The 1st Critical Review on
“Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”
by Prof. Chaedar Alwasilah (2012: 217)
Sungguh
sangat miris hati saya ketika membaca judul teks ini, ‘wacana kelas untuk
mendorong kerukunan beragama’ dari judul tersebut langsung terlintas di benak saya tentang toleransi sesama umat beragama. Itu berarti sebuah sikap
menghormati lintas agama atau orang-orang yang berbeda agama satu sama lain.
Namun saya tidak yakin akan bisa membahas itu, karena melihat realita yang ada
saat ini, agama saya sendiri (Islam) seringkali didapati kasus-kasus saling
melecehkan antara satu aliran dengan aliran yang lainnya.
Sejauh ini saya masih ragu untuk membahas
topik ini, sungguh sangat tidak ada setitik pun keyakinan saya bisa mewakili
islam untuk mengajak mewujudkan sikap toleransi antar umat beragama. Akan
tetapi haruskah saya menunggu bersatunya seluruh umat Islam di Indonesia? Tidak
mungkin, sekarang saya menemukan satu titik terang yang menarik kesimpulan
bahwa sesungguhnay kerecokan sesama umat Islam ini telah digambarkan Rasulullah
sejak dahulu kala, beliau menyebutkan dalam haditsnya bahwa di akhir zaman umat
Islam akan terbagi ke dalam 73 golongan. Subhanallah .. dengan keterangan itu
sudah tampak bahwa inilah akhir zaman, di mana Islam telah terbagi,
masing-masing golongan meyakini bahwa golongannya lah yang paling benar.
Sesungguhnya agama itu tidak ada yang paling benar, tetapi hanya ada agama yang
benar. Karena jika dikatakan ada agama yang paling benar maka akan timbul kasta
dari yang paling benar, kemudian yang benar, hampir benar, kurang benar dan
seterusnya, dan ketika dikatakan agama yang benar maka yang lainnya itu adalah
agama yang salah. Tapi dengan itu, lantas saya mengumbar kata ke setiap orang
non muslim bahwa mereka berada di jalan yang salah, tidak. Karena sejauh yang
saya ketahui pemikiran manusia itu tidak sama, adakalanya ia belum menemukan
kebenaran dalam Islam, atau keyakinannya itu tidak berorientasi pada Islam.
Permasalahan bentroknya sesama umat Islam
tidaklah mudah untuk diselesaikan, hendaknya kembali kepada diri kita sebagai
umat Islam menyadari apakah itu pantas untuk terjadi? Sejenak dimulai dari diri
kita untuk saling menghormati orang lain dari antar golongan. Dengan itu, kita akan
faham bagaimana seharusnya kita bersikap dan berperilaku sebagai warga negara
yang demokratis.
Di dalam artikelnya, Prof. Chaedar
mengungkapkan bahwa sistem pendidikan suatu negara adalah tolak ukur kualitas suatu
bangsa. Sedangkan pendidikan dasar mempunyai tujuan memberi keterampilan pada
siswa sebagai bekal untuk hidup sebagai individu, seorang ndividu hidup di
tengah masyarakat dan berperan sebagai anggota dari masyarakat. Hidup di tengah
masyarakat adalah keharusan yang tidak lepas dari interaksi sosial, dengan
siapapun orang yang ada di tengah masyarakat. Kehidupan yang merupakan sebuah
praktek interaksi sosial itu tidak jauh dari masalah yang menimpa masyarakat
itu sendiri, itu bisa jadi terjadi karena perbedaan background individu entah
itu background etnis maupun agama. Kejadian yang kerap terjadi yang menjadi
indikasi penyakit sosial adalah tawuran antar pelajar, itu menunjukkan bahwa
dampak radikalisme telah ada pada masyarakat usia pelajar. Hal ini terjadi
karena kurangnya peka dan rasa hormat terhadap orang lain atau kelompok.
Tawuran yang terjadi di kalangan pelajar
menurut Lewis A.Coser jika dilihat dari bentuknya maka ini termasuk kepada
jenis konflik out-group karena terjadi antara suatu kelompok dan kelompok lain.
Sedangkan menurut sifatnya tawuran ini merupakan jenis konflik yang destruktif
karena merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa
benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok orang.
Selanjutnya dalam pembahasan ini, Prof.
Chaedar mengungkap tentang keharmonisan antar umat beragama, yang mana
keharmonisan umat beragama itu adalah penentu baik buruknya generasi suatu
bangsa. Menurut saya pembahasan ini kurang memiliki keterkaitan yang
menyambungkan wacana, karena pembahasan di awal mengungkap tentang interaksi
sosial yang harus dijalani individu dan berkaitan dengan keterampilan individu
tersebut yang ia dapatkan dari gurunya di sekolah dasar. Namun apabila
dikatakan sebelumnya tentang bagaimana posisi atau situasi hidup di masyarakat
yang memiliki etnis atau agama yang berbeda seperti yang saya jabarkan di
paragraf sebelumnya, maka itu lebih mengena ketimbang bahasan yang disajikan
Prof. Chaedar. Karena saya yakin apabila seorang pembaca tidak mengkritisi
bahkan mengkaji secara mendalam wacana ini, pembaca akan sulit menemukan titik
temu sangkutan antara indikasi penyakit sosial (radikalisme) dengan
keharmonisan antar umat beragama, karena di awal Prof. Chaedar hanya membahas
tentang sosial kemasyarakatan (tanpa menyinggung agama) dan kemudian mengatakan
secara langsung tentang keharmonisan antar agama tanpa
mengaitkannya/menyebutkan sangkutan yang menghubungkan antara sosial dan agama.
Terlebih kasus radikalisme yang dicontohkan dengan tawuran pelajar itu terjadi
bukan karena pengatasnamaan suatu agama, tapi sebabnya itu karena konflik antar
golongan pelajar dengan sekolah yang berbeda.
Lantas salah satu contoh dari kerusuhan atau
ketidakharmonisan antar pemeluk agama yaitu kejadian yang terjadi di Indonesia
pada tahun 2002. Kejadian fenomenal itu adalah kasus pengeboman yang terjadi di
Kuta-Bali. Wikipedia ensiklopedia menyatakan kasus itu sebagai berikut Bom Bali 2002 (disebut juga Bom
Bali I)adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam
hari tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari
Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di
dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan.
Rangkaian pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul
oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali
pada tahun 2005. Masih dari informasi wikipedia diketahui bahwa para pelaku Bom
Bali adalah seorang muslim yang tergabung dalam suatu kelompok yang dinamakan
sebagai teroris. Kejadian itu adalah salah satu bentuk fanatisme yang melahirkan
citra buruk terhadap umat Islam.
Berbicara tentang kasus bom bali, sebenarnya
mereka (pelaku pengeboman) tidak memahami makna dari ‘Islam Rahmatan
Lil’alamin’ mereka anggap langkah yang mereka lakukan benar, mereka
mengatasnamakan jihad, mereka menganggap pengebomannya itu sama dengan langkah
perang para nabi terdahulu, padahal jika sedikit saja mereka berfikir tentang
kejadian perang yang dilakukan umat terdahulu sangat jauh berbeda dengan
tindakan pengeboman yang mereka lakukan sekarang ini, latar belakang perang
adalah adanya pemberontakan terhadap Islam, maka pada waktu itu pantas jika
umat Islam melaksanakan perang untuk pembelaan. Sementara mereka para pelaku
bom bali menganggap dirinya sedang berperang melawan kekafiran, jika dapat
dikatakan bahwa mereka non muslim zaman sekarang tidak terang-terangan
mengganggu kegiatan peribadatan orang Islam seperti yang terjadi pada zaman
nabi dahulu kala, jadi mereka tidak berhak mengebom non muslim atas nama jihad,
karena bentuk jihad yang lebih aman dan baik adalah dengan cara yang lembut dengan
memberikan pemahaman tentang iman dan dosa kepada mereka para non muslim. Jika
ilmu keagamaan boleh dijelaskan, dengan kasus bom bali bisa dikatakan bahwa ‘setan’
akan berbahagia, karena orang-orang kafir yang mati di bali itu mati dalam
keadaan kafir dan otomatis setan akan mendapatkan teman lebih banyak di neraka
bisa jadi setan berbicara seperti ini “syukur deh, tugas saya telah ada yang
mewakili tidak perlu menggoda umat manusia lagi, karena mereka mati sebelum
iman dan dalam keadaan kafir dan dengan itu bertambahlah teman saya di neraka”.
Kurang lebih seperti itu.
Kasus di atas sangat menjatuhkan nama baik
Islam, yang mana sekarang telah mendarah daging sebuah asumsi di kalangan umat
agama lain bahwa ‘Islam adalah teroris’ terbukti dengan adanya film bollywood
yang berjudul ‘My Name is Khan’ dan diperankan oleh Kajol dan Shahrukkhan
menggambarkan keadaan seorang muslim yang hidup di negara adi daya Amerika.
Karena telah adanya sugesti di kalangan warga Amerika bahwa ‘Islam adalah
teroris’ anak Kajol dan Shahrukkhan(Sameer) yang menunjukkan identitas Islamnya
dengan memakai nama belakang ‘Khan’ terbelit maslah dengan anak Amerika yang
mana mereka adalah siswa yang lebih tua dari Sameer, mereka berkelahi atas
motif rasial atau kebangsaan/ras yang berujung pada kematian seorang Sameer. Atas kematian anaknya
Kajol merasa sangat terpukul dan membenci Shahrukkhan, ia menyesal dengan
penggunaan nama Khan pada nama Sameer anaknya. Keislamannaya dianggap sebagai
identitas seorang teroris yang akan membahayakan kehidupan teman-teman non
muslimnya di Amerika. Begitu pula dengan Shahrukkhan yang hadir dan muncul di
Amerika dikenal dengan sorang muslim, ia menjadi buronan pemerintah Amerika
karena dianggap sebagai teroris. Oleh karena itu, seorang Shahrukkhan bersi keras
untuk bisa bertemu dengan presiden Amerika saat itu (George W.Bush) dan ia
ingin mengatakan bahwa namanya adalah Khan dan dia bukanlah seorang teroris
atau dalam bahasa Inggris (My Name is Khan, I am not a Teroris).
Dari penemuan kasus diskriminasi terhadap
Islam di atas, menunjukkan bahwa pendidikan tentang toleransi sesama umat
beragama itu sangatlah kurang di Negara Adi Daya itu, mereka anak-anak yang
masih berada di sekolah dasar tidak mengerti akan penghormatan terhadap sesama
umat beragama. Apalagi mereka seorang anak kecil yang kemampuan nalarnya belum
sepenuhnya dapat diandalkan, seiring beredarnya asumsi ‘Islam adalah teroris’
dengan kurangnya pengajaran sikap toleransi sesama umat beragama maka
terjadilah kasus diskriminasi terhadap anak sebayanya yang menyandang status
muslim.
Jadi, siapa yang harus disalahkan? Guru
sekolah dasar kah? Atau golongan fanatik Islam? Menyikapi pembicaraan tentang
toleransi umat beragama, sangat relevan jika kembali pada pendidikan dasar
terhadap anak-anak yang mana pendidikannya itu dimulai dari keluarga,
lingkungan dan pendidikan formal di sekolah. Di Indonesia khususnya pada
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan disebutkan lima agama yang diakui di
Indonesia, kemudian dijelaskan juga tentang pelajaran toleransi umat beragama,
namun pada prakteknya anak-anak sekolah yang berada di daerah perkampungan
sangat jarang menemukan teman-teman sebayanya yang berbeda agama, jadi mereka
belum terjun secara langsung praktek toleransi yang telah mereka dapatkan
teorinya di sekolah karena kebanyakan mereka hidup di suatu daerah dengan satu
agama. Ini sama halnya dengan apa yang saya alami sewaktu kecil.
Setelah saya menelaah keterkaitan interaksi
sosial antar masyarakat dan keharmonisan agama, saya menemukan titik ideal yang
menyambungkan antara keduanya. Kemudian setelah saya pahami maka pembahasan
wacana Prof. Chaedar selanjutnya dapat saya mengerti dengan lebih mudah dari
sebelumnya. Selanjutnya yaitu pembahasan tentang kerukunan umat beragama yang
harus ditanamkan kepada siswa sedini mungkin. Pernyataan ini saya setujui
karena pendidikan yang diberikan terhadap anak seusia SD akan lebih mendarah
daging ketimbang anak seusia yang lebih tua dari padanya. Ini dikuatkan dengan
pengalaman pribadi yang saya rasakan, saya selalu mengingat pengajaran tentang
toleransi umat beragama yang diajarkan sewaktu saya SD di pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Di pelajaran itu saya mengetahui lima
agama yang diakui di Indonesia, saya tahu bagaimana menyikapi orang yang
berbeda agama. Sementara pelajaran PPKn atau yang berubah menjadi PKn
(Pendidikan Kewarganegaraan) pada saat saya di SLTP sepertinya tidak satupun
yang bisa bertahan lama dalam ingatan saya, karena sejauh yang saya ingat
pelajaran PKn di SLTP mengkaji pengetahuan tentang birokrasi dan sistem
pemerintahan di Indonesia yang sampai saat inipun saya tidak mudah untuk
mengingatnya kembali. Sekarang saya tidak mengetahui apa tugas Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi atau yang lain sebagainya karena bisa dikatakan ‘barlen’
(bubar kelalen) ketika saya belajar di SLTP apabila tidak ada pengulangan
tentang pelajaran tersebut. Itu adalah salah satu bukti kuatnya nalar seorang
anak SD, maka pengajaran toleransi harus diajarkan sejak dini.
Akan tetapi praktek toleransi tidak hanya
fokus kepada umat berbeda agama, karena jarang ditemui anak seusia SD di daerah
perkampungan (Majalengka khususnya) berada satu sekolah dengan siswa yang
berbeda agama. Maka praktek toleransi beragama tidak langsung bisa ditemui oleh
siswa, melainkan yang sering dialami oleh siswa toleransi antar sesama siswa
yang memiliki perbedaan warna kulit misalnya atau berbeda dalam kehidupan
ekonomi orang tuanya. Anak yang tidak memiliki pemahaman tentang toleransi maka
dia akan mengejek temannya yang berkulit hitam misalnya, karena ia tidak tahu
sikap menghormati perbedaan satu sama lain, atau bahkan mengejek temannya yang
tidak memiliki sepatu, pakaian atau tas baru di tahun ajaran baru, karena
kepolosannya anak SD cenderung mem’bully’ temannya tersebut. Itulah salah satu
contoh kasus apabila tidak menanamkan sikap toleransi dan saling menghormati
satu sama lain.
Pernyataan pendapat Prof. Chaedar yang menyatakan
bahwa perlu dibangunnya tempat-tempat peribadatan semua agama di sekolah telah
saya temukan praktek nyata nya di salah satu perguruan tinggi di Eropa tepatnya
di Kota Viena. Di universitas tersebut telah dibangun tempat peribadatan untuk
semua umat dari berbagai macam agama, saya sangat terkesan dengan itu. Akan
tetapi, peribadatan umat-umat beragama yang menggunakan media berbeda satu sama
lain berlangsung di tempat yang sama meski disediakan media ibadatnya
masing-masing. Tidak ada sekat antaranya namun itu lebih baik daripada
mahasiswa harus pergi keluar kampus untuk beribadah. Terlihat di ruangan itu
ada patung yesus yang tergantung di atas dinding lengkap dengan hiasan lilin
yang menjadi lambang yahudi di bawahnya. Kemudian di satu sudut dinding lainnya
ada dupa lengkap dengan tempatnya yang menjadi media beribadah orang-orang
konghucu. Terakhir yang saya lihat di film itu, terdapat ruang kosong yang
berada di antara patung yesus dan dupa. Yang mana ruang itu sebagai tempat
beribadatnya muslim, meski di ruangan tersebut hanya bisa menampung dua orang
jamaah sholat.
Kegiatan penanaman pendidikan tentang
toleransi dan interaksi sosial dengan rekan sebayanya ini memfasilitasi
terciptanya wacana sipil yang positif, yang dimaksud dengan wacana sipil
positif adalah pembahasan tentang peradaban yang mana mempunyai indikator
tertentu untuk mencapai tingkat positif dalam realisasinya. Adapun indikator
dari wacana sipil positif yang disebutkan Prof. Chaedar di artikelnya yaitu:
·
Mendengarkan penuh perhatian
·
Menymbangkan ide-ide atau pendapat
·
Mengajukan pertanyaan
·
Menyatakan kesepakatan atau ketidaksepakatan
·
Mencapai kompromi dengan cara hormat
Dari semua indikator di atas, sebagai siswa
mereka harus mampu mencapai kesemuanya agar sekolah bisa dikatakan berhasil
memfasilitasi siswa dengan kegiatan interaksi sosial sesama sebayanya. Juga
dikatakan dalam artikel Prof. Chaedar bahwa kemampuan menjaga hubungan baik
sangat menentukan keberhasilan individu dalam kehidupan bersosial di tengah
masyarakat, karena jika individu tidak dapat menjaga hubungan baik dalam
interaksinya maka dia tidak jauh dari konflik sosial dalam masyarakat.
Dari teks Prof. Chaedar yang mengatakan
tentang sistem pembelajaran toleransi di sekolah dasar itu benar, namun sejauh
penemuan yang saya temukan sekaligus pengalaman, realisasi pendidikan toleransi
yang seperti itu belum ada, jadi apabila prof. Chaedar mengatakan demikian maka
harus ada tindakan nyata tentang hal itu. Namun bagaimana caranya? Itulah
sebuah gagasan yang perlu beliau ungkap kembali ke dalam artikelnya, bukan
hanya memberi saran tapi yang saya inginkan aksi nyata bahwa beliau mengajak
dan menginstruksikan kepada pendidik sekolah dasar.
Juga posisi kita yang belum terjun langsung ke
dunia pendidikan formal sebagai pendidik, kita juga bisa memulainya dari diri
kita sendiri, kita bisa mempraktekkan teori dari toleransi, entah itu di
kehidupan nyata terhadap orang-orang sekitar, atau dengan kegiatan kita di
jejaring sosial yang sangat besar kemungkinan kita bertemu orang-orang dari
berbagai macam agama, etnis dan budaya.
Pemikiran tentang aksi nyata ini saya peroleh
dari keterbukaan pemikiran yang saya sadari ini didapatkan dari hasil membaca
artikel Prof. Chaedar, jika satu orang seperti saya sudah bisa menyikapi ini
maka begitu juga dengan orang lain. Namun tidak semua penulis bisa mempengaruhi
pembacanya, menurut saya tergantung pada penyajian seorang penulis bagaimana
menyajikan tulisannya. Sebagai pembaca tidak mesti selalu mengiyakan pernyataan
penulis, namun harus ada langkah tindak lanjut dari apa yang ada di tulisan.
Dengan jauhnya pemaparan Prof. Chaedar kemungkinan akan lebih banyak aksi besar
tentang proses pencapaian keharmonisan umat beragama. Saya mengatakan ini
karena menurut saya pembaca akan menganalisa lebih dalam tentang kasus-kasus
bentrokan yang telah terjadi, tentang sebab dan kronologi kejadiannya, dan
otomatis setelah mengetahui sebabnya maka akan ada antisipasi atas kejadian
serupa.
Tidak hanya satu atau dua kasus yang
ditemukan, pembaca akan mencari kasus-kasus serupa untuk menguatkan
langkah-langkah antisipasinya. Seperti saya yang menuliskan kasus bom bali
(2002) kemudian penyerangan Kantor Konsulat Amerika Serikat dan lain lain.
Dengan
pernyataan di atas, sudah tergambarkan adanya suatu hal yang saya pertanyakan,
apakah pembelajaran di Indonesia tentang toleransi ini sudah cukup? Saya rasa
belum memenuhi kebutuhan pendidikan yang ada.
Kemudian dijelaskan tentang penjelasan
interaksi budaya di lingkungan sekolah yang sangat perlu untuk dipromosikan
karena ini bisa menunjang keharmonisan anggota lintas budaya. Salah seorang
tokoh yang menemukan konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga
keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalis yaitu Antonio Gromsci.
Selanjutnya tentang aplikasi dari pembelajaran
wacana sipil di sekolah. Seiring ditemukannya berbagai kasus para birokrasi dan
politisi maka dengan ini dinyatakan bahwa Indonesia telah gagal mencapai
kompetensi wacana sipil. Salah satu contoh kasusnya yaitu kasus Akil Mochtar
(2014) yang masih hangat diperbincangkan seorang ketua Mahkamah Konstitusi yang
korupsi.
KESIMPULAN
Sistem pendidikan suatu bangsa adalah tolak
ukur kualitas bangsa. Untuk meningkatkan sistem pendidikannya maka bangsa
tersebut harus melaksanakan pendidikan dasar yang berrientasi pada interaksi
sosial budaya yang harus ditetapkan sejak dini. Praktek interaksi sosial
berdampak baik bagi perkembangan nalar siswa yang mana akan menghasilkan
generasi penerus bangsa yang mempunyai keterampilan untuk hidup di tengah
sosialisasi masyarakat.
Dengan keterampilan tersebut, maka ekspektasi
kedepannya yaitu terciptanya keharmonisan antar sesama di atas background etnis,
agama dan suku bangsa yang berbeda. Hasil akhir yang dicapai adalah sebuah
sikap yang mengindahkan toleransi antar sesama yang akan berujung kepada
kemakmuran hidup bangsa.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung. PT
Kiblat Buku Utama
awalnya saya tuned-in dengan aliran ide kamu tapi semakin ke bawah ko semakin terbentur dengan sesuatu...proofread lagi cing
ReplyDeletekamu masih bermasalah dengan titik koma juga. Bikin cape bacanya tuh
ReplyDelete:-?
ReplyDeletesiap pa :-) memang iya saya tidak terlalu memperhatikan tanda baca, soalnya malah fokus ke bahasan, seolah-olah terpenjara hanya di dalam topik tanpa melihat ketepatan penulisan.
ReplyDelete