Kita
hidup di negara kepulauan terbesar di dunia, yakni yang biasa kita
sebut dengan sebutan Nusantara Indonesia. Indonesia merupakan negara
majemuk, memiliki jumlah penduduk yang terbesar dan menempati urutan
ke empat di dunia, selain itu mayoritas penduduknya memeluk agama
islam. Sekalipun berpenduduk muslim terbesar di dunia, namun secara
resmi bukanlah negara Islam, karena negara kita adalah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal tersebut sungguh jelas
tertuliskan dalam semboyan negara kita yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Sejarah Indonesia tentu banyak dipengaruhi oleh bangsa lain melalui
jalur perdagangan. Seiring berjalannya waktu, negara kita menuai
banyak sekali konflik. Konflik-konflik tersebut terjadi akibat
penyakit sosial. Maka dalam kesempatan kali ini saya akan memaparkan
mengenai konflik-konflik yang kian marak terjadi di negara kita ini.
Dengan sebuah judul yang saya tuliskan di atas yaitu mengenai
Penyakit Sosial di Negeri Sendiri, saya berharap dapat melengkapi
artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony yang
merupakan karangan dari Prof. A. Chaedar Alwasilah.
Pada sebuah
artikel yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious, yang
jika kita artikan ke dalam bahasa Indonesia adalah wacana kelas untuk
mendorong kerukunan beragama. Dalam artikel tersebut terdapat
beberapa point penting yang harus kita garis bawahi. Pertama,
dikatakan bahwa jika kita ingin mengetahui kualitas suatu bangsa,
maka lihatlah kualitas dan praktek sistem pendidikannya. Hampir semua
negara maju menyadari link ini dan demikian membentuk sistem
pendidikan yang baik. Kemudian yang kedua, mengenai masalah sosial
yang berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk
lain dari radikalisme di Indonesia adalah indikasi dari penyakit
sosial. Ketiga, mengenai tantangan pendidik dalam melakukan yang
terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya. Keempat, berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih
memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka dan program
sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk
mengembangkan wacana sipil positif.
Saya akan
mengkritisi pada bagian yang pertama yaitu mengenai kualitas suatu
bangsa. Dalam hal ini kita di arahkan untuk melihat kondisi suatu
bangsa dengan mengetahui seberapa berkualitasnya bangsa tersebut,
maka kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan sistem
pendidikannya. Kaca mata pendidikan ini berhubungan dengan kualitas
dan praktek sistem pendidikan tersebut. Dalam wacana Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony dikatakan bahwa hampir semua
negara maju menyadari link ini, dan hal tersebut dapat membentuk
sistem pendidikan yang baik. Jelas sekali karena pendidikan merupakan
sarana yang strategis dalam meningkatkan kualitas suatu bangsa. Namun
sejalan dengan pemikiran tersebut, hanya negara-negara maju saja yang
dapat mewujudkan kualitas suatu bangsanya. Hal tersebut terkait
karena sistem pendidikan Indonesia yang belum menunjukkan
keberhasilan yang diharapkan. Indonesia masih belum berhasil dalam
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang handal. Namun sebenarnya
bukan hanya itu saja yang menjadi suatu permasalahan yang
mengakibatkan gagalnya sistem pendidikan di Indonesia, karena masih
banyak lagi faktor-faktor yang menggerogoti Indonesia.
Indonesia sebagai
negara yang berkembang selalu dibandingkan dengan negara-negara lain,
hal tersebut merupakan upaya dalam memajukan bangsa kita agar tidak
lagi kalah saing dengan negara-negara lain, karena dapat dikatakan
bahwa sebuah persaingan akan mampu memacu sebuah negara untuk menjadi
lebih maju lagi. Contohnya saja ketika di sebuah kelas kita menjumpai
salah seorang teman yang mendapatkan nilai sempurna, sementara kita
mendapatkan nilai yang pas-pasan. Secara umum perasaan yang dirasakan
oleh setiap orang yang mengalami hal demikian adalah perasaan kecewa
dengan sebuah hasil yang diperoleh oleh dirinya sendiri. Inilah yang
merupakan titik awal sebuah persaingan. Kita harus semakin terpacu
semangatnya agar mendapatkan nilai yang sempurna seperti teman kita.
Sama halnya dengan persaingan bangsa kita yang bersaing dengan negara
lain untuk memajukan pendidikan. Meskipun pada prakteknya Indonesia
masih belum mencapai sebuah hasil. Maka coba kita teliti lagi ada apa
dengan Indonesia?
Ternyata
dikabarkan bahwa sistem pendidikan Indonesia terendah menurut
penelitian yang dilakukan lembaga Pearson di Eropa, Asia, Amerika.
Menurut cuplikan berita dari media online PESATNEWS, bagaimanakah
kebijakan negara Indonesia jika dibandingkan dengan negara Finlandia?
Seperti yang kita ketahui negara yang menduduki peringkat pertama di
dunia adalah Finlandia. Peringkat satu ini diperoleh Finlandia
berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun
2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD). Test tersebut dikenal dengan nama PISA yang mana mengukur
kemampuan siswa di bidang sains, membaca, dan juga matematika.
Hebatnya Finlandia bukan hanya unggul secara akademis, tapi juga
menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental. Lantas
bagaimana dengan kebijakan pendidikan Indonesia jika dibandingkan
Finlandia? Menurut pengamat pendidikan Syamsul Pasaribu memapakkannya
sebagai berikut.
- Kita masih asyik memborbardir siswa dengan semakin banyak test (ulangan harian, ulangan mid-semester, ulangan umum atau kenaikan kelas, dan ujian nasioanal), sedangkan Finlandia menganut kebijakan mengurangi test menjadi sedikit mungkin. Tidak ada ujian nasional sampai siswa yang menyelesaikan pendidikan SMA mengikuti matriculation examination untuk masuk perguruan tinggi.
- Kita masih getol menerapkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), sehingga siswa yang gagal tes harus mengikuti tes remidial serta les tambahan, dan masih ada tradisi tidak naik kelas. Sebaliknya Finlandia menganut kebijakan automatic promotion. Naik kelas otomatis. Guru siap membantu siswa yang tertinggal sehingga semua naik kelas.
- Kita masih berfikir bahwa PR amat penting untuk membiasakan siswa disiplin belajar, bahkan di sekolah tertentu tiada hari tanpa PR. Sebaliknya, di Finlandia PR masih bisa ditolerir.
- Kita masih pusing meningkatkan kualifikasi guru SD agar setara dengan S1, namun di Finlandia semua guru harus tamatan S2.
- Kita masih menerima calon guru yang lulus dengan nilai pas-pasan, sedangkan di Finlandia the best ten lulusan universitas yang diterima menjadi guru.
- Kita masih sibuk memaksa guru membuat silabus dan RPP mengikuti model dari pusat, di Finlandia para guru bebas memilih bentuk atau model persiapan mengajar.
- Di tanah air kita terseret arus mengkotak-kotakan siswa dalam kelas reguler dan kelas anak pintar, kelas anak lamban berbahasa Indonesia dan kelas bilangual (bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar) dan membuat pengkastaan sekolah (sekolah berstandar nasional, sekolah berstandar internasional, sekolah negeri yang di anak emaskan dan sekolah swasta yang di anak tirikan). Sebaliknya di Finlandia, tidak ada pengkotakan siswa dan pengkastaan sekolah. Sekolah swasta mendapatkan dana yang sama dengan sekolah negeri.
Dari
pernyataan-pernyataan diatas, jelas sekali nampak suatu perbedaan
diantara keduanya. Namun sebenarnya masih banyak lagi
perbedaan-perbedaan lainnya jika pendidikan di Indonesia dibandingkan
dengan negara Finlandia. Dan ternyata dari semua pernyataan tersebut
kunci kesuksesan Finlandia adalah terletak pada kualitas gurunya.
Guru-guru Finlandia boleh dikatakan sebagai guru-guru dengan kualitas
terbaik dan dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri
adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah
fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar
untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7
pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingannya ketimbang masuk
ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran.
Coba bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya kebanyakan dipasok
oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi
dengan kualitas seadanya pula. Belum lagi di Indonesia, jika kita
flash back dalam sejarah pendidikan Indonesia guru pernah mempunyai
status yang tinggi di masyarakat. Namun saat ini telah mulai memudar
karena seiring kepedulian yang tinggi terhadap imbalan balas jasa.
Selain itu guru dipandang sebagai jabatan yang biasa saja dan kalah
gengsi dengan jabatan lain yang pendapatannya lebih baik. Jadi
sekalipun di Indonesia lahan guru semakin menyempit, dikarenakan
banyak yang bersekolah di keguruan, namun sebagian besar masyarakat
Indonesia lebih memilih pekerjaan lain atau jabatan lain yang
menunjang untuk kebutuhan hidupnya.
Selain itu pada
bagian kedua, penyakit sosial yang terjadi di masyarakat disebabkan
karena suatu perbedaan dan tidak adanya toleransi antar manusia.
Berbagai macam konflik yang terjadi di Indonesia seperti tawuran
pelajar, bentrokan pemuda, dan bentuk lain dari radikalisme di
seluruh Indonesia merupakan indikasi dari penyakit sosial. Saya
sependapat dengan pernyataan tersebut. Contoh pertama yaitu mengenai
tawuran pelajar. Kenapa harus ada tawuran antar pelajar? Padahal
mereka itu adalah seorang pelajar yang seharusnya terdidik,
memberikan contoh yang baik pada masyarakat, dan seharusnya mempunyai
rasa prikemanusiaan. Kasus tawuran pelajar ini sudah sangat sering
terjadi dan nampaknya telah membudaya. Sungguh memprihatinkan bangsa
kita ini. Pantas saja jika negara kita belum maju dalam hal sistem
pendidikan. Lantas apa yang salah dengan sistem pendidikan di
Indonesia ini? Siapakah yang bertanggung jawab atas keadaan ini?
Pasti sebagian orang akan menjawab bahwa itu adalah kesalahan
individu yang tidak mempunyai moral yang baik, namun ada juga yang
menyalahkan gurunya atau pengajarnya, karena seharusnya guru mampu
membimbing siswanya agar tidak melakukan hal tercela seperti tawuran
pelajar tadi, atau bahkan menyalahkan orang tuanya yang tidak
mendidik anaknya sejak kecil dengan baik, dan lain sebagainya.
Contoh kedua
yaitu mengenai bentrokan pemuda, ini hampir sama dengan kasus tawuran
pelajar. Kemudian contoh yang ketiga yaitu mengenai radikalisme di
Indonesia. Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah
memberikan amanat kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk
menangkal gerakan radikal demi mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini seharusnya yang paling
bertanggung jawab mengenai radikalisme agama di Indonesia adalah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena sebagai presiden yang telah
dipilih oleh rakyat, maka seorang presiden wajib melindungi dan
menjamin kehidupan rakyatnya.
Saya pernah
membaca sebuah artikel yang tertuliskan bahwa pemerintah bertanggung
jawab melindungi hak hidup warga negara dan menjaga keutuhan NKRI
sebagai harga mati. Serta terdapat 4 pilar yang harus ditegakkan
yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Dalam
artikel tersebut jelas terlukiskan bahwa ke empat pilar tersebut
sangat berkaitan dengan toleransi bangsa Indonesia terhadap bangsa
lain. Namun dalam serangkaian kasus radikalisme agama ini seperti
dibiarkan begitu saja. Dari hari ke hari kasus radikalisme terus
terjadi dan tidak jelas penanganannya. Maka hal tersebut diduga bahwa
pemerintah dianggap tidak serius dalam menangani radikalisme agama.
Menurut KH. Aqil
Siraj Ketua Umum PBNU mengatakan, “tidak ada agama dalam kekerasan.
Perbedaan pendapat di dalam internal agama Islam baik secara
teologi, ritual, maupun politik sudah ada sepanjang sejarah. Semenjak
Khulafa’ur Rasyidin selesai, kemudian muncul Jabariyah, Mu’tazilah,
Syi’ah, dan Suni. Perbedaan itu tidak bisa dihindari”. Beliau
mengajarkan bahwa jika islam dibaca melalui satu sudut pandang, maka
akan terjadi penyempitan pendapat dan menjadi fanatik. Dalam hal ini
yang terpenting kita masih memegang teguh pada prinsip yang sama, dan
tujuan yang sama. Perbedaan agama memang selalu menjadi topik yang
hangat untuk diperbincangkan. Disana sini banyak kalangan yang
memperdebatkannya, jangankan toleran terhadap agama lain, terhadap
agama sendiri pun masih terjadi perdebatan.
Dalam buku politik
bahasa dan pendidikan, karangan A. Chaedar Alwasilah dituliskan bahwa
di Nusantara ini kita hidup berlainan agama dan itu merupakan warisan
sejarah para leluhur kita. Warisan primordial ini bukan untuk
disesali atau dipungkiri, apalagi jika ditafsirkan sebagai sirkuit
balapan bagi agama-agama untuk beradu ketangkasan. Dalam tatanan
kerukunan nasional, warisan sejarah ini seyogyanya diyakini sebagai
kekayaan individu dan bangsa. Sebagai kekayaan individu itu berarti
selain meyakini kebenaran agamanya sendiri kita juga harus menyadari
bahwa orang lain pun meyakini kebenaran agama pilihannya. Kekayaan
psikologis religius ini menumbuhkan tenggang rasa dan hormat terhadap
para pemeluk agama. Untuk itu dalam hal ini kita perlu meningkatkan
lagi rasa tenggang rasa kita terhadap orang lain khususnya agama lain
karena itu merupakan kekayaan suatu bangsa.
Dikutip dari
sebuah koran kompas pada sekitar tahun 2010 silam, bahwa seharusnya
keberagaman diantara masyarakat Indonesia menjadi aset kemajuan
bangsa dan bukan menjadi penyebab konflik atau perpecahan. KH. Said
Aqil Siraj mengatakan, sebenarnya adalah hal yang ironis setelah 65
tahun merdeka, masih bicara soal toleransi dan keberagamaan. Namun
akhir-akhir ini memang menjadi sorotan lagi. Dan memang kenyataan
sekarang pun di tahun 2014 ini, toleransi merupakan sebuah topik yang
tak terlewatkan.
Pada point yang
ketiga, menurut A. Chaedar Alwasilah konflik sosial dan ketidak
harmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam
melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya
sebagai warga negara yang berdemokratis dengan karakter yang baik
sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Menurutnya untuk mewujudkan
hal tersebut maka kerukunan umat beragama harus dikembangkan di
sekolah pada usia yang sedini mungkin. Saya setuju dengan pernyataan
tersebut, karena jika anak-anak dididik sedini mungkin tentang
bagaimana cara menghargai, menghormati, berbagi, berinteraksi dengan
baik antar rekan-rekannya, maka akan menjadi generasi bangsa yang
berdemokratis dan betoleransi tinggi, serta ia mampu berkreatif dan
inovatif dalam mendukung wacana sipil yang positif. Menurut
Apriliaswati, wacana sipil ini sangat penting untuk menciptakan warga
negara yang beradab.
Keempat, berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih
memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Rubin 2009,
mengatakan “konsep interaksi dengan rekan-rekan sebaya adalah
komponen penting dalam teori pembangunan sosial”. Dalam hal
tersebut di atas maka semua itu berhubungan dengan moral. Untuk
meningkatkan moral suatu bangsa, maka pendidikan pesantren dianggap
pendidikan yang tepat untuk meningkatkan interaksi sosial,
meningkatkan moralitas, serta meningkatkan akhlak atau tingkah laku
baik. Menurut KH. Said Aqil Siroj, pendidikan pesantren itu sangat
efektif dalam membangun nation character. Sebab, ilmu itu diamalkan
dan direalisasikan bukan hanya diwacanakan dan didiskusikan. Di
dalamnya pesantren itu ada nilai-nilai yang terintegrasi satu dengan
lainnya. Pertama, ilmu itu jangan hanya ditulis, tapi harus diamalkan
dengan tulus dan ikhlas. Kedua, ada nilai persaudaraan yang kuat.
Ketiga, ada nilai kemandirian karena mentalnya ditempa. Namun
pendidikan pesantren sepertinya dikesampingkan.
Dalam hal ini
Amerika pun mempunyai sistem pendidikan berasrama hampir mirip dengan
pendidikan pesantren. Pendidikan berasrama di Amerika juga lebih
mementingkan peer interaction. Maka seperti terjadi pro dan kontra
dalam masyarakat mengenai perbandingan pendidikan berasrama ini.
Sebab ada yang mengatakan pendidikan berasrama atau pesantren di
Indonesia ini menuai suatu radikalisme agama, kehidupan pesantren pun
tidak menjamin adanya sebuah toleransi yang kuat, karena mungkin ada
yang lebih toleransi selain orang lulusan pesantren, serta orang yang
lulusan pesantren terkadang mempunyai efek negatif karena ia
menghadapi shock culture. Kita tahu bahwa di pesantren atau asrama
itu tidak bebas, kemudian ketika orang itu lulus dari pendidikan
pesantren ia menghadapi shock culture yang begitu dahsyat, namun
semua itu back to our selves. Menurut saya pendidikan pesantren di
Indonesia ini sudah bagus dan menunjang kehidupan moral, adapun
isu-isu yang telah diperbincangkan di masyarakat tadi semua itu
kembali kepada diri kita masing-masing, dan kembali kepada apa tujuan
kita dalam mengecap dunia pendidikan ini.
Apriliaswati
mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak
hanya terpacu pada penalaran ilmiah semata, tetapi juga wacana sipil
yang positif. Keduanya harus dimiliki oleh setiap warga negara
Indonesia yang terdidik, dan keduanya haruslah seimbang. Dalam hal
tersebut pendidikan tidak hanya berorientasikan pada unsur kognitif,
tapi melainkan juga pada pendidikan yang langsung dipraktekkan
seperti moral, tingkah laku, dan kontrol emosi.
Berbicara mengenai
kontrol emosi, kontrol emosi ini begitu penting, demi terciptanya
suatu toleransi yang tinggi antar manusia atau antar negara. Dalam
sebuah koran kompas, terdapat survey baru yang mengungkapkan tentang
negara mana saja yang warganya paling emosional dan kurang emosional?
Hasilnya menunjukkan , Singapura adalah negara dengan negara paling
kalem atau minim emosi, sedangkan Filipina merupakan negara paling
emosional. Namun saya pernah mendengar bahwa Indonesia juga merupakan
negara tertoleran. Jika memang benar kenyataannya seperti itu, maka
seharusnya kita malu dengan sebuah cap yang telah diberikan terhadap
bangsa kita ini, jika ternyata tidak sesuai dengan sebuah faktanya.
Karena seperti yang kita ketahui, banyak sekali konflik-konflik yang
kian marak terjadi di negara kita ini, serta demokratis yang lebih
mengarah ke arah liberal, sehingga kekacauan kasus terjadi
dimana-mana.
Kesimpulan dalam
menyikapi penyakit sosial yang terjadi di masyarakat adalah dengan
cara dialog antar agama. Dialog antar pemeluk agama harus dilakukan
dalam suasana komunikatif agar dialog itu tidak sia-sia. Bahasa
komunikatif dicirikan oleh sedikitnya kesalahpahaman, sederhanya
bahasa yang dipakai, dan terpenuhinya materi yang dibicarakan. Dialog
diberi batasan sebagai forum tukar menukar pemahaman dan pengalaman
kognitif, afektif serta motorik. Dialog disini bukan merupakan adu
penalti yang menentukan kalah atau menang, namun dialog antar pemeluk
agama ini diharapkan menggunakan nalar dan emosinya sendiri, sehingga
pada akhirnya yang muncul adalah perasaan tentang kesadartahuan akan
kekayaan ruhani atau metareligius. Dalam hal ini juga diharapkan
tujuan pendidikan dasar yakni dapat membekali siswa keterampilan
dasar untuk mengembangkan kehidupan sebagai individu, anggota
masyarakat dan warga negara.
Refensi:
Alwasilah, A.
Chaedar. 2004. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya.
Thoyib, Agus
Salim. 2011. Setahun Kiprah Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA.
Memimpin PBNU. Sayap 164.
coba petakan ulang kata kunci classroom discourse dengan religious harmony
ReplyDelete