Indonesia. Tumbuh dengan segala perbedaan dan problematika yang terjadi di dalamnya. Kehidupan sosial, politik, budaya,
ekonomi, agama, dan sebagainya. Hal tersebut justru bukan untuk disesali atau
dipungkiri tetapi untuk disyukuri karena
itulah yang diyakini sebagai kekeayaan bangsa kita ini. Pastinya,
perbedaan bukanlah halangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta
bukanlah halangan untuk mewujudkan cita- cita nasional dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, perbedaan itu adalah bagian dari
rahmatullah. Agama mengingatkan bahwa perbedaan terjadi atas kehendak Tuhan
Yang Maha Kuasa sehingga harus diterima dengan lapang dada dan dihargai.
Dari Artikel Pak A. Chaedar
Alwasilah yang berjudul Classroom
discourse to foster religious harmony, beliau menjelaskan secara sistematis,
pertama dimulai dari kualitas dan
tujuan pendidikan dasar yang memberikan siswa keterampilan dasar untuk
mengembangkan kehidupan tiap individu.
Kedua yaitu mengenai pengaturan
multikultural yang pada dasarnya siswa itu berasal dari latar belakang etnis,
agama, dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka yang disebabkan oleh latar
belakang yang berbeda pula. Ketiga
yaitu indikator wacana sosial yang didalamnya membahas mengenai siswa yang
seharusnya memberikan kontribusi berupa mendengarkan ide-ide atau pendapat,
berdiri dan bergiliran dalam berbicara, Keempat
yaitu mengenaipenelitian oleh Apriliaswati (2011). Kelima yaitu mengenai pendidikan yang liberal menurut Emerson (
1837 ).
Menyoroti perbedaan agama di negeri
kita ini memang hal yang dapat diyakini sebagai kekayaan bangsa karena setiap agama memiliki
kekhasan satu sama lain. Sehingga dengan adanya perbedaan agama tersebut justru
menampilkan wajah bangsa yang sangat beragam. Dari adanya perbedaan tersebut
maka dibutuhkan adanyanya toleransi antar umat beragama agar terhindar dari
konflik.
Pada pembukaan Hari Kerukunan
Nasional tanggal 3 Januari lalu, Menteri Agama Suryadharma Ali mengklaim bahwa
kerukunan agama di Indonesia mendapatkan predikat terbaik di kancah dunia Internasional.
Sehingga banyak negara yang mengapresiasi dan belajar banyak dari kerukunan negara
Indonesia. Tidak dapat dinafikan bahwa kerukunan ada diantara keluarga dan
masyarakat sehingga ada peluang untuk hidup berdampingan secara damai. Di
Indonesia kita dapat menemukan apa yang dinamakan kerukunan hidup seperti moto
negara kita,
Bhinneka Tunggal Ika ( bebrbeda-beda tetapi tetap satu jua ). Contohnya,
banyak tempat ibadah dibangun secara berdampingan, saling menghormati hari
besar masing-masing agama dan sekarang perkawinan beda agama juga masih mungkin
dilakukan, meskipun tidak mudah karena sistem hukum yang hanya mengakui
perkawinan secara agama. Selain itu, ada sebuah organisasi yang didirikan oleh
para tokoh agama di Indonesia yang disebut dengan Indonesian Conference on Religion and Peace. Jadi, organisasi ini
bertujuan untuk merangkul orang-orang dari berbagai latar belakang etnis dan
agama serta mendorong sikap saling pengertian melalui interaksi sosial, dialog
dan kegiatan-kegiatan bersama.
Interaksi
sosial melalui dialog antar-pemeluk agama harus dilakukan secara komunikatif.
Agar dialog akan berahasil antara lain apabila :
Pertama, para pelaku dialog memiliki wawasan keagamaan yang relatif
setingkat sehingga tidak satupun
diantara mereka hanya berperan sebagai pendengar daripada pembicara.
Kedua, para pelaku dialog sosial semestinya menggunakan bahasa yang
sederhana agar dimengerti pemeluk agama lain dan sejauh mengkin menghindari
idiom-idiom keagamaan yang terlampau teknis.
Ketiga, dialog dilakukan dalam forum suasana yang netral.
Keempat, dialog dilakukan untuk membantu pemerintah dan masyarakat
keseluruhan dalam menangani isu-isu sosial yang terasa melekat dalam
keseharian.
Tetapi
hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Direktur Eksekutif LSM Imparsial
Poengky Indarti yang menyatakan bahwa klaim Menteri Agama Suryadharma Ali
sangat kontras dengan kenyataannya. Buktinya, masih banyak peristiwa-peristiwa
intoleransi yang justru mengatasnamakan agama. Menurut catatannya sebagian
negara justru mempertanyakan kebijakan Indonesia terkait kebebasan beragama.
Terdapat 28 negara yang mempertanyakan situasi kerukunan umat beragama di
Indonesia dan hanya ada 8 negara yang mengapresiasi klaim Mentri Agama
Suryadharma Ali tersebut.
Dari pengklaiman Mentri Agama Suryadharma
Ali diatas justru dipertanyakan, dari sudut mana Indonesia dianggap sebagai
yang terbaik, karena pada kenyataannya lebih banyak negara yang memberikan
catatan bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia sangat memprihatinkan.
Apalagi menjelang pemilu dan pemilihan presiden tahun ini, kerukunan umat
beragama harus diprioritaskan agar tetap berjalan secara demokratis. Sedangkan
dalam kenyataannya, banyak problematika yang terjadi antar umat beragama di
Indonesia. Contohnya, konflik Maluk, Poso, Ambon dan ditambah sejumlah kasus
terpisah di berbagai tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara
langsung dengan umat Kristen adalah konflik yang dipicu oleh perbedaan konsep
antar kedua agama ini.
Sejumlah kerusuhan dan konflik
sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa diantaranya merupakan
konflik yang terbilang besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan Ambon
mulai tahun 1998, Poso mulai tahun 1998, Maluku Utara pada tahun 2000, dan
berbagai konflik yang lain. Beberapa penyebab konflik tersebut disebabkan oleh
berbagai faktor. Contohnya, di Maluku disebabkan karena kesenjangan ekonomi dan
kepentinga politik. Dalam masalah ini, agama bukan sebagai pemicu konflik
karena isu agama itu muncul belakangan. Selain itu, adanya konflik agama salah
satunya dapat terjadi karena paradigma antar agama yang terlalu fanatik. Teori
agama :
1.
Ekslusifisme,
yaitu agama Islam itu agama yang benar selain daripadanya yaitu salah.
2.
Inklusifisme,
yaitu semua agama itu benar tapi Islam yang paling benar.
3.
Pluralisme,
yaitu semua agama benar karena tujuannya sama.
Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulullah ketika
beliau berada di Madinah masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa untuk
mengikuti agamanya. Bahkan dalam pejanjian dengan pendudduk Madinah ditetapkan
dasar-dasar toleransi demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan.
Menurut Luwis A. Coser konflik dibedakan menjadi 2, yaitu
:
1. Konflik realistis berasal dari kekecewaan individu atau
kelompok terhadap sistem atau tuntutan yang terdapat dalam hubungan sosial
2. Konflik nonrealistis adalah konflik yang
bukan berasal dari tujuan-tujuan persaingan yang antagonis (berlawanan)
Menurut Soerjono Soekanto konflik dibedakan
menjadi 5 bentuk, yaitu :
1. Konflik atau peretentangan pribadi
2. Konflik atau pertentangan rasial
3. Konflik atau pertentangan antar
kelas-kelas sosial
4. Konflik atau pertentangan politik
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat
Internasional.
Menurut Choerul Mahfud
konflik-konflik tersebut disebabkan oleh kenyataan bangsa Indonesia yang
multikultural. Beliau mengatakan, masyarakat itu memberikan dampak secara
positif. Namun, pada sisi lain juga dapat menimbulkan dampak negatif, karena
faktor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik antar
kelompok masyarakat.
Pada dasarnya, agama mengajarkan
kedamaian dan kerukunan diantara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan
budi pekerti yang luhur, dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam
masyarakat. Itulah hakikat yang sebenarnya mengenai agama. Sedangkkan menurut Joachim
Wach, seorang sarjana ahli dalam sosiologi agama, setidaknya terdapat dua
pandangan terhadap kehadiran agama dalam suatu masyaraka yaitu, negatif dan
positif. Dan terdapat dalam salah satu surat Al-Qur’an yang berbunyi “Janganlah kamu seperti orang-orang yang
berpecah belah dan bersilang-sengketa sesudah datang kepada mereka terbukti
yang terang!... Al-Imran:105.
Menanggapi opini Pak A. Chaedar Alwasilah dalam artikelnya yang berjudul Classroom discourse to
foster religious harmony, tokoh yang bernama
Emerson (1837) menyatakan temuannya mengenai pendidikan liberal dan Pak A.
Chaedar Alwasilah mengatakan bahwa jika
pendidikan di Indonesia menganut Liberalisme maka harus mencakup berbagai
aspek seperti pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa dan budaya. Nah,
sebelum kita lebih jauh lagi membahas hal ini, mari kita mengenal terlebih
dahulu apa itu liberal.
Liberal
yaitu sebuah ideologi, pandangan filsafat, tradisi politik yang didasarkan pada
pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
Secara umum, liberal mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas yang mana
dicirikan oleh kebebasan berfikir bagi para individu atau masyarakatnya. Paham
ini, menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Ada tiga hal
yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni kehidupan, kebebasan dan anak hak milik. Berikut merupakan nilai-nilai
pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberal :
·
Kesempatan yang sama
Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang
sama, di dalam segala bidang kehidupan baik ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Namun karena kualitas setiap orang
berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan kesempatan itu, setiap orang akan
berlainan dalam memanfaatkannya sesuai dengan kemampuan individu masing-masing.
·
Hak yang sama
Dengan adanya pengakuan terhadap
persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mengemukakan pendapatnya, pemikirannya, argumennya, maka dalam setiap penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi,
kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara bermusyawarah, dimana hal ini
sangat penting untuk menghilangkan keegoisan antar individu.
·
Pemerintah hanya menjadi jembatan keinginan
rakyat
Jadi pemerintah lah yang diperintah. Pemerintah
tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak
menurut kehendak rakyat.
·
Berjalannya hukum
Fungsi negara adalah untuk membela dan mengabdi
pada rakyat. Terhadap hak asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh
peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan
mempertahankannya. Maka untuk menciptakan poin ini
harus ada
patokan terhadap hukum tertinggi Undang-undang, persamaan
dimuka umum, persamaan sosial, dan persamaan dalam segala bidang.
·
Negara hanyalah alat (The State is
Instrument)
Negara itu
sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar
dibandingkan negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada
dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan
suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami
kegagalan.
·
Dalam liberalisme tidak dapat menerima
ajaran dogmatisme
Hal ini
disebabkan karena
pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704)
yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam
pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Permasalahannya disini, jika memang
pendidikan liberal diterapkan di Indonesia, akan selaras atau tidak?
Di zaman “edan” seperti ini, anak-anak sangat mudah untuk
di doktrin menjadi kaum liberal. Karena harus di maklumi bahwa mereka memiliki
agresifitas yang sangat tinggi. Sehingga tidak aneh jika mereka sangat berbeda
dengan orang tua zaman dulun. Mereka lebih bergantung kepada teman sebayanya
daripada orangtuanya sendiri. Mereka lebih suka bercengkrama dengan kebebasan
yang memang tidak terkontrol.
Karena keagresifannya tersebut, mereka memanfaatkan
keagresifannya untuk bebas dalam segala hal, seperti bertanya, berdebat,
melakukan riset yang berskala kecil. Di era yang seperti ini, anak-anak lebih
sering untuk mengkritik, protes, dan mempertanyakan segala hal yang ada di
lingkungannya. Biasanya, mereka tidak suka ketika dibeda-bedakan.
Dalam pendidikan liberal ini, anak
bebas untuk memilih agamanya masing-masing. Jadi, anak pempunyai hak atas
pilihannya sendiri. Walaupun ibu dan bapakknya pemeluk agama X misalnya, si
anak tidak mesti memeluk agama yang sama seperti ibu bapaknya. Karena seiring
berjalannya waktu, anak akan berproses sendiri dalam pengalaman spiritual.
Dalam hal ini, tak apa-apa pindah agama karena merupakan pilihan bebas manusia
sebagai hak asasi manusia. Tetapi, anak tersebut masih diakui sebagai anaknya. Lalu,
mereka akan melihat dengan jelas segala perbedaan di sekelilingnya. Sebagai
sesama manusia memiliki hak-hak dan kewajiban kewargaan yang sama, tanpa
dibedakan karena suku, agama, ras, dan antar-golongan. Belajar mencari solusi dari
setiap konflik
Ciri utama pendidikan yang
berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan
keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada
benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan
menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap
pergantian kurkulum baru kita. Nah sistem liberal ini sangat memperhatikan
antara pendidikan dan ekonomi. Misalnya, lulusan SMK yang mempunyai skill
khusus dalam bidangnya pasti akan bekerja sesuai dengan jurusan yang diambil
ketika saat bersekolah.
Telah kita ketahui bahwa Indonesia
dari zaman dulu menganut paham Ideologi Pancasila yang di dalamnya berbunyi :
1.
Ketuhanan
yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3.
Persatuan
Indonesia
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Karena Pancasila adalah dasar negara
Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga adalah dasar dari segala aspek di
negeri ini. Termasuk di dalamnya yaitu mengenai kerukunan beragama yang
terkandung dalam poin nomor satu, yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Konflik antar umat beragama di Indonesia
bukan semata-mata karena latar belakang agama. Tapi lebih kepada aspek lain
yang memang terdapat provoktor pada setiap konflik yang terjadi. Pastinya
provokator tersebut mengkambing hitamkan dan mengatasnamakan agama.
Dalam implikasi terhadap pendidikan, Pancasila berperan penting sebagai
usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara (Pasal 1 UU RI No. 20 Tahun Tentang Sistem Pendidikan Nasional)
Tujuan pendidikan yang berlandaskan
Pancasila, pandangan Pancasila tentang hakikat realitas, manusia, pengetahuan
dan hakikat nilai mengimplikasikan bahwa pendidikan seyogianya bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang system
pendidikan Nasional.
Tujuan pendidikan tersebut harusnya kita
sadari betul, sehingga pendidikan yang kita selenggarakan bukan hanya untuk
mengembangkan salah satu potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
berilmu saja, bukan hanya untuk terampil bekerja saja, dsb. Melainkan demi
berkembangnya seluruh potensi peserta didik dalam konteks keseluruhan dimensi
kehidupannya secara integral.
Dengan keadaan Indonesia yang multikultural,
pendidikan kebudayaan sangat diperlukan untuk dapat memupuk sikap toleransi dan
saling menghargai diantara masyarakat. Terlebih lagi, pendidikan kebudayaan
akan lebih efektif untuk menanamkan sikap toleransi dan saling menghargai
ketika dilaksanakan sejak kecil. Salah satu cara pelaksanaan pendidikan
kebudayaan yang efektif adalah melalui pendidikan di lingkungan sekolah,
terutama di sekolah dasar. Sistem pendidikan sekolah yang tersistem akan
membantu kelancaraan pendidikan kebudayaan. Pendidikan kebudayaan dapat
diberikan melalui mata pelajaran tersendiri maupun dapat disisipkan dalam mata
pelajaran yang lain.
Pendidikan kebudayaan melalui mata
pelajaran tersendiri dapat dilaksanakan melalui muatan lokal Seni Budaya dan
Kesenian atau sering disingkat dengan SBK. Dari namanya, sudah terlihat bahwa
muatan lokal ini berisi pelajaran mengenai budaya dan seni yang disertai dengan
ketrampilan untuk para siswa. Mata pelajaran SBK sudah diajarkan sejak SD,
sehingga nilai-nilai seni dan kebudayaan sudah ditanamkan sejak dini.
Jika memang pendidikan liberal
menjadi tumpuan untuk mendorong umat beragama, akan muncul berbagai efek
negatif, diantaranya pendidikan liberal telah merusakkan sendi-sendi bangsa
Indonesia. Banyak media yang mengatakan bahwa pendidikan kita
sangat buruk dan Depdiknas merupakan satu dari dua Departemen terkorup di
Indonesia. Satu lagi, Departemen Agama mulai afair buku paket, korupsi seragam
sekolah, penyelewengan dana beasiswa dan BOS, sampai kekerasan. Selain itu,
dari segi siswanya, banyak siswa yang sekadar bolos sekolah, mengkonsumsi
narkoba, sampai bunuh diri dan seks bebas. Ini efek negatif yang luar biasa
besarnya, dan tentu tak dapat diabaikan begitu saja. Maka dari itu, pendidikan
liberal serasa kurang cocok jika memang diterapkan di Indonesia.
Indonesia
adalah bangsa yang beradab dan memilki peradaban. Indonesia sangatlah unik dan
memilki karakteristik yang khas. Begitu pula dalam pendidikan, sistem dan
prinsip pendidikan di Indonesia tidak dibenarkan untuk mengiblat kepada orang
lain. Karena Indonesia sama sekali berbeda dengan mereka. Indonesia memilki
kebijaksanaan lokal yang jauh lebih baik dari negara manapun. Jika pendidikan
di Indonesia ingin berhasil dan mencapai keberhasilan maka pendidikan di
Indonesia haruslah berorientasikan kepada kebijaksanaan lokal dan budi luhur
yang dimilki bangsa ini. Dengan demikian, segala aspek akan berjalan dengan
baik, termasuk kerukunan beragama.
Sudah mutakhir bahwa pendidikan
Pancasila merupakan pendidikan yang tepat bagi bangsa Indonesia, walaupun terdapat
problematika yang terjadi di dalamnya. Kunci utamanya yaitu Bhineka Tunggal Ika, itulah semboyan
bangsa Indonesia yang merupakan bentuk pernyataan kesatuan bangsa Indonesia
atas segala keberagaman dan perbedaan yang ada. Semboyan yang berarti “Berbeda-beda
tetapi tetap satu jua” tersebut ternyata telah dicetuskan sejak zaman kerajaan
Majapahit ratusan tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk penghargaan
dan toleransi terhadap perbedaan telah ada sejak zaman dahulu. Semboyan ini
pula yang kemudian mengantarkan kerajaan Majapahit menjadi kerajaan dengan
wilayah yang sangat luas mencakup berbagai macam ras dan suku yang ada di
wilayah Nusantara.
Toleransi dan saling menghargai
adalah sikap yang tersirat dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Tanpa adanya
toleransi dan sikap saling menghargai, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
yang lemah karena setiap orang saling mencela dan menganggap dirinya paling
baik diantara yang lainnya. Sikap yang menganggap dirinya paling baik inilah
yang pada saat ini sering menjadi pemicu pertikaian ataupun permusuhan yang
terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila menjadi jawaban
dimana sikap toleransi antar agama diajarkan, sehingga terbentuklah suatu negara
dengan kerukunan umat beragama melalui sikap toleransi yang tinggi antar umat
beragama.
Referensi
Alwasilah Chaedar A. 2012. Pokoknya
Rekayasa Literasi. Bandung. PT. Kiblat Buku Utama
enak juga 'masakan' kamu. Tapi, keterhubungan antara Pancasila, pendidikan multikultur, classroom discourse, dan religious harmony nampaknya belum terbentuk dengan ajeg
ReplyDelete