Di ujung abad ke-20, di pangkal abad ke-21, kita
berangkat dari peradaabn pradigital (konvensional) menuju ke peradaban diital
(virtual). Dalam pergeseran itu, kegiatan membaca dan menulis juga berbicara,
menyimak dan menonton belangsung secara serentak dan interaktif, berbatas
sandek, mengisi dan mengomentarri status dalam jejaring social, menyimak buku
audio, dan sebagainya. Kita membaca sekaligus menulis.
Sumber-sumber bacaan kian banyak dan terbuka untuk
diakses, menggelontor tiada henti menggenangi masyarakat pembaca. Untuk
mendapatkan informasi mengenai satu hal kita tidak lagi dibatasi oleh lembaran
Koran dan majalah yang diselundupkan ke bawah
pintu ruang tamu. Sekarang kita leluasa berselancar di jagat virtual
yang menyesiakan jejaring tak berujung. Sejumlah media konvensional bahkan
beralih sepenuhnya ke media virtual. Fasilitas yang membuka akses ke jagat
virtual juga sudah tersedia di berbagai perpustakaan di seluruh dunia.
Sehubungan dengan gejala-gejala demikian yang disebut
oleh Edward Said sebagai “democratic field of cyberspace” yang padadasarnya
tidak bisa dikerangkeng oleh tiran atau ortodoks manapun.
Menindak lanjuti kutipan tersebut para ahli lazim
mengklasifikasikan periodisasi penggunaan metode dan pendekatan (approach),
khususnya terhadap ajaran bahasa asing ke dalam lima kelompok besar yaitu,
sebagai berikut:
Pendekatan structural
dengan grammar translation methods
(popular sampai dengan perang dunia ke-2) yang meletakkan focus pembelajarannya
pada penggunaan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa.
Pendekatan audiolingual
atau dengar-ucap (1940-1960) yang meletakkan focus pembelajarannya pada
penggunaan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa.
Pendekatan kognitif dan transformatif sebagai implikasi
dari teoriteori syntastic structure (Chomsky, 1957). Fokus pengajarannya
terletak pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai dengan
potensi dan kebutuhan lingkungannya.
Pendekatan communicative
competence yang tokoh-tokohnya antara lain Lymes (1976) dan Widdowson
(1979/. Pendekatan ini menjadi tren pengajarn bahasa antara 1980-1990. Tujuan
pengajaran bahasa adalah menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa
target, mulai dari komunikasi spontan dan alami. Pendekatan komunikatif juga
dianggap kurang eksplisit dalam upaya menjelaskan bentuk dan fungsi sehingga
lahir tata bahasa fungsional atau Systemic Functional Grammar (SFG) yang
dikembangkan oleh Halliday (1985), Martin (2000) dll.
Pendekatan literasi atau pendekatan genre-based sebagai
implikasi dan studi wacana sesuai dengan kurikulu 2004 di Indonesia, tujuan
pembelajaran adalah menjadikan siswa mampu menghailkan wacana yang sesuai
dengan tuntutan konteks komunikasi. Pengenalan genre wacana liasan maupun
tulisan untuk dikuasai oleh siswa pembelajaran dilakukan melalui empat tahapan,
yaitu: (1) membangun pengetahuan (building knowledge of field), (2) menyusun
model-model teks (modeling of text), (3) menyusun teks bareng-bareng (joint construction of text),
dan (4) menciptakan sendiri teks (independent of text).
Definisi (lama)
literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 898). Istilah yang sering digunakan dalam
konteks pembelajaran Indonesia adalah bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi,
2010). Sedangkan istilah literasi yang dicantumkan di Kamus Bessar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah literator dan literer (hal.836). pada masa silam
membaca dan menulis dianggap sebagai pendidikan dasar untuk membekali manusia
dalam menghadapi tantangan zamannya atau literate diartikan sebagai educated.
Kini membaca dan menulis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan
keterampilan baca-tulis. Padahal literasi adalah praktik kultural yang
berkaitan dengan persoalan social dan politik karena itu ppara pakar pendidikan
dunia berpaling ke definisi baru yang menunjukkan paradigm baru dalam upaya
memaknai literasi dan pembelajarannya. Kini ada ungkapan literasi computer,
literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA, dan sebagainya. Atas
tantangan yang digambarkan di ata, Freebody dan Loke menawarkan model literasi
sebagai berikut: (1) memahami kode dalam teks (breaking the codes of texts).
(2) terlibat dalam memaknai teks (participating in the meanings of texts), (3)
menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally), dan (4)
melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis (critically analyzing
and transforming texts). Keempat peran iterasi ini dapat diringkas ke dalam
lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi
teks. Itulah hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Makna dan
rujukan literasi terus berevolusi, dan kini maknsanya semakin meluas dan
kompleks. Sementara itu, rujukan linguistic dan sastra relative konstan. Dalam
banyak hal studi literasi bertumpang tindih dengan objek studi budaya lebih
tepatnya bagaimana divisi-divisi social dibermaknakan (O’Sulivan, 1994:71).
Literasai tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, dan kini merupakan kajian
lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.
Dimensi georafis
(local, nasional, regional, dan internasional). Literasi seseorang dapat
dikatakan berdimensi seperti itu tergantung pada tingkat pendidikan dan
jejaring social dan vokasionalnya.
Dimensi bidang
(pendidikan, komunikasi, administrasi, hoburan, militer dan sebagainya).
Literasi bangsa tampak di bidang tersebut. Tingkat dan efisiensi layanan publik
dan militer. Misalnya, bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan
persenjataan yang digunakan. Demikian pula halnya dengan pendidikan yang
berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula.
Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung,
berbicara). Literasi seseorang tampak dalam kegiatan seperti itu,. Setiap
sarjana pasti mampu membaca, tapi tidak semua sarjana mampu menulis. Kualitas
menulis bergantung pada “gizi” bacaan yang disantapnya. Untuk menjadi sarjana
yang baik, orang tidak cukup dengan mengandalkan literasi. Diapun mesti
memiliki numerasi (keterampilan menghitung). Dalam tradisi Barat, ketiga
keterampilan ini azim disebut 3 R, yaitu reading, writing, dan arithmetic.
Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan
pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi
diri).
Dimensi media
(teks, cetak, virtual, digital). Untuk menjadi literat pada zaman sekarang
tidak cukup membaca dan menulis teks alfabetis tapi juga menulis teks, cetak,
virtual, dan digital.
Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa). Jumah
dapat merujuk pada banyak hal. Misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media dan sebagainya.
Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
Dimensi bahasa
(etnis, local, nasional, regional, internasional). Ada literacy yang singular,
ada literasi yang plural. Hal ini beranalogi ke dimensi monolingual, bilingual,
dan multilingual. Anda adalah orang multilingual dalam bahasa Sunda, Indonesia,
dan Inggris. Artinya Anda multiliterat. Jika kita literat dengan bahasa Inggris
tetapi literasi Anda dianggap payah.
Dalam lima
definisi di atas ada 10 gagasan kunci ihwal literasi yang menunjukkan perubahan
paradigm literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini. Ketertiban lembaga-lembaga sosial, tingkat kefasihan
relative, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga
masyarakat demokratis, keragaman local, hubungan global, kewarganegaraan yang
efektif, bahasa Inggris ragam dunia, kemampuan berpikir kritis, masyarakat
semiotic (system tanda).
Dimensi literasi membaca dan menulis yangmana merekayasa
literasi, sebagai berikut:
Kterangan:
Membaca dan menulis adalah dasar (basic) dari sebuah
literasi.yangmana kedua aspek tersebut dapat merubah pemikiran seseorang secara
kognitif. Misalnya penulis menulis sebuah serpen, novel ataupun puisi maka
setiap pembaca akan berbeda dalam merekayasanya karena jenis teks tersebut
bersifat linear sehingga pemahaman yang dihasilkan dari proses membaca teks
bacaan tersebut akan berbeda pula. Dengan membaca dan menulis seseorang akan
mampu mengembangkan kemampuannya karena pengetahuannya akan terus terasah oleh
kebiasaanya dalam membaca dan menulis. Lebih lanjutnya seseorang yang gemar
membaca dan menulis akan mampu meningkatkan sosiokultural dengan melewati
proses seleksi yang ketat, misalnya seeorang yang ingin mendapat beasiswa
ataupun gelar maka seseorang itu dituntut untuk dapat membaca dan menulis. Jika
tingkat pendidikannya sudah mumpuni otomatis financialnyapun akan meningkat
pula.
Jadi,
kesimpulannya adalah literasi yaitu membaca-menulis sudah berevolusi dari dunia
pra-digital (konvensional) menuju dunia digital (virtual dimana kemampuan
membaca dan menulis harus didukung oleh berbagai macam dimensi. Semakin canggihnya media semakin membuat manusia
tidak sabar dengan perannya sendiri.
0 comments:
Post a Comment