3rd
meeting of writing and comprehension 4. Sekilas tidak ada yang menarik pada
materi hari itu, Bapak Lala Bumela, M. Pd hanya memberikan materi-materi ulang
tentang chapter review yang ada pada bukunya Prof. Chaedar yang berjudul “pokoknya
rekayasa literasi”. Pokok dari bahasan-bahasan tersebut mengenai “bab 6
rekayasa literasi”. Berikut beberapa bahasan ulang mengenai tulisan rekayasa
literasi. Literasi adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan
politik dan social. Definisi tersebut untuk menunjukkan paradigma yang baru
dalam upaya memaknai litersi dan pembelajarannya. Kini ungkapan-ungkapan
mengenai literasi terus berkembang seiring dengan tantangan zaman. Ada ungkapan
literasi computer, literasi moral, literasi virtual, literasi informasi, dan
lain sebagainya. Untuk menyesuaikan tantangan zaman, maka muncullah model literasi Freebody and Luke (2003) yang
digambarkan menjadi 4 komponen, yaitu: breaking the codes of texts; participating in the meanings of text; using
texts functionally; critically analysing and transforming texts. Keempat peran
tersebut pada hakikatnya untuk ber-literasi secara kritis dalam masyarakat
demokratis, yang kemudian keempat peran literasi tersebut diringkas dalam lima
verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasikan
teks.
Literasi selalu
berkaitan dengan penggunaan bahasa, karena tujuan dari literasi tentu saja untuk menjadikan
manusia terdidik dan berbudaya melalui penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa tersebut yang
akan menjadi pintu masuk menuju dunia pendidikan dan pembudayaan. Kemudian
penguasaan bahasa tersebut diaplikasikan kedalam pengajaran bahasa (language
arts) untuk dapat menghasilkan orang literat, yang mampu menggunakan 4 dimensi
literasi ini secara serempak, aktif, dan terintegrasi.
Dimensi literasi membaca dan
menulis
Linguistic (text)
Membaca
Sosiokultural (group) dan kognitif
(mind)
Menulis
Perkembangan (growth)
Dalam hal ini, pengajaran
bahasa memerlukan peranan sekolah, karena sekolah sebagai jaringan pertama yang
membangun literasi. Wajar saja jika ujung tombak dari pendidikan literasi
adalah guru-guru yang profesional. Guru-guru akan dilihat langkah-langkah
profesionalnya dari enam hal sebagai berikut; komitmen profesional, komitmen etis, strategi analitis dan reflektif,
efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan keterampilan literasi dan numerasi
(Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah 2012).
Dengan kata
lain, untuk membangun bangsa yang literasi harus diawali dengan memcetak guru
yang professional, dan guru professional hanya dihasilkan oleh lembaga
pendidikan guru yang professional juga. Dalam hal ini guru sangat dituntut untuk mengajarkan kepada siswanya empat pelajaran pokok yang akan menjadi modal hidup bagi seorang individu. Empat pelajaran pokok
tersebut mencakup Reading, writing,
arithmetic, and reasoning untuk dapat menghasilkan manusia-manusia yang berliterat, karena masyarakat yang multiliterat itu mampu berinteraksi dalam berbagai situasi, sedangkan
masyrakat yang tidak literat biasanya tidak mampu memahami bagaimana hegemoni
itu diwacanakan lewat media masa.
Hyland furhter berpendapat bahwa, "melek akademik menekankan kita tentang
bagaimana cara kita menggunakan bahasa, atau sering disebut sebagai praktik literasi, hal tersebut didasarkan pada lembaga sosial dan hubungan kekuasaan." Oleh karena itu, literasi itu dapat memegang peranan penting dalam berbagai hal di
kehidupan manusia sekarang ini. Jika saja
praktek literasi tidak ada, mungkin bisa saja tidak ada peradaban didunia ini.
Begitu pula dengan kehidupan yang seandainya literasi itu ditiadakan, maka kehidupan pun akan kacau. Orang tidak akan pernah berfikir seperti apa bila kehidupan
tanpa literasi. Mungkin tanpa adanya literasi orang tidak jauh beda dengan
halnya atau sama dengan seekor hewan, yang
hanya hidup dengan tanpa ada suatu karya apapun yang akan orang buat, dan hanya bersikap mengedepankan nafsu serta tanpa memikirkan sesuatu
apapun.
Rujukan literasi
yang terus berkembang atau berevolusi, salah satu solusi serta jalan keluarnya
untuk mengantisipasinya adalah dengan rekayasa literasi. Rekayasa literasi itu berarti merekayasa, mengkonsep ulang suatu pengajaran membaca dan menulis dalam empat
dimensi tersebut. Contoh ketika kita disuguhkan teks, maka yang kita lakukan
adalah membaca, merespon, menulis, dikomentari, dikiritisi,merevisi kembali yang kemudian akan dipublikasikan melalui media masa. Ketika orang membaca kasus dalam teks, setiap orang pasti memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam merekayasa sebuah kasus
dalam teks tersebut. Ada yang
memahaminya dari sudut pandang pengalamannya, sudut pandang politik, budaya, bahasa, sependapat dengan argument penulis, dan ada juga yang kontradiktif. Hal seperti itulah
yang membuat rekayasa literasi terbangun. Dengan demikian rekayasa literasi tentunya dapat memunculkan atau mendorong daya berfikir kritis orang. Selain itu juga ada catatan besar
bahwa Orang yang literat itu tidak hanya sekedar berbaca-tulis, tapi juga terdidik dan MENGENAL SASTRA.
Mengutip quotes dari bukunya prof. chaedar “In the 21st century, world class standards will
demand that everyone is highly literate, highly numerate, well informed,
capable of learning constantly, and confident and able to play their part as
citizen of a democratic society.” -
Michael Barber –
Kutipan tersebut
menunjukkan bahwa setiap orang itu dituntut untuk menjadi seorang yang literat sehingga setiap orang mampu menjalankan
peran kehidupan secara penuh sebagai masyarakat demokrasi. Bila kita tidak cepat
membenahi permasalah litersi di negara kita ini, maka kita akan terus menjadi
negara berkembang dan sulit menjadi negara maju.
Jadi dari
penjelasan-penjelasan tersebut, saya menyimpulkan bahwa realitas suatu bangsa yang maju, tidak akan terdorong jika hanya mengandalkan kekayaan alam maupun SDM yang melimpah dan sistem peraturan yang bagus dalam berkewarga-negaraan, tetapi diperoleh melalui pengelolaan, dan pengolahan paradigma
literasi dan memajukan budaya tulisan yang
menjadi tradisi masyarakat, sehingga terciptanya
masyarakat madani (civilization), yaitu masyarakat yang berpendidikan, berperadaban, dan
berliteratur, yakni dapat berkomunikasi baca - tulis (literacy).
Nice share
ReplyDelete