Setelah mendapat tumpahan kritikan dari sang maestro writing, yakni
Mr Lala Bumela, M.Pd. ihwal
tulisan penulis dalam critical review pertama yang bertemakan “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony”, yang didalamnya mengandung banyak kesalahan
penulisan ( kecacadan ) baik mengenai konten
maupun generic structurnya, karena itu untuk
menambal kecacadan ( gaps ) tersebut, dalam class review kali ini penulis ingin
menyajikan suatu hal yang besar, yakni melakukan reparasi tulisan yang dapat memberikan
cita rasa yang berbeda sehingga audience suka dengan
masakan penulis.
Berdasarkan kontennya, Kesalahan penulis terletak pada penguraian
definisi yang inkonsisten dan tidak mendetail. Bahkan dalam membuat suatu
pandangan atau opini, tidak didasari dengan landasan atau bukti ( Evidence )
yang kuat sehingga kualitas tulisan tersebut tidak bertaji. Sedangkan berdasarkan generic struktur, kesalahan
penulis teletak pada penguraian pembahasan yang tidak sesuai dengan aturan atau
struktur penulisan. Relasi pembahasan yang saling terputus ( Inkonsisten ) atau
tidak ada keterkaitan sehingga tampak membingungkan ( Incoherence ). Inkonsistensi
penulis ini juga merambat pada area konklusi yang
tidak linear atau searah dengan ide awal yang sudah dibangun.
Wacana “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Prof. Chaedar Alwasilah ini mengemas
dua fokus pembahasan yaitu “Classroom Discourse” dan “Religious Harmony”.
Kesalahan penulis dalam merespon atau mengkritisi wacana tersebut sangat fatal
sekali, yakni tidak menjelaskan definisi dari classroom discourse itu sendiri.
Padahal jalan atau media untuk membangun sekaligus mengembangkan pemahaman
ihwal religious harmony, diharuskan untuk mengetahui bahkan mengenal ihwal
classroom discourse atau wacana kelas.
Sebelum melangkah lebih jauh ke terma Classroom Discourse ( wacana kelas ), kita harus mengenal terlebih dahulu definisi dari Wacana. Dalam kridalaksana (2011)[1] dipaparkan
bahwa wacana
merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam
hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sementara menurut Louis Marianne (2002)[2],
Wacana merupakan proses bagaimana seseorang berbicara dan mengerti apa yang dibicarakan dan
didengarnya yang mencakup semua aspek kata yang di ucapkan. Pengertian
wacana termasuk ke dalam tindak tutur yang menurut Abdul chaer (2004)[3]
merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya
ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam situasi tertentu. Jadi, secara garis besar wacana merupakan proses
dimana seseorang menyampaikan ujaran untuk dapat dimengerti oleh orang lain
yang tidak terlepas dari sistem dan kaidah bahasa yang berlaku. Untuk
mengkaji dan memahami wacana maka digunakan analisis wacana atau discourse
analisis.
Setelah kita tahu apa tahu wacana, kita akan
membahasa ihwa definisi kelas. Kelas bisa
diartikan ke dalam dua perspektif, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Dalam arti sempit kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh empat dinding ( persegi ),
tempat dimana sejumlah siswa berkumpul untuk
mengikuti proses pembelajaran. Sementara dalam
arti luas, kelas adalah suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari
masyarakat sekolah, sebagai satu kesatuan disorganisasi yang menjadi unit kerja
yang dinamis, menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang kreatif untuk
mencapai suatu tujuan yang diharapkan.
Istilah Classroom discourse selalu mengacu kepada penelitian atau
analisis. Classroom discourse atau wacana kelas umumnya
merujuk pada bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi dan
berinteraksi satu sama lain di dalam kelas. Berbicara, atau percakapan ( conversation
) merupakan suatu media di mana sebagian besar pengajaran berlangsung.
Percakapan dapat didefinisikan sebagai bentuk
kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih. Percakapan
juga bisa disebut sebagai proses komunikasi. Proses komunikasi bisa terjadi
dimana saja dengan wacana yang berbeda atau sesuai dengan kondisi yang ada.
Interaksi pedagogis merupakan
wacana yang dapat kita temui di sekitar dunia pendidikan khususnya di ruang
kelas yang merupakan tempat yang paling sering terjadi percakapan atau interaksi antara
pendidik dan peserta didik ( Teacher-Learner ). Dalam wacana pedagogis
banyak hal menarik yang dapat dikaji dalam usaha memperbaiki kondisi
dalam proses pembelajaran tersebut.
Berdasarkan penuturan dari Graham Nuthall[4],
bahwa Studi awal sistematis ihwal wacana kelas
dilaporkan pada tahun 1910 dan digunakan stenograf untuk membuat rekaman
kontinyu mengenai perbincangan antara guru dan siswa di kelas SMA. Penggunaan
pertama dari perekam kaset di kelas dilaporkan pada 1930-an , dan selama tahun
1960 ada pertumbuhan yang cepat dalam jumlah penelitian berdasarkan transkrip analisis
wacana kelas . Pada tahun 1973 , Barak Rosenshine dan Norma Furst menggambarkan
tujuh puluh enam ( 76 ) sistem publikasi yang berbeda untuk menganalisis wacana
kelas .
Hal tersebut dengan cepat menjadi jelas dari studi awal bahwa
interaksi verbal antara guru dan siswa memiliki struktur dasar yang sama di
semua kelas, dan di semua tingkatan kelas, di negara-negara berbahasa Inggris .
Pada dasarnya, guru mengajukan pertanyaan, kemudian satu atau dua siswa menjawab.
Setelah itu guru mengomentari jawaban siswa ( kadang-kadang meringkas apa yang
telah dikatakan ) dan kemudian mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Pola siklik
ini berulang dengan variasi yang menarik, sepanjang perjalanan pembelajaran.
Guru sebagai penentu pergerakan kelas harus menciptakan interaksi
yang efektif apabila memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti ;
penjabaran tujuan, motivasi kepada siswa, penggunaan model pembelajaran, dan
mengenal perbedaan individu.
Di dalam kelas selalu diliputi oleh
ideologi-ideologi dan nilai-nilai yang berasal dari background atau latar
belakang siswa itu sendiri. Latar belakang tersebut yang membentuk kepribadian
mereka, dari hal itu ideologi-ideologi muncul dan berkembang. Dengan kata lain,
para siswa memiliki pandangan yang tidak selalu sama dengan siswa yang lainnya.
Pola interaksi siswa yang terjadi ketika di
dalam dan diluar kelas pun berbeda-beda. Ada yang sangat dekat baik di dalam
maupun di luar kelas, ada yang dekat hanya ketika di
dalam kelas, dan lain sebagainya. Interaksi yang terjadi tidak selalu
mengimplikasikan keharmonisan. Terkadangt di
dalamnya terdapat tensi-tensi membuat siswa merasa tidak nyaman
dengan sausana kelasnya dan terkadang pula sebaliknya.
Seperti itulah gambaran ihwal wacana kelas yang jika dikemas secara
umum melibatkan 3 aspek, yaitu partisipan
( guru-murid, dan murid-murid ), aktifitas interaksi ( hubungan, jarak, dan
status sosial ), dan fokus atau substansi pembelajarannya ( topik atau materi ). Wacana
kelas selalu melibatkan teks dan konteks, di dalamnya mengandung pola interaksi
yang sangat kompleks, dengan melibatkan latar belakang atau background siswa
yang berbeda-beda dan komunikasi yang sangat variatif ( formal, non-formal ),
tetapi memiliki asas tujuan yang sama, yakni para siswa mampu mencapai tiga
aspek yaitu aspek kognitif ( kecerdasan intelektual ), afektif ( kecerdasan
emosional ) dan psikomotor ( kecerdasan sosial ).
0 comments:
Post a Comment