Peace
without justice is an illusion
-KH Abdurrahman
wahid-
Wacana
yang berjudul ”Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Prof Chader Alwasilah, secara
umum membicarakan ihwal pentingnya pendidikan liberal sebagai cikal-bakal untuk
menumbuhkan generasi plural, yakni generasi yang mampu toleran dalam dimensi
kehidupan multikultural. Secara lateral, liberal memiliki arti bebas atau kebebasan.
SKemudian secara implisit ditarik ke dalam arti pemikiran yang luas. Pemikiran yang luas tentunya berpengetahuan
yang luas juga. Hidup pada zaman sekarang memerlukan pengetahuan yang luas agar
kelak tidak ketinggalan zaman. Jadi, Pendidikan liberal adalah pendidikan yang diniati
untuk memperluas wawasan (maha)siswa.
Dalam
konteks Indonesia, pendidikan liberal mencakup pengetahuan etnis, agama, bahasa,
adat-istiadat dan budaya. Siswa-siswa di berbagai daerah harus diberikan sistem
pembelajaran yang memadai. Tidak boleh ada diskriminasi pendidikan atau dengan
kata lain memarjinalkan kelompok minoritas. Jadi dalam hal ini, pendidikan
liberal bertujuan untuk membebaskan siswa dari sikap rabun dan pemahaman
provincial ( tidak komprehensif ) terhadap orang lain. Dalam konteks lain
pendidikan liberal diartikan sebagai pembebasan dari sikap kasar, cabul, tidak
sopan atau vulgarity.
Standar
dalam pendidikan ini meliputi tiga aspek yaitu aspek kognitif ( intelektual ), aspek
moral ( akhlak ) dan aspek emosi ( afektif ). Pendidikan liberal memberikan
siswa keterampilan-ketrampilan tata bahasa, retorika, serta logika. Keterampilan
ini selalu mendorong mereka untuk terus bahkan gemar belajar pada setiap
kondisi apapun. Sehingga sangat mungkin bagi seseorang untuk menyimpulkan jalan
keluar logis terhadap tiap-tiap problematika yang terjadi. Pendidikan liberal[1] ini
bertujuan untuk membebaskan (maha)siswa dari kungkungan atau perbudakan yang
timbul karena kebodohan, syak wasangka, dan kepicikan. Kebebasan seperti ini
mensyaratkan mahasiswa memilik pandangan yang jembar atas berbagai temuan, prestasi
dan kemampuan serta memiliki sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Jika
ditilik kembali, wacana diatas bisa diklasifikasikan ke dalam dua fokus
pembahasan yaitu Classroom Discourse,
dan Religious Harmony. Classroom Discourse membicarakan ihwal sistem
pembelajaran yang ada di Amerika Serikat yang menerapkan sistem asrama, yang
diwarnai dengan berbagai siswa yang berasal dari etnis dan agama yang berbeda-beda.
Sistem pembelajaran di AS lebih memprioritaskan kepada Peer Interaction, yakni menjaga interaksi bersama, meskipun mereka memiliki background, etnis
atau agama yang berbeda. Jika dilihat dari sistem pendidikannya, pendidikan di sana
nyaris sama seperti pendidikan pesantren ( asrama ) yang ada di Indonesia, yakni
antara siswa laki-laki dan siswa perempuan dipisah. Hanya saja sistem asrama di
AS menghimpun semua siswa dari berbagai kalangan, yakni berbagai etnis dan
agama yang berbeda-beda. Sedangkan di Indonesia, hanya menerapkan sistem asrama
yang terfokus pada satu agama meskipun memiliki perbedaan rasa tau etnis. Di
asrama AS, mereka disatu-tempatkan, yang laki-laki dengan laki-laki dan yang perempuan
dengan perempuan. Jadi, pesan pendidikannya yaitu disamping untuk membangun Peer Interaction antar sesama siswa,
juga mengikat keharmonisan antar pemeluk beragama. Di Amerika menerapkan sistem
pendidikan liberal ini sejak dini.
Ada
beberapa karakteristik dari pendidkan liberal[2] (
Liberal Art College ) yang memiliki beberapa persamaan dengan asrama (
pesantren ) sebagai berikut :
·
Liberal
Art College, merupakan cikal-bakal pendidikan tinggi di AS. Dalam konteks
Indonesia, jauh-jauh hari sebelum penjajah datang, sistem pesantren sudah lama
berkembang seiring dengan penyebaran agama Islam di Nusantara.
·
Ukuran
kampusnya cenderung kecil dengan jumlah mahasiswa sekitar dua ribu orang.
·
Biasanya
memberlakukan sistem berasrama ( residential ) untuk menanamkan konsep “community”. Konsep asrama kurang lebih
sama dengan konsep pendidikan “Pesantren”
yang merupakan bentuk pendidikan tertua di Indonesia dan telah berkembang jauh
sebelum sistem pendidikan Eropa datang ke Indonesia.
·
Misinya
mendidik mahasiswa sebagai manusia utuh dan menkankan pendidikan sbagai
pendidikan, alih-alih sebagai persiaan untuk mendapatkan pekerjaan. Sebagai
perbandingan, di Pesantren tradisional tidak ada mata pelajaran vokasional, dan
lulusannya pun tidak berhara mendapat pekerjaan setelah lulus.
·
Fokus
diletakkan pada pengajaran, alih-alih pada penelitian. Mahasiswa dan dosen
sering berkolaborasi dan saling belajar. Kolaborasi dan hidup berdampingan
antara guru dan siswa, dan antara senior dan junior adalah ciri pendidikan
pesantren di Indonesia. Di esantren un hamper tidak ada tradisi penelitian.
Yang dominan adalah pengajaran, yakni kajian-kajian kitab kuning.
·
Mereka
lazimnya mewajibkan mahasiswa mempelajari apa yang disebut the great books. Buku-buku ini lazim juga disebut dengan buku-buku
klasik. Dalam pendidikan pesantren tradisional pun sudah lama dikenal tradisi
mempertahankan kitab klasik, yakni apa yang lazim disebut kitab kuning.
Prof. Chaedar mengartikan “The great books” sebagai teks
klasik yang memiliki nilai sejarah dan kebenaran yang tinggi, yang harus tetap
dipelajari dan dijadikan sumber inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Terdapat
beberapa kelemahan ihwal pendidikan liberal yang diterapkan di AS, seperti yang
telah disebutkan Prof. Chaedar, bahwa terlalu tendensius terhadap teks klasik
akan menutup pintu bagi pengetahuan terkini, selain itu terlalu memprioritaskan
intelektual akan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya.
Pada
fokus pembahasan yang lain, Religious
Harmony membicarakan ihwal kerukunan antar umat beragama yang menurut Prof Chaedar
Alwasilah hal tersebut harus dikembangkan di Sekolah sejak dini untuk
menciptakan generasi yang berkarakter harmony-pluralis. Tuntutan tersebut karena seiring banyaknya
konflik yang terjadi di Indonesia baik konflik antar etnis, maupun konflik
antar umat beragama, seperti konflik sambas ( 1999 ) yang merupakan konflik
antara etnis Melayu dengan etnis Madura, konflik ambon 1998 ( konflik antar
umat beragama, yakni antara Kristen vs islam ), konflik antar suku di Papua ( 2013
), konflik kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta ( 1998 ), konflik tanah
bernuansa agama antar warga dengan pengusaha di Tanjung Priok Jakarta, dan
lain-lain.
Secara
umum penyebab terjadinya konflik adalah karena perbedaan kebudayaan, perbedaan
kepentingan dan juga perbedaan individu.
Kepribadian seseorang dibentuk dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan
norma-norma sosial yang sama. Apa yang dianggap baik oleh suatu masyarakat
belum tentu sama dengan apa yang dianggap baik oleh masyarakat lainnya. Selain
itu setiap kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda. Perbedaan
kepentingan ini dapat memicu terjadinya konflik sosial. Sedangkan perbedaan individu menyangkut perasaan, pendirian,
pendapat atau ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggaan dan identitas
seseorang tersebut. Perbedaan-perbedaan ini dapat menimbulkan kebencian dan
amarah dan itu merupakan awal dari timbulnya konflik.
Menurut
Choerul Mahfud, konflik-konflik yang terjadi disebabkan oleh kenyataan bangsa
Indonesia yang multikultural ( Majemuk, Pluralis ). Kemajemukan masyarakat itu
memberikan dampak secara positif. Namun, pada sisi lain juga dapat menimbulkan
dampak negatif, karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang menimbulkan
konflik antar kelompok masyarakat. Hal senada juga dikemukakan oleh Ahmad
Tafsir, bahwa keragaman budaya dapat menjadi keuntungan dan dapat pula menjadi
kerugian.
Sedangkan
penyebab krusial terjadinya konflik antar umat beragama mayoritas karena
fanatik keagamaan. Fanatik berarti terlalu eksklusif sehingga mensakralkan apa
yang diyakininya. Salah juga jika agama hanya diartikan sebagai ritual-teologis
saja. Padahal essensi agama itu adalah sebagai jalan atau media untuk menuju ke
arah harmoni, serasi dan ketentraman hidup. Agama harus menjadi payung bagi
setiap pemeluknya. Orang yang beragama adalah orang yang tenang hidupnya karena
agama melindungi mereka. Jadi pada hakikatnya ajaran agama adalah essensi
ajaran sosial dan moral yang merupakan perwujudan dari pengaplikasian ajaran
teologi-ritual seperti ungkapan Gusdur “Tidak penting apapun agama dan sukumu,
jika kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain, mereka tidak
pernah tanya apa agamamu”. Harusnya seperti itulah essensi ajaran agama.
Tetapi
jika melihat semua keberagaman tersebut, di satu sisi kita merasa dipusingkan
oleh keberagaman ras ( etnis ), namun di sisi lain kita juga dipusingkan oleh keberagaman
agama. Kita tidak bisa memungkiri bahwa di nusantara ini kita ( Islam ) hidup berdampingan
dengan agama-agama lain seperti Kristen,
Budha, Hindu, dan Konghucu. Warisan primordial ini bukan untuk disesali,
apalagi ditafsirkan sebagai sirkuit balapan bagi agama-agama untuk beradu
ketangkasan. Warisan sejarah ini syogyanya diyakini sebagai kekayaan atau asset
bangsa bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beragam ( multikultural ). Secara
psikologis kekayaan religious ini, harusnya dapat menumbuhkan tenggang rasa dan
sikap toleransi antar sesama pemeluk agama.
Masih
sangat hangat diingatan, ketika Alm. KH Abdurrahman Wahid ( Gusdur ) menjabat
sebagai presiden ke-4 menggantikan BJ habibie. Gusdur sering dikenal dengan bapak
kemanusiaan. Gagasan-gagasan gusdur yang terkenal adalah konsep pluralisme,
toleransi, demokrasi, hak asasi manusia ( HAM ), dan tema-tema kemanusiaan
lainnya. Beliau merangkul seluruh agama yang ada di Indonesia tanpa membeda-bedakan
dan mengunggulkan agamanya sendiri. Beliau menghargai inovasi-inovasi dan
kreatifitas kebudayaan yang beragam. Beliau menyambangi gereja kristen untuk
melakukan dialog teologi dengan penuh toleran dan rasa hormat, beliau memberikan
hak hidup kepada agama konghucu, beliau juga mendatangi agama hindu dan budha dengan
penuh rasa kasih sayang dan tenggang rasa. Beliau mempersilahkan mereka untuk
beribadah menurut kepercayan mereka masing-masing. Ketika rumah-rumah dan
masjid-masjid ahmadiyah diserang dan diteror oleh kelompok islam militan-fundamental,
gusdur melindungi mereka dengan alasan hak beragama, ketika gusdur melakukan
tindakan kontroversial yakni mencabut Tap MPRS XXV tahun 1996, gusdur dituduh sebagai
orang yang hendak menghidupkan komunisme yang ateis, padahal realitanya gusdur
menjalankan hak-hak asasi kemanusiaan[3],
dan masih banyak lagi contoh lain mengenai tindakan toleransi gusdur. Essensi Gusdur
dalam menjalankan semua misi tersebut adalah untuk membangun solidaritas
bangsa, menjadikan bangsa yang toleran meskipun berbeda seragam ( etnis, ras dan
agama ). Karena dengan kukuhnya persatuan bangsa, dengan saling berbaurnya
masyarakat lintas dimensi etnis-agama, NKRI akan tetap tegak bertahan di atas
pondasi Pancasila dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika yang merupakan warisan primordial bangsa.
Namun
realitanya nilai-nilai semboyan tersebut semakin pudar. Hilangnya nilai luhur
tersebut karena sejak dini ( Usia SD ) semboyan itu tidak lagi dicontohkan oleh pendidik kepada para siswanya.
Pendidik hanya sekedar mengajarkan teorinya saja tanpa mengaplikasikan nilai-nilainya.
Seharusnya semboyan tersebut harus diperkenalkan se-dini mungkin ( usia SD ),
mengingat pada usia tersebut siswa-siswa
sedang nyaman-nyamannya menjalankan proses interaksi dengan teman sebayanya.
Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk
berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu merupakan
hubungan dimana sesama rekan bisa saling menghormati, saling berbagi dan
bersikap sopan santun terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan
sebaya adalah komponen penting dalam pembangunan nasional ( Rubin : 2009 ).
Jelasnya,
Prof Chaedar dalam wacana ini menginginkan terlaksananya penerapan toleransi
atau kerukunan antar umat beragama di sekolah sejak usia dini. Dengan
mewujudkan pendidikan liberal seperti yang diterapkan di AS, diharapkan peer
interaction atau interaksi antar teman sebaya akan semakin kuat, semakin
saling bisa mengikat sisi emosional satu sama lain, sehingga konflik-konflik
antar etnis atau umat beragama sedikit demi sedikit mampu terselesaikan. Namun realitanya
hal ini sangat sulit untuk dilakukan, terlebih jika dipaksa-terapkan pada siswa
SD yang merupakan cikal-bakal generasi plural, mengingat perkembangan akal siswa SD belum
matang baik secara mental, sosial maupun spiritual. Di samping itu, pendidikan multikultural
yang berorientasi kepada agama tidak pernah terselenggarakan di Indonesia,
sehinga wajar saja jika peer interaction antar siswa tidak pernah
terjalin. Jika diterapkan juga antar-pemeluk beragama merasa sungkan atau
bahkan enggan untuk berpartisipasi dalam sekolah tersebut. Lagi-lagi faktor
klasik yang menjadi alasan semua itu,. Ya…. Permasalahan tersebut adalah
permaslahan perspektif atau paradigma yang terlalu terbelenggu dengan
kefanatikan-teologi. Mereka terlalu terkesan eksklusif sehingga mensakralkan apa
yang diyakininya. Jika peer interaction tidak terbangun, maka
keharmonisan atau kerukunan antar umat beragama tidak akan terbangun pula.
Jika
kasusnya seperti itu, maka dialog antar-pemeluk beragama dengan pikiran yang
jernih dan sikap saling toleran perlu dilakukan. Dan dialog akan berhasil jika
para pelaku dialog memiliki kapasitas keilmuan yang setingkat. Selain itu,
pelaku dialog syogyanya menggunakan bahasa yang sederhana agar dimengerti oleh
pemeluk agama lain. Pelaku dialog sejauh mungkin menjauhi idom-idiom keagamaan
yang terlampau teknis. Dialog yang terlalu banyak dipoles oleh bahasa asing
misalnya, mungkin akan menimbulkan sikap apriori terhadap pelaku dan materi
dialog. Di sinilah pentingnya penguasaan bahasa nasional yang baku dan perlunya
kemampuan menerjemahkan bahasa istilah keagamaan ( dalam bahasa asing ) ke
dalam bahasa nasional oleh setiap peserta dialog agama. Kemudian dialog juga
harus dilakukan dalam forum yang netral. Artinya dialog agama tidak dilakukan
dalam rumah agama tertentu karena hal tersebut akan mengundang keengganan bagi
pemeluk agama untuk menghadirinya. Terakhir, dialog dilakukan untuk membantu
pemerintah dan masyarakat keseluruhan dalam menangani isu-isu sosial yang
terasa melekat dalam keseharian. Adalah tugas para tokoh dan pemuka agama untuk
senantiasa sensitif terhadap persoalan sosial dan mengajukan berbagai
alternatif pemecahan. Khotbah, dakwah, fatwa, nasehat, kesepakatan, doa bersama
dan sebagainya yang disampaikan para pemuka merupakan bentuk dialog. Jadi
dialog agama dalam konteks era reformasi sekarang, mestinya tidak ditafsirkan
hanya sebagai interaksi verbal secara fisik berhadapan dalam forum terbatas[4].
Dengan
diadakannya dialog seperti ini,diharapkan akan mampu untuk menetralkan sikap
dan pandangan, bahkan kefanatikan ideologi akan cepat pudar dan diganti dengan
sikap toleran dan kepedulian yang besar antar sesama. Dengan terealisasinya hal
itu, insyaallah bangsa Indonesia yang multikultural ini bisa hidup berdampingan
dengan nyaman dan tentram tanpa adanya konflik.
Sementara
itu, berdasarkan tulisan dari Cholis Muchlis,
upaya lain untuk meredam konflik adalah dengan menerapkan pendidikan multikultural
yakni pendidikan yang berasaskan keberagaman budaya yang meliputi etnis, ras,
budaya, bahasa dan agama. Pendidikan multikultural ini berbeda dengan
pendidikan liberal yang hanya berorientasi pada aktifitas intelektual.
Pendidikan
multikultural diformalisasi menjadi sebuah kebijakan karena fakta Indonesia
yang pluralis ( majemuk ) ditambah dengan berbagai konflik yang sering terjadi
antar kelompok masayarakat. Faktor kepluralisan ini dikarenakan tersusunnya
bangsa Indonesia dari keanekaragaman suku ( etnis ), ras, agama, adat istiadat,
bahasa, budaya dan lain-lain. Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan multikultural
diperkenalkan dengan tujuan untuk meredam konflik sekaligus mendatangkan sisi
maslahat dari keragaman budaya tersebut. Pendidikan multikultural ini diarahkan
untuk mengembangkan sikap menghargai budaya, dan diharapkan dapat menciptakan
struktur dan kultur yang setiap kelompok budaya bisa melakukan ekspresi
budayanya secara nyaman dan harmonis tanpa implikasi konflik[5].
Pasalnya,
hampir semua permulaan dari pendidikan multikultural ini diwarnai dengan terjadinya
konflik yang bersumber dari keberagaman
budaya. Keberagaman budaya ini akan terus menerus tersuplai seiring dengan
kepluralan Indonesia. Lingkungan pendidikan
di sini dirancang untuk menciptakan suatu kehidupan yang menerima akan
perbedaan, bisa hidup bersama secara harmonis , saling menghormati dan
menghargai perbedaan. Ini merupakan tujuan ideal dan krusial dari pendidikan
multikultural. Ya,,,fenomena konflik diatas merupakan alas an atau latar
belakang empirik yang memunculkan gagasan perlunya pendidikan multikultural.
Bagi
kita bangsa Indonesia, sebenarnya Semboyan “Bhineka Tunggal Ika”
bukanlah hal yang baru. Sejarah semboyan tersebut sudah ada sejak dahulu kala, sejak
bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya, bahkan sebelum merdeka pun bangsa
Indonesia sudah terkenal dengan keberagamannya ( label multikultural ). Dalam
pancasila pun label multikultural ini
disinggung yakni pada sila ke-3 yang berbunyi “Persatuan Indonesia”.
Nilai substansial yang terkandung dalam sila ke-3 tersebut adalah tercapainya integritas
masyarakat multikultural, atau bersatunya dalam keberagaman.
Jadi
seharusnya kita tahu akan peran, eksistensi atau kedudukan bangsa kita ini.
Kita harus menyadari bahwa Konflik hanya akan mencederai sistem integritas
bangsa. Jika hal tersebut dibiarkan berlarut, bisa jadi hal ini akan
dimanfaatkan oleh bangsa lain untuk kembali menjajah bangsa kita yang tercinta
ini. Oleh karena itu, marilah kita lestarikan nilai luhur bangsa yang ada dalam
pundak Bhineka Tunggal Ika ini, dengan cara mengikat toleransi dan rasa
kepedulian dengan saudara-saudara kita baik antar etnis-agama maupun intra
etnis-agama. Masyarakat yang ada di Indonesia ini adalah saudara kita semua.
Tidak boleh ada sikap diskriminasi terhadap etnis atau agama yang lain. Untuk
apa tuhan menciptakan manusia jika realitanya ia harus dimarjinalkan,
dikucilkan. Interpretasinya, Manusia di mata tuhannya sama, yakni sama-sama mempunyai
hak untuk berkehidupan bebas sesuai yang mereka harapkan. Jadi, keberagaman
adalah asset bangsa Indonesia yang harus dipertahankan eksistensinya.
[1] Chaedar Alwasilah. Tujuan Pendidikan Liberal. Pokoknya
Rekayasa Literasi ( 2012 ). Hlm 198
[2] Chaedar
Alwasilah. Karakteristik Pendidikan
Liberal, Pokoknya Rekayasa Literasi ( 2012 ). Hlm 197
[3] Husein Muhammad. Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gusdur.
Hlm 8
[4]
Chaedar Alwasilah. Politik Bahasa Dan Pendidikan ( 2004 ). Hlm 55
generic structurenya ko ga sesuai dengan silabus? definisi classroom discourse kenapa ga diperdalam? dan religious harmony teh parameter dasarnya apa ajah?
ReplyDelete