Pendidikan:
Klonning Budaya dan Agama
By
Nofi Maryana
Dalam buku yang berjudul pokoknya rekayasa literasi yang ditulis oleh prof Chaedar alwasilah (2011),
seorang revolusionis literasi dari tartar sunda, yang membahas mengenai wacana
kelas untuk mendorong kerukunan beragama, dijelaskan bahwa Indonesia adalah
negara yang multicultural dan juga multireligion. Kedua aspek yang seharusnya
menjadi aset berharga ini, justru menjadikannya boomerang bagi keharmonisan
Indonesia sendiri. Budaya dan agama sejatinya adalah pemersatu bangsa namun karena
faktor tertentu-konflik antar agama menjadikannya ajang perselisihan.
Ketidakharmonisan ini
jelas terlihat salah satunya pada sistem pendidikan. Pendidikan di Indonesia
khususnya pada pendidikan sekolah, anak-anak akan cenderung lebih memilih untuk
berinteraksi dengan rekan-rekan mereka yang memiliki kesamaan dibandingkan dengan meraka yang memiliki
perbedaan baik budaya atau agama. Mengapa demikian? Sejatinya karena belum
tertanamnya kesadaran beragama dan berbudaya dalam sistem pendidikan Indonesia.
Hal ini akan menjadi highlight besar dimana
penanaman kesadaran akan multicultural dan juga multireligion ini perlu
ditanamkan sejak dini. Jenjang pendidikan sekolah dasar merupakan ranah yang
tepat untuk menanamkan segala keterampilan dasar agar dimasa depan anak
tersebut siap bersosialisasi dengan dunia yang notabene tidak bersahabat ini. Dengan
pembekalan keterampilan dasar ini, anak akan sadar siapa mereka, posisi mereka
dalam masyarakat dan kewajiban mereka sebagai warga negara atas negaranya. Akan
tetapi pembekalan keterampilan tersebut masih jauh dari sempurna karena dalam
kehidupan nyata saat ini indikasi penyakit sosial sudah muncul dimana-mana.
Penyakit sosial muncul
sebagai konflik yang terjadi dalam masyarakat, hal ini dikarenakan kurangnya
rasa solidaritas terhadap orang lain sebab kelompok yang berbeda. Oleh karena
itu pendidik disini mengambil peran khusus guna melakukan yang terbaik untuk
mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dan
berkarakter kuat. Untuk dapat merealisasikan tujuan ini, yang paling crusial
ditanamkan sedini mungkin adalah kerukunan umat beragama, dengan wacana sipil
positif sebagai dasar program-program
kreatif dan inovatif di kalangan siswa.
Wacana sipil
menitikberatkan pada peran aktif anak dalam pembelajan. Disamping diajarkannaya
mata pelajaran umum, siswa juga harus dibekali pengetahuan akan multikultural
dan multireligion agar menghasilkan anak yang tak hanya pandai namun juga
bertoleransi tinggi. Menggunakan metode pelajaran ini, siswa akan
mampu mengubah pendapat berdasar mereka menjadi argumen beralasan. Mereka juga
akan belajar bagaimana untuk secara efektif menghadapi lawan argumen -tidak
dengan tinju dan marah- melainkan dengan proses sanggahan.
Dalam konteksnya sebagai
negara multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis , agama dan
sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang
mereka. Wajar apabila disuatu titik tertentu akan terjadi disintegrasi faham. Begitupun
kasusnya dengan multireligion negara ini. Islam, kristen baik protestan ataupun
khatolik, hindu, dan budha adalah agama-agama besar yang eksistensinya di
Indonesia tak dapat diragukan lagi. Namun belakangan marak konflik antar etnis.
Ini adalah bentuk-bentuk radikalisme yang akan mengganggu kohesi sosial tak
terkecuali pendidikan. Oleh karenanya program sekolah harus dimodifikasi
sedemikian mungkin agar perbedaan latar belakang budaya atau agama tak
mengganggu proses pendidikan dan malah memperkaya interaksi untuk mengembangkan
wacana sipil positif.
Sedikit mengkaji ke
belakang, dulu konflik antar etnis semacam Sambas ( 2008 ), Ambon ( 2009 ),
Papua ( 2010 )dan Singkawang ( 2010 ) ini sempat terselesaikan namun belum
habis terselesaikan. Tapi setidaknya sempat terselesaikannya inilah yang perlu
kita kaji. Pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal
dengan nama Gus Dur memiliki teori yang dicetuskannya sendiri yakni Pluralisnme
atau toleransi. Dimana pluralisme ini memiliki keyakinan bahwa semua agama adalah benar karena
memiliki satu titik tujuan yang sama yakni “Tuhan”. Dalam pemerintahannya Gus
Dur tidak pernah mempersalahkan agama. Beliau menyatukan semua agama dengan
payung toleransi, dan dengan semua pemikiran brilian tapi “nylenehnya”itu,
beliau mampu mendamaikan seluruh agama. Alih-alih mendamaikan seluruh agama, pihak
islam sendiri yang tidak setuju dengan teori tersebut. Akibatnya beliau lengser
diturunkan oleh pihaknya sendiri. Padahal seiring berkembangnya jaman, pemikiran-pemikiran
“nyleneh” beliau menjadi nyata. Bahkan ada istilah yang mengatakan bahwa pemikiran
Gus Dur mendahului jamannya.
Pemikiran-pemikiran yang
dalam arti kritis dan menyeluruh seperti ini yang mestinya ditanamkan di
pendidikan saat ini. Lewat pendidikanlah pemikiran budaya dan agama tersalurkan
membentuk pemahaman bahwasanya meski mereka berbeda dalam budaya maupun agama, namun mereka dalam satu payung yakni
Indonesia. Kenyataan sekarang gencar disuarakan pendidikan liberal atau
liberalisasi pendidikan, pertanyaannya adalah apa sebenarnya pendidikan liberal
itu dan apakah cocok diterapkan di Indonesia yang sejatinya terlebih dahulu
menganut sisitem pendidikan Pancasila. Inilah PR bagi bangsa Indonesia yang
harus menemukan sistem pendidikan yang cocok dengan jati diri bangsa bukan
hanya mengikuti mode barat atau sebagainya.
Pendidikan liberal seperti
yang dikatakan oleh bapak Chaedar rupanya tidak pantas diterapkan pada sistem
pendidikan di Indonesia. Hal ini dilihat pada sistem pendidikan liberal tidak
ada sedikitpun unsur agama didalamnya. Karena sistem pendidikan yang besar di
Amerika ini memisahkan pembelajaran agama dan pembelajaran umum mereka. Ada
asrama yang berfungsi sebagai tempat pembelajaran agama mereka, dan di jenjang
pendidikan formal dikhususkan pada pengembangan pengetahuan atau kognitif,
moral, dan emosi. Dua hal ini dirasa tidak cocok apabila di terapkan pada
sistem pendidikan Indonesia.
Salah satu pendidikan yang dirasa cocok dengan kepribadian bangsa
Indonesia adalah pendidikan multikultural dimana pendidikan multikultural
menurut Prudence Crandall adalah pendidikan yang memperhatikan secara
sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman
suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan), dan budaya (culture). Secara
lebih ringkas Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa
pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai kergaman budaya. Sedangkan
menurut Gibson (1984) mendefinisikan mendidikan ini sebagai suatu proses
pendidikan yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi,
dan masuk kedalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki.
Intinya pendidikan
multikultural menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini. Indonesia tidak akan
pernah ada tanpa jawa, sunda, bali, batak, minang, dayak, dan sebagainya.
Kemajemukan adalah modal perekat membangun peradaban maju Indonesia. Merajalelenya
benih radikalisme di kalangan generasi muda Indonesia dinilai mengancam prinsip
kebhinekaan bangsa. Pancasila sebagai pemersatu yang melahirkan Indonesia dirasa
semakin tidak dikenali lagi sebagai harga diri bangsa. Banyak survei yang
membuktikan maraknya gejala militansi keagamaan. Sungguh meresahkan memang,
oleh karenanya sistem pendidikan juga harus memperhatikan keragaman agama.
Pluralisme yang dilakukan oleh Gus Dur pun pelu dipertimbangkan. Singkatnya
pendidikan di indonesia harus bisa mengawinkan perbedaan agama serta budaya
karena itulah adalah cita-cita bersama untuk mempersatukan Indonesia.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia telah
bergema sejak tahun 2000. Frans Magnis Suseno ketika itu menulis di harian Suara Pembaharuan. Suseno mendefinisikan
pendidikan pluralisme sebagai pendidikan yang mengandaikan manusia untuk
membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok
etnis atau tradisi budaya dan agama,
sehingga manusia mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga
yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya adalah terbangunnya
nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Agama bersifat fundamental oleh karenanya penggalian
ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan manusia
sebagai kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai
keyakinan warga bangsa Indonesia
mengakui bahwa menghargai orang lain merupakan kewajiban;
memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan; menolong adalah
perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga perdamaian hidup;
dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.
Berdasarkan penjelasan diatas,
guna merealisasikan pendidikan multikultural yang berbasis pluralisme maka
diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai
bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka
pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi
dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di
masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya,
bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang
terpenting dalam pendidikan ini adalah seorang guru atau dosen tidak hanya
dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata
pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik
juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural
seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai
keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan
dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang
ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam
memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Ketika suatu negara sudah bisa
menghargai perbedaan, maka disitulah perdamaian terjadi. Pertanyaannya bagaimana
cara meminimaliskan pperbedaan tersebut. Salah satunya adalah denagn dialog
agama. Sebenarnya dialog agama bukan hal baru yang digunakan Indonesia untuk
menyelesaikan konflik agama. Dialog antar umat beragama mulai mendapat
perhatian sejak tahun 1960-an, khususnya dimasa Orde Baru. Musyawarah kerukunan
beragama yang diprakarsai oleh Departemen Agama telah berlangsung pada tahun
1967. Kemudian pertemuan diberbagai tingkat permukaan agama berlangsung
dibanyak daerah, sekitar masalah kerukunan dan toleransi beragama
Dialog yang diselenggarakan atas
prakarsa tokoh atau lembaga keagamaan terjadi, antara lain di Jawa Barat,
khususnta di Sukabumi (misalnya pada tahun 1967, 1968, 1971) atas prakarsa
panglima Divisi Siliwangi di Karit (1967) dan lain-lain. untuk mengembangkan
kerukunan,pemerintah pernah menyelenggarakan semacam proyek yang disebut
“Proyek Pelita Dialog Antar Umat beragama” yang dipusatkan di ibukota provinsi
(1972-1975).
Perhatian gereja-gereja terhadap
masalah hubungan antar umat beragama mulai didengar dalam Konferensi Gereja dan
Masyarakat di Slatiga (1967) yang mengatakan “agama dalam memenuhi tugasnya di
tengeh-tengah proses modernisasi dengan memperkembangkan pemikiran baru dengan
bertolak belakang dari iman masing-masing”.
Selanjutnya perhatian terhadap
hubungan antar umat beragama di kalangan gereja-gereja mulai berkurang. Barulah
pada tahun 1981 PGI (DGI) menyelenggarakan seminar-seminar agama-agama yang
kemudian berlangsung setiap tahun dengan tema-tema yang disesuaikan dengan
perkembangan yang sedang terjadi. Dari teme-tema tersebut jelas dialog
dipusatkan pada masalah yang sedang dihadapi bersama sebagai bangsa dan
masyarakat Indonesia.
Di Indonesia tampaknya agama-agama bergerak
sendiri-sendiri menghadapi tantangan perkembangan jamannya. Padahal tantangan
yang dihadapi itu adalah tantangan bersama umat manusia. GBHN mengamanatkan
harapan dari umat beragama akan bertanggung jawab bersama dari semua golongan
beragama dan kepercayaan kepada Tuhan YME untuk secara terus menerus, serta
bersama-sama meletakkan landasan spiritual, moral, dan etika yang kokoh bagi
pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
Selain itu umat beragama di Indonesia
masih belum bergaul secara akrab yang ada hanya semacam ko-eksistensi, enggan
membicarakan masalah secara bersama-sama
karena takut menimbulkan “keresahan” atau takut ada yang tersinggung. Padahal
justru karena ada perbedaanlah,pengenalan perlu dan karena perbedaan pula
persatuan menjadi hidup (Einar
M. Sitompul).
Selain
sebagai media sharing ataupun penyelesaian masalah atau konflik antar agama,
dialog agama bertujuan pula sebagai berikut:
- Tumbuhnya saling pengertian yang objektif dan kritis;
- menumbuhkan kembali alam kejiwaan yang tertutup oleh tirai pemisah karena tiadanya saling pengertian kepada alam dan bentuk kejiwaan yang otentik dan segar, yang memungkinkan dua belah pihak mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang sejati (sehingga) Dialog yang baik akan mengarah kepada terciptanya pertemuan pribadi-pribadi yang bentuk konkretnya berupa kerja sama demi kepentingan bersama.”
- Untuk menumbuhkan pengenalan yang lebih mendalam kepada orang lain dan kemudian melahirkan keperdulian kepada sesama manusia.
- Untuk menciptakan ketemtraman didalam masyarakat.
- Menjamin terbinanya kerukunan dan kedamaian yang terarah kepada suatu bentuk kongkret.
- Untuk menanggapi penderitaan yang terus bertambah dan menakutkan serta menyakitkan.
- Untuk menolong dan melayani orang lain menghadapi krisis kemanusiaan.
Tujuan
dialog agama begitu ideal, agar apa yang diharapakan benar-benar nyata. Dalam
dialog antar agama diciptakan pedoman-pedoman dalam berdialog. Mengingat,
anggota berasal dari berbagai macam agama, maka perlu adanya pedoman untuk
menjaga kelangsungan dialog itu sendiri.
Pedoman
khusus dialog antar umat beragama antara lain:
1.
Dasar
pijakan yang sama, semua pemeluk agama memiliki kepercayaan yang sama akan satu
Tuhan. Adanya agama yang berbeda-beda merupakan bagian-bagian satu keluarga
umat manusia. Mereka tinggal dalam tempat yang sama baik daerah dan Negara,
sehingga perlu dibuatlah landasan hidup bersama untuk terbinanya kerukunan dan
kerja sama dalam hidup bernegara.
2.
Tujuan
dialog adanya saling pengertian dan menghargai yang lebih baik antar pemeluk
agama. Adanya perbedaan bukan direltiviskan kebenarannya, melainkan untuk
toleransi antar umat beragama.
3.
Materi
dialog merupakan tema-tema menarik untuk kepentingan nasional bangsa Indonesia.
Kode etik dialog antar
umat beragama.
- Kesaksian yang jujur dan saling menghormati. Dalam dialog masing-masing umat beragama memberikan kesaksiannya tentang agamanya secara jujur. Juga tidak ada unsur saling menjatuhkan antar umat beragama yakni, simpati akan kesukaran, kemajuan agama lain.
- Prinsip Kebebasan Bersama. Prinsip kebebasan bersama meliputi kebebasan perorangan dan sosial. Setiap orang bebas memilih agama, tanpa ditekan oleh sistem sosial masyarakat berkembang, yang didominasi oleh agama tertentu.
- Prinsip penerimaan (acceptance). Prinsip ini bertujuan untuk menerima umat beragama lain apa adanya. Kita tidak memproyeksikan agama lain menurut agama kita dan pikiran kita.
- Berpikir positif dan percaya. Berpikir positif adalah melihat nilai-nilai positif dari agama lain. Percaya adalah sikap yang tidak menaruh prasangka-prasangka (prejudices). Perlu dikembangkan sikap saling percaya untuk mengawali dialog.
Dengan bantuan pedoman-pedoman dalam
dialog antara umat beragama diatas, insyaAllah
akan tercipta kerukunan umat beragama yang diidam-idamkan semua
masyarakat.
Kaitannya dengan Classroom
discourse to foster religious harmony, bahasa yang guru dan siswa pakai dalam
berinteraksi di dalam kelas harus diperhatikan. Siswa harus dibiasakan
berinteraksi atau peer interaction dengan sesamanya demi menanamkan nilai-nilai
humanisme atau toleransi dan membiasakan dialig aktif. Bila perlu rekayasa
interaksi untuk memancing tumbuhnya kesadaran bertoleransi tersebut. Wacana
sipil yang berkiblat pada wacana yang high literat, dirasa perlu diterapkan
untuk mendorong kesuksesannya.
Selain jalur pendidikan
formal, jalur informal seperti keluarga pun menjadi faktor utama seorang anak
mampu bertoleransi dengan sesamanya, karena hanya dalam keluarga anak
mendapatkan pembelajaran yang tak diberikan oleh sekolah formal. Dalam keluarga
dikenal pembelajaran secara langsung yakni orangtua langsung mempraktekkan
sebuah pelajaran yang tersirat dalam perbuatannya dan sang anak akan belajar
dari situ, meniru apa yang dilakukan orang tuanya, dan kemudian diakhir orang
tua hanya tinggal menjelaskan mengenai hikmah atau nilai dibalik perilaku
mereka. Sehingga anak akan dengan mudah mengaplikasikan toleransi dalam
kehidupannya.
keharmonisan berinteraksi.
Salah satu bahan kajian wacana sipil sistem pendidikan multikultural indonesia.
Keprihatinan menyelimuti pemerintahan Indonesia. Dalam megahnya gedung
kepresidenan, diatas kursi tahta yang dijunjung, praktek interaksi bobrok. Para
wakil rakyat yang seharusnya memberi contoh pada masyarakat negeri ini dalam
berperilaku sipil, justru berinteraksi dengan kata-kata yang kasar bahkan bertukar
pikiranpun harus dengan menjatuhkan satu sama lain. Disaat mereka gempar
menyuarakan berperilaku literat, perilaku diri sendiri miskin etika.
Lewat pendidikanlah budaya
bercampur benghasilkan budaya baru yang memiliki nilai yang tak kalah saing
dengan budaya aslinya, begitupun dengan agama. Lewat pendidikan, agama
bersosialisasi bukan ingin memunculkan agama baru, melainkan menambah saling
pengertian dan wawasan akan hikmah dibalik perbedaan. Dari perbedaan manusia
dapat belajar bersyukur atas kelebihan dan memperbaiki kekurangan. Dari
perbedaan pula manusia tahu begitu indahnya sebuah keragaman. Keragaman budaya
dan agama selayaknya dijadikan aset bangsa, bukan malah jadi sarana adu domba. seperti
yang dikatakan KH.
Hasyim Asy’ari (pendiri NU/kakek Gus Dur) bahwasanya: “Sebenarnya Indonesia ini
untuk dijadikan Negara Islam sangatlah mudah. Hanya saja Allah justru
berkehendak menampakkan kekuasaanNya terhadap bangsa ini lewat keberagamannya. Dari
suku, bahasa, agama dan ras yang berbeda-beda itu (Bhineka), Tuhan menghadirkan
Islam untuk merangkul mereka semua sebagai perwujudan Rahmatan Lil’alamin
(Tunggal Ika).” Begitu terbukanya islam menerima negara lain berjalan di
sampingnya. Jadi apapun agama yang kalian anut,
bersikaplah bijaksana menyikapi perbedaan ini.
Orang yang bijaksana adalah orang yang mau belajar dari perbedaan (Nofi/2014).
Jadi
yang dapat disimpulkan dari semua penjelasan diatas adalah negara Indonesia
sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia adalah bangsa yang
beradab dan memilki peradaban. Indonesia sangatlah unik dan memilki
karakteristik yang khas. Begitu pula dalam pendidikan, sistem dan prinsip
pendidikan di Indonesia tidak dibenarkan untuk mengiblat kepada negara lain.
Karena Indonesia sama sekali berbeda dengan mereka. Indonesia memilki
kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang jauh lebih baik dari Negara manapun.
Jika pendidikan di Indonesia ingin berhasil dan mencapai keberhasilan maka
pendidikan di Indonesia haruslah berorientasikan kepada kebijaksanaan local dan
budi pekerti luhur yang dimilki bangsa ini.
Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi.
Bandung. PT Kiblat Buku Utama.
Knitter,
Paul F. Satu Bumi Banyak Agama.
Suseno, Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme”
dalam Suara Pembaharuan.
http://m.sindonews.com/read/1014/02/19/15837032/indonesia-perlu-adopsi-pendidikan-multikultural
Id.wkipedia.com/dialog agama
Semangat!
ReplyDelete