Istiqomah
14121310308
PBI-B/4 (Class Review 3)
Sajian
Literasi
Tanpa
terasa waktu begitu cepat berlalu, kini kita telah melewati pertemuan ke-tiga.
Sungguh sangat sulit untuk melewati waktu sampai saat ini, setiap minggunya
kita harus mengerjakan tugas dengan tingkat kesulitan yang bervariasi. Sungguh
pengorbanan yang begitu luar biasa. Saya kira semua mahasiswa/i PBI semester 4
juga melakukan hal yang sama.
Hampir
satu bulan kita melewati hari-hari bersama writing disemester ini,. Setiap hari
selalu saja dihantui oleh raksasa yang sangat menakutkan yaitu “Writing.”
Sungguh butuh perjuangan yang melelahkan untuk menaklukkan raksasa yang bernama
“writing” ini.
Seperti
minggu-minggu sebelumnya, kita masih membahas dan mendalami tentang “literasi.”
Seperti seorang chef, kita pun perlu mempersiapkan bumbu-bumbu tentang
literasi. Agar masakan yang kita sajikan menjadi lebih nikmat, kita pun perlu
menambahkan sedikit bumbu penyedap seperti kepercayadirian untuk menerapkan
budaya literasi didiri kita.
Literasi
bagaikan sebuah raga, dan roh dari literasi adalah reading dan writing. Reading
dan writing sangat berkaitan, karena reading adalah menghidupkan roh-roh yang
ada pada writing. Untuk menhidupkan roh-roh pada writing, kita harus
menghidupkan tombol fokus pada otak kita. Seperti kita ketahui, untuk
mengetahui inti dari apa yang kita baca, kita harus fokus.
Seperti
yang Pak Lala katakan, saat kita ingin membuat class review, kita harus
memenuhi prosedur. Dan prosedur ini sangat membutuhkan modal “fokus.” Berikut
ini adalah prosedur yang diberikan Pak Lala untuk membuat class review atau
critical review.
*dibaca → direspon → dibaca lagi →
ditulis ulang → didiskusikan (dikritisi)
↓
Hasil
Mengapa
kita harus memenuhi prosedur diatas? Karena saat kita kehilangan salah satu
dari prosedur tersebut, maka saya yakin kita tidak akan memahami bacaan secara
jelas. Contohnya ketika kita hanya membaca “sekali” tugas kita, maka keyakinan
pada diri kita belum tumbuh. Sebaliknya jika kita baca berulang-ulang kali,
kita akan semakin faham, semakin faham, dan semakin faham.
Dalam terbentuknya
prosedur tersebut, saya kira itu adalah salah satu strategi ber-literasi.
Karena saat kita melaksanakan “literasi,” kita pun harus memiliki strategi.
Seperti yang disarankan oleh Pak Lala sebelumnya. Pendidikan di Indonesia
mungkin belum memenuhi rata-rata sebagai penyandang bangsa ber-literasi.
Banyangkan saja ketika seharusnya pendidikan menghasilkan manusia literate,
tapi lain halnya dengan pendidikan di Indonesia yang hanya mementingkan
banyaknya mata pelajaran ketimbang kualitas dari pembelajaran tersebut.
Jadi, kesimpulan dari
pembahasan kali ini adalah bagaimana kita menyanggupi prosedur yang di berikan
Pak Lala dengan semaksimal mungkin. Dan bagaimana kita mengkolaborasikan
prosedur tadi dengan rasa kepercayadirian dan fokus dalam segala hal. Sehingga
dapat tumbuhlah bibit-bibit literasi pada negara kita tercinta ini.
0 comments:
Post a Comment