Kita
seringkali mendapat masalah atau menjadikan masalah tentang suatu perbedaan.
Seringkali perbedaan disikapi dengan hal-hal yang negatif dibandingkan disikapi
dengan positif. Butuh pemahaman dan kepekaan guna menyikapi perbedaan sebagai
suatu kekayaan yang bisa dimanfaatkan. Fanatisme juga turut membumbui masalah
global yang tak berujung hingga saat ini.
Sudah
bukan rahasia bila perbedaan dan fanatisme dapat memicu masalah dari yang kecil
hingga berskala dunia. Mulai dari pertikaian hingga genosida terjadi oleh
karena perbedaan suku, etnis agama dan fanatisme. Contohnya ialah perang suku
di Kalimantan dan Irian jaya karena masalah beda faham. Bagaimana peristiwa
pembantaian Poso lahir karena masalah perbedaan agama. Bahkan di luar negeri
seperti Somalia, Nigeria, dan daerah afrika barat, pertikaian antar kelompok
sudah melibatkan anak-anak dalam pertempurannya. Bisa anda bayangkan bagaimana
jadinya bila anak usia 13 tahun yang mestinya ceria tertawa bersama teman
sebayanya berangkat sekolah, malah menenteng senapan serbu dan berpatroli
dengan ayahnya.
Perbedaan
memang tak bisa dielakkan dalam setiap sudut kehidupan. Disinalah sikap
toleransi terhadap perbedaan mesti ditanamkan semasa kecil sehingga saat ia
dewasa nanti, sikap toleransi dapat ia terapkan dalam kehidupan sosialnya
sebagai warga Negara demokrasi. Dalam hal ini peran pendidikan mesti mampu
mengajarkan dan memberikan contoh tentang keragaman dan toleransi.
Kembali
ke dalam negri, perbedaan mampu menciptakan masalah sosial yang bila tidak titanggapi
akan terus terulang. Dikalangan remaja, seringnya terjadi tawuran antar sekolah
mencerminkan wajah suram pendidikan bangsa ini. Di kalangan warga, bentrok
antar warga tiap dusun atau desa menjadi cerita pilu bagi keluarga korban yang
kehilangan nyawa saudara-saudaranya dan harta benda yang rusak akibat kerusuhan
tersebut. Di sisi perbedaan agama dan fanatisme,berita tentang terorisme bangsa
ini sudah menjadi berita global. Karena fanatisme, suatu kelompok yang
mengatasnamakan suatu agama meledakkan bom dikerumunan dan tempat ibadah agam
lain. Dengan dasar fanatisme agama, dua ratus santri disembelih di pinggir
sungai saat kerusuhan Poso.
Sudah cukup kiranya semua bukti
diatas tentang perbedaan dan fanatisme. Dan sudah cukup pula alasan tentang
pentingnya toleransi dalam kehidupan berbangsa dan beragama ini. Maka proses
pendidikan tentang toleransi harus dimulai dari pendidikan dasar. Konsepnya
dengan peer interaction (interaksi teman sebaya) dimana siswa dengan beragam
background sosialnya dan agama akan saling berkomunikasi, lewat komunikasi ini
diharapkan siswa mampu saling menghormati, memahami dan membantu. Interaksi
teman sebaya (peer interaction) dalam konteks sekolah,menurut penelitian Rubin
(2009) akan menghasilkan hubungan saling memnghormati, berbagi, bantu dan
umumnya sopan. Maka dengan mengedepankan interaksi ini, diharapkan akan tumbuh
rasa saling menghormati dan menghargai perbadaan yang ada di lingkungan social.
Indicator berhasilnya komunikasi ini adalah siswa mampu mendengarkan penuh perhatian,
menyumbangkan ide dan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan
dan ketidak sepakatan, mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dengan kata
lain, siswa akan belajar kemampuan menjaga hubungan baik antar sesama kawannya.
Mengapa
dimulai dari sisi pendidikan? Karena
dari segi ini lah siswa mampu saling berinteraksi dengan pengawasan guru.
Bentuk interaksi sebaya yang dilakukan dalam ruang lingkup kelas seperti tugas
kelompok dan berdebat dengan hormat. Interaksi ini mesti rutin dilakukan. Jadi
meskipun menghasilkan kegaduhan, ini adalah bukti bahwa interaksi mereka
berjalan dengan komunikatif. Lingkungan sekolah mesti menjadi laboratorium
sosial. Lingkungan sekolah pun mesti memberikan contoh tentang toleransi dan
interaksi multicultural. Prof.Chaedar memberikan sampel yakni sekolah yang
dikelola oleh guru dari beragam agama, etnis dan kelompok social yang berbeda.
Juga di lingkup pendidikan tinggi, kampus mesti menyediakan tidak hanya satu
tempat ibadah saja,tetapi tempat ibadah bagi mahasiswa dari segala agama. Agar
semua mahasiswa dapat memperhatikan dan mempelajari ritual berbagai agama,juga
menjadi tempat dialog antar agama. Sehingga tidak saling mencemooh dan tidak
ada saling menjatuhkan.
Kemampuan
menjaga hubungan baik sangat penting dimiliki siswa. Dimana akan menjauhkannya
dari sikap egois,apatis dan radikal. Banyak bukti dimana kemampuan bertoleransi
ini sangat penting dimiliki, berapa banyak kasus kerusuhan massal bahkan
genosida adalah akibat dari sikap anti toleransi terhadap keberagaman dan
perbedaan, disamping banyak hal lain yang turut menjadi pemicunya.
Apakah
cukup hanya di lingkungan sekolah? Tentu tidak. Dalam lingkup kehidupan sosial,
pendidikan toleransi mesti diterapkan di rumah, sekolah dan tempat kerja. Bila
hanya mengandalkan sekolah dengan batasan waktu berkisar antara 3-8 jam,
tentunya tidak cukup. Karena selebihnya, siswa akan berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya yang memiliki kemungkinan sangat besar terkontaminasi
sifat fanatic etnik dan agama. Begitupun dalam keluarga, seringkali fanatisme
itu bersifat turun-temurun. Sehingga anak mendapat “warisan” fanatisme dari
orang tuanya. Maka demi membangun toleransi
dalam jiwa anak, orang tua sebagai guru di rumah harus mampu
mencontohkan toleransi mulai dari hal kecil.
Untuk
membangun generasi toleransi, focus pendidikannya tidak terpaku pada anak-anak
saja, lingkungan dimana anak-anak tinggal mesti mendukung pemahaman toleransi.
Maka ini akan melibatkan lebih banyak unsur masyarakat dan pemerintah setempat
guna membangun lingkungan yang kondusif dan mampu mencontohkan sikap toleransi
bagi anak-anak di daerah tersebut. Mencontoh dari daerah Bali. Dimana dua agama
(Islam dan Hindu) mampu saling berdampingan sekalipun salah satunya mayoritas
dan lainnya minoritas. Agama mayoritas tidak serta merta menindas minoritas
demi kepentingan agamanya. Keduanya saling menghargai dan menghormati bahkan
saling membantu. Contohnya saat perayaan nyepi bagi umat hindu, umat islam
menghargainya dengan tidak menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan
adzan yang mana akan mengganggu kekhusuan ibadah umat budha. Dan saat perayaan
I’dul Fitri, umat budha membantu mengamankan dan mengontrol tempat sholat I’ed umat muslim. Alangkah indahnya
toleransi yang melahirkan sikap saling menghormati dan saling membantu. Dan
beruntungnya lagi. Bali sebagai tempat paling banyak dikunjungi turis mampu
menyuguhkan harmoni toleransi kerukunan antar etnis dan agama ke khalayak
dunia.
Selain interaksi
teman sebaya, orientasi pendidikannya pun mesti dirubah menjadi pendidikan
liberal yang mencakup pengetahuan umum, pengetahuan etnis,agama dan bahasa
minoritas dan budayanya. Pendidikan liberal bertujuan untuk melepas pandangan
sempit tentang perbedaan dan rasa kesukuan yang menghalangi sikap toleransi.
Pendidikan liberal meliputi pengetahuan umum, etnis, agama, budaya dan bahasa
minoritas. Prof. chaedar juga mengkritik pengajaran agama cara tradisional
dimana lebih mengajarkan kepada ritual dan teolois, serta mengesampingkan aspek
social seperti interaksi horizontal antar umat beragama dan toleransi.
Idealnya, demi
mendukung proses pendidikan menurut Prof,Chaedar bahwa sekolah dikelola dengan
guru dan tenaga kerja yang berbeda agama. Namun ini terlalu memaksakan bila
harus setiap sekolah memiliki guru dari
beragam agama. Setiap sekolah memiliki corak dan genre masing-masing, sekolah
kejuruan mencorak siswanya agar siap bekerja ketika lulus dan berkompetensi
tinggi. Tidak masalah bila gurunya terdiri dari berbagai agama kare focus
targetnya adalah skill kompetensi yang mumpuni di bidangnya. Namun untuk
sekolah agama seperti pesantren dan biara, tidak bisa disamakan dengan sekolah
biasa. Sekolah ber”label” agama bertujuan mendidik siswanya tidak hanya pandai
dalam ilmu dunia, namun ilmu agama juga. Bahkan orientasinya lebih pada
kepentingan agama dimana sangat kecil kemungkinan ada agama lain akan turut
andil dalam proses pendidikan juga pengelolaan sekolah tersebut.
Bila memang
memaksa dilakukan, akan ada banyak pandangan miring masyarakat apabila suatu
pendidikan agama (saya contohkan pesantren) melibatkan orang selain islam,
apalagi dengan kuantitas yang besar, turut mengelola pesantren. Kekhawatiran
masyarakat akan muncul dengan kemungkinan kemurnian agama yang diajarkan akan
tercampur oleh interfensi agama lain. Originalitas agama lebih penting bila
harus dibenturkan dengan kebijakan pengelolaan oleh guru dari berbagai agama.
Lagi pula pengertian tolerans menurut W.J.S Purwadarminta adalah sikap
menenggang berupa menghargai dan memperbolehkan suatu pendirian,pendapat,pandangan
dan kepercayaan tanpa merubah keyakinan dan pendirian masing-masing. Jadi
kebijakan tersebut tidak bisa di berlakukan secara nasional.
Prof. chaedar
berpendapat bahwa tawuran pelajar adalah sebab dari kurangnya kepekaan dan rasa
hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Namun penyebab tawuran
lebih kompleks dari itu. Menurut Data Sekunder Kelompok Kerja Penanggulangan
Tawuran, Depdikbud. Ada delapan faktor penyebab tawuran, yakni :
1.
Sekolah. Kurangnya ketegasan dan penegakan
disiplin. Kelonggaran ini memberi ruang bebas bagi para siswanya melakukan
tawuran. Maka selain mengandalkan komunikasi sebaya guna menanggulanginya,
regulasi yang tepat akan mampu meminimalisir terjadinya tawuran.
2.
Guru. Keterbatasan peran guru dalam mencegah
tawuran. Serta sosok figure guru yang dianggap sebagai penghukum, yakni hanya
bertindak saat telah terjadi tawuran. Bukan sebagai pencegah dan menanggulangi
kemungkinan aksi tersebut.
3.
Kegiatan belajar. Banyak jam kosong dan
kurangnya kegiatan ekstra kurikuler yang menjadi tempat menyalurkan minat dan
bakat siswa. Efeknya siswa akan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan negative
atau diajak melakukan tindakan negative oleh teman sekolahnya.
4.
Hubungan orang tua dan sekolah. Kurangnya
pengawasan orang tua terhadap kegiatan dan proses pendidikan disekolah.
Kebanyakan orang tua terlalu “ percaya” dan melepaskan anaknya dari
pengawasanya saat ia berangkat sekolah. Orang tua menyerahkan penuh kendali dan pengawasannya kepada guru
di sekolah. Sedangkan seringkali tawuran terjadi di luar lingkungan sekolah
yang mana guru pun memiliki keterbatasan untuk turut mengontrol kegiatan siswa
di luar area sekolah.
5.
Masyarakat sekitar. Seringkali tawuran adalah
akibat dari “ dikompori” nya siswa oleh preman-preman setempat dan preman
tersebut turut andil dalam kejadian tersebut. Atau seringkali dibantu para
warga yang memiliki ikatan emosional dengan sekolah yang mana anak-anaknya
bergabung dalam basis tawuran tertentu.
6.
Media massa. Pemberitaan mengenai tawuran memicu
mobilisasi dan peniruan prilaku. Perlu pengawasan orang tua yang memberikan
pengarahan tentang tayangan tersebut. Faktor hiburan multimedia seperti
film-film berbau kekerasan dan game-game yang terlalu ekstrim mesti dijauhkan
dari anak-anak, karena setiap film dan game memiliki target penggemar dan
penontonnya sendiri. Sehingga orang tua harus jeli memilihkan hiburan
multimedia yang mendidik.
7.
Transportasi umum. Pertemuan jalur bus yang
digunakan siswa yang bermusuhan ibarat medan perang yang bisa kapan saja
meletus. Terbatasnya jumlah transportasi umum di jam sibuk juga mampu
memanaskan situasi. Jalur transportasi ibarat wilayah ideal yang akan saling
berebut untuk dikuasai basis-basis siswa yang bisa mejadi pemicu pecahnya
tawuran.
8.
Aparat
keamanan. Kuranya personil polisi si titik rawan tawuran serta lambatnya
tindakan akan memberi ruang bagi siswa agar lebih leluasa melakukan tawuran
bahkan di waktu jam pelajaran.
Dengan delapan
factor diatas, dapat disimpulkan bahwa penyebab tawuran antar siswa bukan
hanya karna kurangnya kepekaan dan rasa
hormat saja, namun rentetan dari sebab akibat yang mendasarinya selain dari
factor siswa sendiri. Dengan begini maka focus pencegahan tawuran tidak melulu pada
siswa saja. Delapan factor diatas mesti turut diperbaiki guna mencegah
terjadinya tawuran antar siswa. Sehingga pencegahan tawuran mampu lebih optimal
lagi.
Perbedaan dan
fanatisme agama tidak hanya terjadi antar agama saja, bahkan dalam satu lingkup
agama pun bisa terjadi pertikaian akibat fanatisme. Penyebabnya adalah bentuk
pendidikan agama yang terlalu memfokuskan pada ritual dan teologi, sehingga
bila menemukan perbedaan dengan kelompok lain, bukannya dibicarakan malah
saling menuduh sesat dan kafir, sembari keduanya mengumandangkan takbir atau
simbol-simbol agama yang sama. Sebuah ironi yang mengundang tawa.
Maka perubahan
pun mesti di lakukan dalam pendidikan agama. Dimana tidak hanya mengutamakan
ritual dan teologis. Tetapi nilai-nilai sosial juga mesti diajarkan. Karena
agama bukan hanya bentuk ritual antara hamba dengan tuhannya, tetapi juga
hubungan horizontal antara manusia dengan manusia dan manusia dengan
lingkungannya. Dan juga mengajarkan pentinganya toleransi terhadap perbedaan
keyakinan dan pendirian dalam masyarakat, bagaimana menyikapinya dan menjaga
keharmonisan antar umat beragama.
Dalam buku “Politik dan Bahasa pendidikan”
Prof,Chaedar menjelaskan bahwa “Dialog agama” adalah cara mencegah kerusuhan
antar agama, dialog agama menjadi wadah pemersatu segala perbedaan. Dialog Agama tidak membahas tentang masalah
ritualisme, tapi memberikan jawaban untuk memaknai segala krisis, tema-tema
seperti Narkoba, AIDS, peperangan, desa tertinggal, bencana alam, urbanisasi,
kemiskinan, kenakalan remaja dan tema-tema sosial lainya yang turut dirasakan
semua penganut agama.
Dengan berangkat
dari tema-tema sosial diatas, maka kemungkinan bersitegang tentang ritualisme
dapat dihindari, dan agama berfungsi sebagai perekat sosial (Durkheim “Societal
Glue”) yang akan membangun solidaritas masyarakat. Dan bila masyarakat telah
menghubungkan moralitas dengan agama, control sosial akan lebih berfungsi. Jauh
lebih bermanfaat daripada berdebat tentang benar dan salah yang tak akan
berujung.
Dialog Agama
akan berjalan baik bila dilakukan dalam
situasi dan dengan bahasa yang komunikatif. Dan empat faktor lain yang mesti
dipenuhi yakni :
1.
Para pelaku dialog memiliki wawasan keagamaan
yang relative setingkat. Sehingga tidak ada satupun yang bertindak hanya
sebagai pendengar. Lebih-lebih dalam dialog teologis. Disinilah pentingnya
setiap agama memilih seorang figure sebagai juru bicara yang betul-betul
menguasai tidak hanya ilmu agama tetapi ilmu umum.
2.
Para pelaku dialog hendaknya menggunakan bahasa
yang sederhana dan mudah difahami penganut agama lain, dan sejauh mungkin
menghindari penggunaan idiom-idiom keagamaan yang terlampau teknis. Tidak
terlalu dicampuri bahasa asing yang menghasilkan sikap apriori terhadap pelaku
dan materi dialog. Disinilah pentingnya penguasaan bahasa nasional yang baku
dan kemampuan menerjemahkan bahasa agama (dalam bahasa asing) kedalam bahasa
nasional oleh para peserta dialog agama.
3.
Dialog
dilakukan dalam kondisi dan suasana yang netral, tidak dilakukan dalam tempat ibadah
suatu agama yang akan menimbulkan keengganan pemeluk agama lain. Tempat-tempat
seperti hotel, gedung sekolah dan kantor pemerintahan lebih cocok bila
dijadikan tempat dialog agama. Pemerintah juga dituntut sensitive terhadap
isu-isu keagamaan dan memiliki inisiatif untuk menyelenggarakan dialog dengan
adil dan bijaksana.
4.
Dialog dilakukan untuk membantu pemerintah dan
masyarakat secara umum dalam menangani isu-isu sosial di keseharian masyarakat.
Dialog digunakan
untuk mencari solusi dan titik temu bersama menghadapi isu-isu hangat dalam
masyarakat. Bukan mencari pembenaran dan saling bentur argument tentang benar
dan salah. Karena bila saling melihat perbedaanya, maka tidak ada akhir dari
dialog dan tidak ada out put positif yang bisa dimanfaatkan masyarakat.
Selain
toleransi, pluralisme yang ditokohi Presiden Gus Dur bertujuan untuk menjaga
keharmonisan antar umat beragama, faham pluralisme ini sering diperagakan Gus
Dur dengan memberikan apresiasi positif pada setiap pemeluk agama, Gus Dur juga
dianggap sebagai Bapa para minoritas dimana mereka merasa diayomi dan
dilindungi. Pluralisme menurut fatwa MUI tanggal 28 juli 2005 bahwa semua agama
benar dan setiap pemeluk agama yang taat akan berkumpul di satu sorga yang
sama.
Terlepas dari
pandangan setiap agama tentang benar salahnya faham pluralisme, ada tiga sudut
pandang penganut agama terhadap agamanya, yakni :
1.
“Agama saya adalah benar dan agama lain salah”.
Pandagan inilah yang mampu menyuburkan pertikaian dalam konteks agama,
orientasi inilah yang menjadi pandangan para fanatik agama yang tak mau
berdialog damai dalam hal yang mereka yakini. Mereka cenderung memaksakan
keyakinan mereka kepada seluruh masyarakat. Radikalisme dan terorisme lahir
dari sudut pandang ini.
2.
“Semua agama benar,tapi agama saya yang paling
benar.” Inilah pandangan umat beragama yang memahami toleransi. Ia memandang
agama lain benar sebagai bentuk toleransi, dan meyakini agamanya yang paling
benar sebagai bentuk keimanan. Toleransi adalah menghargai, tapi tetap teguh
dengan keyakinan sendiri. Toleransi memberikan ruang pada pendapat, keyakinan dan pendirian lain dalam
kehidupan masyarakat asal tidak memaksakan untuk mengganti keyakinan yang telah
dimiliki.
3.
“Semua agama benar” sebenarnya pandangan seperti
ini tidak benar-benar ada, faham bahwa semua agama benar (pluralisme) hanyalah
semboyan yang mencoba mempersatukan segala perbedaan faham agama. Dalam setiap
lubuk hati para penganut agama yang taat, pandangan pertama atau kedua lebih
cenderung dimiliki. Bila telah berhubungan dengan keyakinan dan pendirian,
tidak ada yang mau menyamakan agamanya dengan agama lain. Tidak ada yang mau
menyetarakan standar kebenaran agamanya dengan standar kebenaran agama lain.
Maka pantas bila beberapa agama menolak pandangan dan faham pluralisme ini,
karena telah menyinggung sisi keimanan mereka.
Kesimpulannya,
toleransi,pendidikan liberal,dan dialog agama adalah cara jitu menanggapi
berbagai perbedaan dalam kehidupan ini. Segala masalah sosial baik berakar dari
perbedaan faham hingga isu-isu terhangat mampu diatasi dengan tiga hal
tersebut. Fokusnya adalah mencari persamaan dan menggunakanya sebagai alat
pemersatu masyarakat.
Bila setiap
perbedaan terus digali sisi beda nya, maka tak akan menghasilkan titik temu.
Atau apabila memaksa menyamakan perbedaan tersebut, maka bersiaplah menghadapi
perang urat hingga pertumpahan darah yang akan menghiasi lembaran kisah bangsa
ini. Toleransi diajarkan dalam setiap agama, toleransi tak dilarang oleh kitab agama
manapun, toleransi melahirkan perdamaian, toleransi menghasilkan rasa saling
hormat dan peka. Jadi menanamkan sikap toleransi akan memberikan masa depan
yang lebih damai, Kondusif dan harmonis. Dimulai dari pendidikan di rumah,
sekolah,lingkungan kerja dan sosial.
Sumber
www.psikoterapis.com//-apa_itu_fanatisme. www.facebook.com//_islamic_motivation/Gus_Dur_Puralisme_dan_Humanisme.
Alwasilah,A.Chaedar.2004.
Politik dan Bahasa Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
kamu sudah punya citarasa sendiri dalam masakan kamu Is. Tapi nanti lebih jeli lagi dalam memetakan apa yang seharusnya dikupas ya
ReplyDelete