Melihat rapor merah literasi anak negeri seperti yang
disampaikan oleh pak Chaidar Alwasilah lewat salah satu bab dalam bukunya yang
berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi” membuat siapa pun yang membaca
pasti akan merasa miris. Dalam skor prestasi membaca saja siswa-siswi negeri
ini hanya menampati urutan ke-5 dari bawah atau sedikit lebih tinggi daripada
Qatar, Kuwait, dan Afrika Utara. Sedangkan untuk negara yang prestasi membaca literary
purpose lebih rendah daripada informational purpose, Indonesia
menempati urutan tertinggi. Seburuk itukah literasi di Indonesia?
Tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh tertinggal
oleh siswa negara lain. Artinya, pendidikan nasional kita belum berhasil
menciptakan warga negara literat yang siap bersaing dengan sejawatnya dari
negara lain. Ringkasnya, dalam skala internasional, literasi siswa kita belum
kompetitif. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi soal apa itu
litersi sebenarnya. Banyak orang yang tidak tahu apa itu literasi. Bahkan kalangan
mahasiswa pun banyak yang tidak mengetahuinya. Saya sendiri sebagai penulis
baru mengetahui apa itu literasi saat saya menginjak semester dua lalu, saat
dosen saya memperkenalkan soal pak Chaedar dan artikelnya yang berjudul
masarakat madani.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksudkan
dengan literer adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis-menulis. Sekarang literasi atau literer memiliki
definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi,
politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Dalam
bentukan kata yang lain transliterasi adalah menyalinan dengan penggantian
huruf dari abjad yangg satu ke abjad yang lain, yakni merubah bentuk tulisan ke
bentuk tulisan yang lain yang semakna.
Terdapat banyak sekali faktor mengapa literasi tidak
berkembang dengan baik di negeri kita ini. Itu terlihat melalui berbagai variabel yang terkait dengan
pendidikan literasi, yakni pendapatan nasional per kapita, pendidikan orang
tua, fasilitas belajar, lama belajar di sekolah, human development index (HDI)
dan sebagainya. Bahkan pemerintah pun sepertinya tidak tahu bahwa manusia
literat merupakan SDM yang memiliki potensi untuk membangun bangsa, atau
mungkin tidak ingin tahu karena semakin banyak anak negeri ini yang literat
maka akan semakin kritis pemikiran mereka. Dan kekritisan itulah yang mungkin
ditakuti oleh mereka, karena saat seorang itu kritis maka orang tersebut akan
berani mengomentari kinerja mereka yang buruk. Padahal pendidikan literasi
adalah investasi jangka panjang yang berfungsi transformatif, untuk
meningkatkan HID dan menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik (Wagner,
1999 dan Barton, 2001 dalam Setiadi, 2010). Dengan kata lain, pendidikan literasi
pasti mengubah pendapat dan pendapatan.
Sederet nama seperti Pramoedya, Hamka, Rendra, Ayip
Rosidi, dan Goenawan Mohammad adalah kaum intelektual yang membumikan
gagasannya dengan pena. Dengan kata lain, mereka adalah tokoh intelektual yang
menjadi budayawan yang dapat menggerakkan masyarakat melalui budaya literasi. Menurut
Suroso (Suroso, 2007:11), di Indonesia salah satu tantangan terbesar untuk
mewujudkan bangsa yang berminat terhadap literasi adalah meninggalkan tradisi
lisan (orality) untuk memasuki tradisi baca tulis (literacy).
Data dari Association For the Educational Achievement
(IAEA), mencatat bahwa pada 1992
Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di
dunia. Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia masuk pada peringkat dua
terbawah. Perbandingannya dengan saat ini barangkali
tidak berbeda jauh jika melihat indikator yang ada. Suatu tingkat literasi yang
sangat ironis bila kita bercermin pada negara-negara tetangga di ASEAN yang
sudah terlebih dulu bangkit dari keterpurukan peradaban.
Martha C. Pennington (1996:186) mengatakan bahwa, secara
fakta dokumen tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu
sendiri, karena bahasa tulisan mudah dipelihara dari generasi sesuatu ke
generasi berikutnya. Menggunakan bahasa
tertulis dirasa lebih leluasa daripada bahasa lisan karena si penulis bebas
dari kendala waktu dan kehadiran lawan komunikasinya, sehingga karya tulis
merupakan cerminan dari taraf pengetahuan dan kemampuan bahasa penulisnya,
karena karya tulis dihasilkan telah melewati proses pemikiran, perencanaan, dan
pemantauan yang memadai (Tri Wahyu R.N:2008). Karena itu Penguasaan literasi
dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban
suatu bangsa. Tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya
mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun
perguruan tinggi.
Dari sedikit fakta diatas, tampak jelas bahwa orang
literat adalah orang yang terdidik dan berbudaya. Orang seperti itulah yang
harus bangsa kita ini miliki agar negeri kita ini mampu bersaing dengan
sejawatnya dari negara lain. Pemerintah seharusnya cepat-cepat berbenah, dengan
melakukan rekonstruksi atau bahkan evolusi dalam bidang pendidikan literasi
ini. Pendidikan literasi bisa dibilang cukup tabu. Jangankan siswa mungkin guru
pun banyak yang tidak tau soal literasi. Sebagian besar dari mereka pasti tahu
soal baca tulis tapi untuk litersinya sendiri bisa ditebak mungkin tidak lebih
dari 50% yang tahu banyak soal literasi. Bila dibiarkan ingin jadi apa bangsa
kita nantinya.
Pemerintah seharusnya melakukan upaya yang disengaja dan
sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan
bahasa secara optimal Seperti halnya mobil, keadaan negara kita saat ini dalam bidang
litersi layaknya mobil rusak atau mobil pasca kecelakaan yang bila dibiarkan
akan terlihat buruk. Cara jitu memperbaikinya atau membuatnya kembali seperti
semula adalah dengan melakukan ketok magic. Begitupun dalam literasi agar
bangsa kita ini menjadi literat maka kita harus melakukan ketok magic
literasi . atau pak Chaedar menyebutnya sebagai rekayasa literasi.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal, adalah situs
pertama untuk membangun literasi yang pada umumnya disokong oleh pemerintah
dengan menggunakan dana publik, dan dengan demikian mudah diintervensi oleh
berbagai kebijakan, inovasi, dan program uji coba pemertintah. Setelah itu
keluarga dan lingkungan masyarakat yang berkontribusi dalam peningkatan
literasi. Hanya saja keduanya lebih cenderung untuk diintervensi oleh
pemerintah, dan malah menjadi ranah inisiatif individu dan masyarakat.
Perbaikan rekayasa litersai senantiasa menyangkut emapt dimensi,
yaitu (1) Linguistik atau fokus teks, (2) Kognitif atau fokus minda, (3) Sosiokultural
atau fokus kelompok, (4) Perkembangan atau fokus pertumbuhan.Dengan demikian,
rekayasa lierasi berarti merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat
dimensi. Pengajaran menulis dan membaca harus ditempatkan dalam keempat dimensi
yang saling terkait. Pengajaran bahasa (language arts) yang baik
menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan keempat dimensi ini secara
serempak, aktif, dan terintegrasi. Dia menggunakan bahasa secara efektif dan
efisien.
Sukses tidaknya rekayasa litersi tergantuk
pada paradigma soal literasi itu sendiri. Sejak dari sekolah dasar pendidikan
berbahasa hanya terfokus pada empat keterampilan pokok yakni, membaca, menulis,
menyimak, dan berbicara. Mereka tidak diperkenalkan pada literasi dan
menganggap itu terlalu sulit bagi siswa. Padahal dengan memperkenalkannya sejak
dini akan menanamkan poin-poin penting pada generasi muda, terutama soal
menjadi manusia yang berbudaya.
Sementara itu, kurikulum yang berkembang di negara ini
pun yang membuat literasi tidak berkembang dengan baik. Para siswa hanya
dituntuk untuk cenderung fokus pada ketepatan (correctness). Itu terlihat
dari bentuk soal yang diujikan, yang biasanya berupa pilihan ganda dan bukan
esai. Dan baru memperkenalkan esai saat para siswa menginjakan diri di bangku
kuliah. Meskipun terlambat tapi itu jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Meluruskan rekayasa literasi seyogianya diawali dengan
pemahaman atas berbagai paradigma pengajaran literasi. Dalam garis besarnya ada
tiga paradigma pembelajaran literasi. Pertama, adalah paradigma decoding yang menyatakan bahwa grafofonem berfungsi
sebagai pintu masuk literasi, dan belajar bahasa dimulai dengan menguasai
bagian-bagian bahasa. Kedua, paradigma keterampilan atau sebuah paradigma yang
menganggap bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca. Sedangkan
yang terakhir adalah paradigma bahasa secara utuh, dilihat dari namanya saja,
paradigma ini menolak pembelajaran yang meletakan fokus pada bagian atau serpihan
bahasa. Karena belajar literasi itu sebenarnya berlangsung seperti bayi belajar
bahasa ujaran dari sekitar atau berlangsung secara induktif. Konteks sekitar
bayi selalu alami, padat makna , dan kaya dengan peristiwa bahasa.
Paradigma yang baik adalah saat paradigma tersebut memandang
bahwa mengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji hipotesis, dan mengubah
hipotesis terus-menerus adalah suatu hal yang baik, sebab dengan sendirinya
siswa akan menemukan keterampilan bahasanya. Bicara soal merubah paradigma
mungkin terdengar mudah, namun pada prakteknya itu sangatlah sulit. Saat kita
ingin mengubah paradigma maka kita juga akan mendapat sejumlah konsekuensi
sampai ke metode dan teknik pengajaran
yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Misalnya, dengan perubahan orientasi dari
hasil ke proses.
Melihat semua persoalan diatas, kunci utama dari semuanya
adalah dengan melakukan perubahan paradigma. Perubahan paradigma itu sendiri
adalah transformasi intelektual, sebuah transformasi yang muncul akibat
tuntutan zaman. Saat suatu bangsa tidak
bisa melakukan perubahan maka bangsa tersebut akan jauh tertinggal. Bila suatu bangsa tetinggal maka bangsa
tersebut akan hancur. Bangsa yang hancur hanya akan menjadi sampah dikemudian
hari, dan tidak jauh berbeda seperti halnya mobil rusak. Oleh karena itu sudah
tidak bisa ditawar lagi, rekayasa litersi harus diperdayakan secepat mungkin,
agar bangsa kita yang kini layaknya mobil mogok bisa kembali jalan dan maju dan
mampu menghadapi tantangan dunia.
0 comments:
Post a Comment