Literasi
mulai tercium baunya di Indonesia sejak zaman pemerintahan VOC. Salah satu
kurikulum yang digunakannya adalah baca-tulis. Meskipun berlaku sistem kasta
dalam pendidikannya, yakni hanya berlaku untuk Bangsa Belanda dan orang-orang
Indonesia yang keturunan priyayi. (Landasan Pendidikan). Namun, seiring dengan
perkembangan zaman di Indonesia yang sekarang telah mengecap kemerdekaan dari
segi perang fisik. Indonesia mulai bangkit dari segi literasinya. Hal ini dibuktikan
dengan adanya program-program atau sistem pembelajaran sedari dini (siswa TK)
guna memperkenalkan literasi. Seperti yang dilakukan oleh siswa/siswi tingkat
TK dan SD di Bekasi pada tahun 2013 lalu. Menurut Weni Darmono (Ketua Yayasan
Cinta Alam), "Melalui pekan literasi ini, setiap siswa SAsi mulai
tingkat TK dan SD diwajibkan membuat buku yang idenya berasal dari mereka
sendiri kemudian dituangkan dalam tulisan dan gambar. Hasil tulisan dan gambar
siswa dalam bentuk buku tadi kemudian dicetak dan dijual." Pekan
Literasi tersebut digelar dua tahun sekali berselang-seling dengan kegiatan
Science Fair (Membangun peradaban melalui literasi). Sedangkan menurut Direktur
SAsi Hosyatul 'Aliyah Az-Zahra belajar bahasa Indonesia itu tidak cukup hanya
di sekolah. Beliau juga mengatakan tujuan dari adanya Pekan Literasi tersebut,
"Dengan menulis dan menuangkannya dalam bentuk buku, anak mendapatkan
tantangan yang lebih dan membuat mereka senang dan bangga. Apalagi bila
kemudian bukunya laku terjual. Sesederhana inilah maksud program Pekan Literasi
SAsi," Anak-anak TK dan SD itu memang belum menyadari, bahwa kegiatan
tersebut adalah salah satu cara Rekayasa Literasi sedari dini. Mereka akan
menyadarinya kelak ketika mereka sudah mampu berfikir kritis.
Disisi
lain, definisi dan cakupan literasi semakin berkembang seiring dengan
peruabahan zaman. Jika ratusan tahun yang lalu, literasi hanya sebatas
baca-tulis (Perang Dunia ke-2). Maka, dewasa ini, literasi mampu mengembangkan
sayapnya dalam berbagai bidang, sperti teknologi, sains, sosial, politik,
ekonomi, psycholog, dan lain-lain. Semua bidang tersebut akan berhilir dalam
lautan peradaban literasi.
Peradaban
literasi di tandai oleh beberapa hal, yaitu sucsess, security, disipline,
comfort, people organize, dan sebagainya. Hal tersebut telah dialami oleh
negara-negara yang maju, sepertiMelbourne, Singapore, dan lain-lain. Mereka
memperoleh julukan tersebut karena masyarakatnya ber-literat. Memang tidak
mudah mewujudkannya. Disamping kita harus banyak membaca dan menulis, kita juga
harus dapat mengaplikasikannya menjadi ilmu oengetahuan yang baru.
Bangsa
yang memiliki peradaban literasi di tandai dengan sucsess. Dia dapat dicirikan
dengan pendapatan perkapitanya. Di negara kita memang banyak kalangan yang
sukses dan kaya. Namun, banyak pula orang-orang yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Pantaslah jika ada sebuah lagu yang liriknya "Yang kaya makin
kaya, yang miskin makin miskin". Apakah ini yang dimaksud peradaban
literasi di negara kita? tentu bukan, menurut A. Chaedar Alwasilah, kemiskinan
seseorang dicirikan dengan beberapa sisi, yaitu buta huruf, tidak menguasai
Bahasa Nasional, dan sebagainya (Politik Bahasa dan Pendidikan). Kesalahfahaman
dalam mencerdaskan kehidupan Bangsa, bukan hanya terletak pada pemerintah.
Masyarakat dalam hal ini juga ikut campur tangan. Bagaimana tidak? Tradisi kita
yang hanya ingin selalu berada di zona nyaman (tangan di bawah) sejak zaman
Kolonial yang masih berlanjut sampai sekarang. Dengan fenomena tersebut,
akankah bangsa kita memiliki peradaban literasi?
Sebagai
bahan perbandingan, Negeri Tirai Bambu China telah menjadi salah satu peradaban
literasi. Mereka menganggap teknologi adalah Sastra. Bagaimana dengan kita? Walaupun
tidak semenarik dan semaju Negara lain, tapi kita harus tetap bangga dengan
Indonesia.
Dari
segi security, Negara kita memang belum aman. Walaupun era penjajahan telah
usai, namun hal ini tidak menjamin negara kita hidup tenang. Banyak konflik di
berbagai daerah. Konflik-konflik tersebut belum dapat terselesaikan sampai
sekarang. Bagai penyakit menahun yang secara tiba-tiba dapat muncul kembali.
Kebanyakan konflik antar agama. Dalam hal ini kita dapat meniru Negara lain
mengenai sikap toleran yang menjadi dasar kerukunan Bangsa. Seperti di Amerika
dan Singapore. Sekarang sudah banyak komunitas Muslim disana dan mahasiswi yang
memakain jilbab (Pokoknya Rekayasa Literasi: Saya lebih banyak belajar tentang
Indonesia ketika di Amerika).
Peradaban
literasi juga ditandai dengan kedisiplinan masyarakatnya. Dalam sebuah berita
di salah satu tekevisi yang menginformasikan tentang kedisiplinan orang-orang
di Jepang. Selain itu kebiasaan mereka ketika berangkat bekerja dengan berjalan
kaki sangat menarik. Walaupun mereka memiliki kendaraan bermotor. Mereka lebih
memilih berjalan kaki dengan cepat, jika rumah mereka tidak terlalu jauh dari
tempat bekerja. Sehingga nampak perjalanan hilit mudik para pejalan kaki di
pagi hari dalam berita tersebut. Di tambah lagi kerapihan dan kebersihan mereka
dalam membuang sampah. Sekecil apapun sampah jika tidak ada tempatnya, mereka
menyimpannya dalam saku atau kendaraan mereka. Sangat jauh berbeda dengan kita
bukan?
Dari
sisi comfort, ini tidak jauh berbeda dengan security. Comfort adalah hasil dari
security dalam suatu negara. Semua tandai peradaban mencirikan people organize
yang sangat baik dalam negara tersebut.
Jadi,
dapat dikatakan bahwa yang dapat menciptakan peradaban literasi adalah diri
kita sendiri. Apalagi kita sebgai calon guru dan orang tua yang harus mampu
memperkenalkan dunia literasi kepada murid dan anak kita, seperti acara Pekan
Literasi yang diadakan di Bekasi selama dua tahun sekali. Selain itu, sebagai
jumlah pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, seharusnya kita dapat mewujudkan
people organize dengan baik. Kenapa? Dalam Islam kenidupan manusia ada
aturannya. Namun, sering kali kita mengabaikannya.
0 comments:
Post a Comment