Kini bangsa kita sedang dicekoki
dengan litersi guna meningkatkan taraf pengetahuan dalam bidang sosial, budaya,
politik maupun teknologi. Yang menjadi permasalahannya adalah dari sekian ratus
juta orang di negara kita, hanya sedikit saja yang paham bagaimana menjadi
masyarakat literat. Lalu, bagaimana cara kita untuk mengenalkan literasi pada
masyarakat?
Salah satu jalan pengenalan
literasi pada masyarakat di nusantara adalah melalui media pendidikan.
Pendidikan dasar adalah pilihan terakhir bagi pemerintah untuk mengenalkan
dunia literasi pada rakyatnya sebelum melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Dapat
kita ibaratkan pendidikan dasar ini adalah pondasi paling dasar untuk membuat
suatu bangunan literasi yang kokoh. Jika pondasinya saja keropos, bagaimana
nanti atasnya? Semakin bagus tingkat pendidikan suatu bangsa maka semakin
canggih pula pemikiran rakyatnya.
Pendidikan secara umum adalah segala
upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok,
atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. (Soekidjo Notoatmodjo. 2003 : 16)
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. (Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional. 2002 : 263)
Pendidikan adalah usaha dasar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU
RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1).
Bagaimanakah sistem pendidikan di
Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang berintelektual tinggi, berbudaya,
dan beragama. Kita dapat mengintip pada tujuan dasar negara Indonesia pada saat
merdeka dulu. Dalam Undang-Undang Dasar sudah dituliskan dengan jelas bahwa
tujuan pendidikan Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melakukan ketertiban dunia, yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jalur Pendidikan
Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, jalur pendidikan dibagi menjadi :
Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, jalur pendidikan dibagi menjadi :
1. Jalur Formal
a. Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar yang ada di nusantara
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang
sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
atau bentuk lain yang sederajat.
b. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah yang tersebar luas
di seluruh nusantara terdiri atas pendidikan menengah umum atau pendidikan
menengah jurusan, seperti : SMA, MA, SMK, MAK atau bentuk lain yang sederajat.
c. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi dapat berbentuk
akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
Untuk jalur
pendidikannya sendiri terdiri atas jalur formal, nonformal dan informal.
Jenjang pendidikan formal yaitu terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi (Pasal 14)
Pendidikan nonformal
pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat
(Pasal 26).
Sedangkan pendidikan
Informal yaitu dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kehiatan
belajar secara mandiri (Pasal 27).
Jadi pada dasarnya
pendidikan di Indonesia itu bukan hanya formal saja namun juga beragam,
seharusnya dengan banyaknya jalur pendidikan yang ada, kita dapat mewujudkan
impian dalam membangun masyarakat literat dengan kualitas yang tak kalah hebat
dengan negeri tetangga.
Masyarakat merupakan
bagian dari suatu negara. Di Indonesia sendiri dihuni oleh beragam masyarakat
dari suku dan budaya yang berbeda karena bentuk negara yang kepulauan. Kerena
banyaknya pulau serta masyarakat yang tersebar luas dari sabang sampai merauke,
maka instansi pendidikan pun tersebar luar ke seluruh penjuru nusantara. Namun
karena sara prasana yang sulit dijangkau oleh mereka yang berada di kepulauan
maka proses keberlangsungan pendidikan sedikit terhambat. Sistem pendidikan
yang cacat dapat memicu ketimpangan dalam rumah pendidikan tersebut.
Seperti yang dikatakan
oleh Pak Alwasilah, jika kita ingin mengetahui kualitas suatu bangsa, hanya
melihat kualitas dan praktek sistem pendidikan saja. Hampir semua negara maju
menyadari link ini dan dengan demikian membentuk sistem pendidikan yang baik.
Salah satu contoh
negara maju dengan sistem pendidikan yang baik adalah negara Finlandia karena
mereka menggunakan filsafat pendidikan yang menyatakan setiap orang yang
memiliki sesuatu untuk disumbangkan dan bagi mereka yang mengalami kesulitan
dalam pelajaran tertentu semestinya tidak ditinggalkan.
Berbanding terbalik
dengan negara kita, sistem pendidikan di negara kita sangat tidak sabaran dalam
membimbing peserta didiknya, para pendidik hanya mengejar target kalender pendidikan
sehingga tidak memerhatikan mana murid yang sudah paham dan mana yang belum
paham. Dari pengalaman saat di sekolah menengah atas, pendidik kurang
memerhatikan muridnya dan terkesan tidak sabaran hingga meninggalkan murid yang
belum paham pada materi yang diajarkan.
Salah satu tujuan
pendidikan dasar ialah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan
warga negara.
Seperti yang telah
tertulis dalam UUD bahwa pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Jadi peserta didik berhak mendapatkan fasilitas atau bekal
yang diberikan pendidik untuk peserta didiknya untuk menjadi bekal utama mereka
saat sudah keluar dari jenjang pendidikan dan mengarungi dunia luar yang amat
keras. Jika peserta didik tidak mendapat bekal keterampilan dari pendidik, maka
jalan hidup mereka untuk menghadapi kehidupan luar akan terseok-seok arus
globalisasi. Jika ingin bertahan hidup di era globalisasi seperti ini maka kita
harus mempunyai keterampilan kusus.
Sistem pendidikan di Indonesia
itu tidak terkendali, bahkan pihak sekolah tidak bisa menghandle murid-murid
yang nakal. Konflik sosial sangat kontras terjadi di sistem pendidikan di
negeri ini. Banyak murid yang membolos, tawuran dan juga banyak generasi muda
indonesia yang membawa sabu atau bisa dikatakan sebagai pengedar di sekolahnya.
Setiap kali saya berangkat kuliah
dari Indramayu-Cirebon, sepanjang jalan dari Palimanan menuju Pemuda, banyak
sekali saya jumpai anak-anak sekolah yang membolos, nongkrong diwarung, bahkan
yang lebih naas waktu itu bus yang saya tumpangi terdapat siswa dari SMK Negeri
1 Cirebon yang tengah bergulat dengan siswa sekolah lain. Sebuah kasus yang tak
kalah menggemparkan sekolah menengah pertama di daerahku, tahun lalu dikejutkan
dengan temuan bahwa seorang siswa membawa sebungkus pil ekstasi. Jika dilihat
seperti itu, begitu bobroknya sistem pendidikan dalam negeri ini.
Maraknya masalah sosial yang
sering kali terjadi di Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial yaitu
kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari
kelompok yang berbeda. Konflik sosial dan tidak keharmonisan agama khususnya
merupakan tatangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk
mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan
karakter yang baik sebagaimana telah diatur dalam UU Sidiknas.
Kurangnya tenggang rasa dan
kurangnya pemahaman arti demokrtis itu sendiri memicu banyak konflik yang
terjadi di negeri ini. Istilah kata demokratis mungkin sudah tidak asing di
telinga kita, namun ternyata tidak banyak orang yang mengerti arti demokratis
itu sendiri. Contohnya para caleg maupun pemimpin dewan perwakilan rakyat,
mereka berkoar-koar menjunjung tinggi demokratisasi namun mereka sendiri tidak
mengerti apa itu demokratis. Sangat ironis memang jika melihat segala tumpang
tindih negeri ini, pendidikan yang kurang berkualitas, masyarakat yang tidak
tenggang rasa, dan kualitas politik yang saling mencurangi satu sama lain.
Demokrasi sendiri adalah bentuk
pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan
keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Manusia yang demokratis adalah
manusia yang mengahargai adanya perbedaan, saling menghormati dan menjunjung
tinggi keadilan.
Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahawa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi
dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah itu adalah hubungan di mana
menghormati rekan, saling menolong, berbagi dan umumnya sopan terhadap satu sama
lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori
pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Pada kenyataannya banyak sekali
kita jumpai dalam dunia pendidikan maupun sosial yang manusianya kurang
memiliki rasa keterbukaan, rasa saling hormat dan rasa kebersamaan. Tidak hanya
siswa, bahkan ibu-ibu di rumah pun mereka hanya mau berbaur dengan
kelompok-kelompok tertentu saja. pemicu suatu kehancuran moral sosial karena
adanya sekat-sekat penghalang yang membedakan etnis-etnis tertentu.
Dalam pengaturan multikultural,
siswa berasal dari latar belakang etnis agama dan sosial yang berbeda dan pola
pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus
sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk membangun wacana sipil.
Seharusnya pendidik yang hebat
itu ditanamkan pada sekolah dasar, kerena bagaimanapun pembentukan moral anak
itu pertama kali dibentuk saat mereka sekolah dasar, jika pendidiknya tidak
bisa mengarahkan dan mengajarkan sesuatu yang benar pada peserta didiknya maka
konsekuensinya akan berakibat fatal.
Indikator wacana sipil ini untuk
melatih tingkat kecakapan, interaksi dan rasa saling menghormati satu sama
lain. Bagaimanapun ketidak mampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan
individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam
masyarakat.
Namun yang terjadi di sebuah
kelas, guru lebih banyak mendominasi sehingga siswa tidak memiliki kesempatan
untuk mengutarakan pendapatnya maupun diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan
sebayanya, hal ini lah yang nanti akan mematikan pemikiran kritis siswa
tersebut.
Bukti kejadian konflik sosial
tersebut sangat banyak kita jumpai, seperti konflik antar etnis dan agama besar
yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang
(2010). Kasus pemboman gereja di Surakarta bulan lalu mencerminkan konflik
antar agama yang bisa jadi akan memicu terjadinya perang saudara.
Peristiwa di atas itu dipicu
karena tidak adanya rasa solidaritas maupun rasa toleran sesama antar umat,
tidak ada keinginan untuk hidup rukun,
dan berdampingan. Negara kita ini menganut paham demokratis yang artinya kita
mempunya hak untuk hidup, untuk memilih agama, untuk mengemukakan pendapat.
Untuk mengatasi konflik sosial di atas yaitu dengan cara menanamkan rasa
toleran dan tenggang rasa yang tinggi pada setiap individu maupun
masyarakatnya.
Sebuah laporan penelitian yang
dilakukan oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa cara paling efektif untuk
membentuk manusia yang solid, terbuka dan saling menghargai dapat dilatih
dengan cara membuat rutinitas kelas interaksi antar siswa. Siswa harus diberi
kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain dengan memberi tugas-tugas
kelompok untuk berlatih mendengarkan secara perhatian.
Studi Apriliaswati mengajarkan
kepada kita bahwa pendidikan tidak harus mengembangkan hanya penalaran ilmiah
saja, tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah memang dibutuhkan
untuk mengembangkan masyarakat yang intelektual, sedangkan kompetensi wacana
sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.
Pendidikan di indonesia bobrok!
Seperti yang dikatakan oleh Retno Listyarti dalam acara catatan akhir tahun
pendidikan di kantor LBH Jakarta, Kamis (2/1/2014). Retno menuturkan,
bedasarkan pengamatan FSGI, sejumlah permasalahan itu tampak dari tertundanya
pelaksanaan UN di 11 provinsi, rendahnya kualitas buku ajar di sekolah, dan
merebaknya tindakan amoral di lingkungan sekolah serta kampus. Selain itu,
masih marak juga kasus korupsi di dunia pendidikan, pungutan liar, dan tindakan
sewenang-wenang birokrat. (Kompas, Kamis 2 Januari 2014).
Insiden diskusi kusir yang
terjadi pada tahun 2010 pada anggota parlemen sangat tidak memberikan contoh
yang baik untuk kalangan siswa, mereka memberikan contoh yang sangat tidak etis
saat sedang mengadakan diskusi. Demikian kita bisa katakan bahwa masyarakat
sipil belum sepenuhnya diterapkan oleh berbagai pihak. Jika sudah seperti ini
maka keberlangsungan sistem pendidikan kita kembalikan pada pendidik untuk
berfungsi secara maksimal. Guru SD harus memberikan kesempatan kepada peserta
didiknya untuk mendorong pengalaman bermakna yaitu, interaksi dengan siswa lain
dan agama yang berbeda, etis dan dari kelompok-kelompok sesuai yang berbeda.
Jadi pada dasarnya kita sebagai
calon guru harus bersifat fleksibel kepada semua muridnya, tidak boleh
mendiskriminasi latar belakang muridnya dari suku maupun etnis tertentu. Kita
harus bisa memenej kelas aga bisa menciptakan suasana yang nyaman untuk semua
murid walaupun terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama yang berbeda.
Adakah pendidikan liberal di
Indonesia? Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), liberal memiliki
arti bersifat bebas; berpandangan bebas (lunas dan terbuka); jadi berdasarkan
pengertian-pengertian diatas, paradigma Idiologi Pendidikan Liberal dapat
diartikan sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan dalam usaha sadar dab
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat yang sesuai dengan
paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik yang bebas
berpandangan luas dan terbuka.
Ciri utama pendidikan yang
berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan
keadaan ekonomidan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada
benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya
kompeteni yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan
menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap
pergantian kurikulum baru kita (Mansour Fakih, 2002).
Jika dilihat dari kaca mata pendidikan
dan tujuan pendidikan, apapun backgroundnya mempunya tujuan yang baik yaitu
untuk meningkatkan taraf pengetahuan kepada siswa. Namun ada beberapa sistem
pendidikan yang kurang efektif untuk mengembangkan tingkat emosional dan jiwa
sosial siswanya. Kita ambil salah satu contoh pendidikan informal yang
dilakukan oleh perorangan.
Pendidikan perorangan yang biasa
kita kenal sebagai home schooling memang bagus karena peserta didik lebih fokus
pada apa yang diajarkan oleh gurunya, tidak terganggu dengan riuhnya suasana
kelas, waktunya tidak terbatas dan juga proses pembelajarannya terkesan
menyenangkan karena menggunakan media musik. Namun sekolah perorangan ini
mempunya kekurangan karena peserta didiknya tidak dikenalkan dengan dunia luar,
yaitu tidak mempunyai kesempatan berbaur sehingga mereka cenderung masuk ke
dalam sosok individualisme. Mereka tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi
dengan baik dengan sebayanya.
Pendidikan nonformal juga
mempunyai kelebihan karena terkesan elite, salah satu pendidikan nonformal
elite yaitu HF Secondary School, mereka menerapkan sistem pendidikan seperti
Cambridge, yang mengenyam pendidikan di sana pun adalah orang-orang yang bersal
dari tingkat ekonomi menengah atas, bahkan muridnya tidak lagi menggunakan buku
teks, serta tenaga pengajarnya pun terlatih seperti dosen dan profesor. Tak
ayal jika sistem pendidikan nonformal yang seperti itu mengundang kecemburuan
sosial.
Pendidikan formal pun tidak
menjamin kesetaraan sosial, masih banyak dijumpai kecurangan dan perbedaan
perlakuan guru pada siswanya. Pendidikan sekolah formal juga dianggap sangat
tidak efektif karena terlalu membani para siswanya, mereka harus menghabiskan
waktu selama 7 jam di sekolah dengan 16 mata pelajaran. Tak ayal banyak orang
tua yang mengeluarkan anaknya dari sistem pendidikan formal. Jarang ditemui
adanya sekolah multikultural, kebanyakan dari pendidikan formal hanya
menekankan pada satu agama saja.
Pernah melakukan sesi tanya jawab
dengan salah satu siswa dari SMA Negeri 1 Kalaena, Sulawesi Selatan. Sistem
pendidikan di sana menganut multikultural yang terdiri dari berbagai latar
belakang etnis, agama, dan sosial yang berbeda. Dalam satu kelas terdiri dari
bebagai macam agama, yaitu budha, islam, dan kristen. Namun pengajaran di sana
terstruktur tanpa menimbulkan suatu permasalan diskriminasi sosial. Semua
siswanya pun berbaur dengan satu sama lain tanpa membedakan dari latarbelakang
atau agama apa yang dianut, mereka bisa hidup rukun. saat pelajaran agama
berlangsung maka secara otomatis siswa tersebut dibagi menjadi tiga kelompok
dan ditempatkan di ruangan berbeda dengan guru agama masing-masing pula. Jadi
dalam satu sekolah itu terdiri dari 3 guru mata pelajaran agama yang berbeda
untuk memeberikan pendidikan agama yang layak bagi peserta didiknya.
Pendidikan liberal sendiri hampir
sama yaitu mempunyai tujuan untuk mencerdaskan peserta didiknya, namun pada
kriteria pendidikan leberal ini selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan
keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan.
Kenyataan lainnya dari
liberalisme ini adalah mahalnya sekolah dan kuliah. Contohnya adalah UGM yang
dulu dikenal sebagai sekolah rakyat kini tidak lagi. Di level sekolah, elitisme
pendidikan mengancam kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan
memadai.
Jadi pada dasarnya sistem
pendidikan indonesia itu terlalu mengkiblat pada pendidikan negara lain yang
memiliki paham yang berbeda dengan negara kita. Hal semacam itu menimbulkan
pendidikan yang berlangsung tidak memperbaik sistem pendidikan, malah
menjadikan sistem pendidikan di negara kita semakin semrawut. Terjadi rasa
matrealistis yang terlalu tinggi pada para pelaku pendidik yang berujung
korupsi pendidikan tersebar di mana-mana, terjadinya tindak kekerasan yang
dilakukan pendidik, tindak cabul dan juga penyelewengan dana BOS, banyak
generasi muda yang putus sekolah karena biaya pendidikan yang terlalu tinggi, infrastruktur
yang tidak memadai sehingga menghambat jalannya proses belajar.
Dari
pembahasan di atas dapat saya simpulkan, selain ingin menerapkan masyarakat
literasi, Indonesia juga memiliki cita-cita menjadi masyarakat madani. Pada
hakikatnya masyarakat madani dan literasi ini hampir sama yaitu
masyrakat yang terbuka, egalitar, dan toleran. Masyrakat madani juga adalah
masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi, maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Salah satu cara untuk menghindari
terjadinya kesenggangan antar umat dan sosial masyarakat yaitu dengan cara
berpandangan positif, memiliki rasa toleransi yang tinggi pada sesama,
memberikan hak asasi pada orang lain yaitu mencakup hak untuk beragama, memilih
pendidikan, dan juga hak atas kenyamanan antar sesama umat masyarakat.
Reverensi:
paragraf pembuka terasa sangat 'ujug-ujug'. Coba asah lagi menuangkan ide yang pas di tiap awal paragraf
ReplyDeleteok sir
ReplyDelete