Berbincang kembali masih dalam nuansa literasi
sebagai makanan yang harus di makan oleh para pelajar dan juga pengajar demi
meningkatkan mutu masyarakat literaor dan literer, karena di dalam skill
literasi itu mencangkup perspektif dan produktif baik itu di dalam seni menulis
ataupun lisan. Banyak media yang akan menjadikan seseorang itu literat, karena
pada zaman sekarang keadaan media yang begitu banyak sangatlah mendukung dalam
dunia literasi, tapi yang menjadi pertanyaan apakah seseroang tersebut bisa
memanfaatkan media sebagai penunjang literasi?
Alangkah sangat bermanfaatnya suatu media itu di jadikan alat penunjang
literasi, karena di dalamnya terdapat lapangan konsep ilmu yang luas untuk menunjang
literasi.
Literasi
akan hidup bila masyarakatnya seanntiasa ikut berperan di dalamnya, banyak
kejadian di kalangan masyarakat yang kurang begitu memperdulikan adanya
literasi, walaupun sulit untuk memulainya tapi mulailah dari hal yang kecil.
Ada suatu kejadian di mana sesorang itu kurang begitu memperdulikan dalam skill
membaca ketika sesorang akan masuk dalam suatu ruangan dan pada pintu tersebut
ada tulisan “TARIK” mungkin seseorang tersebut kurang begitu menghiraukan untuk
membaca dan terus masuk saja dalam ruangan tersebut, hasilnya seseorang
tersebut malah mendorong pintunya yang mengakibatkan pinu tersebut menyenggol
kursi yang berada di dalam ruangan yang mengakibatkan dia malu karena
seharusnya pintu itu di tarik malah didorong. Kalau kita membaca tulisan dalam
pintu tersebut dan melakukanya dengan menarik pintu tidak mendorong tidak akan
terjadi seperti itu. Inilah contoh kecil apabila tidak begitu menhiraukan
tulisan yang kemudian di baca.
Di
dalam Academic Writing (AW), menulis
tidak harus berlebihan dalam hal ini berbunga-bunga dengan terlalu
bertele-tele, hal yang harus di perhatikan adalah langsung ke ponint
pembahasan. Dengan tidak panjang lebarnya suatu wacana karya teks dalam konteks
formal maka akan mempermudah pula penilaian dalam karya tulisan tersebut. Pada
pertemuan ini juga dosen pengajar mengajukan beberapa perihal pertanyaan
tentang hasil karya mahasiswa mengenai karya tulis, adapun pengajuan
pertanyaanya diantaranya; pertama, kalimat
yang terpenting di simpan di sebelah mana? Kedua,
dalam menyusun sebuah pendapat dalam bentuk karya tulis punya bukti tidak? Ketiga, adakah klaim yang tidak
mendukung?. Dari pertanyaan inilah yang menjadi barometer pengukur nilai karya
tulis yang sudah di susun dengan menjawab beberapa pertanyaan yang sudah
disebutkan diatas.
Menyinggung
pertanyaan yang menjadi kunci dalam pembahasan kali ini, bahwasanya apa sih
yang di rekayasa itu? Rekayasa literasi adalah upaya yang di sengaja dan
sistematis untuk menjadikan manusia terdididk dan berbudaya lewat penguasaan
bahasa secara optimla penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan
dan pembudayaan. Perbaikan rekayasa literasi senantiasa menyangkut empat
dimensi : (1) linguistik atau fokus teks, (2) kognitif atau fokus mind, (3)
sosiokultural dan kognitif / metakognitif
seperti halnya ketrampilan membaca dan menulis (4) perkembangan atau
fokus pertumbuhan (kucer, 2005: 293-4).
Linguistik
(text)
Sosiokultural membaca kognitif
(group) dan (mind)
menulis
Perkembangan
(growth)
1.
Menurut pendapatnya lehtonen di
dalam merekayasa litersai itu terdapat dua aspek yaitu pertama, fisik ada adalah mencangkup verbal writen visual dan yang kedua,
semiotik (sistem tanda) adalah ilmu
ilmu tentang tanda yang termasuk persoalan ikon tipologi tanda, kode, struktur,
dan komunikasi. Budaya adalah sistem tanda, dan untuk memaknai tanda manusia
harus sepenuhnya menguasai literasi semiotik. Pada penjelasan mengenai semiotik
bapa menganalogikan dengan sebuah gedung masjid di IAIN dengan semiotik
tandanya yang berbentuk gedung, dan juga mengkiyaskan dengan poster yang berada
di kelas, dengan komposisi warna poster yang berbeda-beda, inilah kajian ihwal
tentang semiotik.
Menurut Lehtonen
Fisik
(text)
|
Semiotik
(tanda)
|
2.
Verbal
3.
Writen
4.
Visual
|
1.
Contoh
gambar poster yang berada di kelas
2.
Gedung
Masjid yang berada di kampus
|
Jadi
natijah yang bisa di petik pada pertemuan kali ini, masih ruang lingkup
mengenai literasi, yakni dengan menghidupkan budaya literasi, sebagai rana dalam mengembangkan intelektual
dalam skill membaca menulis. Di dala rekayasa literasi perbaikan rekayasa
literasi seantiasa menyangkut empat dimensi yaitu: pertama, linguistik atau fokus teks kedua, kognitif atau fokus mind ketiga,
sosiokultural dan kognitif /metakognitif seperti halmya ktrampilan membaca dan
menulis keempat, perkembangan atau fokus pertumbuhan(kucer, 2005:293-4).
Menurut Pendapat lehtonen bahwasanya merekayasa literasi terdapat dua komponen
yaitu: fisik dan semiotik
0 comments:
Post a Comment