Laela
Nur Komariah
14121310313
PBI-B
Critical
Review
Ambruknya Pendidikan Indonesia
Jika
kita ingin mengetahui kualitas suatu bangsa. Lihat saja kualitas dari sistem
pendidikannya. Hampir semua negara maju menyadari betapa pentingnya pendidikan
sebagai identitas suatu bangsa, dengan begitu mereka akan membentuk sistem
pendidikan yang baik. Lalu bagaimana sistem pendidikan yang ada di Indonesia
ini? Sedangkan kita tahu bahwa negara Indonesia ini di huni oleh beragam
masyarakat dengan berbagai suku bangsa. Apakah pendidikan di Indonesia sudah
berjalan sebagaimana mestinya? Apakah semua masyarakat Indonesia sudah menjadi
masyarakat multikultural? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu
kita selama ini. Terutama tentang pendidikan yang ada di Indonesia.
Pendidikan merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi Indonesia
sampai sekarang. Banyak data dari berbagai sumber yang menunjukkan bahwa
pendidikan di Indonesia masih di bawah standar dibanding negara-negara lain.
Berbagai sumber itu misalnya dari UNESCO, PERC, dan Balitbang.
Keadaan ini sungguh memprihatinkan mengingat masih banyak
masalah-masalah yang dihadapi menyangkut dengan masalah pendidikan, misalnya
pengangguran, eksploitasi anak di bawah umur (human traffic in), dan kurangnya
SDM yang berkualitas dan terdidik. Selain itu ada pula masalah-masalah lain
seperti mahalnya biaya pendidikan, sarana-prasarana pendidikan yang belum
memadai, dan masih banyaknya daerah-daerah terpencil yang belum dijamah
pendidikan secara menyeluruh. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia
masih jauh dari taraf kelayakan.
Beberapa data dari
berbagai sumber tersebut antar lain:
1.
Data dari UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998),
dan ke-109 (1999).
2.
Survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan
di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia
berada di bawah Vietnam.
3.
Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia
memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57
negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama
Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi
dari 53 negara di dunia.
4.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data
Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years
Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah
yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan
dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Diploma Program (DP).
5.
Di tahun 2006, Program for International Student Assessment (PISA), yang
menilai seberapa baik kesiapan siswa berumur 15 tahun dalam menghadapi
kehidupan, Indonesia mendapat peringkat 50 dari 57 negara dalam bidang ilmu
pengetahuan, membaca dan matematika.
Perlu disadari bahwa masa depan Indonesia sepuluh tahun mendatang
bertumpu pada generasi muda saat ini. Ironisnya masih banyak kita jumpai
berbagai masalah kecil namun mendasar di kalangan masyarakat, seperti banyaknya
anak putus sekolah gara-gara tidak sanggup membayar biaya sekolah, pengangguran
karena masyarakat tidak punya keterampilan khusus sebagai bekal kehidupan
mereka, dan banyak pula daerah terpencil yang masih sulit dijangkau karena
masalah transportasi. Data dari Pusat Penelitian Ekonomi LIPI menunjukkan bahwa
jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2007 sebanyak 12,6 juta jiwa. Sementara
data dari BPS pada bulan Agustus 2007, terdapat 10,01 juta (5%) pengangguran di
Indonesia.
Permasalan pendidikan Indonesia sangat kompleks dan membutuhkan
berbagai pemecahan dan solusi, bukan sekedar wacana. Hal ini akan sangat
berpengaruh kuat terhadap karakter bangsa di masa yang akan datang. Pendidikan
bukan hanya sekedar formalitas. Pendidikan diarahkan agar masyarakat mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kesejahteraan hidup mereka.
Masyarakat harus sadar bahwa persaingan global menuntut manusia untuk lebih
tanggap terhadap perubahan zaman.
Salah
satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan
keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu,
anggota masyarakat dan warga negara. Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar
untuk pendidikan lebih lanjut. Masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar,
bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah
indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa
hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Konflik sosial dan
ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam
melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga
negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU
Sisdiknas. Untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama harus
dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Hal ini paling mendesak bahwa
kami mempromosikan program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana
sipil yang positif di kalangan siswa.
Siswa
harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata
langsung, berdiri diam dan bergiliran di berbicara. Mereka juga harus diajarkan
bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Pada
sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa untuk hampir
sepanjang hari. Haruskah mereka tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi
teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif
sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Saat
menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan
untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu.
Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu
dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat
tertentu.
Bukti
kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antar etnis dan agama besar
yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ), Ambon ( 2009 ), Papua ( 2010 ) dan
Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa. Tanpa langkah yang tepat yang
diambil , konflik seperti itu akan terulang kembali. Bentuk-bentuk radikalisme
telah mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di
antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kasus bunuh diri - pemboman
gereja di Surakarta bulan lalu, misalnya, mungkin ( mudah-mudahan tidak )
menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid. Dan ini bisa meningkat
menjadi ketidakharmonisan agama besar.
Berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk
berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah
hubungan bagaimana menghormati rekan, bantuan, berbagi, dan umumnya sopan
terhadap satu sama lain. Dengan begitu mereka akan tahu bagaimana cara
bersosialisasi. Saat anak masih duduk di bangku Sekolah Dasar adalah waktu yang
sangat tepat untuk menanamkan jiwa sosial kepada anak, karena mereka masih
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan mereka akan bertanya kepada orang yang
lebih dewasa darinya. Seperti orangtua, kakak, dan lainnya. Karena paling tidak
mereka akan bertanya kepada orang yang ada di sekitar mereka. Itulah sebabnya
peran keluarga sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, karena anak
dalam usia Sekolah Dasar memang sangat membutuhkan bimbingan orang tua mereka.
Itu
merupakan salah satu pondasi yang sangat kuat agar anak menjadi pribadi yang
baik. Lalu bagaimana jika orangtua mereka berpisah? Apakah akan berpengaruh
terhadap psikologis anak? Jawabannya tentu saja “iya”. Karena dengan pisahnya
orangtua mereka itu akan mengganggu psikologis anak, sehingga akan memungkinkan
anak akan lebih sering melamun dan akan memikirkan keadaan orangtuanya. Banyak
dampak negatif yang ditimbulkan akibat kurang harmonisnya keluarga, misalnya
anak jadi malas belajar, lebih sering murung dan berdiam diri, dan anak akan
tumbuh menjadi pribadi yang kurang baik. Entah suka tawuran di sekolahnya, ikut
geng motor, lebih sering berantem sama teman-teman sebayanya, dan emosi yang
tinggi. Mungkin karena ia sering melihat orangtuanya yang sedang bertengkar di
rumah sehingga ia menjadi tempramental. Memang tidak semuanya akan berperilaku
seperti itu, tetapi paling tidak jika anak tersebut tidak kuat mental untuk melerai
orangtuanya ia akan melampiaskannya ke hal-hal negatif maupun positif.
Tidak
hanya itu, sepertinya akhir-akhir ini marak sekali kasus kawin-cerai di
Indonesia. Entah kenapa tapi sepertinya masyarakat Indonesia gemar meniru,
tidak hanya dari segi fashion dan lainnya tetapi juga masalah pernikahan.
Menurut saya nikah adalah sesuatu yang sangat sakral karena nikah adalah
ibadah, jadi memang tidak pantas untuk dipermainkan. Tetapi sepertinya di
Indonesia sudah menjadi trending topic apalagi di dunia selebritis, yang
namanya kawin-cerai sudah tidak lazim lagi di telinga mereka. Bahkan setiap
hari acara gosip di televisi itu membicarakan masalah yang sama. Bosan rasanya
jika ada 10 stasiun tv dan sedang membicarakan hal yang sama.
Tidak
aneh jika sekarang banyak anak di bawah umur yang hamil duluan, banyak yang
memakai narkoba, banyak geng motor, tawuran, bolos sekolah, dan lain
sebagainya. Misalnya kemarin saat saya sedang menunggu bis di By Pass,
tiba-tiba datang segerombolan anak SMA lalu mereka melemparkan sebuah batu yang
cukup besar ke arah mobil yang sedang melaju, sungguh itu tindakan yang tidak
manusiawi. Menurut saya itu semua karena mereka membutuhkan kasih sayang dan
mereka ingin sekali diperhatikan oleh orangtua mereka. Dan mungkin saja mereka
melakukan anarkis itu semata-mata hanya untuk mendapatkan perhatian orangtua,
walaupun pasti omelan dan ceramah yang mereka dapatkan.
Jadi
sebenarnya keluarga memiliki berbagai fungsi, antara lain fungsi affeksi,
fungsi biologis, fungsi proteksi, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi
religius, fungsi rekreasi, dan sebagainya. Namun menurut antropolog bernama
George Petter Murdrock (Sudardja Adiwikarta, 1998) terdapat empat fung keluarga
yang bersifat universal, yaitu:
1. Sebagai perantara yang membenarkan
hubungan seksual pria dan wanita dewasa berdasarkan pernikaha.
2. Mengembangkan keturunan.
3. Melaksanakan pendidikan.
4. Sebagai kesatuan ekonomi.
Salah
satu fungsi keluarga adalah melaksanakan pendidikan. Dalam hal ini orangtua
adalah pengemban tanggung jawab pendidikan anak. Secara kodrati orangtua
bertanggung jawab atas pendidikan anak, dan atas kasih sayangnya orangtua
mendidik anak-anaknya. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang bersifat
informal, artinya bahwa suatu keluarga dibangun bukan pertama-tama sebagai
pranata pendidikan, namun demikian pada kenyataannya secara wajar di dalam
keluarga berlangsung pendidikan yang di selenggarakan orangtua kepada
anak-anaknya.
Sejak
kelahirannya, anak mendapatkan pengaruh dan pendidikan dari keluarganya.
Pendidikan yang dilakukan dalam keluarga sejak anak masih kecil akan menjadi
dasar bagi pendidikan dan kehidupannya di masa datang. Hal ini sebagaimana
dikemukakan M.I. Soelaeman (1985) bahwa: “pengalaman dan perlakuan yang didapat
anak dari lingkungannya semasa kecil – dari keluarganya – menggariskan semacam
pola hidup bagi kehidupan selanjutnya. Salah satunya adalah pendidikannya.
Dunia
pendidikan kita seperti tak henti-henti dirundung duka dan prahara. Bahkan,
setumpuk persoalan pelik pendidikan di negeri ini seperti benang kusut yang
sulit diurai. Bagaimana tidak? Saat didengung-dengungkan Ujian Nasional (UN)
sebagai standard baku untuk mengukur dan melejitkan prestasi anak didik,
ternyata di balik itu justru mengundang anak didik tak jujur dan berbuat
curang, seperti mencontek semata-mata demi mendapatkan nilai yang bagus. Hal
itu masih belum lagi ditambah dengan slogan pendidikan gratis dari pemerintah,
tapi yang terjadi di lapangan banyak pungutan liar, jual beli bangku, korupsi
dana BOS, standar guru yang tidak kompeten, hingga carut marut sistem dan
manajement pendidikan di negeri ini.
Jujur saja
saya merasa sangat kecewa dengan keputusan pemerintah bahwa UN dijadikan
sebagai standard untuk mengukur lulus atau tidaknya siswa. Karena tidak masuk
akal jika kita sekolah selama 3 tahun dan hanya di ukur dalam waktu 3-4 hari
saja. Lalu bagaimana cara penilaiannya? Buat apa kita susah payah berangkat
sekolah setiap hari, tidak pandang panas atau hujan kalau hanya UN saja yang
dijadikan tolak ukur. Menurut saya yang paling penting adalah proses bagaimana
siswa belajar dengan tekun, bukan hasilnya. Hasil bisa saja dimanipulasi dengan
uang. Karena zaman sekarang yang berbicara adalah uang bukan kemampuan kita.
Iya memang
benar sekarang memang sudah ada dan sudah berjalan sistem wajib belajar 12tahun
gratis karena kita mendapat dana BOS, oleh sebab itu tidak ada lagi alasan kita
untuk tidak sekolah karena sekolah telah digratiskan dan dibiayai oleh
pemerintah. Tetapi semakin lama sepertinya kualitas infrastrukturnya semakin
menurun, seperti jumlah sepatu, seragam, dan lainnya semakin berkurang. Jumlah
buku juga semakin menipis, lalu pencairan uang yang selalu telat sehingga
menyulitkan kita untuk mengambil hak kita.
Saya tidak
habis fikir dengan masyarakat Indonesia yang dengan mudahnya dipengaruhi oleh
rupiah. Entah faktor apa yang menyebabkan itu semua, tetapi menurut survei semuanya
karena tuntutan hidup yang semakin melambung. Pemasukan yang sangat minim tapi
kebutuhan yang sangat tinggi sehingga orang rela melakukan apa saja demi
mendapatkan sesuap nasi, meskipun dengan cara yang sangat kotor sekalipun.
Selama ini tuntutan ekonomi selalu menjadi alasan untuk mereka melakukan segala
cara.
Sekarang ini
banyak sekali ditemukan pengemis-pengemis dadakan. Mungkin korban PHK dari
sebuah perusahaan sehingga mereka lebih memilih jalan pintas, yaitu dengan
mengemis daripada cari kerja lagi. Kemudian banyak anak-anak usia pendidikan
yang seharusnya duduk di kelas, melainkan mereka duduk dipinggir jalan dengan
pakaian yang sangat kucel dan kotor. Katanya dana BOS bebas di berikan kepada
siapa saja, tetapi mengapa masih banyak anak-anak yang berkeliaran di pinggir
jalan? Seharusnya mereka sedang menikmati masa-masa sekolah dan bermain bersama
teman-teman sebayanya di sekolah, bukan berlari sana sini mencari belas kasihan
orang lewat di jalan.
Dalam
dunia pendidikan guru menduduki posisi tertinggi dalam hal penyampaian
informasi dan pengembangan karakter mengingat guru melakukan interaksi langsung
dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Disinilah kualitas
pendidikan terbentuk dimana kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru
ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
Secara
umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan
yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92
juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 atau lebih sedangkan sisanya
belum berpendidikan S-1. Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06
juta guru atau sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi sedangkan
861.670 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi.
Dari
segi penyebarannya, distribusi guru tidak merata. Kekurangan guru untuk sekolah
di perkotaan, desa, dan daerah terpencil masing-masing adalah 21%, 37%, dan
66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia kekurangan guru sebanyak 34%,
sementara di banyak daerah terjadi kelebihan guru. Belum lagi pada tahun
2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang pendidikan yang akan
pensiun sehingga harus segera dicari pengganti untuk menjamin kelancaran proses
belajar.
Kurikulum
pendidikan di Indonesia juga menjadi masalah yang harus diperbaiki. Pasalnya
kurikulum di Indonesia hampir setiap tahun mengalami perombakan dan belum
adanya standar kurikulum yang digunakan. Tahun 2013 yang akan datang,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan perubahan kurikulum pendidikan
nasional untuk menyeimbangkan aspek akademik dan karakter. Kurikulum pendidikan
nasional yang baru akan selesai digodok pada Februari 2013 itu rencananya
segera diterapkan setelah melewati uji publik beberapa bulan sebelumnya.
Mengingat
sering adanya perubahan kurikulum pendidikan akan membuat proses belajar
mengajar terganggu. Karena fokus pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan
berganti mengikuti adanya kurikulum yang baru. Terlebih jika inti kurikulum
yang digunakan berbeda dengan kurikulum lama sehingga mengakibatkan penyesuaian
proses pembelajaran yang cukup lama.
Dari
dulu hingga sekarang masalah infrastruktur pendidikan masih menjadi hantu bagi
pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih banyaknya sekolah-sekolah
yang belum menerima bantuan untuk perbaikan sedangkan proses perbaikan dan
pembangunan sekolah yang rusak atau tidak layak dilakukan secara sporadis sehingga
tidak kunjung selesai.
Berdasarkan
data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang
kelas SD namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada
tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas
dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas
rusak terbanyak di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 7.652, disusul Sulawesi
Tengah 1.186, Lampung 911, Jawa Barat 23.415, Sulawesi Tenggara 2.776, Banten
4.696, Sulawesi Selatan 3.819, Papua Barat 576, Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur
17.972, dan Sulawesi Barat 898.
Melihat
begitu banyaknya masalah pendidikan di Indonesia maka dibutuhkan solusi tepat
untuk mengatasinya. Solusi yang dapat membantu pemerintah untuk meringankan beban
pendidikan di Indonesia.
Untuk
membatu mengatasi masalah pendidikan dibutuhkan adanya lembaga yang membantu
pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menjaring kerjasama untuk
memperoleh dana pendidikan, dan menggalang dukungan untuk pendidikan yang lebih
baik. Lembaga perantara tersebut bekerjasama dengan pemerintah, pihak swasta,
dan kelompok masyarakat untuk bersama-sama memberbaiki kualitas pendidikan di
Indonesia mengingat tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.
Dalam
meningkatkan mutu pendidikan, lembaga tersebut melakukan pendampingan kepada
guru-guru di Indonesia dan pemberian apresiasi lebih kepada guru-guru kreatif.
Pendampingan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan profesionalitas,
kreatifitas, dan kompetensi guru dengan model pendampingan berupa seminar,
lokakarya, konsultasi, pelatihan dan praktek. Pendampingan dilakukan secara
bertahap dan berkelanjutan yang didukung oleh pemerintah dan pihak terkait.
Lembaga
tersebut juga memediasi masyarakat, pendidik, dan pihak terkait lainnya untuk
menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dalam memperbaiki kurikulum pendidikan.
Diharapkan dengan adanya lembaga ini, ide-ide kreatif untuk memperbaiki
kurikulum pendidikan dapat tertampung dan pemerintah dapat mempertimbangkan ide
masyarakat untuk kebijakan yang dibuat.
Dalam
meningkatkan kemampuan kepemimpinan guru, kepala sekolah, dan pengelola
sekolah, lembaga tersebut melakukan pendampingan guna mewujutkan manajemen
sekolah yang baik. Proses yang dilakukan berupa konsultasi, lokakarya, dan
pelatihan ditunjukan kepada guru, staf dan pimpinan sekolah. Pihak manajemen sekolah
diharapkan mampu membawa sekolah yang dipimpinnya untuk berkembang dan meraih
prestasi yang diharapkan.
Lembaga
perantara tersebut juga berperan membantu manajemen sekolah untuk mengembangkan
kerjasama dengan instansi-instansi terkait guna memperoleh dana pengembangan
infrastruktur sekolah.Tidak hanya itu, lembaga tersebut juga dapat menggalang
dana dari sponsor untuk perbaikan bangunan sekolah yang hampir rusak di wilayah
terpencil.
Dukungan
masyarakan, lembaga sosial, dan lembaga pers memiliki fungsi dalam meningkatkan
pemahaman pentingnya pendidikan melalui penyebaran informasi. Oleh karena itu,
lembaga tersebut mempunyai tugas untuk meningkatkan dukungan tersebut dengan
cara bekerja sama dengan pihak masyarakat, lembaga sosial, dan pers. Dengan demikian
informasi seputar perbaikan mutu pendidikan di Indonesia dapat tersalurkan
dengan mudah.
Referensi:
Alwasilah, A.
Chaedar. 2012.
Pokoknya Rekayasa Literasi. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI): Bandung.
Syaripudin,
Tatang. 2012. Landasan Pendidikan.
Kementrian Agama Republik Indonesia.
cara nulis referensi tolong dicek lagi ya...artikel kamu punya citarasa yang kuat sebenarnya tapi agak kehilangan fokus dalam mengurai kata kunci 'classroom discourse' padahal buku2 dalam area ini berserakan di web
ReplyDelete