Indonesia merupakan negara berkembang yang kaya akan suku
bangsa. Keanekaragaman bangsa ini tercermin dalam visi misi Negara Indonesia,
yaitu Bhineka tunggal ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Jika
melihat sebelum zaman kemerdekaan, konflik akibat keanekaragaman di Indonesia
mengakibatkan sulitnya bersatu yang kemudian diikrarkan dalam sumpah pemuda
sebagai wujud pemersatu bangsa hingga akhirnya bangsa Indonesia merdeka. sumpah
pemuda dan kemerdekaan Indonesia yang kita capai pada tanggal 17 Agustus 1945 ini
ternyata bukanlah akhir dari segalanya. Namun justru adalah awal kembali
perjuangan bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Keragaman budaya bangsa Indonesia adalah sebuah kenyataan
yang harus diterima, tanpa ruang tawar-menawar. Hal ini karena kenyataan tak
tertolak, maka harus diterima, dijaga, dipelihara, dan dikelola agar
mendatangkan kebaikan dan keuntungan. Lingkungan pendidikan harus dirancang
untuk menciptakan suatu kehidupan yang menerima perbedaan, bisa hidup bersama
secara harmonis, saling menghormati, dan menghargai perbedaan.
Berdasarkan artikel yang berjudul “Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah, terdapat
beberapa hal yang harus di garis bawahi. Pertama, menyediakan tempat ibadah
bagi siswa dari semua agama. Kedua, pendidikan berbasis asrama/pesantren.
Ketiga, konflik akibat multicultural.
Menurut pak Chaedar, setiap sekolah harus menyediakan tempat
ibadah bagi siswa dari semua agama. Saya kurang sependapat dengan beliau,
karena apabila setiap sekolah harus membangun tempat ibadah bagi siswa dari
semua agama membutuhkan biaya yang sangat besar. Faktanya, ekonomi di Indonesia
ini rendah. Jadi jangankan untuk membangun tempat ibadah bagi setiap agama,
ruang laboratorium untuk praktek siswa saja masih minim sekali. Kemudian,
seperti yang kita ketahui di Indonesia ini mayoritas penduduknya merupakan
islam. Sehingga, untuk pembangunan sebuah tempat ibadah untuk semua agama tidak
akan kondusif.
Perbedaan agama adalah anugrah bagi bangsa ini, karena
masing-masing agama adalah ahli waris yang sah di Nusantara ini. Wajar saja
bila setiap agama menuntut dilakukan "fair" dalam menjalankan fungsi
dan misi keagamaannya. Hal yang sulit adalah bahwa, seringkali justru agama
sebagai kekayaan individual yang mendominasi alam pikiran dan emosi kita
ketimbang agama sebagai kekayaan masyarakat dan aset bangsa. Mereka yang pandai
menjaga keseimbangan antara dua kutub kepentingan inilah yang paling siap untuk
bertenggang rasa dan merasa malu untuk memaksakan keyakinan sendiri pada
pemeluk agama lain. pada manusia semacam ini tumbuh the third belief
perspective, yakni sudut pandang religius yang menghormati agama lain tanpa
mengorbankan keyakinan dirinya. Bagaimana keseimbangan ini mungkin tertanam
pada setiap individu? Jawabnya hanya satu. Lewat dialog. Sehingga, ragamnya
agama harusnya menjadi aset bangsa bukan menjadi komplik, dan di Indonesia ini
perlu adanya diskusi agama.
Dialog diberi batasan sebagai forum tukar menukar pemahaman
dan pengalaman kognitif, afektif dan motorik. Tuhan pun meladeni para Rasul-Nya
untuk berdialog, sehingga terjalinlah saling pengertian antara Tuhan dan
Rasul-Nya. Kalaulah metode dialog ini dicontohkan Tuhan, mengapa kita tidak?
Tukar menukar gagasan dan pengalaman inilah yang memperkaya khazanah dan
repertoar psikologis keagamaan para pemeluk agama. Dialog bukanlah "adu
penalti" untuk menentukan kalah atau menang. Pada hakikatnya, dialog
antar-pemeluk agama adalah dialog dengan nalar dan emosi sendiri. Ketika
berdialog harus ekstra hati-hati dalam menggunakan idiom-idiom agama, terutama
dalam hal yang menyangkut agama lain. sebagai ilustrasi, simaklah kasus Salman
Rushdi yang sampai sekarang masih sering dibicarakan.
Masih hangat dalam memori umat Islam kasus The Satanic Verses (1988) karangan
Salman Rushdie. Novel yang ‘melukai’ hati dan perasaan umat Islam itu masih
sangat membekas. Bagaimana tidak, seorang Rasul yang agung, Muhammad SAW,
dilecehkan. Tentu saja ini tidak dapat diterima.
Dialog antar-pemeluk agama meski dilakukan dalam suasana
komunikatif agar dialog itu tidak sia-sia. Bahasa komunikatif dicirikan oleh
sedikitnya kesalahpahaman, sederhananya bahasa yang dipakai, dan terpahaminya materi
yang dibicarakan. Dialog akan berhasil apabila: (1) Para pelaku dialog memiliki
wawasan keagamaan yang relatif setingkat, sehingga tidak satu pun diantara
mereka hanya berperan sebagai pendengar daripada pembicara. (2) Para pelaku
dialog sosial seyogyanya menggunakan bahasa yang sederhana agar dimengerti oleh
pemeluk agama lain, dan sejauh mungkin menghindari idiom-idiom keagamaan yang
terlampau teknis. (3) Dialog dilakukan dalam forum dalam suasana yang netral.
(4) Dialog dilakukan untuk membantu pemerintah dan masyarakat keseluruhan dalam
menangani isu-isu sosial yang terasa melekat dalam keseharian.
Menurut Chaedar, pendidikan di pesantren itu bagus. Hal ini
karena, akan terciptanya system pendidikan yang baik. Seperti halnya di
Amerika, yang mana di sana lebih ke asrama, peer interaction terjadi, kohesi
social yang bagus dan classroom discourse terjadi. Di Indonesia pun telah
diterapkan pesantren seperti di Amerika. Memang benar, dengan dunia asrama lebih
terjadi peer interaction, kohesi social, classroom discourse. Akan tetapi, jika
kita tengok pesantren di Indonesia hanya terdiri dari satu jenis agama, tidak
seperti di Amerika yang terdiri dari berbagai jenis suku dan agama. Sehingga,
dalam bertoleran dari segi berbagai agama di Indonesia masih kurang.
Pendidikan di asrama condong pada pendidikan liberal.
Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati untuk memperluas maha(siswa),
tidak sekadar pelatihan teknis dan profesional. Pada 1837 Ralph Waldo Emerson
berfatwa: "a man must be a man before he can be a good farmer, trademan,
or engineer." Artinya, penguasaan atas ilmu-ilmu liberal sangat penting
sebagai fondasi bagi pengembangan keterampilan vokasional.
Karateristik liberal art college yang memiliki beberapa
persamaan dengan pesantren sebagai berikut:
1.
Liberal art college merupakan cikal bakal pendidikan tinggi di AS. Dalam
konteks Indonesia, jauh-jauh hari sebelum para penjajah datang, sistem
pesantren sudah lama berkembang seiring dengan penyebaran agama Islam di
Nusantara.
2.
Ukuran kampusnya cenderung kecil dengan jumlah mahasiswa sekitar dua ribu
orang.
3.
Mayoritas milik swasta dan berafiliasi pada lembaga keagamaan, dan ada yang
didirikan untuk populasi khusus,
misalnya wanita atau warga kulit hitam. Di Indonesia hampir semua
pesantren milik swasta.
4.
Biasanya, memberlakukan sistem berasrama (residential) untuk menanamkan konsep
"community". Konsep asrama kurang lebih sama dengan konsep pendodikan
pesantren yang merupakan bentuk pendidikan tertua di Indonesia dan telah
berkembang jauh sebelum sistem pendidikan Eropa datang ke Indonesia.
5.
Misinya mendidik mahasiswa sebagai manusia utuh dan menekankan pendidikan
sebagai pendidikan, alih-alih sebagai persiapan untuk mendapatkan pekerjaan.
Sebagai bandingan, dapat disebutkan bahwa di pesantren tradisional tidak ada
mata pelajaran vokasional, dan lulusannya pun tidak berharap mendapat pekerjaan
setelah lulus.
6.
Fokus diletakkan pada pengajaran, alih-alih pada penelitian. Mahasiswa dan
dosen sering berkolaborasi dan saling belajar. Kolaborasi dan hidup
berdampingan antara guru dan siswa, dan antara senior da junior adalah ciri
pendidikan pesantren di Indonesia. Di pesantren pun hampir tidak ada tradisi
penelitian. Yang dominan adalah pengajaran, yakni kajian-kajian atas teks kitab
kuning.
7.
Mereka lazimnya mewajibkan para mahasiswa mempelajari apa yang disebut the
great books. Buku-buku ini lazim juga disebut dengan buku-buku klasik. Dalam
pendidikan pesantren tradisional pun sudah lama dikenal tradisi mempertahankan
kitab klasik, yakni apa yang lazim disebut kitab kuning.
Pendidikan liberal mencakup pendidikan literasi, yaitu
kemampuan membaca dan menulis, bahkan mengapresiasi sastra. Bagaimana mungkin
orang mampu membebaskan dirinya dari kebodohan jika tidak menguasai
keterampilan membaca dan menulis.
Dalam wacana pendidikan istilah pendidikan umum sering
dipertukarkan dengan pendidikan liberal karena fungsinya hampir sama, yaitu
menyiapkan individu sebagai pribadi utuh, bukannya menyiapkan tenaga
vokasional. Beberapa orang melihat sejumlah kelemahan dalam pendidikan liberal,
antara lain sebagai berikut:
1.
Orientasi
yang berlebihan terhadap teks klasik menutup pintu bagi pengetahuan terkini
yang merupakan buah kemajuan ilmu dan teknologi yang sulit dihindari.
2.
Orientasi
pada pengembangan intelektual bias mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan
seutuhnya, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks.
3.
Spesialisasi
yang berlebihan, seperti yang tampak pada mata-mata pelajaran, bias berarti
reduksi terhadap kemanusiaan. Spesialisasi mempersempit diri, sementara
tantangan hidup semakin mengglobal, kompleks, dan lintas disiplin.
System pendidikan adalah suatu strategi atau cara yang akan
dipakai untuk melakukan proses belajar
mengajar untuk mencapai tujuan agar para pelajar tersebut dapat secara aktif
mengembangkan potensi di dalam dirinya yang diperlukan untuk dirinya sendiri
dan masyarakat. System pendidikan itu penting, karena apabila system pendidikan
terbentuk dengan baik maka akan menciptakan bangsa yang berkualitas pula.
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah. Seorang guru SD harus memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain
dari yang berbeda agama, etnis, dan dari kelompok-kelompok social yang berbeda.
Sehingga, perlunya pendidikan multicultural. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi
dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan di mana
menghormati rekan, bantuan, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain.
Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori
pembangunan social (Rubin, 2009).
Sebuah
data liga global baru (A new global league ), Yang di rilis oleh Economist
Intelligence Unit For Pearson, telah menemukan bahwa Finlandia memilki
sistem pendidikan terbaik di dunia. Sampsa Vourio, seorang guru di Torpparinmaki comprehensive
school, Finlandia, menjelaskan bahwa system pendidikan di negaranya dijalankan
sangat demokratis. Penekanan belajar focus pada proses, bukan pada hasil belajar. Remedial tidak dianggap sebagai
kegagalan, tapi untuk perbaikan; sedangkan pekerjaan rumah (PR) dan ujian tak
harus dikerjakan dengan sempurna yang penting murid menunjukkan adanya usaha.
Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental siswa. Tidak ada system peringkat (ranking) sehingga siswa merasa percaya
diri dan nyaman terhadap dirinya. System peringkat dipandang hanya membuat guru
terfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan kepada seluruh murid. Finlandia
telah sukses menggabungkan kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi,
dan komitmen dengan keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Jika dibanding
dengan Indonesia, system pendidikannya begitu berbanding terbalik. Di Finlandia
pun menjadi guru SD itu lebih susah disbanding dokter. Gajihnya pun paling
besar dan minimal S2. Hal ini karena SD merupakan awal penanaman dasar untuk
siswa.
Pendidikan multicultural diformalisasi menjadi sebuah
kebijakan karena fakta bangsa Indonesia yang pluralis karena tersusun dari
keanekaragaman suku, agama, ras, adat istiadat, bahasa dan lain-lain. Dengan
kata lain, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk
atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat
dari dua perspektif, yaitu horizontal dan vertical. Dalam perspektif
horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama etnis,
bahasa daerah, dan budayanya. Dalam perspektif vertical, kemajemukan bangsa
dapat dillihat dari perbedaaan tingkat pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan
tingkat social.
Menurut
Sosiolog UI Parsudi Suparlan (2002), multikulturisme adalah konsep yang mampu
menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturisme merupakan
sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
masyarakat. Multikulturisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku
bangsa dalam masyarakat yang multikultur. Perbedaan itu dapat
terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional
dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Secara sederhana pendidikan multikultur dapat didefinisikan
sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000) dalam Muhaemin
(2004), pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas
social dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus menciptakan tatanan masyarakat
yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang mengagungkan
prestise social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Wajah multikultural di
negeri ini hingga
kini ibarat api
dalam sekam, yang
suatu saat bisa
muncul akibat suhu politik,
agama, sosial budaya
yang memanas, yang
memungkinkan konflik
tersebut muncul kembali.
Tentu penyebab konflik
banyak sekali tetapi
kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis
dan budaya. Beberapa kasus yang
pernah terjadi di
tanah air yang
melibatkan kelompok masyarakat,
mahasiswa bahkan pelajar karena
perbedaan pandangan sosial
politik atau perbedaan
SARA tersebut.
Berbagai masalah yang timbul itulah yang
akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang
atau jalan keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya.Untuk itu
diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai
bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka
pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi
dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di
masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya,
bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain.
Dari paparan di atas agar dapat memberi
dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional terutama
institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya untuk mau menanamkan sikap
kepada siswa untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan
membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku,
budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di
sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan akan menjadi medium
pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan
budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama
secara damai. Selain itu juga agar siswa
memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial
yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi
pada lingkungan masyarakatnya.Hal ini dapat diimplementasi
baikpadasubstansimaupunmodel pembelajaran yang mengakui dan menghormati
keanekaragaman budaya.
James Banks (1993) menjelaskan bahwa pendidikan multikultur
memiliki lima dimensi yang saling berkaitan, yaitu: (1) Content interagtion,
mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep
mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. (2) The
knowledge instruction process, membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke
dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). (3) An equity paedagogy, menyesuaikan
metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun social. (4)
Prejudice reduction, mengidentifikasi karateristik ras siswa dan menentukan
metode pengajaran mereka. (5) Exercise, melatih kelompok untuk berpartisipasi
dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang
berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam konteks teoritis,
belajar dari model-model pendidikan multikultur yang pernah ada dan sedang
dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama,
pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturisme. Kedua,
pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman
kebudayaan.Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan.Keempat pendidikan
dwi-budaya.Kelima, pendidikan multikultur sebagai pengalaman moral manusia.
Pendidikan multikultur
mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana
dikatakan R. Stavenhagen (1996):
Religious,
linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples
were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the
interest of the state and the dominant society. While many people had to
discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to
the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through
national institutions, including the educational and legal system.
Indonesia sebagai Negara majemuk baik dari segi agama, suku
bangsa, golongan maupun budaya local perlu menyusun konsep pendidikan
multicultural sehingga menjadi pegangan untuk memperkuat identitas nasional.
Mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama yang telah diajarkan di Sekolah Dasar
hingga perguruan tinggi, disempurnakan dengan memasukan pendidikan multicultural,
agar generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia yang selanjutnya dapat
meningkatkan rasa nasionalisme.
Sejumlah kerusuhan dan konflik social telah terjadi di
berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Ada kekerasan terhadap
etnis China di Jakarta tahun 1998. Konflik horizontal di Maluku tahun 1999-2003
yang sebagian orang menyebutnya sebagai perang Islam-Kristen. Konflik protes
politik local di Aceh. Kerusuhan di Tasikmalaya tahun 1996. Komflik dalam
penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah. Konflik antar suporter sepak bola.
Konflik antar pelajar dan mahasiswa (tawuran). Konflik antar suku di Papua.
Komflik tanah bernuansa agama antar warga dan pengusaha di Tanjung Priok
Jakarta, dan masih banyak lagi komflik yang terjadi di Indonesia yang tercinta
ini.
Menurut Choeerul Mahfud, konflik-konflik tersebut disebabkan
oleh kenyataan bangsa Indonesia yang multicultural. Bahkan Asep Jamaludin
menuding multicultural sebagai salah satu penyebab timbulnya korupsi, kolusi,
nepotisme, premanisme, perseturuan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme,
perusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai
hak-hak orang lain.
Menurut
J. Ranjabar hal-hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya konflik pada
masyarakat Indoenesia adalah sebagai berikut :
1. Apabila terjadi dominasi suatu
kelompok terhadap kelompok lain, contohnya adalah konflik yang terjadi di Aceh
dan Papua.
2. Terdapat persaingan dalam mendapatkan mata
pencaharian hidup antara kelompok yang berlainan suku bangsa. Contohnya konflik
yang terjadi di Sambas.
3. Terjadi pemaksaan unsur-unsur
kebudayaan dari warga sebuah suku terhadap warga suku bangsa lain. Contohnya
konflik yang terjadi di Sampit.
4. Terdapat potensi konflik yang terpendam, yang
telah bermusuhan secara adat. Contohnya konflik antar suku di pedalaman Papua.
Sehingga, untuk
menghadapi multikultur di Indonesia ini kita harus menerapkan pendidikan
multikultur. Hal ini karena, pendidikan multikultur mengedepankan penghormatan
terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Sehingga akan terciptanya sikap toleransi terhadap masyarakat lain yang berbeda
agama, suku maupun budaya. Pendidikan multicultural merupakan cara yang paling
efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem harmoni sosial yang lebih berkeadilan.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. Politik Bahasa dan Pendidikan.
Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Alwasilah, Pokoknya Rekayasa Literasi 2012
(http://pemikiran.blogspot.com/2008/02/dari-salman-rushdie-hingga-tempo.html).
http://berbagiilmuqu.blogspot.com/2013/04/sekilas-tentang-pendidikan-di-finlandia.html
parameter pendidikan multikultur teh apa aja Ranita?
ReplyDelete