You are able to build the life that you want rather than letting
the media build the life they want for you.
—W. James Potter—
Sosial media merupakan salahsatu fenomena yang sedang trand dalam beberapa tahun belakangan. laporan bulan November 2013 ini, JINGGA Media menuliskan dari sebanyak 310.688 akun Facebook dan 189.142 akun Twitter milik remaja Cirebon, 86 % di dalamnya digunakan sebagai media hiburan dan alat narsis dengan menunjukkan eksistensi di luar interaksi pengetahuan, keilmuan, penyaluran bakat dan pengembangan kreatifitas. Sebelumnya, pada Maret 2013, JINGGA Media juga menurunkan laporan serupa, yakni sebanyak 68 % konten negatif muncul saat diketikkan kata kunci yang berkaitan dengan pelajar, remaja dan siswa di beberapa mesin pencarian internet, di antaranya Google dan Yahoo.[1]
Melihat potensi
yang sangat besar di kalangan remaja dalam hal sosial media, ini terlihat
sebagai potensi yang sangat besar. Walaupun sosial media terlihat seperti Cuma ajang
eksistensi diri dalam hal narsisisme namun juga bisa diambil sebagai momentum
untuk meningkatkan budaya literasi dari para penggemar media sosial.
Yang
diperlukan adalah penyuluhan tentang manfaat media sosial untuk menunjang
kemajuan budaya literasi para siswa, karena sebagian besar masyarakat masih memanjang
buruk tentang eksistensi sosial media. Salah satu program unggulan dari jingga
media adalah madingsekolah.net yaitu portal siswa untuk mengekspresikan diri
dalam bentuk tulisan bukan hanya mading yang ada disekolah namun mereka juga
dapat membaginya ke semua orang melalui internet.[2]
National Association for Media Literacy Education
(NAMLE) melihat literasi media sebagai serangkaian kompetensi komunikasi, yang
di dalamnya terdapat kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan informasi dalam beragam bentuk, termasuk pesan dalam media
cetak dan non cetak. Dari definisi
NAMLE tersebut terlihat ada empat kompetensi yang harus dipenuhi untuk disebut
sebagai literasi media. Pertama, memiliki kemampuan untuk mengakses pesan.
Syarat ini tentu saja merupakan hal mendasar yang harus dipenuhi. Dengan kata
lain, literasi media tidak dibutuhkan bila tidak ada satu pun media yang
diakses. Kedua, kemampuan untuk menganalisis pesan dalam media secara kritis,
lalu mengevaluasinya, dan terakhir mengkomunikasikan hasil penilaian terhadap
pesan tersebut.
Kemampuan akan literasi media sangatlah penting,
khususnya pada zaman informasi seperti saat ini atau yang disebut dengan
“mediated environment”. Pertama, dengan mempelajari literasi media masyarakat
menjadi audiens yang aktif. Kedua, masyrakat akan menjadi lebih sadar (aware)
dan kritis atas apa yang tersaji dalam media. Ketiga, literasi media akan mengajarkan orang agar mampu
menggunakan media sesuai dengan manfaat yang ingin didapatkan. Dan keempat,
untuk masa depan generasi yang akan datang agar siap untuk hidup dalam
lingkungan media seperti sekarang. Empat hal tersebut cukup menjadi alasan yang
kuat mengapa literasi media menjadi penting untuk dipelajari.
Mengekspresikan budaya literasi
Pengekspresian budaya literasi tidak harus melalui media
yang kaku dan formal, pemaksimalan media yang sedang eksis dikalangan remaja
akan lebih mengena karena Literasi sangat erat kaitannya dengan budaya, karena
literasi itu sendiri adalah merupakan bagia dari budaya dikalangan masyarakat. Dalam hal ini mungkin kita lebih berpendapat
kaum intelektual lah yang mempunyai budaya literasi yang baik, paradigma tersebut
memperlihatkan bahwa budaya literasi sangat erat kaitannya dengan tingkat
pendidikan seseorang.
mengenai
apa itu budaya literasi, kita pahami dulu kualitas pendidikan yang baik.
Menurut penulis kualitas pendidikan yang baik tidak ditentukan oleh besarnya
biaya operasional pendidikan, sekolah berlabel internasional atau nilai Ujian
Nasional yang yinggi tapi sejauhmana budaya literasi mengakar pada pelaku
pendidikan. Selanjutnya budaya literasi adalah sebuah konsep membaca, menulis
dan berdiskusi yang membudaya pada pelaku pendidikan mulai dari siswa,
mahasiswa, guru dan masyarakat umum.
Rendahnya
budaya literasi di Indonesia membuat pendidikan di Indonesia tertinggal dari
negera-negara tetangga. Dikutip dari m.okezone.com menurut Badan
Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud,
kemampuan membaca anak usia 15 tahun hanya 37,6 persen anak membaca tanpa bisa
menangkap makna. Dalam persoalan menulis, Indonesia hanya mampu menghasilkan
8.000 buku per tahun, tertinggal dari Vietnam yang mampu menghasilkan 15.000
buku per tahun.
Budaya
literasi juga sangat membantu program pemerintah tentang kewajiban membuat
makalah yang dimuat di jurnal ilmiahsebagai syarat kelulusan bagi sarjana S-2
berdasarkan surat Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012. Karena
menurut Mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal jurnal ilmiah
Indonesia yang terakreditasi oleh Ditjen Dikti hanya 121 buah. Berdasarkan
data, selama kurun waktu 1996–2010 Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah,
Tertinggal jauh dibandingkan negeri tetangga Malaysia (55.211) dan Thailand
(58.931).
Kesimpulan
Pola
pengembangan budaya literasi dapat dilakukan sedini mungkin dan dari aspek mana
saja. Budaya postif ini juga dapat diimplementasikan di ekstrakuliler bidang
penalaran seperti Karya Ilmiah Remaja (KIR) dan Lembaga Kajian Mahasiwa atau
melaui penuluhan media sosial dan pemaksimalannya untuk mendongkrak budaya
literasi para siswa. Demikian pentingnya budaya literasi bagi sebuah negara
sehingga budaya literasi merupakan barometer kualitas pendidikan sesungguhnya.
0 comments:
Post a Comment