Dalam artikel
rekayasa literasi, ada sub judul “
raport merah literasi anak negeri”. Didalamnya tertulis seambrek fakta
memilukan mengenai lemahnya literasi anak bangsa. Level literasi kita
biasa berada di urutan bawah sekelas afrika.
Sebelum mencari solusi
memperbaiki literasi, tentunya kita mendiagnosis sebabnya. Awal mula masalah
ini timbul dan bertahan bertahun-tahun.
Banyak teman-teman mengupas bahwa dulu, dari semasa kerajaan-kerajaan di
Indonesia Berjaya, hingga masa pasca kemerdekaan, kita ini bahsa penulis.
Bangsa dengan tingkat literasi tinggi. Dibuktikan dengan sekian banyak prasasti
dan Candi, dengan pahatan yang menceritakan masa itu seperti di Candi
Borobudur.
Lalu kenapa budaya literasi itu
tidak sampai ke masa kini? Hasil identifikasi Prof.Chaedar, asal mula masalah
ini seperti aliran sungai. Jika di hulu di taburi racun, tentu di hilir pun
mengandung racun. Aliran masalahnya akan dibahas selanjutnya.
Apa untungnya bila suatu bangsa
memiliki tingkat literasi yang tinggi? Tengok Jepang, Cina dan Korea, tiga
Negara maju di Asia bahkan dunia berawal dari kuatnya budaya literasi. Cina,
Negara dengan peradaban tertua di dunia ini sejak dulu adalah bangsa penulis.
Begitu banyak artefak-artefak kuno tentang filsafat,siasat dan banyak lagi
tercipta di masa para dinasti. Dan semua itu dijaga, dipelajari dan
diaplikasikan hingga saat ini. Hasilnya,Cina adalah Negara dengan perkembangan
ekonomi tercepat di Asia Tenggara, dan tak diremehkan dunia. Jepang, Negara
yang begitu menjaga budaya dan tradisinya. Anak-anak mereka bahkan adalah
anak-anak terpintar di dunia dan Jepang turut mengarahkan perkembangan
teknologi dunia. Kenapa kita tidak belajar kepada tetangga kita ini? Tentang
menjaga norma, dan budaya leluhur mereka, budaya literat.
Selama ini, yang kita fahami
istilah literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, namun pengertian
tersebut tidak lagi cukup untuk menghadapi zaman modern ini. Maka definisi baru
mengenai literasi menurut Freebody & Luke yakni :
2.
Terlibat
dalam memaknai teks.
3.
Menggunakan
teks secara fungsional.
4.
Melakukan
analisis dan mentransformasi teks secara kritis.
Dengan definisi ini, cakupan literasi menjadi lebih luas. Tidak lagi
hanya pada dimensi bahasa, tetapi mencakup tujuh dimensi yang terkoneksi satu
sama lain. Yakni:
1.
Dimensi
geografis.
3.
Dimensi
fungsi.
4.
Dimensi
media.
5.
Dimensi
jumlah.
6.
Dimensi
keterampilan.
Dimensi bahasa.
Dimensi bahasa.
Sekelumit definisi dan dimensi litersi diatas
memberikan gambaran baru bahwa literasi tak hanya soal baca tulis,
kompleksitasnya yang menjadikan tingkat literasi menjadi tolak ukur kemakmuran suatu Negara,
bukan hanya dari segi materil, namun juga intelejensi, moral, dan kulturnya.
Kini kita cermati asal mula kesalahan yang
mengakibatkan lemahnya literasi bangsa ini. Dalam artikel “Powerful Writers
versus Helpless Reader”, Prof.Chaedar menjelaskan bahwa ada tiga masalah,
ditambah satu dari Cw,Watson. Yakni:
1.
Orientasi
belajar, selama ini siswa lebih disibukkan dengan membaca dan menghafal. Ini
berhubungan juga dengan bentuk ujiannya. Selama ini porsi menghafal dan membaca
lebih banyak dibanding menulis, banyak kegiatan menulis di sekolah hanya
aktifitas copy-paste dari buku pelajaran ke buku tulis. Jarang sekali siswa
dituntut merepleksikan dirinya lewat menulis. akibatnya skill menulis mereka
tidak terasah.
2.
Bentuk
ujian. Banyak orang luar negri yang merasa aneh melihat bentuk ujian disekolah
di Indonesia, banyak mengandalkan pilihan ganda. Bagaimana mungkin pilihan
ganda dapat mengetes level literasi mereka? Siswa hanya perlu menghafal dan
sedikit keberuntungan untuk bisa lulus ujian. Dan ironis saat seorang siswa
yang pandai namun tidak beruntung, gagal dalam UN hanya gara-gara tidak tepat
melingkari jawaban. Siswa hanya perlu membaca dan menghafal, bahkan hanya
perlu menghitung kancing dan mengadu
nasib.
3.
Kurikulum.
Literasi essensinya adalah tentang membaca dan menulis, namun bila hanya salah
satu yang ditonjolkan, beginilah hasilnya seperti saat ini. Kurikulum di
Indonesia kebanyakan membangun siswa agar aktif dan cakap. Cakap disini sering diartikan siswa mampu
berargumen dan menyampaikan kompetensinya dalam bentuk verbal. Maka, siswa yang
dianggap pintar adalah siswa yang sering bicara, bukan menulis, atau membaca.
4.
Buku
pelajaran. Kini di Sekolah Dasar disediakan buku pelajaran super simple nan
padat. LKS, buku kucel ini merangkum segala mata pelajaran dalam satu semester
dalam kisaran 40-70 halaman, plus latihannya yang didominasi pilihan ganda.
Anda bayangkan komposisi 6-12 mata pelajaran didalamnya. Dengan materi berkisar
3-10 paragrap,Apa yang siswa kita dapatkan dari buku super pelit ini? Maka
pantas wawasan anak negeri ini sesempit buku pelajarannya. Jangan salahkan mereka, MEREKA HANYA KORBAN.
Solusinya, tentu selain memperbaiki empat masalah diatas, kita juga
mesti memperbaiki paradigma pendidikan di kalangan para pengambil kebijakan,
Karena hal tersebut adalah “hulu” dari hilir masalah yang muncul setelahnya.
Kelemahan literasi ini mesti diperbaiki dengan rekayasa literasi,
apa yang direkayasa? Cara mengajarkan literasi sejak usia dini, rekayasa
literasi mesti mencakup empat dimensi, yakni:
1. linguistik (teks)
2.kognitif (mind)
3.perkembangan (growth)
4.Sosiokultural
1. linguistik (teks)
2.kognitif (mind)
3.perkembangan (growth)
4.Sosiokultural
Kesimpulan :
Dengan setumpuk
fakta lemahnya tingkat litersi bangasa ini, kita tak bisa lantas men cap siswa
kita adalah produk gagal akademis. Justru mereka adalah korban gagalnya system
akademis. Bukan bermaksud saling menuduh dan menyalahkan, tapi dengan
menganalisis letak kesalahan, kita mampu menemukan cara tepat memperbaiki dan
menanggulanginya.
0 comments:
Post a Comment