Terdapat
5 kelompok besar guna mengelompokkan periodisasi penggunaan metode dan
pendekatan (approach) oleh para ahli bahasa, berikut ulasannya. Pertama, yang popular sampai perang dunia
ke-2 yakni Pendekatan Stuktural dengan grammar translation methods, hal ini
melatih siswa dalam menanalisis kesalahan berbahasa (eror analysis), sintaksis
kalimat, dan wacana. Namun seiring
dengan perkembangannya, karena terdapat kekurangan dalam pendekatan tersebut,
maka pada tahun 1940-1960 Pendekatan Audiolingual atau dengar ucap yang
berperan, karena siswa dapat terlatih melalui dialog-dialog pendek, tetapi
permasalahannya dalam pendekatan ini penguasaan baca tulis pun terabaikan. Selanjutnya (Chamsky, 1957) menerapkan
Pendekatan Kognitif dan Transformatif sebagai implikasi dari teori-teori
syntactic structure. Materi yang
diajarkan beorientasi pada sintaksis.
Namun dalam berbahasa itu tidak hanya bersintaksis, tapi secara
sosiolinguistik tidak fungsional.
Selanjutnya pada tahun 1980-1990, Pendekatan Communicative Competence
yang tokoh-tokohnya antara lain Hymes (1976) dan Widdowson (1978). Tujuannya agar menjadikan siswa mampu
berkomunikasi dalam bahasa target baik spontan atau alami. Tapi pendekatan ini juga dianggap kurang
eksplisit sehingga lahir tata bahasa fungsional atau Systemic Functional
Grammar (SFG) Halliday (1985) ; Martin (2000).
Setelah itu karena kurikulum 2004 di Indonesia memiliki tujuan yang
menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana sesuai dengan konteks komunikasi
serta yang menonjol adalah pengenalan berbagai genre wacana lisan maupun
tulisan untuk dikuasai oleh siswa, maka Pendekatan Literasi atau Pendekatan
Genre-Based sebagai implikasi dari studi wacana pun diterapkan.
Definisi
literasi dalam (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary,
2005:898) adalah kemampuan membaca dan menulis.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, definisi dari literasi
berpaling ke definisi baru yang menunjukan paradigm baru dalam upaya memaknai
literasi dan pembelajarannya. Makna dan
rujukan literasi terus berevolusi, dan kini maknanya semakin meluas dan
kompleks. Literasi tetap berurusan
dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang
memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.
Dimensi geografis, dimensi bidang, dimensi keterampilan, dimensi fungsi,
dimensi media, dimensi jumlah, dan dimensi bahasa. Dalam definisi tersebut ada 10 gagasan kunci
ihwal literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan
sekarang ini. 10 gagasan kunci tersebut
adalah ketertiban lembaga-lembaga sosial, tingkat kefasihan relative,
pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga masyarakat
demokratis, keragaman local, hubungan global, kewarganegaraan yang efektif,
bahasa inggris ragam dunia, kemampuan berfikir kritis, dan masyarakat semiotic.
Pendidikan
bahasa berbasis literasi seyogianya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsif
sebagai berikut :
·
Literasi
adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat.
·
Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan.
·
Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah.
·
Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
·
Literasi
adalah kegiatan refleksi (diri).
·
Literasi
adalah hasil kolaborasi.
·
Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Sejumlah fakta menyebutkan tingkat
literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal oleh siswa Negara-negara lain,
artinya pendidikan di Indonesia belum berhasil menciptakan warga Negara literat
yang siap bersaing dengan sejawatnya dari Negara lain. Ada berbagai variable yang terkait dengan
pendidikan literasi, salah satunya yakni dari pendpatan nasional per
kapita. Manusia literat merupakan SDM
yang memiliki potensi untuk membangun bangsa.
Pendidikan literasi adalah investasi jangka panjang yang berfungsi
tansformatif, dan menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik (Wagner
1999 dan Barton 2001 dalam setiadi 2010). Dengan kata lain, pendidikan literasi
pasti mengubah pendapat dan pendapatan.
Dalam berbagai perbincangan, tampak
bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Rekayasa literasi adalah upaya untuk yang
disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat
penguasaan bahasa secara optimal.
Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan
pembudayaan. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal adalah situs pertama untuk membangun literasi yang pada
umumnya disokong oleh pemerintah, karena itu wajar jika proses dan hasil
pembelajaran bahasa di sekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur
tingkat literasi. Seperti yang dibahas
di materi ini bahwa literasi meliputi keterampilan membaca dan menulis. Dengan demikian, rekayasa literasi berarti
merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi sebagaimana berikut
ini:
·
Dimensi
pengetahuan kebahasaan (focus pada teks).
·
Dimensi
pengetahuan kognitif (focus pada minda).
·
Pengetahuan
perkembangan (focus pada pertumbuhan).
·
Pengetahuan
sosiokultural (focus pada kelompok).
Kegiatan literasi seperti yang terlihat
dalam gambar diatas selalu secara serentak melibatkan keempat dimensi (bahasa,
kognitif, sosial, dan perkembangan), literasi tidak sederhana sekedar menguasai
alphabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan symbol tulisnya,
tetapi symbol itu difunsikan secara bernalar dalam konteks sosial, dan kualitas
literasi berkembangan sesuai dengan kematangan diri. Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi
tingkat literasi seseorang, bila pendidikan seseorang relative tinggi tetapi
tingkat literasinya relative rendah (misalnya pada ilmuan Indonesia yang kurang
produktif menulis), bsa jadi karena pendidikan literasinya kurang maksimal,
atau karena sudut pandang yang berbeda dari literasi. Sekali lagi, seorang literat itu tidak
sekedar berbaca tulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Secara turun temurun, wacana
pembelajaran bahasa terfokus pada empat keterampilan bahasa yakni menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Dalam
pembelajaran bahasa asing, istilah literasi kurang dikenal, istilah yang lazim
dikenal oleh para guru adalah empat keterampilan berbahasa, dan hampir tidak
pernah menyebut sastra. Mengajarkan
literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca
tulis, terdidik, cerdas, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra. Selama ini pendidikan di Indonesia relative
berhasil memproduksi manusia terdidik, tapi pada umumnya kurang memiliki
apresiasi terhadap sasta khususnya, dan humaniora umumnya. Meluruskan rekayasa literasi, sebaiknya
diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigm pembelajaran literasi, yaitu
decoding skills, dan whole language. (Kucer : 2000). Tampak bahwa wacana pengajaran bahasa (asing)
selalu hiruk pikuk dengan dialog dan debat tiada henti antara pendukung
paradigma (dimensi), literasi, dan metode mengajar literasi sebagai konsekuensi
logis dan paradigma itu. Paradigma
adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap objek pandang (baca : pengajaran
literasi).
Setelah apa yang saya jelaskan di
chapter review pertama ini, saya dapat mengambil kesimpulan yaitu periodisasi
penggunaan metode dan pendekatan (approach), kususnya terhadap pengajaran
bahasa asing. Kita jangan sontak
menyalahkan guru bahasa karena pendidikan literasi seperti yang dibahas pada
bagian terdahulu memliki sebuah dimensi, antara lain dimensi sosial
politik. Dengan demikian, perlu
perubahan paradigm pengajaran literasi di jajaran pengambil kebijakan. Perubahan
paradigma itu berhijra secara intelektual, hijrah yang bernalar karena
tantangan zaman.
0 comments:
Post a Comment