“School made us 'literate'
but did not teach us to read for pleasure.”
― Ambeth R. Ocampo
― Ambeth R. Ocampo
Pendidikan. Bukan
bertugas untuk mengisi, tetapi untuk membentuk. Apa yang perlu dibentuk? Bisa
jadi adalah cara pikir. Literasi yang digadang-gadang sebagai modal kehidupan,
akan bekerja dalam jangkauan yang luas. Tidak hanya dalam dunia pendidikan,
tetapi merambah ke dalam dunia politik, sosial, ekonomi, psikologi. Yang
nantinya lama-kelamaan akan membentuk sebuah budaya yang menuju pada
peradaban. Oleh karenanya, berbicara
soal pendidikan akan juga berbicara soal literasi. Inilah modal yang harus kita
miliki, apalagi sebagai kaum akademisi. Literasi juga memiliki peran yang
sangat besar dalam kehidupan manusia, tidak heran jika literasi sampai-sampai
dijadikan suatu barometer yang mengukur maju atau tidaknya suatu bangsa.
Kekuatan yang ada dalam literasi ini lebih dari sekedar kekuatan mendidik dan
dididik. Pendidikan yang mencekoki pelajar ke dalam sebuah ruang untuk diisi
segudang ilmu pengetahuan. Namun, literasi mempunyai suatu hal yang lebih,
karena literasi membentuk pola pikir, keterampilan. Bukan untuk memenuhi otak
kita dengan segudang ilmu, yang bisa saja dengan mudah dilupakan tanpa
pengimplementasian.
Banyak
pelajaran yang bisa kita unduh dari pengalaman menulis appetizer essay kemarin.
Seperti elemen-elemen yang harus ada dalam sebuah Academic Writing; yaitu Cohesion,
bagaimana teks itu mengalir. Kemudian Clarity, kejelasan makna yang
disampaikan. Logical Order, bagaimana menyampaikan hal-hal
seperti dari hal umum ke khusus. Consistency, tentang
keseragaman dalam gaya menulis. Unity, kesatuan tulisan dari topic yang
dibahas. Variety, ini dia saat bumbu dalam tulisan
kita ditaburkan. Yang terakhir adalah Formality, karena ini
Academic Writing jadi tulisan kita juga harus bernada formal. Kita sebagai
multilingual writer harus memiliki vitalitas menulis lebih tinggi daripada yang
bukan multilingual writer. Dalam ihwal merespon suatu teks pun kita memiliki
sesuatu yang mungkin bisa dibilang lebih nyentrik. Seharusnya jugalah kita bisa
menjadi seorang multiliterat. Lebih-lebih di era globalisasi seperti ini,
seseorang dituntut untuk highly literate,highly numerate. Tantangan
zaman menuntut kita untuk menjadi manusia yang penuh power. Oleh karenanya,
untuk membentuk sebuah warga Negara yang melek literasi tidak akan mudah,
diperlukan kesabaran.
Sejatinya,
literasi diajarkan kepada anak sejak dini agar ia mulai akrab dengan ihwal
literasi yang akan mentransformasikan dirinya menjadi sosok tangguh yang akan
menghadapi khazanah kehidupan global. Anak harus diajarkan written
verbal, maupun visual. Literasi bukan hanya soal kemampuan baca-tulis. Tetapi
juga melibatkan bagaimana sesorang bisa survive dalam lingkungannya.
Seperti hal-hal kecil menulis surat, CV, membaca jadwal penerbangan. Yang
seakan itu dilupakan sebagai kegiatan literasi. Tidak heran jika Ken Hyland
menyebut bahwa Literacy is something we do. Literasi menjadi semakin
global seiring bertumbuhnya zaman, merambah kepada banyak ranah. Satu lagi yang
perlu kita ingan bahwa literasi merupakan paparan pembelajaran berkualitas tinggi. Membuka cakrawala, dan tumbuhnya peradaban serta penghidupan.
Rekayasa literasi,
kenapa ihwal ini harus ada dan terjadi?Rekayasa literasi didefinisikan
sebagai upaya
yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya
lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan
pembudayaan. Sering kita dengar kata ini “Barang siapa menguasai bahasa suatu kaum, maka ia akan selamat dari tipu daya mereka.” Inilah salah
satu jawaban kenapa kita harus merekayasa literasi. Kemampuan berbahasa membuat
kita secara psikologis lebih percaya diri, sebagai kunci dalam mengerti ilmu
pengetahuan, dan budaya.
Rekayasa
literasi memiliki Empat dimensi:
linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan. Ini
sebabnya, literasi kini memiliki lahan yang luas yang tidak hanya soal
literatur atau kebahasaan. Sebagai contoh di semester 4 ini saya mengambil mata
kuliah Psikologi Pembelajaran Bahasa Inggris dan disinilah saya tahu sedikit
banyak tentang pembelajaran bahasa yang seyogianya harus dilakukan dengan
tepat. Termasuk melakukan rekayasa literasi. Seperti bahasan psikolinguistik
yang merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku dalam
berbahasa seseorang. Bagaimana psikis seseorang mempengaruhi apa yang akan ia
sampaikan. Juga latar belakang budayanya, sekaligus lingkungan masyarakatnya
mempengaruhi sikap linguistiknya.
Guru adalah
sutradara dari rekayasa literasi ini, ia yang seyogianya merekayasa pengajaran membaca dan
menulis dalam empat dimensi tersebut. Ujung tombak pendidikan literasi
adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis, strategi
analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan
keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah
2012). Artinya, guru harus mengenalkan kepada siswanya apa yang harus
dilakukan dalam suatu proses literasi. Yang bukan hanya mentok dalam
ihwal tugas-tugas sekolah, baca-tulis, dan PR. Namun dalam kehidupan yang
memiliki realita bahwa bahasa adalah aspek penting dalam hidup kita.
Dapat
disimpulkan bahwa, dengan adanya rekayasa literasi ini akan menjadikan manusia
lebih terdidik dan berbudaya. Manusia yang seimbang moral dan intelektualnya.
Juga sekaligus manusia yang dapat menoptimalkan kemampuan bahasanya. Dibalik
ini semua terdapat peran seorang GURU sebagai Insinyur Literasi (Literacy
Engineer) yang merupakan ujung tombak dari sebuah rekayasa literasi. Ia adalah
sistem terpenting dalam rekayasa literasi, membuat pembelajaran bahasa yang
berkualitas tinggi.
0 comments:
Post a Comment