Praktik
Literasi di Nusantara
Dalam
class review ke-3 ini kita masih membahas mengenai hal literasi. Ya, karena
literasi merupakan hal yang begitu crucial bagi kita dan perlu ditanamkan sejak
dini. Mengapa demikian? Sebab jika literasi ditanamkan sejak dini maka akan
melahirkan para pemikir yang hebat di masa mendatang. Seperti yang telah
dibahas dalam pertemuan minggu lalu bahwasanya semakin tinggi literasi, maka
semakin kaya ilmu yng dimiliki. Dan Negara-negara maju yang berkembang pesat di
bidang industri dan tkhnologi canggih pun tentunya memiliki basic literasi yang
kuat. Perlu kita ketahui, pada tanggal 8 September 1964 UNESCO menetapkan
sebagai hari literasi Internasional (International Literacy Day). Penetapan tersebut
dilakukan untuk mengingatkan dunia tentang pentingnya budaya literasi.
Tidak
dapat dipungkiri, tradisi budaya local kita adalah budaya lisa (orality), bukan
budaya tulis. Hal itu membuat penyimpanan gagasan dan pengetahuan hanya dalam
hapalan ingatan semata. Ignas kleden dalam Buku Indonesia Baru menyebut budaya
itu sebagai kelisanan primer (primary orality), dimana masyarakat kala itu belum
mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua
informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan secara sempurna (Maya.S, 2009).
Fenomena
itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya
kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak
terlalu dibutuhkan, bahkan pada era saat ini sumber informasi lebih bersifat
audio-visual. Keadaan tersebut menegaskan bahwa budaya baca-tulis belum pernah
benar-benar mendarah daging di Indonesia, hal ini sebagaimana Data BPS (2006)
menunjukkan, orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5
% dari total penduduk selebihnya lebih suka mendengarkan informasi dari
televisi.
Budaya
lisan primer yang belum terkikis oleh hadirnya budaya baca-tulis kini telah
tergantikan oleh gempuran budaya lisan baru lewat media televisi. Budaya lisan
baru itu mempunyai daya pikat lebih dan ”mudah” dilakukan, sehingga lebih
disukai masyarakat Indonesia. Padahal, dengan membaca dan menulis, dapat membawa
kepada perubahan yang sangat sensasional.
Membaca
bukan sekadar melafalkan huruf-huruf terhadap objek bacaan (baca: tulisan yang
informastif), tetapi lebih pada kegiatan jiwa untuk mengolah apa yang kita
baca. Mengolah dalam arti kita tidak harus menyerap begitu saja isi bacaan
tersebut. Seorang pembaca dituntut memiliki sikap kreatif-kritis. Jadi kita
harus menerima secara kritis-kreatif apa yang kita baca. Kita harus memikirkan
nilai apa yang terkandung dalam bacaan, apa fungsinya, dan yang terpenting apa
dampaknya bagi diri sendiri dan bagi masyarakat pembaca secara luas.
Lebih
lanjut menurut Smith (1973) membaca bukan semata-mata proses visual. Ada dua
macam informasi yang terlibat dalam kegiatan membaca. Pertama, informasi yang
datang dari depan mata. Kedua, informasi yang terdapat di belakang mata.
Informasi yang terdapat di depan mata ialah huruf-huruf. Sedangkan, informasi
yang terdapat di belakang mata ialah isi dan pesan yang terkandung dalam bacaan
itu. Memahami isi bacaan itu menutut pembaca untuk memiliki kemampuan berpikir
dan bernalar.
Membaca
merupakan hal yang sangat penting bagi kita, karena membaca dapat membuka wawasan dan
menciptakan perubahan. Untuk melahirkan generasi seperti itu diperlukan sarana
pendukung, dan program pengadaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) adalah solusi
terbaik yang bisa dilakukan. Dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab VIII pasal 35, menegaskan: Pendidikan tidak mungkin terselenggara
dengan baik bilamana para tenaga kependidikan maupun peserta didik tidak
didukung oleh sumber yang diperlukan, salah satu sumber yang sangat penting
tetapi bukan satu-satunya adalah perpustakaan. Terkait dengan perpustakaan
sebagai salah satu sumber belajar, dalam kacamata pendidikan peranannya cukup
penting. Karena proses belajar mengajar dapat berjalan dengan efektif
jika sumber belajarnya tersedia. Melalui perpustakaan dengan sumber-sumber
informasi yang ada di dalamnya dapat membantu dalam meningkatkan kualitas
pendidikan dan outputnya kelak.
Keluasan ilmu, sebagian besar
didapat dengan rakusnya membaca. Apapun itu, baik buku, majalah, artikel,
koran, dan setiap tulisan yang melintas di depan mata. Ketika kita membaca, neuron-neuron
dalam otak kita akan berteriak karena bahagia, neuron-neuron itu saling berkoneksi
(bersilaturahmi) satu sama lain. Dan kemudian ilmu meluncur deras ke dalam diri
kita.
Ilmu bisa didapat jika kita
benar-benar cinta kepada buku. Keadaan ini akan menjauhkan kita dari kesempitan
langkah dan kepicikan wawasan. Kegiatan ini akan mengiringi umur kita dalam
kebaikan. Sastrawan kondang Mesir, Abbas Mahmud Al-’Aqod berkata dalam salah
satu bukunya yang berjudul, “Pedang dan Buku”, sebagai berikut:
“Membaca
bagi kita adalah bagaikan sebuah sihir yang mampu mengantarkan banyak manusia
mengetahui tugas-tugasnya dan menjadikan dirinya orang yang bermanfaat. Dan,
membaca bagi peradaban manusia modern adalah sebagai sebuah kemuliaan dan
kemajuan seseorang.”
Meminjam moto Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), ”gemar
membaca, bangsa maju dan unggul”. Hal ini bisa difahami bahwa bangsa yang
unggul adalah bangsa yang memiliki fondasi kokoh yang dicerminkan dengan
tingginya minat baca masyarakatnya.
Menyadari hal
itu, sudah waktunya, keterpurukan bangsa harus diakhiri dengan jalan memaknai
realita yang tengah terjadi berikut solusinya. Salah satunya dengan jalan
membaca dan menulis. Dan kunci utama dari menulis adalah membaca. Sosok
sekaliber Nabi Muhammad (saw) yang oleh Michael Heart diletakkan pada urutan
pertama pada buku Seratus Tokoh Dunia, saat diangkat menjadi seoarang Rasul
mendapat perintah pertama, yaitu membaca.
Lima belas Abad
perintah itu tidak akan lekang oleh waktu dan budaya. Budaya membaca harus
senantiasa digalakkan di sekitar kita. Jangan manjakan akal tanpa pernah
menyentuh ranah berpikir. Dengan membaca kian menambah daya intelektual kita
dan mampu melatih diri untuk dapat menulis. Karena jika aktivitas baca tanpa
kita tuangkan dalam tulisan, laksana berjalan dengan satu kaki. Sebab, ilmu
yang diperoleh dari membaca tidak akan terikat tanpa adanya aktivitas menulis.
Itulah
pentingnya literasi dalam kehidupan kita, karena ada pepatah mengatakan “Literasi
can change the world”. Oleh sebab itu, budayakanlah literasi sedini mungkin karena
literasi merupakan fondasi suatu bangsa untuk menjadi bangsa yang besar.
0 comments:
Post a Comment