Manusia itu berasal dari kata insan
ajectivenya anis (maskulin) dan anisah (feminism) yang dimaknai dengan harmoni
, serasi damai, rukun atau sejahtera jika dalam diri manusia selalu menginginka
dan menghadirkan konflik, dimanakah letak dari insannya (harmoni) yang
merupakan esensi dari karakter manusia itu sendiri.[1]
Indonesia merupakan Negara besar
yang multicultural, dapat kita umpamakan sebagai suatu tempat yang ibarat toko,
Indonesia merupakan Toserba (toko serba ada) dari segi bdaya, adat istiadat,
agama, etnis, dan ras semua terdapat lengkap di Indonesia. Maka dari itu
persatuan memang senjata utama kita sejak dulu. Kita sudah ber Pancasila sejak
tujuh abad yang lalu yang bernama “Bineka Tunggal Ika” (berbeda-beda
tetap satu jua) dengan adanya faham tersebut sejak berabad-abad yang lalu maka
terlihat bahwa indonesia memang berdiri diatas semua perbedaan sejak tujuh abad
yang lalu.
Tentunya persoalan tentang masalah
toleransi dan saling menghargai antara keberbedaan sudah bukan suatu yang baru
di kalangan masyarakat Indonesia. Setidaknya masyarakat Indonesia tahu bagaimana
beraneka ragamnya suku, ras dan agama di Indonesia. Walaupun begitu, namun
masyarakat Indonesia juga masih rawan akan perpecahan karena berbagai
masalah-masalah yang sensitif dimata masyarakat. Ikhwal tersebut benguatkan
bahwa pendidikan toleransi sagatlah penting dikenalkan sejak dini, saling
menghormati antar umat beragama, antar suku, ras dan antar keyakinan. Tentunya yang
penguatan dari sektor pendidikan dinegara kita.
Kemajuan suatu Negara memang
diyakini berbanding lurus dengan kualitas daripada pendidikan
di Negara tersebut. Namun kemajuan dari pendidikan juga perlunya keseriusan dari masyarakat
untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Dalam Artikel Prof. Alwasilah yang berjudul “Classroom
discourse to foster religious harmony” mengemukakan bahwa Menjelaskan tentang kelas yang menujnkan yang individual, perlu
garis bawahi adalah peer collaboration and interaction on social karena itu
juga untuk menangkal terjadinya
kekerasan dikalangan remaja sekolah. Dalam atrikel
tersebut juga menjelaskan tentang penelitian yang telah menunjukkan bahwa
anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan
mereka. Dalam konteks sekolah , itu adalah hubungan ini di mana menghormati
rekan, bantuan, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain . Konsep
interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan
sosial[2]
Dalam hal ini Kekerasan dikalangan remaja
adalah sebagai hasil dari kurangnya keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan
mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara . Keterampilan
dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Keterampilan
dasar tersebut adalah menyangkut moral, sosial, emosi, sampai pola pikir. Untuk
itu penulis berpendapat pendidikn
liberal sangatlah penting.
Pendidikan Liberal
Pendidikan liberal adalahmerupakan cikal-bakal pendidikan tinggi
di AS dalam konteks Indonesia, jauh-jauh hari sebelum para penjajah datang,
sistem pesantren sudah lama berkembang seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara.
Tujuan umum dari pendidikan liberal menurut derek bok, mantan Presiden Harvard
adalah, “a critical mind free of dogma, but nourished by human velue” ada dua
kunci yang harus dipegang oleh siswa yang mempunyai background pendidikan
liberal yaitu kemampuan berpikir kritis dan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih
khusus pendidikan liberalmemayungi pendidikan kognitif, moral dan emosi.
Dua topic, religious harmony, dan
class room discourse, di amerika menerapkan pendidikan yang lebih ke asrama,
peer interaction social, sehingga classroom discourse terjadi, ada apa dengan
Indonesia Padahal
Indonesia sudah menerapkan system tersebut, contoh pesantren. Peer
interaction di pesantren laki-laki dan perempuan dipisah, sementara di amerika pun sama, namun dalam sekolah tetap dalam satu
kelas.[3]
Namun disisi lain, Ideology
liberalisme juga mempunyai kelemahan jika diterapkan di Indonesia, Kelemahan
utama liberalisme adalah kurangnya perhatian terhadap nasib kaum miskin, buruh
dan lainnya.Mereka menganggap siapa yang miskin itu yang hidupnya malas.Sangat
ekstrem.Tapi anggapan itu tidak berlaku untuk kondisi Indonesia.
Pesantren
Pondok Pesantren (Ponpes) masih
menjadi pilihan masyarakat untuk mendidik putra-putri mereka. Apalagi, dengan
banyaknya ponpes yang berwajah modern, makin banyaklah anak bangsa yang
berkesempatan mengenyam pendidikan agama tanpa melupakan pendidikan umum.
Berdasarkan pendataan ponpes 2010-2011 dari Kementerian Agama, terdapat 27.218
ponpes yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah santri secara keseluruhan
bahkan mencapai 3.642.738 orang. Secara bahasa, pondok berarti tempat tinggal
atau bangunan sementara. Pondok dalam bahasa arab disebut al fundduq yang
bermakna asrama, tempat penginapan sementara. Adapun pesantren dari kata
'pe-santri-an' yang bermakna tempat para santri.
Liberalisme di sisi lain juga
berdampak pada aspek ekonomi, dalam wujud kapitalisme. Suatu sistem ekonomi
yang sangat menekan campur tangan pemerintah dan bergantung pada mekanisme
pasar demi “nilai-nilai kebebasan” yang tadi disebutkan.Juga demi memacu daya
saing manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Sangatlah masuk akal memang,
jika manusia akan sangat terpacu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka jika
diberi kepemilikan hak milik pribadi dan kebebasan mengelola dan mendaya
gunakannya secara maksimal dan bebas.Dengan kebebasan yang diberikan kepada
setiap individu dapat mengakibatkan individu tersebut melakukan eksploitasi
terhadap sumber-sumber produksi yang ada.[4]
penerapan liberalisme pada dasarnya
tidak cocok diterapkan di Indonesia secara penuh.Indonesia sendiri dikenal
dengan Negara yang selalu menggunakan system campuran. Sehingga, hal-hal yang
positif dapat diikuti namun tetap merajuk pada budaya dan adat istiadat Negara
kita, karena pada dasarnya manusia dilahirkan secara bebas namun norma dan adat
istiadat yang masih terus dijaga oleh masyarakat Indonesia tetap mengikat kita
sebagai manusia.
Memang di Negara Indonesia isu-isu
yang menyangkut agama masih sangat sensitif, oleh karena itu ketika isu-isu
yang tengah mengemuka dikalangan masyarakat khususnya tentang masalah agama,
akan memancing respon yang sangat keras dari kalangan masyarakat. Contohnya
ketika adanya berita tentang karikatur nabi di Denmark membuat Kedutaan Besar Denmark di Jakarta sempat
tutup selama tiga pekan untuk menghindari gangguan keamanan akibat aksi protes
warga Muslim atas penerbitan 12 karikatur Nabi Muhammad S.A.W.di koran Denmark,
Jyllands- Posten. Pada tahun 2006.[5]
Itu merupakan bukti kesensitifan masyarakat Indonesia dalam menanggapi setiap
isu-isu yang berbau agama dan keyakinan.
Contoh
lainnya adalah apada kerusuhan yang berbau agama di Ambon, Indikasi-indikasi yang ditemukan sebelum hingga pasca
kerusuhan, menunjukkan bahwa kerusuhan Ambon sudah direncanakan secara
sistematis. Bisa dipahami bahwa kerusuhan berkembang sangat cepat, eksesif dan
tak terkendali, tanpa disadari oleh masyarakat yang terlibat dalam konflik.
Pihak perekayasa tampaknya telah belajar banyak dari kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi sebelumnya (27 Juli, Situbondo, Tasikmalaya, tragedi Mei, “Dukun
Santet”, Ketapang, Kupang, Sambas, dll). Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi
sebelum peristiwa Ambon telah dipahami dan dibaca masyarakat sebagai hasil
“rekayasa elite politis”. Sementara pada kasus Ambon lebih banyak masyarakat
membaca kerusuhan sebagai konflik agama semata. Ini terjadi, selain karena
rekayasa kerusuhan Ambon itu rapi dan sistematis, juga karena kondisi
masyarakat sipil masih rentan terhadap aksi adu domba.
Bukan
hanya isu-isu agama yang menyangkut pelecehan yang rawan akan adu domba di
kalangan masyarakat Indonesia, namun juga aliran-aliran baru dalam satu agama
yang dianggap sesat contohnya adalah persoalan ahmadiyah yang sampai saat ini
masih diperdebatkan. Oleh karenyanya pencegahan dari mudahnya masyarakat
indoenesia dalam terprofokasi isu-isu agama sangatlah penting, sedini mungkin
masyarakat harus belajar bertoleransi yang dapat mempersatukan bangsa
salahsatunya dengan metode peer Interection tersebut dan juga pendidikan
berbasis liberal yang juga dijelaskan oleh prof chaedar dalam tulisannya.
Yang harusnya menjadi fokus utamanya
adalah fanastisme dalam beragama. Gus dur,Fanatisme beragama bisa mengikis
kesatuan umat, karena umat beragama seharusnya bisa menciptakan toleransi baik
pada kelompok sendiri maupun umat beragama lain, tapi dengan fanatisme yang
berlebihan justru menciptakan kesenjangan.kesenjangan disini bersifat lebih
individualis, dan merasa paling benar. Ketika seorang yang terlau fanatic
dengan agama, bangsa, suku, ras dan golongan.
Masyarakat Indonesia memang sangat
kental terhadap fanatisme, bukan hanya fanatisme agama namun juga fanatisme
kedaerahan yang semakin menjadi, contoh negatif dari fanatisme berlebihan dalam
ranah kedaerahan adalah tawuran antar desa, kampung, atau dusun begitu pula
tawuran antar supporter sepak bola uyang mengatasnamakan kota mereka
masing-masing.
Pendidikan berbasis liberal di
pesantren berbasis agama satu, paling yang membedakan adalah aliran-aliran
masing-masing, walaupun semua pesantren ber latar belakang agama islam namun,
mempunyai banyak aliran, golongan dan pendapat yang berbeda antaralain aliran
ahmadiyah, dan ahlussunnah. Jenis dari pesantren juga secara umum terbagi menjadi
dua, yaitu pesantren berbasis modern, dan pesantren yang masih menggunakan
metode tradisional.
Dalam artikel
Prof. Alwasilah, Cuma menjelaskan tenteng pendidikan liberal yang dicondongkan
dalam basis pesantren dan pendidikan liberal yang sukses Amerika, namun
sebenarnya dalam pendidikan umum di Indonesia sudah menggunakan atau didasari
oleh filsafat Pendidikan Pancasila. Landasan filsafat tersebut sudah cukup
menjadi sebuah landasan pendidikan yang kokoh dalam membentuk karakter dan
moral para pelajar Indonesia.
Filsafat Pancasila Sebagai Dasar Pendidikan
Bangsa Indonesia
Pengertian
filsafat menurut arti katanya, kata filsafat dalam Bahasa Indonesia berasal
dari bahasa Yunani terdiri dari kata Philein artinya Cinta dan Sophia artinya
Kebijaksanaan. Filsafat berarti Cinta Kebijaksanaan, cinta artinya hasrat yang
besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya
Kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti Hasrat atau
Keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati.
Filsafat
Pancasila dapat diartikan sebagai hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya dari
bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu
(kenyataan, norma-norma, nilai-nilai ) yang paling benar,paling adil, paling
bijaksana, paling baik, paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Pancasila pada
hakikatnya juga memiliki arti sebagai perwujudan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia sepanjang sejarah dan merupakan penggabungan antara unsur-unsur
budaya luar yang sesuai dengan budaya Indonesia sehingga keseluruhannya terpadu
menjadi sebuah Ideologi yang bernama Pancasila. Pandangan tersebut akhirnya
diyakini oleh bangsa Indonesia dalam melaksankan kehidupan berbangsa dan bernegara
dan dari gagasan itulah dapat diketahui akan cita-cita yang ingin dicapai oleh
bangsa dan Negara Indonesia.[6]
Indonesia adanya perbedaan budaya, merupakan hal yang
biasa dan sudah terdidik sejak dini. Pendidikan liberal, tidak adanya unsur
agama, mentingkan kognitif, moral dan emosi, Social berinteraksi, peran dari
wacana kelas yang membuat setiap siswa aktif dalam diskusi kelas yang dan
menyoroti secara khusus dalam hal moral, nilai dan kebudayaan. Wacana kelas
menjadi kerukunan berinteraksi, merupakan kohesi yang memberi pemahaman penuh
tentang saling menghormati antar agama. Disini landasan dari filsafat pancasila
dalam pendidikan diIndonesia sangat berperan strategis.
Guru tidak hanya mengajarkan
scientific saja tetapi juga tentang
norma, moral, karakter. Persahabatan dengan rekan-rekan
dapat membantu dia belajar tentang berbagi dan bergiliran, kerjasama dan
resolusi konflik, keadilan, atau agresi-semua skill dia akan butuhkan nanti di
sekolah dan dalam kehidupan.
Pemahaman multicultural dari guru juga mengambil peran penting dalam hal ini,
karena pemahaman konflik yang berkenaan dengan isu-isu “sara” dapat ditekan.
Sebagai
kekayaan berarti semua agama yang berada di Nusantara ini diyakini mempunyai
kekhasan fungsional religious sehingga adanya banyak agama justru menampilkan
wajah bangsa yang “tidak monoton” karena perbedaan agama merupakan anugra bagi
bangsa ini. Itulah pemahaman yang harus di tanamkan kepada seluruh masyarakat
Indonesia yang masih awam akan toleransi.dalam pendidikan umum pada sekolah, di
isi dengan berbagai study pemahaman yang saling bersinergi dengan keyakinan.
Dalam aspek
pendidikan, pendidikan liberal dan demokrasi merupakan hal yang mempunyai
maksud dan tujuan yang sama, yaitu terciptanya keaktifan interaksi wacana dalam
kelas yang berasaskan kesetaraan dan tak terkotak-kotakkan dalam golongan, ras,
dan agama. Ini yang sudah pasti akan terciptanya budaya keharmonisan dalam
kelas. Keseimbangan toleransi di kelas yang multicultural akan lebih terlihat
menarik dibandingkan kelas yang monoton dalam adat istiadat yang sama.
Religious harmony
Pendidikan liberal tersebut tak lain
dan tak bukan merupakan suatu langkah yang pasti dalam mewujudkan keharmonisan
dalam beragama. Wacana dalam kelas mungkin Cuma sejenis simulator untuk
mambangun keharmonisan yang sesungguhnya dikalangan masyarakat ketika siswa
tersebut terjun ke Masyarakat. Indeonesia sebagai Negara yang multicultural,
tercatat sebagai salahsatu Negara yang paling toleran diasia bahkan di Dunia.
Itu dapat terlihat dari keseharian masyarakat Indonesia yang agamis namun
mempunyai tenggang rasa yang sangat tinggi. Peer interaction mengkombinasi
antara keharmonisan beragama dengan wacana
dalam kelas yang menmungkinkan siswanya dapat berpikir kritis dan
moderat.
Untuk itu sebagai Indonesia sebagai
negara yang berdaulat tidak menjadikan segala sesuatu yang datang dari Barat
sebagai anutan secara berlebihan, terlebih meniru secara menyeluruh, karena
Bangsa kita tidak kalah hebat, bahkan sebenarnya jauh lebih hebat dibandingkan
Negara-negara Barat tersebut. Nilai-nilai yang kita punya, yang terbentuk
melalui proses yang panjang dan dilatarbelakangi oleh penyesuaian karakteristik
iklim, karakteristik keadaan alam, maupun karakteristik
sosiologis-kemasyarakatan, membentuk budaya, norma, dan nilai-nilai yang patut
kita acungkan jempol dan tentu saja paling sesuai dengan diri kita sebagai
masyarakat Indonesia.[7]
Namun itu terkesan bertolak belakang
dengan sistem pendidikan di Indonesia yang di kotak-kotakkan oleh agama. Apa
kah perlu kementrian agama meng handle pendidikan yang berbasis agama khususnya
islam? Mungkin ini terlihat aneh ketika di sekolah umum terdapat pelajaran
agama islam, yang notabene tidak semua murid di sekolah tersebut beragama
islam. Tapi ternyata presepsi tersebut tidak benar karena, pelajaran agama yang
ada pada sekolah umum seperti SMP/SMA/SMK merupakan pelajaran agama yang tak
hanya mempelajari tentang agama secara umum, namun juga mempelajari lebih
lanjut tentang masalah akhlak, budi pekerti, dan norma adat yang baik.
Dialog agama merupakan interaksi social
Dialog dibatasi sebagai forum
tukar-menukar pemahaman dan pengalaman kognitif, afektif dan motorik. Tuhan pun
meladeni rasulnya untuk berdialog, sehingga adanya saling mengerti antara tuhan
dan rasulnya. Kalau metode dialog ini dicontohkan oleh tuhan kenapa kita tidak?
Tukar menukar pengalaman dan gagasan, inilah yang memperkaya khazanah keilmuan para
pemeluknya. Dialog bukanlah “adu pinalti” untuk menentukan kalah atau menang. Karena
pada dasarnya dialog antar agama didasari dengan nalar dan emosi sendiri. Sehingga
pada akhirnya timbulnya perasaan kesadartahuan akan kekayaan ruhani atau
metareligius.[8]
Fondasi awal pembentukkan karakter
bangsa ada pada peran guru SD, karena pemikiran dari siswa SD sangatlah itu
absolute dan akan teringat sampai siswa tersebut dewasa, itu menunjukkan peran
yang setrategis dari para guru SD untuk dalam membentuk para dikma siswa SD
tentang keberagaman dan pluralitas untuk membentuk sikap toleransi kepada sesame.
Demokratis yang harus lebih spesifik
adalah keharmonisan antar pemeluk agama, permasalahan konflik anatar agama adalah
mereka terlalu fanatik, fanatisme berlebihan memang lebih banyak mengarah ke
aspek negatif daripada positif. Merasa yang paling benar dan yang lainnya
salah, itulah yang menjadi masalah sebenarnya dalam kehidupan berbangsa yang
plural seperti diindonesia. Kita ambil saja contoh terorime di Indonesia yang
mengatasnamakan garis besar agama, pada bom bali 1 dan bom bali 2, dalam video
pengakuannya para teroris mengklaim bahwa prilaku mereka bertujuan untuk
membasmi kemungkaran, tapi dengan cara yang salah dan bertolak belakang dengan
asas pluralism yang dijunjung masyarakat Indonesia.
Gus dur, tahun 2000-2001 pluralisme teori gus dur, sudah terselesaikan dengan sementara, salah satu kebijakan pada waktu itu yang dinilai kontrofersial adalah, peresmian konghucu sebagai salah satu agama yang resmi di Indonesia dan menetapkan tahun baru imlek sebagai hari libur nasional.
Menurut pendapat dari prof. Quraisy
shihab mengemukakan bahwa,terdapat dua pandangan tentang agama yaitu, absolute,
dan relatif. Absolute mengemukakan pendapat tentang kebenaran agama islam yang
absolute dan tidak bisa disamakan dengan agama lain. Sedangkan pemikiran relative
adalah merupakan pemikiran liberal yang menunjukkan bahwa semua agama benar dan
menuju ke titik tuju yang sama yaitu Allah SWT.
Kesimpulan
Pendidikan
yang berbasis liberal memang mempunyai banyak keunggulan dan sudah dipakai di
berbagai Negara maju, namun sebenarnya budaya pendidikan konsep dasar kita yang
berbasis pancasila itu lebih unggul hanya kurang realisasi dari kalangan
pemerintah dan pendidik di Indonesia, jika landasan pendidikan filsafat
pancasila dapat dimaksimalkan, maka akan mendapatkan hasilnya lebih optimal
dalam wacana kelas tentang keberagaman dan toleransi.
[1] Husain Muhammad, sang zahid 2012
[2] Alwasilah, Pokoknya Rekayasa Literasi 2012
[4] Kompasiana, Apakah Paham Liberalisme Bisa Diterapkan di Indonesia?
2010. Diunduh pada 21 Februari 2014
[5] http://www.tempo.co/read/news/2006/03/05/05574779/Kedutaan-Denmark-Besok-Buka-Lagi. Diunduh pada 22 Februari 2014
[6] Landasan Pendidikan 2009
pieces of ideas in your article do not seem to build a comprehensive puzzle yet
ReplyDeletesaya masih aga susah menentukan topik yang mau saya timbulkan, thanks sir :)
Delete