Pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak
boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan
hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras
dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari
analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat
dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai
kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan
masyarakatnya. Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak
berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia
dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek
dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka
dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang
baik. Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan
pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang
sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti
menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses
pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu, karena perubahan-perubahan itu
menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga. Melalui
pendidikan, manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang
tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti,
pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan
sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan
lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar
tradisinya.
Indonesia
merupakan negara majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, maupun
aliran kepercayaan yang merasa senasib untuk membentuk suatu negara yakni
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemajemukan dalam wujud Bhineka
Tunggal Ika ini merupakan kekayaan yang harus dipelihara sebagai alat persatuan
bangsa, sebagaimana yang dicita-citakan dan diperjuangkan para pendiri bangsa
kita. Arti Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi satu jua yang
berasal dari buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular / Empu Tantular.
Secara mendalam, Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia
terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya
namun tetap satu kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Dipersatukan
dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa, dan lain-lain yang
sama. Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang negara
Republik Indonesia yaitu Burung Garuda Pancasila. Di kaki Burung Garuda
Pancasila mencengkram sebuah pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.
Kata-kata tersebut dapat pula diartikan, ”Berbeda-beda tetapi tetap satu
jua”. Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai
dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, dimana kita haruslah
dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu hidup saling menghargai
antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa,
agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit, dan lain-lain. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dimana setiap
daerah memiliki adat istiadat, bahasa, aturan, kebiasaan dan lain-lain yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya kesadaran
sikap untuk menjaga Bhineka Tunggal Ika, pastinya akan terjadi berbagai
kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap orang akan
hanya mementingkan dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa perduli
kepentingan bersama. Bila hal tersebut terjadi pastinya negara kita ini
akan terpecah belah.
Bangsa
ini harus mempunyai cara pandang yang positif tentang kemajemukan. Cara pandang
seperti ini selaras dengan ajaran agama yang menjelaskan bahwa kemajemukan itu,
bagian dari sunnatullah. Agama mengingatkan bahwa kemajemukan terjadi
atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga harus diterima dengan lapang dada
dan dihargai, termasuk di dalamnya perbedaan konsepsi keagamaan.
Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang
tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Perbedaan terjadi pada hampir
semua aspek agama, baik di bidang anggapan tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan
kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik
antara umat berbeda agama. Seperti dalam konflik Maluku, Poso, ditambah
sejumlah kasus terpisah di berbagai tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik
secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang dipicu
oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271)
antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh
Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik
antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini
mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan
sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.
Konflik
sosial dan ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik
dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai
warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam
UU Sisdiknas . Untuk mewujudkan tujuan ini , kerukunan umat beragama harus
dikembangkan di sekolah se-dini mungkin. Sudah terlihat jelas
dampak-dampak negatif dari ‘lunturnya’ toleransi di Indonesia. Seperti
tawuran pelajar, bentrok antar warga yang berbeda etnis, agama, adu argumen
yang berujung pada adu otot di kalangan para birokrat, perebutan lahan, dan
lain-lain. Hal ini dapat diminimalisir dengan pembekalan untuk para siswa
sedari SD, yang berfungsi sebagai pengembangan individual menjadi anggota
komunitas. Pembekalan ini bersifat kontinuitas sampai mereka terjun
langsung ke lingkungan masyarakat. Selain itu, ada beberapa hasil
penelitian yang di tampakkan dalam artikel tersebut. Seperti penelitian
tentang interaksi yang menjadi dasar sikap toleran. Sikap toleran ini
tentu berguna bagi masa depan siswa, saat mereka memasuki lingkungan masyarakat
yang lebih luas. Juga dibutuhkannya discourse civil (interaksi yang
beradab) pada siswa SD agar dapat membentuk musyawarah yang baik. Kenapa
harus demikian? Banyak fenomena-fenomena disekitar kita yang menjadi bukti dari
buruknya pendidikan tentang dicourse civil, seperti sikap dan bahasa tercela
para politisi di Negeri kita. Sehingga dibutuhkan pembekalan dan
pengajaran sedari dini agar kejadian tersebut tidak terulang kembali, seperti
membeli kesempatan pada siswa SD untuk berkomunikasi dengan temannya dari
agama, kelompok, dan etnis yang berbeda. Oleh karenanya, pendidikan liberal
yang mencakup pendidikan multicultural harus ada sejak SD.
Sebagai
tenaga pendidik (guru) harus memupuk sikap toleransi pada anak didiknya.
Guru bisa memberi kesempatan kepada muridnya ketika berada dalam kelas,
seperti yang bapak Chaedar tuturkan dalam wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Misalnya
guru bisa memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang bagaimana sikap
bertoleransi pada sesama manusia, khusunya sesama umat beragama. Selain
itu juga siswa dituntut untuk mengamalkan apa yang telah disampaikan oleh guru
tentang bagaimana sikap bertoleransi dengan sesama manusia.
Menurut
Rubin (2009) yang terdapat pada wacana Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony mengemukakan bahwa diberbagai penelitian telah menunjukkan bahwasannya
anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan
mereka. Dalam konteks sekolah adalah hubungan dimana antar siswa
menghormati, membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain. Konsep
interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan
sosial di dunia.
Survey
membuktikan bahwasannya memperkenalkan atau memupuk pendidikan toleransi antar
sesama manusia memang sangat penting untuk diaplikasikan di bangku sekolah
dasar. Agar siswa ketika bertumbuh jadi dewasa sudah terbiasa akan sikap
saling bertoleransi satu sama lain, khusunya toleransi beragama. Toleransi
berama sangat penting dikembangkan pada bangku sekolah usia dini, karena agama
itu sangat penting. Agama merupakan pondasi kehidupan yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan kita. Orang yang tidak beragama tidak akan
memiliki pondasi. Apalagi pondasi yang sangat kokoh! Sesama umat beragama
harus mempunyai jiwa toleransi yang sangat tinggi, karena kita hidup di dunia
ini tidak hanya satu agama saja, tapi banyak agama. Seperti agama islam,
Kristen, budha, hindu, konguchu dan lain sebagainya.
Dalam
pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan
sosial yang berbeda dan pola piker mereka dominan dibentuk oleh latar belakang
mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi iteraksi rekan untuk
mengembangkan wacana sipil positif. Indicator wacana sipil termasuk
mendengarkan penuh perhtian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan
pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan dan mencapai kompromi
dengan cara yang hormat. Dalam arti praktis ini akan berlaku untuk setiap
mata pelajaran disekolah. Siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara
aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran
dalam bebicara. Mereka juga haru diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan
ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Pada sekolah dasar, guru kelas
berfungsi untuk mengawasi untuk hamper sepanjang hari, haruskah mereka tahu
bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar,
mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan
kewarganegaraan. Untuk menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa
memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting
untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan
baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik
sosial dalam suatu masyarakat tertentu.
Sebuah
laporan penelitian oleh Apriliaswati ( 2011 ) menyimpulkan bahwa interaksi
teman sebaya dalam dukungan kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa .
Interaksi rekan dalam studi sosial, kelas Indonesia dan Pancasila tidak
perilaku mengganggu jika guru mengelola secara efektif. Menjadi berisik tidak
selalu negatif. Ini bisa menjadi bukti interaksi interaktif dan
mencerahkan. Oleh karena itu, disarankan agar mempromosikan interaksi
sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus
diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas
kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian, berdebat hormat dan suara
mengorbankan untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional
dari suatu masyarakat yang demokratis. Sebagai siswa SD, anak-anak yang
belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tapi bisa
mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Selain
itu, para siswa tampak percaya satu sama lain, sehingga kompromi dan konsensus
dapat dicapai dengan cara sipil.
Studi
Aprilliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan
tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran
ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan
kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang
beradab. Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa
dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat
telah datang ke kekuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperoleh.
Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
Di
era globalisasi seperti ini, penanaman karakter pada anak usia dini sangatlah
penting. Karena begitu besarnya pengaruh karakter yang dibangun oleh
anak-anak sehingga anak tersebut akan benar-benar menjiwai karakter
tersebut. Mungkin pada sebagian orang diluar sana sangat mengesampingkan
pendidikan dasar karakter, tapi semua itu padahal sangatlah penting untuk bisa
menjadi bekal anak-anak kita yang akan meneruskan perjuangan bangsa ini.
Ciri
utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini
terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh
karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi
dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap
pergantian kurkulum baru kita .
Singkat
cerita, liberalisme yang diagung-agungkan dan diacu oleh sistem pendidikan kita
telah merusakkan sendi-sendi negara bangsa Indonesia. banyak media yang
mengatakan bahwa pendidikan kita rusak-rusakan, dan Depdiknas merupakan satu
dari dua Departemen terkorup di Indonesia, satunya lagi Departemen Agama.
Mulai afair buku paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa
dan dana Bos, sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada siswinya. Di
kalangan siswa pun merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, merokok,
mengkonsumsi miras dan narkotika, sampai bunuh diri dan seks bebas.
Ini efek negatif yang luar biasa besarnya, dan tentu tak dapat diabaikan
begitu saja.
Disisi
lain pendidikan liberal yang hanya terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan
tradisi (klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektualnya saja.
Padahal seharusnya yang dibutuhkan bangsa ini adalah lebih berfokus pada
pengembangan pribadi dalam skala yang luasa tidak hanya di di aspek
intelektualnya saja tetapi harus ada aspek-aspek yang menunjang, seperti emosi,
intelektual dan moral peseta didik.
Disinilah
peranan pemerintah sekarang yang harus benar-benar membenahi pendidikan di
Indonesia supaya tidak menganut liberalisme yang hanya memacu pada sebatas
aspek intelektualnya saja dan itupun hanya sebuah kisah klasik terdahulu yang
dibawa oleh zaman kompeni ( Belanda ).
Pada
studi kasus terdahulu, Indonesia dihadapkan pada kasus sebagai bangssa yang
tidak bermoral. Mengapa demikian? Karena konflik kesinambungan untuk
membina kerukunan antar umat beragama tidak ada, mereka hanya memikirkan
pribadi mereka masing-masing karena pendidikan yang dianut hanyalah mengenai
intelektual saja tidak mengenai tentang moral dan emosi peserta didik.
Inilah faktor-faktor yang menyebabkan sering terjadinya konflik dimana-mana
karena kurangnya atau bahkan mungkin tidak adanya pendidikan moral dan emosi
bagi si peserta didik dari sang pendidik.
Indonesia
adalah bangsa yang beradab dan memilki peradaban. Indonesia sangatlah
unik dan memilki karakteristik yang khas. Begitu pula dalam pendidikan,
sistem dan prinsip pendidikan di Indonesia tidak dibenarkan untuk mengiblat
kepada orang lain. Karena Indonesia sama sekali berbeda dengan mereka.
Indonesia memilki kebijaksanaan local (local wisdom) yang jauh lebih baik
dari Negara manapun. Jika pendidikan di Indonesia ingin berhasil dan
mencapai keberhasilan maka pendidikan di Indonesia haruslah berorientasikan
kepada kebijaksanaan local dan budi luhur yang dimilki bangsa ini.
Seperti
yang dikatakan sebelumnya, bahwasannya umat beragama di Indonesia itu
beragam. Perbedaan inilah yang membuat kita kaya, yaitu kaya akan
perbedaan. Seharusnya dari perbedaan inilah bisa membuat Negara kita kaya
dan kuat. Namun apabla kita tidak bisa mengatasi perbedaan tersebut,
otomatis itu semua malah akan mengakibatkan konflik yang berujung pada
perpecahan. Menurut Prof. Chaedar (Politik Bahasa dan Pendidikan), ada 4 cara
dalam berdialog dengan berbeda agama yang dapat berhasil. Pertama, setiap agama memilih figur atau
pemimpin untuk menyampaikan pendapat atau ide. Dia harus benar-benar
menguasai berbagai pengetahuan bukan saja pengetahuan tentang agamanya.
Agar dalam berdialog tidak ada ungkapan-ungkapan yang dapat menyinggung
pemeluk agama lain. Kedua,
mampu menguasai Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hal ini untuk
menghindari pemakaian bahasa asing yang berasal dari agama tertentu, mereka pun
akan mudah mengerti dengan maksud dari dialog tersebut. Ketiga, harus dalam suasana yang nyaman
dan netral. Artinya tidak ada logo atau unsur-unsur dari agama sendiri
ataupun yang lain. Tempat yang digunakan, seperti restoran, pekantoran,
hotel, gedung sekolah, dan lain-lain. Selain itu, para birokrat harus
mampu mengangkat isu-isu yang sensitif tentang keagamaan, serta memimpinnya
dengan adil dan bijaksana karena sudah sepantasnyalah pememrintah melindungi
para pemuka agama. Agar tercipta kohesi sosial. Keempat, dialog ditujukan untuk membantu
pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah sosial.
Dalam
lingkungan yang majemuk seperti sekarang ini, anak-anak harus dikenalkan juga
diajarkan untuk bertoleransi serta peduli terhadap lingkungannya guna
terciptanya solidaritas antar sesame manusia. Dengan menjunjung tinggi
semboyan Bhineka Tunggal Ika yang bahwasannya mempunyai makna walaupun
berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Pendidikan
pada hakikatnya betujuan sama yakni ingin meningkatkan kecerdasan seseorang
atau suatu bangsa agar tercapainya suatu tujuan yang harmonis dan dinamis untuk
memajukan kualitas diri seseorang dan kualitas suatu bangsa. Tetapi itu
semua tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, ada berbagai tantangan
zaman yang harus dihadapi peserta didik atau sang pendidik.
Perubahan
sosial dan kultural adalah salah satu tantangan yang harus ditaklukan oleh
peserta didik dan sang pendidik. Karena disinilah nantinya akan ada
pergeseran sistem nilai sosial dan budaya yang cukup drastis. Efek dari
pergeseran nilai sosial dan budaya tersebut adalah bisa memunculkan goncangan
kuat karena manusia harus menyesuaikan terhadap pergesaran nilai sosal dan
budaya. Oleh karena itu penanaman pendidikan umum, sebagai bekal untuk peserta
didik yang diberikan oleh sang pendidik sangatlah mempunyai pengaruh yang
dahsyat. Karena didalamnya tidak hanya terkandung nilai intelektual saja
melainkan terkandung unsur-unsur dan nilai-nilai moral dan emosi si peserta
didik. Kalau sistem pendidikan umum seperti ini sudah merajalela di
Indonesia tidak menutup kemungkinan tidak akan adanya konflik atau
ketidaksinambungan antar umat beragama karena mereka sudah di pupuk dengan
nilai moral dan emosi yang nantinya akan membawa si peserta didik ke arah yang
jernih dan dapat berfifkir dewasa tanpa harus adanya emosi dan mengeluarkan
moral yang bejat, karena unsur moral dan emosi yang ada pada si peserta didik
sudah ditanam dan di pupuk oleh sang pendidik untuk bisa dijadikan bekal oleh
para peserta didik. Seiiring berjalannya waktu, bangsa ini pun akan
merasakan buah yang baik dan manis yang sudah terkandung dan tertanam pada
peserta didik, dengan tidak adanya konflik sosial atau agama karena mereka
yakin dengan hal seperti itu hanya akan merugikan dirinya dan bangsa ini saja.
Dan sejauh ini kesemuanya
aman. Sejak dini (SD) pula, kita disuguhi dengan pendidikan agama, dan
kewarganegaraan yang membentuk kita agar menjadi manusia yang paling
bertenggang rasa.
Reference
v
Alwasilah.
A Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya
v
Alwasilah.
A Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Kiblat
Belum jelas banget kamu menguraikan esensi dari 'classroom discourse' dan religious harmony. Penulisan referensi harusnya Rubin (tahun) seperti dikutip oleh Alwasilah (2012) bla bla....
ReplyDelete