan lain-lain. Jadi benar kata penulis, bahwa untuk mencegah munculnya penyakit
sosial seperti itu harus adanya penanaman sejak dini dalam diri anak-anak
sebagai individu yang berkolaborasi dngan teman sebaya dan berinteraksi
dilingkungan sosial dengan baik. Mereka harus dididik bagaimana cara
menghormati orang lain.
Tetapi kemudian, saya mengkkritisi argumen penulis berkaitan dengan
topik yang memang sedang kita bahas yaitu
classroom discourse (wacana kelas) dan relligious harmony (kerukunan
beragama). Hal ini akan saya bandingkan dengan fenomenna yang terjadi di Amerika,
jika di Amerika menerapkan para pelajar bertempat tinggal di asrama, peer
interaction social, sehingga clasroom discourse (wacana kelas) terjadi, lalu
ada apa dengan Indonesia? Padahal, Indonesia sudah menerapkan sistem tersebut,
contohnya “pesantren”, bukannya dengan adanya pesantren itu suatu bukti bahwa
kita sudah melakukan kedua-duanya?
“Pesantren” adalah pendidikan terbaik. Peer interaction di pesantren
(khususnya di Indonesia) laki-laki dan perempuan dipisahkan, sementara
bagaimana di Amerika? Peer interaction yang terjadi disana benar-benar bebas tanpa
batas, mereka tinggal bercampur, misalnya single sex full, ketika mereka
tinggal dalam atap yang sama, banyak sekali efek negatif yang akan terjadi,
mungkin mereka akan lebih sering mengintip lawan jenisnya, bahkan tidak sedikit
yang sesama jenis pun disana terjadi. Kemudian jika dilihat dari segi agama,
dipesantren pasti agamanya hanya satu (Islam), hanya saja yang membedakan
biasanya aliran-aliran masing-masing atau perbedaan-perbedaan pendapat dalam
mengikuti ajaran imam madzhab.
Selanjutnya, dalam artikel tersebut tertulis “Dalam pengaturan
multikultural , siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang
berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka.”
Menanggapi ungkapan tersebut, saya kira itu benar, mengingat di Indonesia ini
negara yang multikultural banyak sekali perbedaan budaya, maka wajar bila lahir
siswa-siswa yang berbeda-beda dalam pola pikir dan cara berbudaya mereka, dan
justru menurut saya itu bagus, bukankah ini hal yang patut kita banggakan bukan?
Berarti negara Indonesia ini kaya akan budaya, tinggal kita jaga dan kita
bangun lebih kuat lagi dan harus kita lestarikan. Sesuai dengan semboyan negara
Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tapi satu tujuan. Ini juga menjadi
satu poin kekuatan dari artikel beliau, karena ini fakta.
Dan saya juga sangat setuju dengan pendapat penulis mengenai
indikator wacana sipil, diantaranya mendengarkan penuh perhatian ,
menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan
kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat
. Dalam arti praktis , ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah.
Jika indikasi-indikasi ini diterapkan pada para siswa, maka dengan sendirinya
mereka akan terlatih menjadi anak-anak yang terampil. Namun saya kurang setuju
jika indikasi-indikasi tersebut diberlakukan untuk semua mata pelajaran, karena
tidak semua mata pelajaran ingin menerima pendapat, misalnya belajar matematika
dan fisika, saya rasa disana kurang dibutuhkan penampungan pendapat dari siswa,
karena itu ilmu pasti dan mutlak, rumus-rumus tersebut tidak dapat dirubah.
Kecuali jika mereka ingin menciptakan rumus-rumus baru dalam matematika, itu
berarti mereka hebat.
Saya juga ingin mengkritisi berkaitan dengan pendapat penulis
mengenai fungsi guru SD (sekolah dasar) yang fungsinya itu mengawasi siswanya
sepanjang hari. Nah coba kita bandingkan kembali dengan guru SD di Forlandia,
guru SD saja di Forlandia pendidikan minimalnya harus S2, dan otomatis ilmu
yang disampaikan pada anak-anak pun akan lebih tinggi dibandingkan dengan guru
SD yang mengajar di Indonesia, dan disana juga tidak ada yang namanya ujian, PR
(pekerjaan rumah), juga gajih guru SD disana jauh lebih besar dibandingkan
dengan di Indonesia. Bagaimana mungkin di Indonesia yang gajinya tidak
seberapa, tapi harus mengawasi siswanya hampir sepanjang hari? Emh, kasian juga
guru SD di negara kita ya? Apalagi sudah bukan rahasia umum lagi jika anak-anak
seusia mereka itu nakalnya minta ampun dan mau tidak mau guru harus siap lelah
dan sabar mengurusi mereka.
Lalu mengenai pendapat penulis yang menyatakan bahwa untuk menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa
memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting
untuk keberhasilan individu . Sebaliknya , ketidakmampuan untuk menjaga
hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu
konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu. Bukti kejadian tersebut sangat
banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas
( 2008 ), Ambon ( 2009 ), Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan
hanya beberapa. Tanpa langkah yang tepat yang diambil , konflik seperti itu
akan terulang kembali. Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi sosial
dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial
dalam masyarakat . Kasus bunuh diri - pemboman gereja di Surakarta bulan lalu, misalnya,
mungkin ( mudah-mudahan tidak ) menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap
masjid. Dan ini bisa meningkat menjadi ketidakharmonisan agama besar.
Nah secara tidak langsung penulis menyatakan bahwa wacana kelas
menjadi kerukunan berinteraksi, lalu apa bedanya dengan kohesi? Di dalam kelas
Guru tidak hanya mengajarkan mengajarkan scientific, tetapi juga tentang norma,
moral, karakter dan lain sebagainya. Menurut saya, kericuhan antar umat
beragama seperti yang terjadi di Ambon, Papua dan Singkawang penelitian dari
Apriliawati. Secara tidak langsung inti dari ungkapan penulis tersebut kembali menguatkan bahwa siswa-siswa
di Indonesia harus di terapkan sistem pendidian liberal, namun saya kembali
kritisi, itu semua terjadi karena adanya opnum dari luar yang mengadu domba
kedua umat beragama. Sehingga kekacauan dalam kedua agama yang tidak di
inginkan terjadi. mengapa di Indonesia harus adanya Departemen Agama?
Departemen Agama itu kan berfungsi untuk mengururusi hal-hal yang berkaitan
dengan masalah agama, bersangkutan dengan pendidikan agama. Jika memang ada
konflik maka kita bisa selesaikan disana juga. Departemen agama itu sangat
banyak sekali jasanya di Indonesia. Jika tidak ada Depag, bisa di bayangkan
bagaimana kacaunya pendidikan di Indonesia ini, terutama berkaitan dengan
keagamaan.
Kemudian mengingat kasus diatas, misalnya mengenai pemboman gereja
di Surakarta, haruskah Indonesia menghapuskan sekolah agama dan kristen menjadi
sekolah umum? Sangat disayangkan bukan jika sampai itu terjadi? Mengingat kita
sebagai umat muslim, sangat tidak rela jika itu sampai terjadi. Dan ketidakrelaan
itu terjadi juga karena kita tahu bangsa Indonesia ini mayoritas penduduknya
hampir 75% bragama Islam. Lalu kemudian, mari kita tilik sejarah di Indonesia
tentang keharmonisan agama, kita tahu di Indonesia agama yang di akui itu ada
lima. Nah, ragam agama di Indonesia itu
sebagai aset bangsa, bukan sebagai konflik. Justru dengan banyaknya agama di
Indonesia, kita bisa melakukan dialog antar umat beragama untuk tukar kognitif,
afektif dan lain sebagainya. Dan kita semua tahu bahwa di Indonesia ini kita
menganut sistem pendidikan yang demokratis, bukan liberal. Lalu bagaimana
hubungan liberal dengan demokratis? Setelah ditinjau ternyata sistem liberal
itu lebih bersipat toleransi artinya disini sipatnya lebih individu kalau dalam
basa sunda “urang-urang maneh-maneh” disinilah letak toleransinya itu seperti
ini. Sedangkan dalam sistem demokratis, yang harus lebih sfesisik itu
keharmonisan agama. Kenapa sampai adanya konflik antar umat beragama di
Indonesia? Salah satu alasan terjadinya konflik antar umat beragama adalah adanya
ketidakharmonisan sosial. Adanya opnum pengadu domba antara kedua umat
beragama. Seperti pengalaman saya ketika di jejaring sosial, dulu ketika saya
masih duduk di bangku SMA, jejaring sosial facebook, sempat ramai dengan ulah
seseorang yang membuat akun dengan beridentitaskan agama kristiani dan semua
statusnya menjelek-jelekan agama Islam, mengolok-olok dan menghina nabi muhamad
SAW, dengan sangat keji. Sehingga disana muncul konflik saling menghina agama
antara umat Islam dan si pemilik akun tersebut yang entah dari agama apa
sebenarnya dia berasal. Karena banyak
orang berpendapat bahwa sebenarnya dia bukan agama kristen, melainkan dia
seorang yang tidak beragama, sebagian pendapat juga mengatakan dia seorang
pemuja setan. Nah disana jelas, adanya opnum yang tidak bertanggung jawab yang
melakukan adu domba terhadap dua agama.
Kemudian, konflik antar umat beragama adalah disebabkan karena
mereka itu terlalu fanatik terhadap satu sama lain. Sehingga mereka saling
membenarkan ajaran masing-masing dan menganggap salah terhadap ajaran orang
lain. Pada dasarnya sifat fanatik ini membuat agama lainnya tidak nyaman dan
berbalik saling cerca bahkan saling mencelakakan. Namun bila kita mengingat
lagi ke masa silam pada tahun 2000-2001, pada masanya KH. Abdurrahman Wahid
atau yang biasa kita panggil “Gusdur” itu memegang teori pluralisme
eksklusifme. Plural disini berarti toleransi dan eksklusifme disini bahwa agama
Islam adalah agama yang paling benar, teori inklusifme itu menganggap bahwa semua agama itu benar, tetapi
Islam yang paling benar. Karena semua bertujuan kesatu titik yaitu Allah SWT.
Pada zaman Gusdur juga munculnya agama baru Konghucu, kita dapat melihat adanya
toleransi disana. Jika ditanya negara manakah yang paling bagus toleransinya?
Ya jawabannya adalah Indonesia. Sebgai buktinya yaitu coba kita lihat gereja
yang paling besar ada di depan masjid Istiqlal Jakarta, dan kita semua tahu
mesjid Istiqlal itu adalah masjid yang paling besar di Indonesia ini. Nah,
apakah itu masih kurang menjadi bukti sebagai bentuk toleransi antar umat
beragama di Indonesia?
Selain itu, disini juga dijelaskan oleh penulis bahwa anak-anak
yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tapi
bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan.
Selain itu , para siswa tampak percaya satu sama lain , sehingga kompromi dan
konsensus dapat dicapai dengan cara sipil . Saya rasa
argumen tersebut menjadi satu kekuatan yang real dari artikel ini. Memang yang
menjadi kekuatan artikel ini adalah bagaimana penulis berargumen pada
pentingnya wacana sipil atau pendidikan umum, namun saya memang kurang setuju
jika pendidikan liberal itu dianggap penting oleh penulis karena banyak
contoh-contoh beserta alasannya yang sudah saya jelaskan diatas.
Selanjutnya, untuk menanggapi argumen penulis mengenai interaksi
dengan teman sebaya dikelas merupakan hal yang harus selalu dilakukan baik
dengan pemberian tugas kelompok dan lain-lain, menurut beliau ini adalah bisa
melatih siswa-siswa saling menghormati pendapat satu sama lain saya tidak ingin
mengkritisi ini. Karena menurut saya ini memang salah satu langkah yang tepat
untuk dilatih, dan sejauh itu disini tidak ada masalah, selama itu dilakukan
dengan cara yang hormat, dan tidak saling menjatuhkan. Salah satu cara supaya
siswa mampu berpikir kritis memang dengan cara-cara tersebut, mereka akan aktif
dan berwawasan tinggi.
Studi Aprilliaswati yang mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan
harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah , tetapi juga wacana sipil
positif . Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga
intelektual , sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan
warga negara yang beradab. Argumen ini juga menjadi salah satu poin kekuatan
dari artikel ini. Saya membenarkan argumen beliau, penalaran ilmiah jelas
penting, tapi tidak hanya itu, wacana sipil positif penting untuk membina warga
masyarakat agar berperilaku baik.
Kemudian menurut penulis, negara kita saat ini gagal dalam
kompetensi wacana sipil, dikarenakan masih banyak politisi yang mereka lulus
dalam pendidikannya, tetapi tidak memiliki wacana tersebut, sangat disayangkan,
sebagai contohnya insiden memalukan pada
tahun 2010, ketika anggota
parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang
yang disiarkan langsung di seluruh negeri . Hal ini menjadi bahan pelajaran
untuk bangsa Indonesia agar hal seperti itu tidak terulang lagi. Memang benar,
berbicara tentang politisi di Indonesia saat ini, kondisinya sangat
memprihatinkan. Bukan hanya dalam hal yang seperti penulis sampaikan, faktanya
juga banyak penyimpangan-penyimpangan lain bukan? Seperti banyaknya dari
kalangan mereka yang korupsi. Itu semua melibatkan para politisi, dan tugas
bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana agar kita bisa memperbaiki itu
semua. Dan benar kata penulis, bahwa politisi telah memberikan contoh yang
sangat buruk pada siswa-siswa di Indonesia.
Kemudian berkaitan dengan argumen penulis yang menyatakan bahwa
“Idealnya kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan
tenaga yang berbeda agama , etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang
berbeda. Kampus ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua
agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan
ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah
multikultural.” Nah dari pernyataan tersebut saya setuju bila kita mematuhi
kebijakan jika ada guru atau tenaga kerja di sekolah yang berbeda agama itu
kita tetap saling menghormati dan toleransi. Bahkan saya setuju jika dalam
suatu kampus itu disediakan berbagai sarana tempat beribadah bagi siswa dari
semua agama. Dengan begitu kita akan mengetahui cara beribadah agama lain
seperti apa, dan dari sana kita khususnya saya dan penulis tentunya yang
beragama Islam bisa membandingkan agama mana yang paling benar. Disana kita
juga bisa sharing dan kita dapat menambah pengetahuan kita tentang bahwa agama
yang kita pegang itu jauh lebih baik dan benar dari agama lain. Asalkan iman
kita kuat dan kita mengerti dengan kebenaranya, saya rasa tidak ada yang perlu
ditakutkan. Semua orang bebas memilih.
Dan menanggapi argumen penulis yang terakhir yang menyatakan bahwa “dalam konteks Indonesia
, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas
bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka - politisi , insinyur , petani ,
atau pengusaha - siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di
daerah-daerahnya.” Disini saya menemukan kembali kelemahan dari artikel ini,
menurut saya lemah. Karena saya memang tidak setuju jika penulis beranggapan
bahwa pendidikan di Indonesia itu dianggap kurang baik dan pendidikan liberal
dianggap penting untuk diterapkan pada siswa-siswa di Indonesia.
Jadi dapat saya simpulkan dari artikel ini intinya penulis
menganjurkan pentingnya pendidikan liberal pada siswa-siswa di Indonesia dan
sistem liberal antar umat beragama. Karena menurut beliau liberali itu adalah
toleransi. Namun, disini saya menyanggah banyak dari argumen penulis, karena
menurut saya sistem pendidikan di Indonesia itu jauh lebih baik di bandingkan
dengan sistem pendidikan liberal yang contohnya di terapkan di Amerika. Dan
sikap toleransi antar umat beragama di
Indonesia juga menurut saya paling baik jika dibandingkan dengan negara lain.
Jadi bukan sistemnya yang salah, hanya saja mungkin cara menjalankan sistem
tersebutlah yang kurang baik.
tulisan ini menggambarkan seolah-olah kamulah yang lama tinggal di US. 'Voice' dan 'stance' kamu ga terlihat di sini
ReplyDelete