The 1st Critical Review
17 february 2014
Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony
Selayang Pandang Indonesia
“Bersama-sama berjuang demi tercapainya pendidikan literat”
Critical
Review ini dilukiskan berdasarkan bahasan artikel mengenai “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony” buah karya Bapak A. Chaedar Al-Wasilah sebagai
ajang untuk membangun minat seseorang dalam ihwal Rekayasa Literasi. Dimana literasi
tidak hanya ajang untuk membaca dan menulis, akan tetapi setiap suatu hal yang
dilakukan seseorang termasuk dalam kajian literasi. Tujuan dari penulisan
ini adalah membangun kerukunan umat beragama beserta kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia.
Pendidikan
merupakan suatu hal penting yang harus dienyam oleh setiap anak. Dimana hal
tersebut akan menjadikan seorang anak yang berkualitas dan berkarakter sehingga
memiliki pandangan yang luas ke depan untuk mencapai suatu cita-cita yang
diharapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam lingkungan. Namun,
dengan adanya setitik noda hitamlah yang menimbulkan gangguan intelektual
dan kohesi social yang pada seharusnya adalah didaktik bagi siswa/i didiknya.
Salah
satu ihwal yang paling utama adalah kurangnya rasa kerukunan umat beragama yang
berimplikasi pada siswa/i nya. Ini merupakan suatu “A
Big Challenges” untuk semua pendidik bahwasannya kerukunan beragama
harus ditanamkan sejak sedini mungkin. Dengan demikian, tidak hanya seorang
guru saja yang terlibat dalam hal pendidikan melainkan keluarga merupakan peran
utama atau teladan bagi anaknya. Pengawasan yang serius lah yang dibutuhkan untuk
mengurangi masalah sosial yang berada di sekitar lingkungannya.
Ihwal penjelasan tersebut diatas memiliki korelasi yang
sangat kuat dengan adanya pembakaran
instalasi karya Tisna Sanjaya di Babakan Siliwangi Bandung oleh satuan polisi Pamong Praja 5 Februari (PR,
7-2-2004) yang menunjukkan betapa rendahnya apresiasi masyarakat terhadap
sebuah karya seni, bahkan mengiranya seperti sampah. Sedikitnya rasa apresiasi
masyarakat lah yang menyebabkan kerukunan antar umat beragama tidak sejalan
bagaimana mestinya.
Berbicara mengenai kerukunan umat beragama
tentang adanya dikotomi ilmu pendidikan atau lebih dikenal dengan pemisahan
antara sekolah umum dan sekolah islam yang merupakan efek dari sistem
pendidikan pada masa kolonial Belanda yang masih bertahan sampai pada era masa
kini. Menurut Dr. Mochtar
Naim inilah
penyebab utama dari kesenjangan pendidikan di Indonesia yang menimbulkan
ketidakharmonisan agama.
Inilah yang menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu yang
membedakan ilmu umum dan ilmu agama. Konon, hal ini disebabkan karena anak-anak
yang bisa memasuki sekolah Belanda sebelum kemerdekaan hanya sekitar 6%
terbatas untuk anak-anak kaum bangsawan dan saudagar. Keterbatasan lah yang
membuat anak-anak muslim memilih
Madrasah atau Pondok Pesantren yang sudah berdiri sebelum munculnya
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Apabila
dikotomi ilmu sudah merabat di mana pun, lalu bagaimana umat yang satu dengan
yang lain bisa menghargai dan rukun satu sama lain?
Menghadapi permasalahan yang semakin kelut ini, sebenarnya secara
konseptual, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu. Jika kita menoleh pada pegangan
Al-qur’an dan Al-Hadits, bahwasannya tidak ditemukan serara tersirat ataupun
tersurat mengenai dalil dikotomi ilmu. Bahkan, dalam Islam mengajarkan untuk
menuntut semua cabang ilmu. Allah SWT berfirman: “Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat.” (Q.S Al-Mujadalah [58] : 11). Nabi Muhammad SAW juga
bersabda: menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim (baik lelaki maupun
perempuan). Dengan demikian, hal ini mengindikasikan bahwa Islam sangatlah
menjunjung tinggi keutamaan ilmu yang berimplikasi pada kerukunan antar umat
beragama.
Setelah selayang pandang kajian
kerukunan beragama, sekarang beralih topic menuju system pendidikan yang
terfokus pada pendidikan Sekolah Dasar (SD). Mengapa demikian? Hal ini
disebabkan karena jenjang inilah dimana seorang anak mengenal sesuatu yang baru
dengan hubungan yang lebih luas beserta teman sebayanya. Serta jenjang SD lah
merupakan fondasi bagi setiap anak dalam mempelajari pendidikan kewarganegaraan
yang berkaitan erat dengan praktik kerukunan beragama.
Seperti yang dituturkan oleh
(Rubin:2009) bahwa interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam
teori pembangunan social. Dimana dalam hal ini, siswa seharusnya memahami bahwa
setiap teman-temannya berasal dari latar belakang yang berbeda. Inilah yang
seharusnya program sekolah lengkapi untuk memfasilitasi interaksi mereka untuk
mengembangkan wacana sipil positif.
Istilah wacana sipil dapat diartikan sebagai kemampuan anak dalam membaca aktif. Indikatornya adalah mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dalam hal ini, guru merupakan peran penting untuk melatih anak didiknya dengan profesionalisme serta memiliki rasa tanggung jawab dalam mengawasi siswanya. Seharusnya guru pun mengetahui bagaimana siswa berinteraksi baik dengan teman sebayanya, kemudian mereka akan dapat mengembangkan kemampuannya sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Istilah wacana sipil dapat diartikan sebagai kemampuan anak dalam membaca aktif. Indikatornya adalah mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dalam hal ini, guru merupakan peran penting untuk melatih anak didiknya dengan profesionalisme serta memiliki rasa tanggung jawab dalam mengawasi siswanya. Seharusnya guru pun mengetahui bagaimana siswa berinteraksi baik dengan teman sebayanya, kemudian mereka akan dapat mengembangkan kemampuannya sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Di masa inilah seharusnya mereka
dapat menjaga kemampuan hubungan baik dengan yang lainnya yang kan berimplikasi
ke masa depannya. Dewasa ini, banyak sekali konflik yang terjadi yang
disebabkan oleh ketidakmampuan dalam hal menjaga hubungan baik seperti yang
tertera di artikelnya bapak Chaedar, seperti konflik antaretnis dan agama besar
yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009) dan Singkawang (2010).
Bentuk-bentuk radikalisme ini lah yang telah mengganggu kohesi social dan dapat
menimbulkan rasa ketidakpercayaan dalam masyarakat.
Seharusnya institusi pendidikan di
Indonesia harus bisa menjadi penggerak perubahan karakter dan budaya peserta
didiknya dari karakter radikalisme. Oleh karenanya, interaksi sebaya harus
dilakukan sebagai salah satu rutinitas kelas seperti yang tertera dalam UU
sisdiknas bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Maka, kesempatan besar
lah yang harus diberikan oleh guru kepada semua muridnya agar dapat
mengembangkan potensinya, berinteraksi satu sama lain baik di dalam kelas dan
di luar kelas melalui kegiatan kelompok, dan berdebat hormat dan suara
mengorbankan untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fusional
dari masyarakat yang demokratis.
Terkait dengan UU sisdiknas
tentang pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. Dimana pendidikan nasional ini berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam hal ini, diperoleh penelitian
dari data Ariliaswati di sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota dimana
bentrokan antaretnis telah terjadi cukup sering. Hal ini membuktikan bahwa sekolah
harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil. Dalam hal
memberikan alas an atau argument mereka memang belum mampu menguasai, akan
tetapi dalam mengapresiasi kesepakatan secara sopan sehingga membentuk suatu
rsa kepercayaan satu sama lain yang menjadikan perilaku kompromi dan konsensus
dapat dicapai dengan cara sipil.
Dengan demikian, jelaslah sudah
pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan nalar ilmiah, tetapi juga
wacana sipil positif. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena di
satu sisi nalar ilmiah sangat penting dalam mengembangkan intelektual siswa,
sedangkan wacana sipil positif juga memiliki tingkat kepentingan yang sama,
yakni menciptakan warga Negara yang beradab.
Secara realita, pendidikan Indonesia
telah gagal untuk memberikan kompetensi wacana sipil positif. Oleh karenanya,
sekolah dasar merupakan pendidikan utama anak pada umumnya harus bisa dijadikan
sebagai fondasi awal untuk mereka demi menjadi manusia yang beradab dan mampu
berinteraksi satu sama lain. Salah satu program sekolah yang harus dilakukan menyediakan
tempat beribadah bagi siswa dari semua agama agar mereka dapat mengetahui
secara langsung sehingga rasa “saling menghargai” muncul dalam diri mereka.
Namun, seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan awal tentang dikotomi
ilmu yang menjadikan setiap sekolah berbeda-beda sehingga minimnya rasa
kemanusiaan yang timbul dari diri mereka. Sebagian besar dari mereka, bahkan
masyarakat pun hanya berteman atau bergaul dengan yang sesamanya saja. Secara
kasar, mereka memandang bahwa pertemanan di antara mereka terdapat adanya suatu
batasan dari sisi agama.
Inilah suatu penyebab kerukunan
antar umat beragama di Indonesia sangatlah minim. Seharusnya warga Indonesia
patut mencontoh hal tersebut dari kota Medan pada hari jumat, 23 November 2011
silam lalu. Kota Medan mendapat penghargaan kota
multietnis dari Universitas terkemuka di kota Bangkok, Thailand
yakni Mahachulalongkorn Rajavidyalaya University. Kemampuan Kemampuan Wali Kota
Medan Drs H Rahudman Harahap MM dalam memimpin Kota Medan dengan baik dan
tersusun. Hal ini disebabkan karena walikota bersama tokoh agama membentuk
Foruk Komunikasi Umat beragama yang tujuannya adalah membentengi
pandangan-pandangan ekstrim terhadap kemajemukan budaya dan agama. Selain itu
sebagai fasilitas dan wadah berbagai dialog, interaksi, komunikasi serta
kerjasama hubungan antara umat beragama di berbagai bidang pembangunan.
Kemudian bapak walikota pun
memaparkan bahwa “FKUB mampu menciptakan interaksi sosial yang harmonis,
selaras dan kokoh antar pemeluk agama satu dengan agama lainnya sehiongga
menciptakan lingkungan dengan komponen yang dapat saling bekerjasama dan
bersinergi membangun kota. Hal inilah yang telah mendorong Kota Medan banyak
menjadi contoh model sosial pembangunan kerukunan umat beragama di Indonesia,”
paparnya. Dengan demikian, Medan yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia saja mampu menjunjung kotanya, seharusnya itu lah yang patut
diteladani oleh setiap kota yang ada di Indonesia demi terwujudnya kerukunan
umat beragama. Memulai dari hal yang kecil menuju hal yang istimewa.
Kembali ke konteks pendidikan
Indonesia, setelah membahas selayang pandang praktik pendidikan di Indonesia,
yang konten nya memiliki pengetahuan yang luas. Dengan demikian, pendidikan
yang dianut seharusnya adalah pendidikan liberal. Pendidikan liberal adalah pendidikan yang
diniati untuk memperluas wawasan (maha)siswa, tidak hanya pelatihan teknis dan
professional. Artinya, penguasaan atas ilmu-ilmu umum sangat penting sebagai
fondasi bagi pengembangan keterampilan vokasional. Tujuan utama pendidikan
liberal harus memayungi pendidikan kognitif, afektif dan psikomotor atau dapat
diartikan sebagai pembebasan dari sikap yang tidak sopan. Dengan kata lain,
pendidikan harus bisa membentuk produk pendidikan, yakni manusia yang terdidik
dan berbudaya.
Manusia menurut prospektif Islam
pada hakikatnya adalah manusia yang terdidik dan dapat mendidik dirinya
sendiri. Hal ini disebabkan karena manusia memilki inisiatif dan kreatif dalam
menciptakan kebudayaan, ia hidup berbudaya dan membudaya. Terkait dengan peran
interaksi yang baik sebagai vital dalam rangka mencapai tujuan hidupnya. Maka
mereka harus melakukan interaksi tidak hanya secara horizontal kepada alam dan
sesama manusia serta budayanya bahkan dirinya sendiri melainkan secara vertical
yaitu dengan Tuhannya dengan tujuan agar manusia menjadi “human nature” pada
umumnya serta insan kamil yang didapatkan dari proses pendidikan berkarakter.
Tujuan kedua, pendidikan liberal
mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis, bahkan
mengapresiasi sastra. Memang, yang kita ketahui bahwa literasi tidak hanya
sekedar mambaca dan menulis. Memang yang kita ketahui bahwa literasi tidak
hanya membaca dan menulis, akan tetapi segala hal yang dilakukan oleh setiap
orang adalah literasi. Dikarenakan jenjang SD belajar bahasa Indonesia hanya
focus kepada strukturnya, walaupun sastra memang penting dalam pembentukan
norma anak. Oleh karenanya, guru harus kreatif dalam member materi seperti
pengajaran bahasa Indonesia dalam contoh dongeng, guru dapat memberikan
kesempatan kepada anak untuk bermain peran. Hal ini bertujuan untuk agar siswa
memahami dan dapat memilah hal yang baik dan buruk, serta meningkatkan
interaksi dengan sebayanya. Sehingga daya fikir mereka semakin kritis.
Hal
ini juga sesuai dengan ucapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Muhammad Nuh mengatakan “anak-anak usia sekolah dasar (SD) perlu diajarkan
keutuhan berpikir atau diajarkan bagaimana berpikir secara holistic. Mereka
tidak diajarkan spesialis, tetapi pendidikan secara holistik.” Kata Mendikbud
dalam jumpa pers dengan wartawan di Jakarta, Kamis, dalam menanggapi peleburan
atau penyederhanaan mata pelajaran IPA-IPS di jenjang SD.
Dalam
hal ini, tantangan besar pendidikan liberal adalah sejauh mana pendidikan
liberal mampu menanamkan prinsip-prinsip pendidikan agar lulusan siap
menghadapi perubahan dunia. Pendidikan liberal harus membekali dasar-dasar
pendidikan umum. Bukan berarti pendidikan liberal terampu, namun pendidikan
umum nya terbengkalai. Oleh karenanya, kedua hal tersebut harus menjadi
seimbang.
Terkait dengan tuturan kata bapak
Chaedar, bahwa hal tersebut merupakan penempatan insan kamil, yaitu orang yang
ideal yang memenuhi criteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau
penunjukkan sebagai warga Negara yang demokratis. Berbiacara mengenai insan
kamil, memang benar apa yang dikatakan oleh beliau, tetapi gelar “ideal” yang
bagaimanakah? Sebenarnya, insan kamil sendiri hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad
SAW, yang mana beliau adalah teladan dan guru besar untuk umatnya serta beliau
tidak pernah melakukan kesalahan sedikitpun. Padahal Allah ‘Azza Wajalla selalu
memberikan 70 ampunan kepada beliau dalam satu hari. Suatu ketika, Siti ‘Aisyah
R.A bertanya kepada beliau, “wahai suamiku, bukankah engkau sudah diampuni
dosanya 70 kali dalam sehari? Lalu, kenapa engkau masih saja beribadah hingga
kakimu bengkak?” Kemudian, Nabi Muhammad menjawab, “apakah salah jika aku
sebagai hambanya bersyukur setiap kenikmatan yang Allah berikan.”
Setelah selayang pandang cerita Nabi Muhammad SAW, kembali ke topik
insan kamil. Insan kamil adalah konsep manusia
paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat
dari beberapa dimensi. Dimana salah satu dimensi nya adalah mampu menciptakan
budaya sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya
sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan
seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah
makhluk berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya,
tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh
makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia
tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu.
Proses tersebut sekarang ini dikenal dengan revolusi. Inilah yang
akan menjadikan manusia untuk selalu meningkatkan dirinya, baik dalam
pengetahuan, dan sebagainya.
Kemudian, insane
kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek,
yakni aspek kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki
pengetahuan, etika dan seni yang dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan
dan kreativitas. Seperti apa yang bapak Chaedar maksud ihwal manusia ideal. Ada
pendapat yang mengatakan bahma manusia ideal adalah manusia yang memiliki
wawasan luas dan memiliki kelembutan hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya
mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK), juga memiliki perasaan yang dapat memahami segala sesuatu
yang menyebabkan penderitaan, kelemahan, dan sebagainya.
Tidak hanya
itu, fungsi akal secara optimal juga termasuk ciri insan kamil menurut pendapat
kaum Mu’tazilah. Bahwasannya manusia yang akalnya berfungsi dengan secara
optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik, berakhlak sesuai dengan
esensinya dan melakukan apa yang harus dilakukan sebagai seorang hamba. Dengan demikian
insan kamil akalnya dapat terkendali dalam perbuatan yang buruk. Menurut Ibnu
Sina, jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka
seseorang tersebut hamper menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
Dengan
demikian, peran guru dan orang tua lah yang dibutuhkan oleh anak untuk mendidik
anaknya menjadi anak yang memiliki kompetensi wacana sipil. Tak lupa, keseimbangan
antara konsep manusia paripurna, berakhlak mulia, dan akalnya berfungsi secara
optimal. Selain itu, interaksi rekan sebaya seorang anak di luar rumah harus
diawasi oleh orang tua, jangan sampai anaknya terbawa oleh arus lingkungan yang
buruk dan bentuk-bentuk radikalisme.
Tidak hanya
itu, penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta iman dan taqwa
(IMTAQ) harus adanya keseimbangan satu sama lain. Hal ini disebabkan karena
IPTEK dapat membantu kita untuk mengahadapi kemajuan teknologi dan peradaban
yang baru. Sedangkan IMTAQ yang akan menolong kita dalam nasib dan masa depan,
tentunya untuk kehidupan di akhirat kelak. Oleh karenanya penguasaan IPTEK dan
IMTAQ tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya merupakan fondasi
kehidupan.
Terkait dengan membentuk masyarakat Indonesia
dengan membaca dan menulis merupakan salah satu budaya atau ‘urf untuk
menjadikan Negara berbangsa literasi dan menghindari pengulangan zaman
jahiliyah pada masa Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan karena pada masa
sekarang tingkat literasi bangsa tergolong rendah, terutama kurangnya kerukunan
antar umat beragama. Oleh karenanya, sebagai penerus bangsa dan demi
tercapainya masa depan, membaca dan menulis serta kemampuan wacana sipil harus
dimiliki oleh setiap individu, tidak hanya anak sekolah dasar (SD). Tak lupa,
penguasaan IPTEK dan IMTAQ yang melekat di hati kita harus dijaga dan
ditingkatkan. Semua bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang mendukung
kehidupan kita demi menjunjung cita-cita bangsa Indonesia.
References:
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik dan Bahasa Pendidikan. Bandung. PT
Remaja Rosdakarya.
https://www.google.com/search?q=kenapa+adanya+pemisahan+sekolah+umum+dan+islam&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb
di akses tanggal 20 januari 2014 pukul 21.00 WIB
http://aswan67.blogspot.com/2013/03/diskriminasi-ilmu-umum-dan-agama_5736.html
di akses pada tanggal 20 Januari 2014 pukul 21.30 WIB
http://www.investor.co.id/home/anak-sd-perlu-diajarkan-cara-berpikir-holistik/50245
di akses pada tanggal 20 Januari 2014 pukul 20.00 WIB
http://tamanmacah.blogspot.com/2013/07/sistem-pendidikan-pra-kemerdekaan.html
di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.00 WIB
http://sejarahsadja.blogspot.com/2012/01/radkalisme-pendidikan.html
di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.00 WIB
http://www.academia.edu/4053304/Anak_Muda_Radikalisme_dan_Budaya_Populer
di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.00 WIB
http://sumutpos.co/2012/11/46970/thailand-puji-kerukunan-umat-beragama-di-medan
di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.00 WIB
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0204/18/0802.htmhttps://www.google.com/search?q=kerukunan+beragama+di+indonesia&newwindow=1&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:official&channel=fflb&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=AFAHU_qlGM3gkgXp5oH4CA&ved=0CAkQ_AUoAQ&biw=1366&bih=631#imgdii=_
di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.00 WIB
http://sipencariilmu.wordpress.com/2013/02/11/insan-kamil-konsep-manusia-sempurna/
di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.30 WIB
http://klikuk.com/membentuk-insan-kamil-dengan-ibadah/
di akses pada tanggal 21 Januari 2014 19.30 WIB
Generic structure seperti yang terter di silabus ko ga dimuncukan ya? konten OK tapi mungkin akan lebih menarik apabila dikaitkan dengan latar belakang kita yang berlabel IAIN, yang dipayungi oleh Kementrian Agama
ReplyDelete