Era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat pesat dan persaingan yang sangat ketat menuntut manusia untuk mampu
terus-menerus belajar menguasai berbagai ilmu dan teknologi secara cepat. Jika
tidak demikian maka seseorang akan tertinggal dan kalah dalam kompetisi di
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dipelajari manusia dengan
penggunaan penguasaan literasi (keaksaraan dan kewicaraan) yang memadai. Sebaliknya,kemampuan literasi yang tinggi
dapat pula mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah tingkatan
yang lebih tinggi lagi.
Sementara itu perkembangan teknologi informasi,
komunikasi, dan transformasi menyebabkan interaksi manusia yang berasal dari
berbagai belahan dunia dengan latar belakang sosio-kultural yang beragam itu
semakin tinggi. Kemampuan beradaptasi secara cepat dengan berbagai situasi
budaya yang ada merupakan masyararat
mutlak untuk keberhasilan menjalin hubungan dengan orang-orang dari berbagai
latar belakang sosial budaya. Kegagalan dalam memahami karakteristik sosial
budaya dalam berbagai peristiwa komunikasi akan menyebabkan terhambatnya
komunikasi, kegagalan komunikasi dan bahkan disharmonisasi antar pelaku
komunikasi.
Penguasaan literasi yang tinggi tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultural karena
literasi tersebut merupakan bagian dari kultur/budaya manusia. Hubungan
literasi dengan komunikasi sangatlah erat bahkan Kern (2000) menyatakan bahwa,
”Literacy involves communication” (Literasi melibatkan komunikasi).
Literasi yang mencakup dua hal, yaitu: keaksaraan dan kewicaraan atau lisan dan
tulisan tentunya merupakan bagian dari budaya manusia untuk berkomunikasi
antara satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan-tujuan hidup. Dengan
penguasaan literasi yang baik atau sesuai dengan sosiokulturalnya,
manusia
dapat berkomunikasi dengan baik pula.
Agar literasi dapat dikuasai secara maksimal
sehingga membantu manusia mencapai tujuan-tujuan mereka, maka pendidikan
literasi perlu dilaksanakan. Literasi melibatkan interpretasi yaitu penulis/pembicara
dan pembaca/pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni:
penulis/pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan,
perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/ pendengar kemudian mengiterpretasikan
interpretasi menulis/pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.
Literasi tidaklah seragam karena literasi memiliki
tingkatan-tingkatan yang menanjak jika seseorang sudah menguasai satu tahapan
literasi maka ia memiliki pijakan untuk naik ke tingkatan literasi berikutnya. Wells (1987)
menyebutkan bahwa terdapat empat tingkatan literasi, yaitu: performative,
functional, informational, dan epistemic. Orang yang tingkat
literasinya berada pada tingkat performatif, ia mampu membaca dan menulis,
serta berbicara dengan symbol simbol yang digunakan (bahasa). Pada tingkat functional
orang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kehidupan
sehari-hari seperti membaca buku manual. Pada tingkat informational orang diharapkan dapat
mengakses pengetahuan dengan bahasa. Sementara pada tingkat epistemic orang
dapat mentransformasikan pengetahuan dalam bahasa.
Dalam disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar
sejatinya bertaut erat dengan literasi. Perlu dicatat, konsep literasi disini
tak lagi dimaknai secara sempit yang terbatas pada kemampuan baca-tulis, tapi
juga berkaitan dengan kemampuan memaknai teks, seperti huruf, angka, dan simbol
cultural, seperti gambar dan simbol secara kritis.
Pendidikan berbasis budaya literasi merupakan salah
satu aspek penting yang bisa diterapkan di lembaga-lembaga sekolah guna memupuk
minat dan bakat yang terpendam dalam diri generasi muda kita.
Apalagi kita tengah menghadapi sindrom buta huruf yang
kerapkali menjadi penghambat kemajuan pendidikan nasional sehingga dibutuhkan
strategi alternative yang bisa dilakukan untuk menopang peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia.
Menurut Michael Burber pada abad ke-21. Standar
kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang sangat melek huruf, sangat penting
baik informasi mampu belajar terus-menerus dan percaya diri dan mampu memainkan
peran mereka sebagai warga masyarakat yang demokratis..
Pembukaan dalam elemen akademik writing yang pertama
terdapat cohesion yaitu gerakan halus atau aliran antara kalimat dan paragraf.
Elemen yang kedua adalah clarity artinya kejelasan yang mana makna dari apa
yang dihasilkan dari komunikasi yang diucapkan dengan sangat jelas.
Yang ketiga adalah logis artinya mengacu pada urutan
logis dari informasi. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung bergerak dari
umum ke khusus.
Yang keempat adalah konsistensi yaitu yang mengacu
pada keseragaman gaya penulisan. Elemen yang kelima itu adalah unity, sederhana
yang mana kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara
langsung berhubungan dengan topik yang dibahas dalam suatu paragraf tertentu.
Keringkasan adalah ekonomi dalam penggunaan
kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan menghilangkan
kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan( redundancy) atau sebuah “kayu
mati”. Pengecualian dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan
kesatuan adalah elemen yang keenam.
Elemen yang ketujuh adalah kelengkapan yaitu
sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan, penulis
memiliki untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topik tertentu.
Elemen yang kedelapan adalah variety yang artinya
ragam untuk membantu pembaca dengan menambahkan beberapa”bumbu” untuk teks, jadi
dengan keanekaragaman teks sehingga menjadi bumbu tersendiri dan menjadi
ketertarikan pembaca untuk membaca teksnya.
Elemen yang kedelapan adalah formalitas, bahwa
akademik menulis adalah formal dalam nada. Ini berarti bahwa kosakata canggih
dan struktur tata bahasa yang digunakan.
Ruang, waktu dan literasi selalu menjadi keterikatan
pada tiap elemen, apapun itu dari awal mula hingga akhir, pada setiap
celah-celah dimanapun pada berbagai bentuk bacaan atas situasi dan kondisi.
Tapi, tentu saja hal-hal yang begitu penting, selalu diperebutkan kendali
atasnya, selalu diupayakan untuk mendapatkannya., dengan sebagian membohongi
yang lain melalui berupa cara beraneka, agar kelak diri atau golongannya yang
dapat lebih unggul dan lebih maju.
Pada akhirnya, kita mau tidak mau harus sadar atau
disadarkan bahwa cepat atau lambat, dijebak melalui paradigma.“Ketidakpentingan“
akan ruang, waktu, dan literasi melalui ekspansi pergulatan memenuhi kebutuhan
dasar hidup atas pangan dan sandang yang entah seperti tidak pernah ada habis
dan puasnya yang jelas, nyata selalu berhasil untuk memenuhi setiap jengkal
ruang piker diri.
Indonesia akan sulit memenangi perang melalui
literasi tanpa meninjau ulang paradigma pengembangan literasi sistem
pendidikannya. Yang tidak kalah penting adalah mengelola kembali ekologi media
dengan ukuran bonum commune masyarakat Indonesia yang harus maju.
Untuk mengatasi ketertinggalan, yang paling mendesak
untuk dilakukan adalah merevisi paradigm using dan literasi dan menggantinya
dengan paradigma yang lebih merefleksikan kebutuhan berliterasi di era ketika
siswa dikelilingi teks, informasi dan gambar dari berbagai penjuru. Upaya
strategis yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan daya literasi Indonesia secara
menyeluruh dan berkesinambungan adalah memulainya dari pendidikan sekolah.
Pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan
lebih dari sekedar sebagai textbook sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru
dan siswa dalam proses pembelajaran yang aktif dan kritis.
Rekaya literasi adalah upaya yang disengaja dan
sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan
bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke
pendidikan dan pembudayaan.
Empat dimensi rekaya literasi: linguistik, kognitif,
sosiokultural dan perkembangan. Dan rekayasa literasi sama halnya merekayasa
pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi itu.
Jadi, literasi merupakan kompetensi mutlak yang
harus dimiliki setiap anggota masyarakat. Guna menemukan generasi yang memiliki
pengetahuan dan kemampuan dalam literasi diperlukan cara yang strategi alternatif
yang bisa dilakukan untuk menopang peningkatan kualitas sumber daya manusia
Indonesia yang tengah menghadapi sindrom buta huruf yang kerapkali menjadi
penghambat kemajuan pendidikan nasional untuk bersaing di dunia internasional
dan mengubah paradigm kita mengenai literasi karena peradaban dalam negara
harus ada kesejahteraan(prosperous) keamanan (security) dan kenyamanan (comfort). Bagi yang sudah bisa
memberikan kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan berarti sudah mempunyai peradaban
tinggi dan mampu menciptakan cita rasa literasi.
0 comments:
Post a Comment